MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH SISTEM KEUANGAN SYARIAH PADA LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT DAN WAKAF

 SISTEM KEUANGAN SYARIAH  PADA 

LEMBAGA PENGELOLA ZAKAT DAN WAKAF


Oleh:

NASRUN EFENDY


A. Pendahuluan

Pada awalnya fungsi utama suatu bank termasuk perbankan syariah sebagai salah satu lembaga keuangan syari’ah adalah sebagai lembaga yang berfungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat (fungsi intermediasi). Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi menjadi kewajiban perbankan syariah. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 4 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dinyatakan:

1) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

2) Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga bait al-mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infaq, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkan kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan. 

Perluasan fungsi sosial perbankan syariah sebagai lembaga bait al- mal, merupakan amanah pihak institusi keuangan syariah dan pemerintah yang bertujuan untuk menjamin terjadinya aliran kekayaan dari kelompok kaya (muzakki) pada kelompok yang berhak menerima (mustahiq) dan untuk kemaslahatan umum lainnya.

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat diubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan disebutkan, Badan Amil Zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki yang berada di bank atas pemintaan muzakki.

Implementasi Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada ayat (2) yang hanya dapat menjalankan fungsi sosial yaitu sebagai lembaga bait al-mal yang bertugas menerima dan menyalurkan dana berupa infaq, shodaqoh, hibah dan dana sosial lainnya. Kata “dapat” dalam ayat (2) menyebabkan perbankan syariah tidak memiliki kekuatan untuk mengambil atau menghimpun dana sosial umat dan mengelolanya sebagaimana fungsi intermediasi bank pada umumnya. 

Perbankan syariah hanya menunggu dan menerima dana sosial ketika nasabah ingin menunaikan zakat dan lain-lain, sehingga memberi kesan bahwa perbankan syariah dalam mengelola zakat hanya bersifat pasif dan sukarela, berarti perbankan syariah tidak memiliki otoritas memungut dana sosial. Hal ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan fungsi intermediasi perbankan syariah pada ayat (1) menyatakan perbankan syariah “wajib” dalam menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Implikasi wajib menyebabkan perbankan syariah memiliki kewenangan penuh atau aktif dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

Kedudukan perbankan syariah sebagai lembaga bait al-mal terutama dana yang berasal dari zakat dan wakaf dalam pengelolaannya tentu akan lebih baik jika memiliki fungsi pokok yang khusus dalam mengelola dan menyalurkan dana sosial zakat tanpa membebani fungsi pokok intermediasi yang berorientasi profit-bisnis dalam penyalurannya kepada organisasi zakat. Pertimbangan lain adalah perlunya pengkhususan fungsi perbankan syariah dalam mengelola zakat karena potensi dana sosial umat islam di Indonesia sangat melimpah ruah yang berasal dari zakat dan wakaf untuk kemaslahatan mustahiq dan kemaslahatan umum lainnya.

Zakat juga wakaf sebagai pranata keagamaan di bidang perekonomian sudah seharusnya mampu menjawab problematika ekonomi dengan menjalankan fungsi sosial zakat salah satunya yaitu melalui peran dan fungsi perbankan syariah. Hal ini tertuang di dalam QS. Al-Taubah ayat 71, berikut.

وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Artinya :

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan sholat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana” 


Begitupun pentingnya zakat dan wakaf dalam peningkatan ekonomi yang berkeadilan tertuang dalam QS. Al-Rum ayat 39 dan QS. Al-Dzariyat ayat 19.

وَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًا لِّيَرْبُوَا۟ فِيْٓ اَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُوْا عِنْدَ اللّٰهِ ۚوَمَآ اٰتَيْتُمْ مِّنْ زَكٰوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ

Artinya:

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar harta manusia bertambah, maka tidak bertambah dalam pandangan Allah.  dan  apa  yang kamu berikan berupa  zakat  yang  kamu  maksudkan  untuk  memperoleh  keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)” 


وَفِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ

Artinya :

“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta, dan orang miskin yang tidak meminta” 


Dalam rangka mengelola dan memberdayakan potensi zakat dan wakaf sebagai sebuah kekuatan ekonomi masyarakat, keberadaan institusi zakat dan wakaf sebagai lembaga publik yang ada ditengah masyarakat menjadi sangat penting. Selain institusi zakat dan wakaf, dapat juga dilakukan oleh bank syariah dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang salah satu fungsinya adalah sebagai lembaga yang memiliki fungsi sosial. Pada makalah ini akan dibahas pengertian sistem keuangan syariah, zakat dan wakaf, dasar hukum zakat dan wakaf, lembaga keuangan syariah, perbankan syariah sebagai pengelola zakat (bait al-mal), konsep dasar sistem keuangan syariah pada lembaga pengelolaan zakat dan wakaf, peran perbankan syariah dalam regulasi kelembagaan pengelolaan zakat dan wakaf.

 

B. Pembahasan

1. Pengertian Sistem Keuangan Syariah, Zakat dan Wakaf

Arti dari pengelolaan sama dengan manajemen, tercapainya tujuan suatu lembaga adalah tujuan dari pengelolaan dan manajemen. Pengelolaan dapat dibentuk secara kelompok maupun pribadi untuk mencapai tujuan lembaga tersebut. Kegiatan yang diliputi oleh manajemen keuangan adalah sebagai berikut, seperti kegiatan penganggaran, pengelolaan, penyimpanan dana, perencanaan, pemeriksaan, pengendalian, dan perencanaan. Sistem keuangan syariah merupakan salah satu sistem yang digunakan dengan menggunakan metode prinsip Islami dasar syariah sebagai acuannya, juga menggunakan dasar hukum Islam sebagai pedoman. Kegunaan sistem ini dapat dilakukan untuk aktifitas pada lembaga keuangan syariah. Intinya, sistem keuangan memiliki tugas utama yaitu mengalihkan dana yang berasal dari nasabah ke pengguna dana. Prinsip dasar syariah yang digunakan oleh sistem keuangan ini berasal dari aturan yang sudah ditetapkan pada Al Qur’an dan juga sunah yang dipercaya oleh agama Islam. Larangan yang dilakukan pada sistem keuangan syariah yaitu melarang adanya riba, perjudian, monopoli, penipuan, gharar, penimbunan barang dll. Oleh karena itu, segala aktifitas keuangan pada sistem ini harus sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana sudah diatur melalui Al Qur’an dan sunah.

Sekarang ini pengelolaan keuangan syariah sudah tumbuh lumayan pesat di Indonesia, terlihat dari banyaknya lembaga keuangan yang mengaplikasikan prinsip-prinsip syariah pada perusahaanya. Contoh lembaga keuangan syariah seperti, Bank BNI Syariah, BRI Syariah, Mandiri Syariah, Bank Muamalat, dan sebagainya. Bahkan seiring perkembangannya, konsep keuangan syariah ini juga sudah mulai bertumbuh dalam kalangan non-muslim, negara non-muslim seperti Eropa dan Amerika sudah mulai mengembangkan Bank Syariah. Pengelolaan yang diterapkan oleh keuangan syariah harus berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah Islam, yaitu:

Mengharap ridha Allah SWT, tujuan yang dicapai berdasarkan atas petunjuk Allah SWT dan hadis nabi Muhammad SAW.

Terbebas dari bunga, bunga atau riba sangat dilarang dan haram hukumnya dalam Al Qur’an

Menerapkan prinsip bagi hasil (sharing)

Sektor yang dibiayai halal hukumnya

Tidak ada investasi haram

Zakat secara etimologi berasal dari kata zaka- yazku-zakah yang memiliki arti bermacam-macam, yakni thaharah, namaa’ dan barakah, atau amal shaleh.  Ditinjau dari segi bahasa zakat merupakan kata dasar (masdar) yang menurut lisan al-Arab arti dasar dari kata zakat adalah suci, tumbuh, berkah, dan terpuji dan semuanya digunakan dalam al-Qur’an dan hadist.  Zakat menurut bahasa berarti: namaa’ artinya kesuburan, thaharah artinya kesucian, barakah artinya keberkatan, tazkiyyah, tahrir artinya mensucikan.  Adapun zakat menurut istilah agama Islam yaitu kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat. 

Zakat secara terminologi adalah sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT, untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) yang disebutkan di dalam al-Qur’an. Selain itu, bisa juga sejumlah harta tertentu dari harta tertentu yang diberikan kepada orang yang berhak menerimanya sengan syarat-syarat tertentu.  Jika dirumuskan maka zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula. Syarat-syarat tertentu itu adalah nisab, haul dan kadarnya.

Salah satu sebab belum berfungsinya zakat sebagai instrument pemerataan dan belum terkumpulnya zakat secara optimal di lembaga-lembaga pengumpulan zakat, karena pengetahuan masyarakat terhadap harta yang wajib dikeluarkan zakatnya masih terbatas pada sumber-sumber konvensioal yang secara jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an dan hadits  dengan persyaratan tertentu. Oleh karena itu salah satu pembahsan penting dalam fikih zakat adalah menentukan sumber-sumber harta yang wajib dikeluarkan zakatnya apalagi bila dikaitkan dengan kegiatan ekonomi yang terus berkembang dari waktu kewaktu. Al-Qur’an dan hadits secara eksplisit menyebutkan beberapa jenis harta yang wajib dizakati, seperti emas, perak, hasil tanaman dan buah-buahan, barang dagang, hewan ternak dan barang temuan (rikaz). Sementara itu Ibnul Qayyim Al-Jauziah menyatakan sebagimana yang dikutip oleh Didin Hafiduddin bahwa harta zakat terbagai menjadi emapat kelompok besar. Pertama, kelompok tanaman dan buah-buahan. Kedua, kelompok hewan ternak yang terdiri dari tiga jenis, yaitu unta, sapi, dan kambing. Ketiga, kelompok emas dan perak. Keempat, kelompok harta dagangan dengan berbagai jenisnya.

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.  Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. 

Dari beberapa pengertian zakat diatas dapat disimpulkan bahwa zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi dan kemasyarakatan) yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Zakat di samping berposisi fardhu ‘ain dan shadaqah, infaq, wakaf dan yang lainnya yang berposisi sunnah, juga merupakan potensi ekonomi yang mampu atau setidak-tidaknya dapat memberikan kontribusi dalam rangka membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pertumbuhan ekonomi atau economic with equity, apabila dikelola dengan sistem yang amanah, optimal dan profesional dampaknya akan terlihat dengan jelas, bahwa kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan masyarakat miskin akan semakin berkurang.

Wakaf  berasal dari waqf  yang berarti radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertahan), al-tasbil (tertawan) dan al man’u (mencegah). Sedangkan menurut istilah wakaf  menurut al-Khatib ialah penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan penggolongan dalam penjagaannya atas pengelola yang dibolehkan adanya. Wakaf adalah menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang atau nazhir (pemelihara/ pengurus wakaf) atau kepada suatu badan pengelola dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya dipergunakan sesuai dengan ajaran Islam. Benda yang diwakafkan tidak lagi menjadi hak milik yang mewakafkan dan bukan pula milik tempat menyerahkan, tetapi menjadi milik Allah.  Wakaf artinya menahan yaitu menahan sesuatu benda yang kekal zatnya untuk diambil manfaatnya bagi kemaslahatan umum.  Sedangkan menurut Imam taqiyy al-Din Abi Bakr bin Muhammad al-Husaeni, wakaf merupakan penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya benda, dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola manfaatnya dalam kebaikan untuk mendapat ridha Allah. 


2. Dasar Hukum Zakat dan Wakaf

Zakat merupakan rukun ketiga dari lima rukun Islam dan zakat juga termasuk salah satu panji-panji Islam yang menegakkannya tidak boleh diabaikan oleh siapapun juga. Zakat telah di fardukan di Madinah pada bulan Syawal tahun kedua Hijriah setelah umat Islam diwajibkan berpuasa ramadhan. Zakat memiliki daya konstruktif sosial-ekonomis karena zakat merupakan ajaran Islam yang memiliki dua dimensi, yaitu vertikal dan horizontal. Zakat bernilai ibadah sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (vertikal) dan sebagai kewajiban kepada sesama manusia (horizontal). Dasar-dasar atau landasan kewajiban mengeluarkan zakat disebut dalam:

a. Q.S At-Taubah Ayat 103

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Artinya :

“ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. 

b. Hadits

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا -: «أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بَعَثَ مُعَاذًا إلَى الْيَمَنِ - فَذَكَرَ الْحَدِيثَ - وَفِيهِ: أَنَّ اللَّهَ قَدْ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ، فَتُرَدَّ فِي فُقَرَائِهِمْ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Ibnu Abbas RA bahwasanya Nabi SAW mengutus Muadz ke Yaman –kemudian beliau menyebutkan satu hadits yang dijelaskan di dalamnya- “Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan zakat atas harta benda mereka, yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (Muttafaq alaih)

c. Ijma’

Ijma’ yaitu adanya kesepakatan semua umat Islam di semua Negara bahwa zakat adalah wajib. Bahkan, para sahabat Nabi SAW sepakat untuk membunuh orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat dan mereka tergolong orang kafir dalam pandangan ulama’, baik salaf (tradisional) maupun khalaf (modern) telah sepakat akan kewajiban zakat dan  bagi yang mengingkarinya berarti telah kafir dari Islam. 


Berbicara mengenai wakaf secara umum tidak terdapat ayat Al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.  Oleh karena wakaf termasuk infaq fi sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain: 

“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah: 267) 


“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran : 92) 


Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 261

مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah : 261)


Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.

Sedangkan menurut hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khattab  ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi  menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya. Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”

Selain dasar dari Al-Quran dan Hadis di atas, para ulama sepakat (ijma’) menerima wakaf sebagai satu amal jariah yang disyariatkan dalam Islam. Tidak ada orang yang dapat menafikan dan menolak amalan wakaf dalam Islam karena wakaf telah menjadi amalan yang senantiasa dijalankan dan diamalkan oleh para sahabat Nabi dan kaum muslimim sejak masa awal Islam hingga sekarang. Dalam konteks negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh masyarakat muslim Indonesia sejak sebelum merdeka. Oleh karena itu pemerintah telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 41 tahun 2004.

3. Lembaga Keuangan Syariah

Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah. Sedangkan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank Syariah dan unit usaha syariah mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. 

Fungsi bank secara umum adalah sebagai intermediary (penghubung) antara pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana. Sedangkan fungsi sosial bank syariah adalah memberikan pelayanan sosial kepada masyarakat, baik berupa penerimaan dana zakat, infak dan shadaqah (ZIS) sekaligus penyaluran dana ZIS tersebut kepada pihak-pihak yang berhak untuk menerimanya dengan cara yang transparan dan bertanggungjawab. Selain sebagai penerima dan penyalur dana ZIS, bank syariah juga memberikan pelayanan sosial melalui dana qard (pinjaman kebajikan). Pinjaman kebajikan dana qard ini murni berdasarkan tujuan sosial atau tolong menolong, mekanismenya adalah bank syariah meminjamkan uang tanpa meminta imbalan dalam bentuk apapun. 

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang yang mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Sehingga lembaga perbankan merupakan intisari dari sistem keuangan dari setiap negara. Dengan kata lain, bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintah menyimpan dana-dana miliknya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan. Pada dasarnya bank melayani kebutuhan, melancarkan sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian. 

Menurut perspektif hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan Pasal 1 huruf (a) menyebutkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Sedangkan yang dimaksud dengan bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberi layanan pembiayaan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan kata lain, bank syariah merupakan bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, mengacu pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Alquran dan Hadis. Dengan merujuk pada Alquran dan Hadis, maka diharapkan praktik bank syariah mampu menghindari aktivitas yang mengandung unsur riba dan segala macam bentuk praktik perbankan yang bertentangan dengan syariat Islam.

Dalam Pasal 1 (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, menyebutkan bahwa perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah yang mencakup kelembagan, kegiatan usaha, serta tata cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Hal tersebut menegaskan bahwa segala hal mengenai perbankan syariah baik yang menyangkat kelembagaan, kegiatan usaha, maupun prosesnya dilakukan berdasakan Undang-Undang yang baru. Jelas ini mengindikasikan bahwa pada undang-undang sebelumnya yang mengatakan bahwa setiap kegiatan usaha-usaha bank berdasarkan prinsip syariah dikatakan sebagai kegiatan yang berdasarkan prinsip bagi hasil mulai ditinggalkan. Sebab hal ini dikarenakan dunia perbankan Indonesia sudah mulai mengenal dan mengakui perbankan syariah dan menerapkan dual banking system, yaitu perbankan konvensional dan perbankan syariah.

Kendati demikian, terdapat perbedaan antara bank konvensioal dan bank syariah dalam beberapa hal. Di mana bank konvensional memakai sistem bunga, sedangkan pada bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh kegiatannya. Tentunya hal ini memiliki implikasi yang sangat dalam dan sangat berpengaruh pada aspek operasional dan produk yang dikembangkan oleh bank syariah. Bank syariah lebih menekankan sistem kerja dan kemitraaan, kebersamaan utamanya kesiapan semua pihak untuk berbagi termasuk dalam hal-hal keuntungan dan kerugian. 


4. Perbankan Syariah sebagai Pengelola Zakat (Bait Al-Mal)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa bank syariah selain menjadi lembaga/perusahaan yang besifat komersial yang mana dalam hal ini menghimpun dan menyalurkan dana dengan tujuan memperoleh keuntungan, bank syariah juga bertindak sebagai lembaga sosial (bait al-mal) yang menghimpun dana seperti zakat, infak, dan sedekah untuk kemudian menyalurkannya kepada yang berhak. Dengan ketentuan penyaluran dananya yang sudah ditentukan yaitu delapan asnaf (golongan). Dengan merujuk Undang-Undang tersebut memberikan pemahaman kapada kita bahwa konstruksi hukum fungsi perbankan syariah mengalami perluasan fungsi.

Perluasan fungsi perbankan syariah termuat dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Secara historis, perluasan fungsi perbankan syariah dalam menghimpun dan menyalurkan zakat sesungguhnya dilatarbelakangi menguatnya respon masyarakat terhadap perbankan syariah dan tumbuhnya market share ekonomi pada sektor lembaga keuangan berbasis syariah. Perluasan fungsi sosial perbankan syariah dalam mengelola zakat merupakan pelaksanaan lembaga ekonomi Islam untuk mempermudah utamanya nasabah perbankan syariah dalam menunaikan ibadah zakat.

Adapun Pasal 4 ayat (2) tentunya memberikan konstruksi hukum kelembagaan pengelolaan zakat di Indonesia bertambah satu lagi, yakni melalui pengelolaan zakat berkonsep perusahaan. Namun sejak tahun 2011, kelembagaan pengelolaan zakat sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dikembalikan kepada fungsi negara sebagai pemegang mandat dalam mewujudkan keadilan sosial di bidang pengelolaan zakat. 


5. Konsep Dasar Sistem Keuangan Syariah Pada Lembaga Pengelolaan Zakat dan Wakaf

Sistem zakat adalah sebuah sistem yang mengelola hasil pengumpulan zakat, kemudian dikelola oleh Lembaga Amil menjadi lebih berguna dan lebih bermanfaat untuk mencapai tujuan dan sasaran penyaluran zakat (delapan asnaf). Hasil pengumpulan zakat adalah sumber daya finansial yang menggambarkan kejadian nyata dan kesatuan nyata di masyarakat. Kejadian nyata adalah sesuatu yang terjadi pada saat tertentu dan ada unsur waktu. Sedangkan kesatuan nyata adalah berupa obyek nyata, seperti tempat, benda (uang atau barang) dan orang yang benar- benar ada dan terjadi. 

Dalam UU RI Pasal 4 No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ditentukan bahwa: 

a. Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) wajib menjalankan fungsi menghimpun dan manyalurkan dana masyarakat.

b. Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul maal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, shadaqah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

c. Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang.

d. Pengelola wakaf (nadzir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).

e. Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peran bank syariah sebagai penghimpun dana ZIS merupakan implementasi dari fungsi sosial atau corporate social responsibility (CSR). CSR didefinisikan sebagai kepedulian terhadap dampak segala aktivitas perusahaan pada kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan Pengelolaan dana ZIS menurut undang-undang no. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat bab I pasal 1 disebutkan bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Pengelolaan zakat tidak akan berhasil tanpa ada pengaturan atau manajemen yang bagus dalam pengumpulan dan pendistribusian (pembagian zakat). 

Selain itu untuk keberhasilan pengelola zakat dalam merealisasikan tujuan-tujuan kemanusiaan dan sosial adalah dengan membagikan zakat seadil-adilnya dan menegakkan asas-asas yang benar sehingga zakat tidak jatuh pada orang-orang yang tidak berhak menerimanya. Asas-asas yang dimaksud antara lain: 

1. Pembagian setempat maksudnya adalah agar para mustahik yang berada di daerah tempat penarikan zakat hendaknya bagian mereka diutamakan lebih dahulu dari pada mustahiq dari tempat lainnya.

2. Adil dalam pembagian zakat antar para mustahik.  Maksudnya adalah bukan pembagian yang sama rata antara berbagai kelompok atau setiap orang, tetapi adalah dengan memperhatikan setiap mustahik sesuai dengan kadar keperluannya masing-masing dan kemaslahatan Islam yang tinggi. 

3. Mencermati para mustahik zakat maksudnya adalah agar zakat tidak dibagikan kepada setiap orang yang memintanya, atau setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai orang fakir miskin, atau ia mengaku sebagai gharimin (orang yang berhutang), ibnu sabil atau fisabilillah. Tetapi dalam setiap pembagian zakat harus dilakukan kecermatan terhadap orang yang berhak menerima zakat melalui orang yang dikenal sifat adilnya, mengetahui situasi dan kondisi di daerah setempat. 

Selain pengelolaan zakat dengan manajemen di atas, diperlukan juga sistem informasi yang baik, salah satunya adalah akuntansi zakat. Akuntansi zakat bertujuan untuk bagaimana mengelola dana zakat, agar tujuan semula dikumpulkannya zakat dapat tercapai dan mencapai sasarannya, dan bagaimana cara penyusunan dan penyajian laporan keuangannya sebagai pertanggungjawaban pengelola kepada pemberi zakat.

Asas pengelolaan zakat didasarkan firman Allah SWT yang terdapat dalam surah At-Taubah ayat 60. 

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ


Artinya: 

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Q.S At-Taubah: 60)


Berdasarkan ayat tersebut, dapatlah diketahui bahwasanya pengelolaan zakat bukanlah semata-mata dilakukan secara individual, dari muzakki diserahkan langsung kepada mustahik, akan tetapi dilakukan oleh sebuah lembaga khusus yang menangani zakat yang memenuhi persyaratan tertentu yang disebut dengan amil zakat. Amil zakat inilah yang memiliki tugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat, melakukan penagihan dan pengambilan, serta mendistribusikannya tepat dan benar. 

Pengelolaan zakat diatur berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Dalam Bab I pasal 3 dikemukakan bahwa pengelolaan zakat bertujuan: 

a. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan,

b. Meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.


6. Peran Perbankan Syariah dalam Regulasi Kelembagaan Pengelolaan Zakat dan Wakaf

Pada hakikatnya, tujuan dibentuknya organisasi pengelola zakatnya sebenarnya adalah untuk meningkatkan seluruh unsur dalam pengelolaan zakat. Salah satu sasaran zakat yang dapat menambah income zakat yaitu para nasabah di lembaga-lembaga keuangan. Inilah yang mendorong pemerintah turut berupaya menjaring dana zakat yang bersumber dari nasabah-nasabah lembaga keuangan seperti perbankan. Hal ini juga yang menyebabkan pemerintah pada  tahun 1999 memerintahkan agar Badan Amil Zakat (BAZ) dapat bekerjasama dengan perbankan dalam rangka menjaring meski hanya dalam zakat harta muzakki pada lingkup nasabah bank tersebut.

Secara yuridis, peran dan fungsi lembaga keuangan seperti perbankan syariah dalam sistem pengelolaan zakat tertuang dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menyebutkan bahwa bank syariah dan unit usaha syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga bait al-mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, shadaqah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Pada dasarnya fungsi utama perbankan yaitu menjalankan tugas penghimpunan dan penyaluran dana kepada pihak yang membutuhkan dana. Adapun fungsi penghimpunan dan penyaluran dana oleh bank merupakan amanah Undang-undang. Fungsi bank ini disebut fungsi intermediasi. Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Fungsi intermediasi bank juga dapat diartikan sebagai kegiatan mengalirkan dana dari nasabah yang memiliki kelebihan dana (savers/deposan) sebagai penabung ke nasabah yang memerlukan dana (borrowers) sebagai peminjam. 

Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, juga menjadi kewajiban perbankan syariah. Ketentuan tersebut di atur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bahwa perbankan syariah baik bank syariah maupun unit usaha dalam perbankan konvensional wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. 

Sebagai entitas bisnis, perbankan syariah tidak hanya melakukan kegiatan bisnis sebagaimana fungsi intermediasi, melainkan juga melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Peran dan fungsi sosial perbankan syariah yaitu menghimpun dana-dana sosial umat seperti zakat, infaq, shadaqah, hibah, dan wakaf dan menyalurkannya kepada organisasi pengelolaan zakat yang diperuntukkan sebagai tujuan pengelolaan zakat di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Melihat berbagai tantangan dalam pengelolaan keuangan termasuk harta zakat, perluasan fungsi perbankan syariah memiliki peran yang strategis dan dapat menjadi alternatif model dalam membantu menjaring dan mengelola dana zakat yang tepat guna, terpadu, modern dan lebih rapi. Cita-cita kemasyarakatan Islam oleh kalangan Islam sering disebut dengan bal datun tayyibatun wa rabbun ghafur, suatu masyarakat baik atau tempat sejahtera didunia ini dibawah naungan keampunan dan keridhaan Ilahi . Pengembangan zakat dan wakaf  bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai modal usaha, untuk pemberdayaan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha, dan mengembangkan usaha agar lebih maju dan kehidupanya lebih sejahtera sehigga terjadi perubahan status yaitu dari mustahik menjadi muzaki.


C. Penutup 

Zakat dan wakaf adalah ibadah maaliyah ijtima’iyyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi dan kemasyarakatan) yang memiliki posisi sangat penting, strategis, dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Zakat di samping berposisi fardhu ‘ain dan wakaf, infak, shadaqah dan lainnya yang berposisi sunnah, juga merupakan potensi ekonomi yang mampu atau setidak-tidaknya dapat memberikan kontribusi dalam rangka membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pertumbuhan ekonomi atau economic with equity, apabila dikelola dengan sistem yang amanah, optimal dan profesional dampaknya akan terlihat dengan jelas, bahwa kesenjangan antara kelompok masyarakat kaya dan masyarakat miskin akan semakin berkurang.

Perbankan syaraiah sebagai suatu entitas bisnis, tidak hanya melakukan kegiatan bisnis sebagaimana fungsi intermediasi, melainkan perbankan syariah turut aktif dalam melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Peran dan fungsi sosial perbankan syariah merupakan kegiatan sosial yang diharapkan dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menjadi instrumen penanggulangan kemiskinan melalui pengelolaan sumber dana seperti infak, shadaqah, hibah, wakaf dan lain-lain terutama pengelolaan dana zakat yang sangat potensial dengan pengelolaan yang lebih akuntabel dan profesinal.

Dalam rangka mengelola dan memberdayakan potensi zakat dan wakaf sebagai sebuah kekuatan ekonomi masyarakat, keberadaan institusi pengelola zakat dan wakaf sebagai lembaga publik yang ada ditengah masyarakat menjadi sangat penting. Selain institusi pengelola zakat dan wakaf, dapat juga dilakukan oleh bank syariah dengan berlandaskan pada nilai-nilai Islam yang salah satu fungsinya adalah sebagai lembaga yang memiliki fungsi sosial.


DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Pedoman Zakat (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999).

Ar Rahman, Syaikh Muhammad Abdul Malik. 1001 Masalah Dan Solusi.

Dakhoir, Ahmad. Hukum Zakat; Pengaturan dan Integrasi Kelembagaan Pengelolaan Zakat Dengan Fungsi Lembaga Perbankan, (Aswaja Pressindo (Members Of Laksbang Group) Perwakilan Jawa Timur Dan Indonesia Timur, Surabaya, 2015.

Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern Buku Kesatu, (Citra Aditya, Bandung, 2007).

Hidayat, Hikmat Kurnia, H. A. Panduan Pintar Zakat, (Jakarta: Qultum Media, 2008).

Hidayatullah, Syarif. Ensiklopedia Hukum Islam Ibadah Tanpa Khilafiah Zakat, (Jakarta: Indocamp, 2008).

Muhammad, Sahri. Mekanisme Zakat dan Permodalan Masyarakat: Pengantar untuk Rekonstruksi Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi (Malang: Bahtera Press, 2006).

Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Press, 2002).

Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994).

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat.

Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat, Diterjemahkan oleh Didin Hafiludin (ed,) et. Al., (Jakarta: Liter Antarnusa, 1987).





Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN