MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH ULOS DAN PAROPPA SADUN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatra utara.Tenunan kain menjadi lambang budaya bagi masyarakat di beberapa daerah, termasuk Tapanuli Selatan. Setidaknya ada dua kain adat yang sangat terkenal di wilayah ini, selain Ulos ada juga Parompa Sadun. Kedua kain ini berbeda namun memiliki nilai yang sama tinggi. Parompa Sadun biasanya diberikan kepada orang tua yang baru melahirkan anak pertama. Fungsinya adalah sebagai kain gendongan anak yang baru lahir tersebut. Pemberian kain Parompa Sadun sudah menjadi kegiatan adat turun temurun, terutama bagi kelahiran anak pertama, baik berkelamin laki-laki maupun perempuan.
Namun walaupun sebagai kain penggendong anak, tidak serta-merta kain tersebut selalu digunakan oleh orang tua untuk menggendong bayi. Kain yang hanya berukuran 100×200 centimeter ini dianggap terlalu pendek untuk bisa menggendong anak. Tidak heran jika kemudian Parompa Sadun.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ulos dan Paroppa Sadun
1.     Pengertian Ulos
Ulos adalah kain buatan tangan penenun perempuan-perempuan suku Batak yang berasal dari Tapanuli-Sumatera Utara. Sebagai hasil kerja keras, ketekunan, ketelitian dan keterpaduan instrumen dari perempuan-perempuan yang duduk di belakang instrumen pembuat ulos, dengan harapan hasilnya bagus dan cantik untuk mendatangkan kebaikan. Di masa lampau bagi masyarakat Batak, ulos dibuat untuk pakaian (baju) sehari-hari dan untuk maksud lain. Juga dibuat kain adat untuk tujuan kegiatan resmi masyarakat Batak dan adat Batak.Namun demikian dengan berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi sandang, penggunaan ulos sebagai baju sehari-hari tidak lazim lagi, tetapi sebagai kain adat tidak berubah. Ulos adat khusus digunakan untuk tujuan kegiatan resmi masyarakat Batak dan adat Batak. Oleh karena itu hal tersebut menjadi sesuatu yang unik yang tidak berubah Sampai sekarang[1]
Pada Ulos dari daerah Tapanuli Selatan dapat terlihat benang warna putih berarti kesucian, ketulusan dan kejujuran. Benang warna berarti kesatriaan seperti 5 keberanian, menegakkan kebenaran dan hak. Benang warna kuning berarti kaya, subur, banyak harta, makmur dan bermartabat. Benang warna hItam berarti gelap, sifat mati; untuk mengingatkan orang kepada maha kuasa bahwa hidup akan diakhiri kematian. Fungsi dan peranan ulos adalah menyatakan penghargaan atau penghormatan;sebagai pakaian resmi dan sebagai pemberian untuk upacara adat pada peristiwa kelahiran, perkawinandan kematian. Dakung mengatakan bahwa mengenai tata cara ulos pada upacara adat perkawinan Batak baik di daerah Tapanuli Selatan maupun di Tapanuli Utara adalah sama.[2]
2.     Pengertian Paroppa Sadun
Parompa Sadun adalah kain tenun tradisional sub suku Batak Angkola. Biasanya dihiasi dengan manik-manik dan rumbai di ujung kain, dan tenunan motif khas. Parompa dalam bahasa batak berarti kain panjang atau gendongan. 
            Parompa Sadun (biasanya diucapkan paroppa)   adalah kain tenun tradisonal suku Batak Angkola. Kain ini berukuran kurang lebih 100 x 200 cm, dihiasi dengan manik-manik dan rumbai di ujung kain, dan tenunan motif khas. Kain adat ini diberikan oleh orang tua seorang wanita yang baru di anugrahi anak pertama. Parompa dimaksudkan sebagai kain gendong, meskipun tidak dipakai sehari-hari, karena yang dipakai tiap hari untuk menggendong tetap kain batik panjang. Upacara pemberian kain adat ini disebut Mangalehen Parompa. 
Kain adat ini diselempangkan di bahu kedua orang tua bayi, seolah-olah dipakai untuk menggendong. Pada waktu upacara seperti acara adat Batak lainnya hadir pihak-pihak yang disebut Dalihan na Tolu, yaitu pihak dari keluarga suami (kahanggi), keluarga dari pihak istri (Mora) dan keluarga dari pihak saudara wanita suami (Anak Boru). Permberian kain ini disertai nasihat dan doa dari semua yang hadir secara bergantian agar kelak anak yang baru dilahirkan akan menjadi anak yang berguna, yang merupakan perwujudan rasa syukur  keluarga besar akan kehadiran anggota keluarga baru. Di sinipun diberikan juga nasi pangupa.
a.      Sejarah Paroppa Sadun
Pada masa nenek moyang, kehidupan masih sangat sederhana atau primitif, mereka telah memikirkan apa saja yang ada di alam ini.terutama perhatian mereka kepada yang menyangkut  kehidupan.baik kehidupan manusia itu sendiri maupun kehidupan hewan dan makhluk-makhluk lainnya yang ada di alam ini. Perhatian mereka,  dipandang dari berbagai macam segi.yang utama adalah soal keajaiban yang sangat berpengaruh, seperti daun-daunan atau tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi obat untuk menyembuhkan penyakit. Pohon-pohon sebagai tempat pelindung. Demikian pula dari berbagai jenis hewan yang tenaganya luar biasa, yang sangat sayang kepada anaknya,yang selalu membela dan tidak segan-segan mengadakan perlawanan. Maka dari sinilah diperlambangkan jiwa atau watak seorang manusia, atau kehidupan duniawi, yang di anggap luar biasa atau keistimewaan tersenidiri. Dan lambang tersebut digunakan untuk pakaian, untuk menunjukkan kesaktian atau keagungan seseorang. Terkadang kita juga masih menemukan saudara-saudara kita yang masih terbelakang atau primitive pada masa sekarang, seperti menggunakan bulu burung dikepalanya, ada yang membuat taring binatang buas sebagai kalung nya, yang menunjukkan mereka adalah orang orang yang pemberani berburu dan berperang. Pandangan dan penghayatan semasa nenek moyang dalam upacara, bagi orang yang dipandang sakti disegani, dianugerahilah penghargaan dan sanjungan,dengan menghadiahkan benda-benda untuk dipakai sebagai pertanda kesaktian bagi seseorang. Seni sederhana sudah berkembang semasa nenek moyang sebagai pengertiannya, seni ialah rasa indah, menyenangkan ,dan memenuhi kehidupan manusia.
Untuk menggambarkan kebesaran dan kesatian ini nenek moyang di daerah tapanuli selatan , mulailah menggambar atau mengukir  lambang yang bernilai ini pada kulit-kulit kayu. Semakin maju pemikiran nenek moyang kita itu, mereka mulai pandai menenun kain dari bahan kapas, kemajuan ini semakin meningkat dan terarah , maka perlambag-lambangan yang dianggap baik dan terhormat  digambarkanlah corak atau motif pada kain yang ditenun. Sehingga kain mempunyai corak ornamen atau motif yang mempunyai derajat atau nilai penghormatan yang tinggi.
Dan penggunaannya diberikan kepada seseorang yang merupakan penghargaan dan penghormatan dengan upacara adat tradisional. Kain inilah yang yang mempunyai nilai budaya yang tinggi dipandang masyarakat secara adat. Yang kemudian terkenal dengan kain adat, yang dinamakan abit Batak, atau abit Godang atau Ulos ni Tondi. Dan kain ini digunakan menurut adat.
b.     Fungsi Paroppa Sadun
Parompa sadun ialah tenunan masyarakat yang mempunyai fungsi adat di daerah Tapanuli Selatan yang terkenal dengan julukan “TONUNAN NI BORU REGAR SIPIROK”, yang terkenal sejak dahulu sampai sekarang, kain adat ini dihormati dan dihargai penggunaannya, mempunyai nilai kebesaran dan kemuliaan dalam upacara adat baik siluluton (duka cita) maupun siriaon (suka cita). Kain ini diberikan oleh pihak mora kepada anak yang baru lahir dan digunakan untuk menggendong anak. Selain itu juga dipercayai sebagai obat atau penyembuh bagi anak-anak yang sakit. Dan parompa sadun ini diperuntukkan untuk anak yang pertama lahir baik laki-laki maupun perempuan. Dewasa ini Parompa Sadun ini juga diberikan kepada seseorang yang naik pangkat sebagai penghargaan. [3]     
B.    Ucapan Pemberian Ulos Dan Paroppa Sadun
Upacara pemberian kain adat ini disebut Mangalehen Parompa.  Kain adat ini diselempangkan di bahu kedua orang tua bayi, seolah-olah dipakai untuk menggendong. Pada waktu upacara seperti acara adat Batak lainnya hadir pihak-pihak yang disebut Dalihan na Tolu, yaitu pihak dari keluarga suami (kahanggi), keluarga dari pihak istri (Mora) dan keluarga dari pihak saudara wanita suami (anak boru). Permberian kain ini disertai nasihat dan doa dari semua yang hadir secara bergantian agar kelak anak yang baru dilahirkan akan menjadi anak yang berguna, yang merupakan perwujudan rasa syukur  keluarga besar akan kehadiran anggota keluarga baru. Di sinipun diberikan juga nasi pangupaan.[4]

C.    Beberapa Pendapat Terhadap Kedudukan Ulos Dan Paroppa Sadun
      Kain adat ini biasanya diberikan oleh orangtua kepada seorang wanita yang baru saja dianugrahi anak pertama. Sedangkan upacara pemberian kain adat ini, disebut Mangalehen Parompa (menyerahkan kain panjang-red), "Parompa itu di pakai atau digunakan hanya di acara adat istiadat angkola, seperti acara bersanji untuk bayi yang baru lahir atau acara pernikahan, bukan kain gendong sehari-hari" kata Arin Batubara (50), warga Sayaur Matinggi Tapsel kepada Okezone, belum lama ini.
      Kain adat ini diselempangkan di bahu kedua orangtua bayi, seolah-olah dipakai untuk menggendong. Pada waktu upacara seperti acara adat Batak lainnya, hadir pihak-pihak yang disebut Dalihan na Tolu, yaitu pihak dari keluarga suami (kahanggi), keluarga dari pihak istri (Mora) dan keluarga dari pihak saudara wanita atau suami dari saudara wanita (anak boru).
      Pemberian kain ini disertai nasihat dan doa dari semua yang hadir secara bergantian. Hal ini bertujuan agar kelak anak yang baru dilahirkan, akan menjadi anak yang berguna, yang merupakan perwujudan rasa syukur keluarga besar akan kehadiran anggota keluarga baru. [5]

D.    Pandangan Islam Terhadap Kedudukan Ulos Dan Paroppa Sadun     
Sejak awal perkembangan, islam di Indonesia telah menerima akumodasi budaya. Karena islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang kehidupan dibandingkan agama-agama lain. Islam dan kebudayaan memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Ajaran islam memberikan aturan-aturan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Adat istiadat dan tradisi yang dapat memberikan kebaikan terhadap umat manusia, jadi budaya itu boleh-boleh saja asalkan tidak melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ulos Batak adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang, yang melambangkan ikatan kasih sayang antara anak dan orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain. Parompa Sadun biasanya diucapkan paroppa adalah kain tenun tradisional. Kain adat ini diberikan oleh orang tua seorang wanita yang baru di anugerahi anak pertama, baik bayi lelaki atau perempuan,
Makna Dari Pemberian Ulos Batak Dan Parompa Sadun, terkandung makna yang sangat berarti dalam kehidupan berbudaya. Yaitu mempunyai makna agar dalam pemberian Ulos Batak dan parompa Sadun ini, agar sehat jiwa dan raga. Dan juga memberikan kehangatan dan juga berkat. Dalam ulos ini juga berfungsi memberi panas yang memyehatkan badan dan menyenangkan pikiran sehingga kita gembira di buatnya.



DAFTAR PUSTAKA

Daniel T. A. Harahap, “Ulos -diskusi Iman dan Budaya” (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm 6.
Sugiarto Dakung, Ulos (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Media Kebudayaan Jakarta, 1981/1982).
http://ameliahsibuan6.blogspot.com/ diakses  pada 07 April 2019 pukul 19:53 WIB
https://mondasiregar.wordpress.com/2009/10/11/parompa-sadun/ diakses pada 07 April 2019 pukul 20:35 WIB



[1] Daniel T. A. Harahap, “Ulos -diskusi Iman dan Budaya” (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm 6.
[2] Sugiarto Dakung, Ulos (Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Media Kebudayaan Jakarta, 1981/1982).





[3] http://ameliahsibuan6.blogspot.com/ diakses  pada 07 April 2019 pukul 19:53 WIB
[4]https://mondasiregar.wordpress.com/2009/10/11/parompa-sadun/ diakses pada 07 April 2019 pukul 20:35 WIB

<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN