A.
Latar
Belakang
Dalam menafsiri berbagai syari’at
Islam, kebanyakan kaum muslim sendiri lebih menekankan syari’at tersebut hanya
terbatas pada sesuatu yang bersifat spritual saja tanpa memperhatikan adanya
bentuk syariat yang mengedepankan bentuk hubungan sosial yang baik dalam
masyarakat. Bahwa kewajiban terwujudnya hubungan sosial yang baik tersebut
tidak boleh ditinggalkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat baik sesama
muslim maupun nonmuslim, salah satunya yaitu adanya konsep musyawarah.
Konsep musyawarah merupakan salah
satu pesan syari’at yang sangat ditekankan di dalam al-Qur’an keberadaannya
dalam berbagai bentuk pola kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah kecil
yakni rumah tangga yang terdiri anggota kecil keluarga, dan dalam bentuk rumah
besar yakni sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat , konsep
Musyawarah merupakan suatu landasan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban dalam
kehidupan manusia, di mana antara pemimpin dan rakyat memilki hak yang
sama membuat aturan yang mengikat dalam lingkup kehidupan bermasyarakat.
Dalam tulisan ini akan membahas
pentingnya konsep musyawarah yang sangat di tekankan dalam al-Qur’an bahwa
konsep Musyawarah tersebut merupakan tradisi umat muslim pada masa nabi yang
harus terus dilestarikan dalam tatanan kehidupan sekaligus merupakan perintah
Allah yang disampaikan kepada nabi sebagai salah satu landasan syari’ah yang
harus tetap ditegakan. terutama dalam kehidpan moderen saat ini.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Musayawarah
pendapat
yang baik, di sertai dengan menaggapi dengan baik pula pendapat tersebut.
Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalahشور yang berarti menampakan sesuatu atau
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang
semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain. Sedangkan secara istilah Syura berasal
dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau
mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi
isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir (
minta pendapat) musyawarah dan mustasyir ( minta pendapat
orang lain). jadi Syura adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan
Pengertian
ini terdapat pada tiga tempat dalam al-Qur’an yakni dalam surat al-Baqarah (2)
ayat 233, dalam surat Asy-Syura (26) ayat 38, ayat ini mengandung pujian
atas orang yang menerima seruan Allah SWT yang dibawa nabi Muhammad SAW,
mendirikan shalat dengan baik, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan
menafkahkan sebagian rizki yang mereka proleh. Bermusyawarah merupkan sifat
terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi
Allah SWT, karena hal itu bernilai ibadah. ketiga yaitu surat Ali-‘Imraan (3)
ayat 159, ayat ini merupkan perintah bagi nabi SAW, untuk melaksanakan
musyawarah, bermusayawarah merupakan ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat
terpuji orang yang melaksanakannya.
B. Ayat-ayat
Musyawarah dan Terjemah
1. Surat
al-Baqoroh ayat 233
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ
بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ
فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ .
فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ
أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ
وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٢٣٣﴾
Artinya :Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan
warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
2.
Surat Ali-’Imraan ayat 159
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ
لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ ﴿١٥٩﴾
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.
3.Surat Asy Syuura ayat 38
.وَالَّذِينَاسْتَجَابُوالِرَبِّهِمْوَأَقَامُواالصَّلَاةَوَأَمْرُهُمْشُورَىٰبَيْنَهُمْوَمِمَّارَزَقْنَاهُمْيُنْفِقُونَ
Artinya
dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
4.Surat As Saaffaat
ayat 103
فَلَمَّاأَسْلَمَاوَتَلَّهُلِلْجَبِينِ
Tatkala
keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
5.Surat
An Naml 27
۞قَالَسَنَنْظُرُاَصَدَقْتَاَمْكُنْتَمِنَالْكٰذِبِيْنَ.
Berkata
Sulaiman : Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang – orang
yang berdusta.
C.Penjelasan kosa kata ( kata kunci )
1. Tasyawur dalam surah Al Baqarah ayat 233
Ayat ini
mengandung dalil boleh berijtihad dalam hukum. Hal ini berdasarkan kebolehan
dari Allah SWT bagi orang tua untuk bermusyawarah dalam hal-hal yang membawa
kebaikan bagi anak, sekalipun berdasarkan perkiraan mereka saja dan bukan
berdasarkan hakikat atau keyakinan. At-Tasyaawur (musyawarah)
adalah mengeluarkan (mencari) pendapat yang terbaik
Dalam
ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menjelaskan tentang hak menyusu bagi seorang
anak dan kewajiban seorang ibu untuk menyusuinya serta kewajiban bagi seorang
ayah untuk mencukupi kebutuhan mereka baik mereka dalam kondisi belum bercerai
atau telah bercerai.
Lafadz ini sama dengan
al-musyaawarah dan al-masyuurah, seperti al-ma’uunah.
Contoh dalam bentuk: Syartu al ‘asl dan istakhrajtuhu artinya
mengeluarkan madu. Syurtu ad-daabbah dan syawwartuhaa: ajraituhaa,
artinya aku memacu binatang tunggangan itu. Digunakan kata ini karena maksudnya
adalah membuat lari binatang tunggangan itu. Asy-syiwaar artinya
perabot rumah.
Digunakan kata ini karena
perabot rumah itu nampak bagi siapa saja yang melihat. Asy-Syaarahartinya
penampilan seseorang. Al-isyaarah artinya mengeluarkan apa
yang ada dalam diri anda dan menampakkannya. Di dalam ayat ini bertemu dua
kalimat yang mengandung suasana rela dan damai; pertama kalimat Taradhin,
artinya berkerelaan kedua pihak, kedua kalimat tasyawurin, artinya
bermusyawarah kedua pihak, bertukar fikiran. Dalam kedua kalimat ini
terdapatlah bahwa di dalam dasar hati rela sama rela, harga menghargai, di
antara suami isteri, demi kemaslahatan anak mereka, memulai musyawarah
bagaimana yang terbaik untuk anak mereka. Ayat ini mempertegas lagi pelaksanaan
ujung ayat 228, Yaitu bahwa si isteri mempunyai hak yang sama dengan suami dan
perlakuan yang sama. Di dalam ayat ini ditunjukkan cara pelaksanaan hak dan
kewajiban, yaitu dalam suasana cinta dan musyawarah. Kalau hati sama-sama
terbuka, tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ada keruh yang
tidak dapat dijernihkan. Hasil keputusan mereka berdua, hasil dari
ridha-meridhai dan musyawarah, diakui dan diridhai pula oleh Allah.
2.Kata Syawirhum dalam QS. Ali Imran ayat 159
Syawirhum
disini kembali kepada mereka ( umat).
Rasulullah mengajarkan kepada umat Islam agar senantiasa melakukan musyawarah
dalam memutuskan segala sesuatu,nterlebih lagi dalam permasalahan yang dihadapi
berkaitan dengan hajat orang banyak. Sebab manusia hidup mempunyai kehidupan
masing – masing sehingga perlu adanya titik temu lewat musyawarah.
Dan
jika di lihat dari asbabun nuzul surat Ali Imran ayat 159 membincangkan
persoalan serta asas demokrasi. Dalam ayat tersebut di jelaskan asas dan etika
tentang musyawarah.
Berdasarkan surah Qs. Ali-Imran ayat 159, ada beberapa
contoh
perilaku yang
mencerminkan sikap dari surah ini, antara lain :
a.Tidakmerendahkan
orang lain.
b.Senantiasaberperilaku
santun dan bertutur sopan.
c. Berdakwahatau
menyiarkan agama tidak menggunakan paksaan dan kekerasan, melainkanmenggunakan
keindahan akhlak untuk menarik simpati dan empati manusia ke dalamagama Islam.
d.Tidak bersikap
sewenang-wenang kepada orang lain.
e.Senantiasa memaafkan
segala kesalahan orang lain seberat apapunitu.
f. Merumuskan
segala permasalahan dengan cara bermusyawarah untukkemaslahatan umat yang lebih
banyak.
g.Menjalankan segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nyadengan sebaik mungkin.
3. Kata Syura dalam QS. As Syuura ayat 38
kita
dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat
yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau
permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat
mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang
diharapkan dapat terealisasikan.
Islam telah menuntunkan
umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga,
bermasyarakat dan bernegara.Dalam kehidupan individu, para sahabat sering
meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah
yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim
: 1480].
4. Kata jibin dalam QS. As – Saafaat ayat 103
Arti lafaz jabiin ialah
bahagian wajah yang berada di sebelah kanan dan kiri dahi, setiap wajah
mempunyai dua jabiin dan di antara dua jabiin ada dahi.
Dalam bahasa Melayu disebut dengan pelipis.
Kata jabiin hanya
disebut sekali saja di dalam Al Qur’an yaitu dalam surah Ash-Shaffaat (37),
ayat 103.
Ada
juga yang mengartikan jabiin dengan makna yang lainz Ibnu Abbas,
Mujahid, Said bin Jabir, Ad Dahhak dan Qatadah
berpendapat, jabiin adalah satu ungkapan yang berarti menundukkan
wajah sehingga ketika Nabi Ismail hendak disembelih wajahnya berada dalam keadaan
tertunduk dan menghadap ke tanah, dan Nabi Ibrahim menyembelih puteranya dari
arah leher belakang. Beliau melakukan hal ini supaya wajah putaranya tidak
dilihat ketika disembelih.
Dan
bagi orang-orang yang menerima seruan Rabbnya) yang mematuhi apa yang diserukan
Rabbnya yaitu, mentauhidkan-Nya dan menyembah-Nya (dan mendirikan salat)
memeliharanya (sedangkan urusan mereka) yang berkenaan dengan diri mereka
(mereka putuskan di antara mereka dengan musyawarah) memutuskannya secara
musyawarah dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskannya (dan sebagian dari apa
yang Kami rezekikan kepada mereka) atau sebagian dari apa yang Kami berikan
kepada mereka (mereka menafkahkannya) untuk jalan ketaatan kepada Allah. Dan
orang-orang yang telah disebutkan tadi merupakan suatu golongan.
Ayat
ini berada dalam rangkaian ayat yang menceritakan tentang tingginya ke patuhan
dan kesabaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam mentaati perintah Allah.
Ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih puteranya Nabi Ismail,
beliau patuh dan hendak melaksanakannya. Begitu juga dengan Nabi Ismail, ketika
ayahnya memberitahu beliau mendapat perintah dari pada Allah supaya
menyembelihnya, Nabi Ismail pun menerima dan mematuhinya. Nabi Ibrahim
membaringkan anaknya dalam keadaan miring sehingga pelipisnya terkena tanah dan
ketika beliau hendak menyembelih anaknya, Allah menggantikan Nabi Ismail dengan
kibas. Allah menegaskan, dia memberi pahala kepada orang yang bertakwa hingga
mematuhi apa pun yang di perintahkan Nya seperti kisah Nabi Ibrahim dan
anaknya Nabi Ismail.
5. Kata Sananzhur
Ashadaqta dalam Qs. An Naml ayat 27
(Berkatalah) Nabi
Sulaiman kepada burung Hud-hud ("Akan kami lihat, apakah kamu benar) di
dalam berita yang kamu sampaikan kepada kami ini (ataukah kamu termasuk yang
berdusta") yakni kamu termasuk satu di antara mereka. Ungkapan ini jauh
lebih sopan daripada seandainya dikatakan, "Ataukah kamu berdusta dalam
hal ini". Kemudian burung Hud-hud menunjukkan sumber air itu kepada mereka
lalu dikeluarkan airnya; mereka meminumnya sehingga menjadi segar kembali,
mereka berwudu, lalu melakukan salat. Sesudah itu Nabi Sulaiman menulis surah
kepada ratu Balqis yang bunyinya seperti berikut, "Dari hamba Allah,
Sulaiman ibnu Daud kepada ratu Balqis, ratu negeri Saba. Dengan nama Allah Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Keselamatan atas orang yang mengikuti
petunjuk. Amma Ba'du, Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan
datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". Setelah itu
Nabi Sulaiman menuliskannya dengan minyak kesturi lalu dicapnya dengan
cincinnya. Maka berkatalah ia kepada burung Hud-hud,
D. Munasabah Ayat
a. Al Baqarah Ayat 233
“Para
ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah:
233)
Ini
adalah bimbingan dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui
anak-anaknya dengan sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada
lagi penyusuan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: liman araada ay yutimmar
radlaa-‘ata (“Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”) Kebanyakan para
imam berpendapat bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun.
Jadi, apabila ada bayi yang berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka
yang demikian itu tidak diharamkan.
Hal
itu diperkuat dengan apa yang diriwayatkan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas,
Rasulullah saw. bersabda: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali
yang dilakukan kurang dari dua tahun.”
Kemudian
ad-Daruquthni mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah
kecuali oleh al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya
dan seorang hafizh.”
Berkenaan
dengan hal ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab
al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas,
secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah,
dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak
mempunyai pengaruh apa pun.”
Makna
yang terkandung dalam hadits ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman
Allah yang artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku.
“(QS. Luqman: 14). Dia juga berfirman yang artinya: “Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Pendapat
yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram
diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu
Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini
juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, ats-Tsauri, Abu Yusuf,
Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enarn
bulan.”
Imam
Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada
wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena
penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari
al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi
Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.”
Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu
sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak.
Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib
radiallahu anhuma adalah pe-buatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam
Malik. Wallahu aalam
Dalam
kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadits,
dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang
sudah besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan
pendapat Atha’ bin Abi Ribah, al-Laits Dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan
beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan
pada hadits Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah memerintahkan isteri
Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah
istri Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan
mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu
merupakan pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu
empat imam madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh
istri Rasulullah kecuali Aisyah radiallahu anHaa, adalah hadits yang telah
ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah
bersabda: “Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu!
Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim).
Mengenai
masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan
diuraikan lebih lanjut pada pembahasan surat an-Nisaa’ yang berbunyi: wa
ummaHaatukumul latii ardla’nakum (“Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”)
(QS. An-Nisaa: 23)
Dan
firman Allah: wa ‘alal mauluudi laHuu rizquHunna wa kiswatuHunna bilma’ruufi
(“Dan ke-wajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara
yang ma’ruf.”) Maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan
pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang
sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing
dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan
kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.
Sebagai-mana
firman Allah swt. yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya.
Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq:
7).
Adh-Dhahhak
mengatakan: “Jika seseorang menceraikan isterinya, dan ia memperoleh anak dari
isterinya tersebut, lalu mantan isterinya itu menyusui anaknya, maka sebagai
bapak ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan isterinya
tersebut dengan cara yang ma’ruf.”
Dan
firman-Nya lebih lanjut: laa tudlaarra waalidatum biwaladiHaa (“Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.”) Yaitu si ibu memberikan
anaknya kepada bapaknya dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam
mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru
melahirkannya hingga ia menyusuinya karena seringkali bayi yang tidak dapat
bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian setelah masa penyusuan itu, ia
boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia menghendaki. Tetapi jika hal itu
menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya,
sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi tersebut dari ibunya dengan
tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karena itu, Allah berfirman: wa laa
mauluudul laHuu biwaladiHi (“Dan jangan pula seorang ayah [menderita
ke-sengsaraan] karena anaknya.”) Yakni si bapak berkeinginan untuk merebut
anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya.
Demikianlah
yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dahhak, az-Zuhri, as-Suddi,
ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Dan
firman-Nya selanjutnya: fa in araadaaa fishaalan ‘an taraadlim minHumaa wa
tasyaawurin falaa junaaha ‘alaiHimaa (“Apabila keduanya ingin meyapih [sebelum
dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa
bagi keduanya.”) Maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu
telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat
adanya kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan
mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu
tidak cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan
salah satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan
pihak lainnya. Demikian dikatakan oleh ats-Tsauri dan ulama lainnya.
Hal
ini merupakan tindakan kehati-hatian terhadap anak dan keharusan memperhatikan
masalah anak. Anak merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya, di mana
Dia mengingatkan kedua orang tua untuk senantiasa memperhatikan pemeliharaan
anak-anak mereka serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan
juga anak-anaknya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam surat
ath-Thalaq berikut ini yang artinya: “Dan jika nereka menyusui (anak-anakmu
untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu), dengan baik.Dan jika kamu menemui kesulitan, maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaaq: 6).
B. Munasabah QS. Ali
imran 159
Ayat yang menjadi pembahasan mengenai musyawarah yaitu QS Ali Imran (3): 159,
turun setelah peristiwa perang uhud. Sebelum perang dilakukan, nabi mengajak
para sahabatnya untuk musyawarah tentang bagaimana menghadapi musuh. Pada
musyawarah tersebut, nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun ternyata
hasilnya sungguh sangat menyedihkan karena berakhir dengan kekalahan kaum
muslimin. Setelah kejadian itulah nabi memutuskan untuk menghapus musyawarah.
Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi
musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meski terbukti hasil
keputusannya ( kadang ) keliru.
Dari ayat tersebut, dapat diambil empat sikap
ideal ketika dan setelah melakukan musyawarah:
1. Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan
musyawarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar serta
sikap keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap
ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik, kalau
peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam
3. Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan
yang dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan kepada- Nya. Itulah
sebabnya yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfiroh dan
ampunan Ilahi, sebagai mana ditegaskan oleh pesan وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada Allah, yaitu
tawakkal.
Beberapa sikap tersebut ideal namun sekaligus berat.
Fakhrudin Ar-Razi menangkap beberapa sikap positif dalam musyawarah.
1. Musyawarah merupakan bentuk penghargaan terhadap orang
lain dan karenanya menghilangkan anggapan paternalistik bahwa orang lain itu
rendah.
2. Meskipun nabi adalah
pribadi sempurna dan cerdas, namun sebagai manusia ia memiliki kemampuan yang
terbatas. Karenanya beliau sendiri menganjurkan dalam sabdanya” tidak ada satu
kaum yang bermusyawarah yang tidak ditunjuki kearah penyelesaian terbaik
perkara mereka.
3. Menghilangkan buruk sangka. Dengan musyawarah
prasangka terhadap orang lain menjadi tereliminasi.
4. Mengeliminasi beban psikologis kesalahan.
Kesalahan mayoritas dari sebuah hasil musyawarah menjadi tanggung jawab bersama
dan lebih bisa ditoleransi dari pada kesalahan keputusan individu.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
pendapat
yang baik, di sertai dengan menaggapi dengan baik pula pendapat tersebut.
Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalahشور yang berarti menampakan sesuatu atau
mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang
semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain. Sedangkan secara istilah Syura berasal
dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau
mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi
isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir (
minta pendapat) musyawarah dan mustasyir ( minta pendapat
orang lain). jadi Syura adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan.
perilaku
yang mencerminkan sikap dari bermusyawarah
ini, antara lain :
a.Tidakmerendahkan
orang lain.
b.Senantiasaberperilaku
santun dan bertutur sopan.
c. Berdakwahatau
menyiarkan agama tidak menggunakan paksaan dan kekerasan, melainkanmenggunakan
keindahan akhlak untuk menarik simpati dan empati manusia ke dalamagama Islam.
d.Tidak bersikap
sewenang-wenang kepada orang lain.
e.Senantiasa memaafkan
segala kesalahan orang lain seberat apapunitu.
f. Merumuskan
segala permasalahan dengan cara bermusyawarah untukkemaslahatan umat yang lebih
banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar