BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
‘Urf merupakan tradisi yang
berkembang dalam masyarakat, yang mempunyai arti saling pengertian satu sama
lainnya, walaupun ‘urf adalah tradisi, atau adat dalam satu lingkungan
di masyarakat ‘urf juga menjadi suatu sumber hukum yang diambil oleh
Mashab Hanafy dan Mashab Maliky yang berada di luar lingkup Nash, ‘Urf
dijadikan sebagai sumber hukum sesuai dengan intisari dari sabda Rasulullah SAW
yang artinya:
“Apabila di pandang baik oleh
kaum muslimin, maka menurut Allah pun, digolongkan sebagai perkara yang baik”.
Hadish diatas ditinjau baik dari
segi ibarat atau tujuannya, menunjukkan bahwa setiap perkara yang telah
mentradisi dikalangan kaum muslimin dan dipandang sebagi perkara yang baik,
maka perkara tersebut, dipandang baik pula oleh Allah SWT. Imam Hanafy dan
Maliky mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf yang
sahih bukan yang Fasid, sama yang ditetapkan berdasarkan dalil Syar’i jadi ‘Urf bisa jadi sederajat dengan nash sekiranya
tidak ada hukum dalam nash dari Al-Qu’ran dan As-sunnah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian
‘Urf
2.
Macam-macam
‘Urf
3.
Kehujjahan
‘Urf
4.
Pendapat
Ulama tentang ‘Urf
5.
Contoh
‘Urf dalam Lembaga Keuangan
C.
Tujuan
1.
Untuk
Mengetahui Pengertian ‘Urf
2.
Untuk
Mengetahui Macam-macam ‘Urf
3.
Untuk
Mengetahui Kehujjahan ‘Urf
4.
Untuk
Mengetahui Pendapat Para Ulama Tentang ‘Urf
5.
Untuk
Mengetahui contoh ‘Urf dalam Lembaga Keuangan
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering
diartikan dengan “al-ma’ruf”dengan arti: “sesuatu yang dikenal”.
Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh orang
lain”. kata ‘Urf juga terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “ma’ruf”
yang artinya kebajikan (berbuat baik), seperti dalam surah al-A’raf(7):199:
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ ó
Artinya: “Jadilah
Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf”.
Kata
‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat”.
Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘Urf
berarti:
“Sesuatu
yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyau dengan kehidupan mereka dengan baik berupa perbuatan atau perkataan”.
Istilah
‘Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-adat
(adat istiadat). Contoh ‘Urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu
masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti
garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga
tanpa mengucapkan ijab dan kabul (qabul). Contoh yang berupa perkataan,
seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-laham
(daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan
pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada
ketegasan hukumnya dalam Al-Qu’ran dan Sunnah.
Kata
‘Urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulangkalinya suatu
perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak. Dalam kajian ushul fiqih,’Urf adalah
suatau kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka
sehingga mereka mersa tentram. Kebiasaan yang berlangsung lama itu dapat berupa
ucapan dan perbuatan baik bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Dalam
konteks ini, istilah ‘Urf sama dan semakna dengan istilah al-adat
(adat istiadat).
B.
Kehujjahan ‘Urf
Apabila kita perhatikan penggunaan ‘Urf ini, bukanlah dalil
yang berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-maslahah al- mursalah,
bedanya kemaslahatan dalam ‘Urf ini telah berlaku sejak lama sampai
sekarang, sedangkan dalam al-maslahah al-mursalah kemaslahatan itu bisa terjadi
pada hal-hal belum berlaku, bahkan pada hal-hal yang akan diberlakukan.
Pada umumnya, ‘Urf
ditunjukkan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan
hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti ‘Urf
tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syariat islam.
Mengenal kehujjahan ‘Urf menurut pendapat kalangan ulama ushul fiqih,
diantaranya:
Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa bahwa ‘Urf
adalah hujjah untuk menetapkan hukum islam. Alasan mereka adalah berdasarkan
firman Allah dalam surah al-A’raf ayat 199:
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚÌôãr&ur Ç`tã úüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ
Artinya:“Jadilah
engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
Dalam ayat diatas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk
mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai dengan
nilai-nilai keislaman. Berdasarkan ayat ini Allah mengambil ‘urf dan adt
sebagai salah satu untuk dijadikan sumber hukum manakala ‘urf sememangnya
adalah suatu perkara yang dan boleh dijadikan sumber hukum.
Maka dapat dikatakan bahwasanya sesuatu yang sudah lumrah dilakukan
manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh
syariat islam meskipun tudak ada dalil yang menyatakannya baik dalam Al-Qur’an
atau sunnah.
Golongan Syafi’iah dan Hambaliyah, keduanya tidak menganggap ‘urf
sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan imam Syafi’i tidak mengakui
adanya istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam
istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.
Maka dengan hal itu, secara otomatis golongan ulama Syafi’i juga menolak
menggunakan ‘Urf sebagai sumber hukum islam. Penolakannya tercermin dari
sebagai perkataannya sebagai berikut:
“Barang siapa yang menggunakan ihtisan maka sesungguhnya ia telah
membuat hukum”.
Bahkan dalam kitab ‘Risalah’nya beliau menyatakan dengan tegas
sebagai berikut, yang artinya:
“Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu
hukum tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan
apa yang dianggap baik (istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan
istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani ketentuan yang
telah digariskan sebelumnya”.
Berkaitan dengan penolakannya terhadap istihsan ini, beliau
mengemukakan beberapa dalil (argumen) sebagai dasar dari penolakannya,
sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah dan al-Umam. Ia mengemukakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan
hadish diantarnya:
Surah al-Maidah ayat 3 yang berbunyi:
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYÏ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYÏ
Artinya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”.
Surah an-Nahl ayat 89 yang berbunyi:
$uZø9¨tRur øn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat”.
Ulama
Hanafiyah dan Malikiyah juga berhujjah dengan hadis Nabi:
“Sesuatu
yaag dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula menurut
Allah”
Hal ini menunjukkan bahwa segala kebiasaan yang dianggap baik oleh
umat islam adalah baik menurut Allah karena apabila tidak melaksanakan
kebiasaan tadi, maka akan menimbulkan kesulitan.
Berdasarkan
dalil-dalil tersebut maka Imam Syafi’i menolak adanya sumber ‘Urf,
karena beliau menganggap bahwa ‘Urf merupakan penetapan suatu hukum yang
tidak berdasasarkan dalil yang sudah ditetapkan yakni: Al-Qu’ran, Hadish, Ijma’
dan Qiyas. Mazhab Zahidiah dan Syiah juga tidak menerima ‘Urf sebagai
sumber hukum. Golongan ini menolak kehujjahan ‘Urf karena ia bercanggah
dengan nash-nash syarak. Contohnya seperti amalan riba yang berlaku dalam adat
masyarakat jahiliyyah terus diharamkan oleh syara’.
C.
Macam-macam ‘Urf
1.
Ditinjau
dari segi materi yang biasa dilakukan ‘Urf dibagi menjadi dua yaitu:
a.
‘Urf
qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam
penggunaan kata-kata atau ucapan. Contoh: lapaz daging di pahami di Padang
hanya daging sapi. Padahal kata-kata daging mencakup semua daging yang ada.
Bila seseorang mendatangi penjual daging, dan berkata “saya beli daging 1 kg”. Sedangkan penjual
daging memiliki jualan daging-daging lain seperti ayam, ikan dan bebek.
b.
‘Urf
fi’li yaitu perbuatan yang berlaku dalam
perbuatan. Contoh: kebiasaan pemilik toko mengantarkan barang belian yang
berat/besar kerumah pembeli seperti lemari, kursi dan peralatan rumah tangga
yang berat lainnya tanpa dibebani biaya tambahan.
2.
Dari
segi ruang lingkup penggunaannya, ‘Urf terbagi kepada:
a.
‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir
diseluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contoh:
kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan bank syariah ini berlaku
di seluruh Indonesia, bahkan dunia.
b.
‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat
tertentu atau pada waktu tertentu tidak berlaku di semua tempat dan disembarang
waktu. Contoh: kebiasaan pembeli dapat mengembalikan barang yang cacat kepada
penjual tertentu, (tetapi tidak berlaku di supermarket).
3.
Dari
segi penilaian baik dan buruk, ‘Urf dibagi menjadi :
a.
‘Urf
shahih, yaitu adat yang berulang-ulang
dilakukan, diterima orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan
santun, dan budaya yang luhur. Contoh: Acara halal bil halal (silaturrahmi)
saat hari raya, adanya garansi dalam
pembeliaan barang elektronik, dan kebiasaan menabung di Bank syariah.
b.
‘Urf
fasid, yaitu kebiasaan yang berlaku di
suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama,
undang undang negara dan sopan santun. Contoh: Menyuap untuk lulus PTN /TNI/POLRI
meraih jabatan dan segala pekerjaan. Dan memberi hadiah kepada pejabat.
D.
Pendapat Ulama tentang ‘Urf
Secara umum ‘Urf diamalkan oleh semua
ulama fiqh terutama dikalangan ulama mashab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Madshab
hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa hukum yang ditetapakan berdasarkan Ur‘f
yang shahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat), sama dengan yang ditetapkan
berdasarkan dalil syari’iy.
Secara lebih singkat, pensyarah kitab “al-asyabah wa an-Nazair” mengatakan:
Artinya:
“Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf sama dengan diktum hukum yang
ditetapkan berdasarkan syari’iy”.
Imam
as-Sarkhasi dalam kitab “al-Mabssudh” berkata:
Artinya:
“Apa yang ditetapkan berdasarkan Urf statusnya seperti yang ditetapkan
berdasarkan nash”.
Ulama Hanafiyah
menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan
itu adalah istihsan al-Urf (istihsan yang menyandar pada ‘Urf.
Oleh ulama Hanafiyah, ‘Urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan
juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti: ‘mentakhsis umum nash.
Ulama Malikiyah
menjadikan ‘Urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai
dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadish ahad.
Ulama Syafi’iyah
banyak menggunakan ‘Urf dalam hal-hal jika tidak menemukan ketentuan
batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan
kaidah sebagai berikut:
“Setiap
yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam
syara’maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah pada ‘Urf”.
Dalam
menanggapi adanya penggunaan ‘Urf dalam fiqih, al-suyuthi mengulasnya
dengan mengembalikannya kepada kaidah:
‘Adat (‘Urf)
itu menjadi pertimbangan hukum
Alasan para
ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap ‘Urf tersebut
adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan imam Ahmad
dalam musnadnya, yaitu:
“Apa-apa
yang dilihat oleh umat islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di
sisi Allah adalah baik”.
Disamping itu
adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti: orang
banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan ‘Urf tersebut.
Bahkan ulama menempatkannya sebagai “syarat yang diisyaratkan”.
“Sesuatu
yang berlaku secara ‘Urf adalah seperti suatu yang telah diisyaratkan”.
Bila hukum
telah ditetapkan berdasarkan kepada ‘Urf, maka kekuatannya menyamai
hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
E.
Contoh Penerapan ‘Urf dalam Lembaga Keuangan Syariah
Di samping
memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum, urf jug memiliki kedudukan
penting dalam penerapan suatu hukum. Penerapan hukum dalam ekonomi islam di
antarnya adalah jual beli salam (pesanan). Jual beli salam merupakan jual beli
berupa pemesanan barang dimana pembeli memberikan uang terlebih dahulu dan barang
diserahkan kemudian. Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah beliau menyaksikan penduduknya melakukan jual
beli dengan sistem salam. Melihat hal tersebut beliau tidak melarangnya, namun
hanya berpesan “barang siapa yang memesan sesuatu (jual beli salam), maka
hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua
belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak),
dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak). Melihat
kejadian ini, maka jual beli dalam bentuk salam ini telah menjadi ‘Urf yang
umum berlaku dimana saja.
Banyak contoh kebiasaan masyarakat yang
seharusnya tidak dilakukan karena bertentangan dengan kaidah islam. Salah satu
contoh yang akan diangkat dalam permasalahan ini adalah kebiasaan masyarakat
kaya di pedesaan yang menyimpan uang dalam jumlah besar dirumahnya tanpa
memutar aliran distribusi uang tersebut. Masyarakat primitif masih beranggapan
bahwa siapa yang memiliki uang yang banyak, dia lah yang paling kaya. Untuk itu
mereka menyimpan uang sebanyak mungkin untuk mendapatkan gelar hartawan
tersebut. Kebiasaan ini berpengaruh sangat tidak baik terhadap perputaran uang
dan kondisi pasar yang pada akhirnya akan berakibat pada perekonomian masyarakat
setempat bahkan pada negara. Menyimpan
uang akan mengakibatkan kurangnya uang yang beredar dan akan memunculkan
inflasi di wilayah tesebut. Maka seharusnya kebiasaan tersebut harus ditinjak lanjuti dengan mengajak
masyarakat untuk menyimpan uang di bank atau lembaga keuangan lainnya agar uang
tersebut dapat beredar secara normal dan menghilangkan kemungkinan terjadinya
inflasi.
Dan contoh yang kedua adalah pada transaksi
jual beli, penjual menawarkan barangnya kepada pembeli hingga melebihi harga
jual sebenarnya, hal ini bertujuan agar pembeli menawar barang tersebut hingga
pada harga yang telah di rencanakan penjual sebelumnya. Kebiasaan ini telah
membudaya pada penjual dimanapun. Tanpa mereka sadari, mereka telah melakukan penipuan
terhadap pembeli. Seharusnya penjual jujur dalam penetan harga suatu barang
berdasarkan harga pokok, biaya tambahan barang dan keuntungan yang ingin di
peroleh, sehingga diantara keduanya tidak ada yang dirugikan.
Contoh praktek ‘Urf
dalam masing-masing mashab:
1.
Fiqih
Hanafi
a.
Bolehnya
jual beli buah yang masih di pohon karena ‘Urf.
b.
Bolehnya
mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada
kebiasaan bahwa lahan pertanian di garap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa
meminta bagian.
2.
Fiqih
Maliki
a.
Bolehnya
jual beli barang dengan menunjukkan sampel.
b.
Pembagian
nisbah antara mudharib dan shahibul maal berdasarkan ‘Urf jika
terkadi perselisihan.
3.
Fiqih
Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib
potong tangan.
b. Akad sewa atas alat transportasi.
c. Akad istishna.
4.
Fiqih
Hambali
a. Jual beli mu’thah.
Banyak kebiasaan –kebiasaan dalam masyarakat
yang telah menjadi budaya bahkan menjadi hukum bagi mereka. Namun terkadang
kebiasaan yang tidak baik dan bertentangan dengan syara’. Sekarang tergantung
pribadi kita untuk memilih mengikuti adat yang baik dan memiliki maslahat bagi
masyarakat, atau menjalankan semua kebiasaan yang telah mendarah daging dalam
masyarakat tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya kebiasaan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Satria
Efendi, Ushul Fiqih, Jakarta, Prenada Media, 2005.
Chaerul
Umam dkk, Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia,
2010.
Muhammad Abu Zahrah,
Ushul Fiqih, Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 1994.
Komentar
Posting Komentar