MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH ‘URF DAN PENERAPANNYA DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH


                                                            BAB I
    PENDAHULUAN 

                                               
A.    Latar Belakang Masalah
Urf merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat, yang mempunyai arti saling pengertian satu sama lainnya, walaupun ‘urf adalah tradisi, atau adat dalam satu lingkungan di masyarakat ‘urf juga menjadi suatu sumber hukum yang diambil oleh Mashab Hanafy dan Mashab Maliky yang berada di luar lingkup Nash, ‘Urf dijadikan sebagai sumber hukum sesuai dengan intisari dari sabda Rasulullah SAW yang artinya:
Apabila di pandang baik oleh kaum muslimin, maka menurut Allah pun, digolongkan sebagai perkara yang baik”.
Hadish diatas ditinjau baik dari segi ibarat atau tujuannya, menunjukkan bahwa setiap perkara yang telah mentradisi dikalangan kaum muslimin dan dipandang sebagi perkara yang baik, maka perkara tersebut, dipandang baik pula oleh Allah SWT. Imam Hanafy dan Maliky mengatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf yang sahih bukan yang Fasid, sama yang ditetapkan berdasarkan dalil Syar’i jadi ‘Urf  bisa jadi sederajat dengan nash sekiranya tidak ada hukum dalam nash dari Al-Qu’ran dan As-sunnah.

B.    Rumusan Masalah
1.     Pengertian ‘Urf
2.     Macam-macam ‘Urf
3.     Kehujjahan ‘Urf
4.     Pendapat Ulama tentang ‘Urf
5.     Contoh ‘Urf dalam Lembaga Keuangan

C.    Tujuan
1.     Untuk Mengetahui Pengertian ‘Urf
2.     Untuk Mengetahui Macam-macam ‘Urf
3.     Untuk Mengetahui Kehujjahan ‘Urf
4.     Untuk Mengetahui Pendapat Para Ulama Tentang ‘Urf
5.     Untuk Mengetahui contoh ‘Urf dalam Lembaga Keuangan





                                                            BAB II
      PEMBAHASAN

A.    Pengertian ‘Urf
     Kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-ma’ruf”dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh orang lain”. kata ‘Urf juga terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti “ma’ruf” yang artinya kebajikan (berbuat baik), seperti dalam surah al-A’raf(7):199:[1]
Éè{                              uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ ó
Artinya: Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf”.


    Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”.[2] Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan, istilah ‘Urf berarti:
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyau dengan kehidupan mereka dengan baik berupa perbuatan atau perkataan”.
Istilah ‘Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-adat (adat istiadat). Contoh ‘Urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan kabul (qabul). Contoh yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-laham (daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qu’ran dan Sunnah.
Kata ‘Urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulangkalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Dalam kajian ushul fiqih,’Urf adalah suatau kebiasaan masyarakat yang sangat dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka mersa tentram. Kebiasaan yang berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan baik bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Dalam konteks ini, istilah ‘Urf sama dan semakna dengan istilah al-adat (adat istiadat).
B.    Kehujjahan ‘Urf
Apabila kita perhatikan penggunaan ‘Urf ini, bukanlah dalil yang berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-maslahah al- mursalah, bedanya kemaslahatan dalam ‘Urf ini telah berlaku sejak lama sampai sekarang, sedangkan dalam al-maslahah al-mursalah kemaslahatan itu bisa terjadi pada hal-hal belum berlaku, bahkan pada hal-hal yang akan diberlakukan.
 Pada umumnya, ‘Urf ditunjukkan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti ‘Urf tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya sumber syariat islam. Mengenal kehujjahan ‘Urf menurut pendapat kalangan ulama ushul fiqih, diantaranya:[3]
Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa bahwa ‘Urf adalah hujjah untuk menetapkan hukum islam. Alasan mereka adalah berdasarkan firman Allah dalam surah al-A’raf ayat 199:
Éè{ uqøÿyèø9$# óßDù&ur Å$óãèø9$$Î/ óÚ̍ôãr&ur Ç`tã šúüÎ=Îg»pgø:$# ÇÊÒÒÈ  
Artinya:“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.

Dalam ayat diatas Allah SWT memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Berdasarkan ayat ini Allah mengambil ‘urf dan adt sebagai salah satu untuk dijadikan sumber hukum manakala ‘urf sememangnya adalah suatu perkara yang dan boleh dijadikan sumber hukum.
Maka dapat dikatakan bahwasanya sesuatu yang sudah lumrah dilakukan manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh syariat islam meskipun tudak ada dalil yang menyatakannya baik dalam Al-Qur’an atau sunnah.
Golongan Syafi’iah dan Hambaliyah, keduanya tidak menganggap ‘urf sebagai hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan imam Syafi’i tidak mengakui adanya istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil.[4] Maka dengan hal itu, secara otomatis golongan ulama Syafi’i juga menolak menggunakan ‘Urf sebagai sumber hukum islam. Penolakannya tercermin dari sebagai perkataannya sebagai berikut:
“Barang siapa yang menggunakan ihtisan maka sesungguhnya ia telah membuat hukum”.
Bahkan dalam kitab ‘Risalah’nya beliau menyatakan dengan tegas sebagai berikut, yang artinya:
“Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukum tanpa alasan (dalil) dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik (istihsan). Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya”.
Berkaitan dengan penolakannya terhadap istihsan ini, beliau mengemukakan beberapa dalil (argumen) sebagai dasar dari penolakannya, sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah dan al-Umam. Ia  mengemukakan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadish diantarnya:
Surah al-Maidah ayat 3 yang berbunyi:
                                                            
tPöquø9$#           àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ   
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu”.

Surah an-Nahl ayat 89 yang berbunyi:
                                                                                                            
 $uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat”.

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah juga berhujjah dengan hadis Nabi:
“Sesuatu yaag dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula menurut Allah”

Hal ini menunjukkan bahwa segala kebiasaan yang dianggap baik oleh umat islam adalah baik menurut Allah karena apabila tidak melaksanakan kebiasaan tadi, maka akan menimbulkan kesulitan.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut maka Imam Syafi’i menolak adanya sumber ‘Urf, karena beliau menganggap bahwa ‘Urf merupakan penetapan suatu hukum yang tidak berdasasarkan dalil yang sudah ditetapkan yakni: Al-Qu’ran, Hadish, Ijma’ dan Qiyas. Mazhab Zahidiah dan Syiah juga tidak menerima ‘Urf sebagai sumber hukum. Golongan ini menolak kehujjahan ‘Urf karena ia bercanggah dengan nash-nash syarak. Contohnya seperti amalan riba yang berlaku dalam adat masyarakat jahiliyyah terus diharamkan oleh syara’.
C.    Macam-macam ‘Urf
1.     Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan ‘Urf dibagi menjadi dua yaitu:
a.      ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan. Contoh: lapaz daging di pahami di Padang hanya daging sapi. Padahal kata-kata daging mencakup semua daging yang ada. Bila seseorang mendatangi penjual daging, dan berkata  “saya beli daging 1 kg”. Sedangkan penjual daging memiliki jualan daging-daging lain seperti ayam, ikan dan bebek.             
b.     ‘Urf fi’li yaitu perbuatan yang berlaku dalam perbuatan. Contoh: kebiasaan pemilik toko mengantarkan barang belian yang berat/besar kerumah pembeli seperti lemari, kursi dan peralatan rumah tangga yang berat lainnya tanpa dibebani biaya tambahan.
2.     Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘Urf  terbagi kepada:
a.      ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana, hampir diseluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan agama. Contoh: kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan bank syariah ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan dunia.
b.     ‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat tertentu atau pada waktu tertentu tidak berlaku di semua tempat dan disembarang waktu. Contoh: kebiasaan pembeli dapat mengembalikan barang yang cacat kepada penjual tertentu, (tetapi tidak berlaku di supermarket).
3.     Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘Urf dibagi menjadi :
a.      ‘Urf shahih, yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang luhur. Contoh: Acara halal bil halal (silaturrahmi) saat hari raya,  adanya garansi dalam pembeliaan barang elektronik, dan kebiasaan menabung di Bank syariah.
b.     ‘Urf fasid, yaitu kebiasaan yang berlaku di suatu tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang undang negara dan sopan santun. Contoh: Menyuap untuk lulus PTN /TNI/POLRI meraih jabatan dan segala pekerjaan. Dan memberi hadiah kepada pejabat.
D.    Pendapat Ulama tentang ‘Urf
   Secara umum ‘Urf diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan ulama mashab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Madshab hanafiyah dan Malikiyah mengatakan bahwa hukum yang ditetapakan berdasarkan Ur‘f yang shahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat), sama dengan yang ditetapkan berdasarkan dalil syari’iy.[5] Secara lebih singkat, pensyarah kitab “al-asyabah wa an-Nazair” mengatakan:
Artinya: “Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf sama dengan diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan syari’iy”.

Imam as-Sarkhasi dalam kitab “al-Mabssudh” berkata:
Artinya: “Apa yang ditetapkan berdasarkan Urf statusnya seperti yang ditetapkan berdasarkan nash”.

Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah istihsan al-Urf (istihsan yang menyandar pada ‘Urf. Oleh ulama Hanafiyah, ‘Urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti: ‘mentakhsis umum nash.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘Urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadish ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘Urf dalam hal-hal jika tidak menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut:
“Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada ukurannya dalam syara’maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah pada ‘Urf”.
Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘Urf dalam fiqih, al-suyuthi mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah:
‘Adat (‘Urf) itu menjadi pertimbangan hukum
Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap ‘Urf tersebut adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan imam Ahmad dalam musnadnya, yaitu:
“Apa-apa yang dilihat oleh umat islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di sisi Allah adalah baik”.
Disamping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak), dalam arti: orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak menggunakan ‘Urf tersebut. Bahkan ulama menempatkannya sebagai “syarat yang diisyaratkan”.
“Sesuatu yang berlaku secara ‘Urf adalah seperti suatu yang telah diisyaratkan”.
Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada ‘Urf, maka kekuatannya menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
E.    Contoh Penerapan ‘Urf dalam Lembaga Keuangan Syariah
Di samping memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum, urf jug memiliki kedudukan penting dalam penerapan suatu hukum. Penerapan hukum dalam ekonomi islam di antarnya adalah jual beli salam (pesanan). Jual beli salam merupakan jual beli berupa pemesanan barang dimana pembeli memberikan uang terlebih dahulu dan barang diserahkan kemudian. Ketika Nabi Muhammad SAW tiba di Madinah  beliau menyaksikan penduduknya melakukan jual beli dengan sistem salam. Melihat hal tersebut beliau tidak melarangnya, namun hanya berpesan “barang siapa yang memesan sesuatu (jual beli salam), maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak). Melihat kejadian ini, maka jual beli dalam bentuk salam ini telah menjadi ‘Urf yang umum berlaku dimana saja.[6]
  Banyak contoh kebiasaan masyarakat yang seharusnya tidak dilakukan karena bertentangan dengan kaidah islam. Salah satu contoh yang akan diangkat dalam permasalahan ini adalah kebiasaan masyarakat kaya di pedesaan yang menyimpan uang dalam jumlah besar dirumahnya tanpa memutar aliran distribusi uang tersebut. Masyarakat primitif masih beranggapan bahwa siapa yang memiliki uang yang banyak, dia lah yang paling kaya. Untuk itu mereka menyimpan uang sebanyak mungkin untuk mendapatkan gelar hartawan tersebut. Kebiasaan ini berpengaruh sangat tidak baik terhadap perputaran uang dan kondisi pasar yang pada akhirnya akan berakibat pada perekonomian masyarakat setempat bahkan pada negara.           Menyimpan uang akan mengakibatkan kurangnya uang yang beredar dan akan memunculkan inflasi di wilayah tesebut. Maka seharusnya kebiasaan tersebut  harus ditinjak lanjuti dengan mengajak masyarakat untuk menyimpan uang di bank atau lembaga keuangan lainnya agar uang tersebut dapat beredar secara normal dan menghilangkan kemungkinan terjadinya inflasi.
  Dan contoh yang kedua adalah pada transaksi jual beli, penjual menawarkan barangnya kepada pembeli hingga melebihi harga jual sebenarnya, hal ini bertujuan agar pembeli menawar barang tersebut hingga pada harga yang telah di rencanakan penjual sebelumnya. Kebiasaan ini telah membudaya pada penjual dimanapun. Tanpa mereka sadari, mereka telah melakukan penipuan terhadap pembeli. Seharusnya penjual jujur dalam penetan harga suatu barang berdasarkan harga pokok, biaya tambahan barang dan keuntungan yang ingin di peroleh, sehingga diantara keduanya tidak ada yang dirugikan.
Contoh praktek ‘Urf dalam masing-masing mashab:
1.     Fiqih Hanafi
a.      Bolehnya jual beli buah yang masih di pohon karena ‘Urf.
b.     Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah tersebut ada kebiasaan bahwa lahan pertanian di garap oleh orang lain, maka pemiliknya bisa meminta bagian.
2.     Fiqih Maliki
a.      Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sampel.
b.     Pembagian nisbah antara mudharib dan shahibul maal berdasarkan ‘Urf jika terkadi perselisihan.
3.     Fiqih Syafi’i
a.      Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong tangan.
b.     Akad sewa atas alat transportasi.
c.      Akad istishna.
4.     Fiqih Hambali
a.      Jual beli mu’thah.
  Banyak kebiasaan –kebiasaan dalam masyarakat yang telah menjadi budaya bahkan menjadi hukum bagi mereka. Namun terkadang kebiasaan yang tidak baik dan bertentangan dengan syara’. Sekarang tergantung pribadi kita untuk memilih mengikuti adat yang baik dan memiliki maslahat bagi masyarakat, atau menjalankan semua kebiasaan yang telah mendarah daging dalam masyarakat tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya kebiasaan tersebut.





                                         DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
Satria Efendi, Ushul Fiqih, Jakarta, Prenada Media, 2005.
Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Muhammad  Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 1994.






[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 363.
[2] Satria Efendi, Ushul Fiqih,( Jakarta, Prenada Media, 2005), hlm. 153.
[3] Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 2000), hlm. 166.
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 112.
[5] Muhammad  Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pejaten Barat: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 417.
[6] Amir Syarifuddin, Op. Cit., hlm. 373-374.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL