MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH TAFSIR AYAT – AYAT AL- QUR`AN TENTANG MUSYAWARAH


A.    Latar Belakang
Dalam menafsiri berbagai syari’at Islam, kebanyakan kaum muslim sendiri lebih menekankan syari’at tersebut hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat spritual saja tanpa memperhatikan adanya bentuk syariat yang mengedepankan bentuk hubungan sosial yang baik dalam masyarakat. Bahwa kewajiban terwujudnya hubungan sosial yang baik tersebut tidak boleh ditinggalkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat baik sesama muslim maupun nonmuslim, salah satunya yaitu adanya konsep musyawarah.
Konsep musyawarah merupakan salah satu pesan syari’at yang sangat ditekankan di dalam al-Qur’an keberadaannya dalam berbagai bentuk pola kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah kecil yakni rumah tangga yang terdiri anggota kecil keluarga, dan dalam bentuk rumah besar yakni sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat , konsep Musyawarah merupakan suatu landasan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan manusia, di mana antara pemimpin dan rakyat  memilki hak yang sama membuat aturan yang mengikat dalam lingkup kehidupan bermasyarakat.
Dalam tulisan ini akan membahas pentingnya konsep musyawarah yang sangat di tekankan dalam al-Qur’an bahwa konsep Musyawarah tersebut merupakan tradisi umat muslim pada masa nabi yang harus terus dilestarikan dalam tatanan kehidupan sekaligus merupakan perintah Allah yang disampaikan kepada nabi sebagai salah satu landasan syari’ah yang harus tetap ditegakan. terutama dalam kehidpan moderen saat ini.






PEMBAHASAN
A. Pengertian Musayawarah
pendapat  yang baik, di sertai dengan menaggapi dengan baik pula  pendapat tersebut. Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalahشور  yang berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain.  Sedangkan secara istilah Syura berasal dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir ( minta pendapat) musyawarah dan mustasyir ( minta pendapat orang lain). jadi Syura adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan
Pengertian ini terdapat pada tiga tempat dalam al-Qur’an yakni dalam surat al-Baqarah (2) ayat 233, dalam surat Asy-Syura (26) ayat 38,  ayat ini mengandung pujian atas orang yang menerima seruan Allah SWT yang dibawa nabi Muhammad SAW, mendirikan shalat dengan baik, memusyawarahkan segala urusan mereka, dan menafkahkan sebagian rizki yang mereka proleh. Bermusyawarah merupkan sifat terpuji bagi orang yang melaksanakannya dan akan memperoleh nikmat dari sisi Allah SWT, karena hal itu bernilai ibadah. ketiga yaitu surat Ali-‘Imraan (3) ayat 159, ayat ini merupkan perintah bagi nabi SAW, untuk melaksanakan musyawarah, bermusayawarah merupakan ungkapan hati yang lemah lembut dan sifat terpuji orang yang melaksanakannya.

B. Ayat-ayat Musyawarah dan Terjemah
1.      Surat al-Baqoroh ayat 233
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ . فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٢٣٣﴾
Artinya :Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.[1]
2.      Surat Ali-’Imraan ayat 159

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظّاً غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّهِ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ ﴿١٥٩﴾
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.[2]
            3.Surat Asy Syuura ayat 38
.وَالَّذِينَاسْتَجَابُوالِرَبِّهِمْوَأَقَامُواالصَّلَاةَوَأَمْرُهُمْشُورَىٰبَيْنَهُمْوَمِمَّارَزَقْنَاهُمْيُنْفِقُونَ

Artinya dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.[3]
4.Surat As Saaffaat ayat 103

فَلَمَّاأَسْلَمَاوَتَلَّهُلِلْجَبِينِ            
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). [4]

5.Surat An Naml 27
۞قَالَسَنَنْظُرُاَصَدَقْتَاَمْكُنْتَمِنَالْكٰذِبِيْنَ.
Berkata Sulaiman : Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang – orang yang berdusta.[5]
C.Penjelasan kosa kata  ( kata kunci )
1. Tasyawur dalam surah Al Baqarah ayat 233
Ayat ini mengandung dalil boleh berijtihad dalam hukum. Hal ini berdasarkan kebolehan dari Allah SWT bagi orang tua untuk bermusyawarah dalam hal-hal yang membawa kebaikan bagi anak, sekalipun berdasarkan perkiraan mereka saja dan bukan berdasarkan hakikat atau keyakinan. At-Tasyaawur (musyawarah) adalah mengeluarkan (mencari) pendapat yang terbaik
Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menjelaskan tentang hak menyusu bagi seorang anak dan kewajiban seorang ibu untuk menyusuinya serta kewajiban bagi seorang ayah untuk mencukupi kebutuhan mereka baik mereka dalam kondisi belum bercerai atau telah bercerai.
Lafadz ini sama dengan al-musyaawarah dan al-masyuurah, seperti al-ma’uunah. Contoh dalam bentuk: Syartu al ‘asl dan istakhrajtuhu artinya mengeluarkan madu. Syurtu ad-daabbah dan syawwartuhaa: ajraituhaa, artinya aku memacu binatang tunggangan itu. Digunakan kata ini karena maksudnya adalah membuat lari binatang tunggangan itu. Asy-syiwaar  artinya perabot rumah.[6]
Digunakan kata ini  karena perabot rumah itu nampak bagi siapa saja yang melihat. Asy-Syaarahartinya penampilan seseorang. Al-isyaarah  artinya mengeluarkan apa yang ada dalam diri anda dan menampakkannya. Di dalam ayat ini bertemu dua kalimat yang mengandung suasana rela dan damai; pertama kalimat Taradhin, artinya berkerelaan kedua pihak, kedua kalimat tasyawurin, artinya bermusyawarah kedua pihak, bertukar fikiran. Dalam kedua kalimat ini terdapatlah bahwa di dalam dasar hati rela sama rela, harga menghargai, di antara suami isteri, demi kemaslahatan anak mereka,  memulai musyawarah bagaimana yang terbaik untuk anak mereka. Ayat ini mempertegas lagi pelaksanaan ujung ayat 228, Yaitu bahwa si isteri mempunyai hak yang sama dengan suami dan perlakuan yang sama. Di dalam ayat ini ditunjukkan cara pelaksanaan hak dan kewajiban, yaitu dalam suasana cinta dan musyawarah. Kalau hati sama-sama terbuka, tidak ada kusut yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ada keruh yang tidak dapat dijernihkan. Hasil keputusan mereka berdua, hasil dari ridha-meridhai dan musyawarah, diakui dan diridhai pula oleh Allah.
2.Kata Syawirhum dalam QS. Ali Imran ayat 159
            Syawirhum disini kembali  kepada mereka ( umat). Rasulullah mengajarkan kepada umat Islam agar senantiasa melakukan musyawarah dalam memutuskan segala sesuatu,nterlebih lagi dalam permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan hajat orang banyak. Sebab manusia hidup mempunyai kehidupan masing – masing sehingga perlu adanya titik temu lewat musyawarah.
            Dan jika di lihat dari asbabun nuzul surat Ali Imran ayat 159 membincangkan persoalan serta asas demokrasi. Dalam ayat tersebut di jelaskan asas dan etika tentang musyawarah.[7]
            Berdasarkan surah Qs. Ali-Imran ayat 159, ada beberapa contoh
perilaku yang mencerminkan sikap dari surah ini, antara lain :
a.Tidakmerendahkan orang lain.
b.Senantiasaberperilaku santun dan bertutur sopan.
c. Berdakwahatau menyiarkan agama tidak menggunakan paksaan dan kekerasan, melainkanmenggunakan keindahan akhlak untuk menarik simpati dan empati manusia ke dalamagama Islam.
d.Tidak bersikap sewenang-wenang kepada orang lain.
e.Senantiasa memaafkan segala kesalahan orang lain seberat apapunitu.
f. Merumuskan segala permasalahan dengan cara bermusyawarah untukkemaslahatan umat yang lebih banyak.
g.Menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nyadengan sebaik mungkin.
3. Kata Syura dalam QS. As Syuura ayat 38
kita dapat mendefinisikan syura sebagai proses memaparkan berbagai pendapat yang beraneka ragam dan disertai sisi argumentatif dalam suatu perkara atau permasalahan, diuji oleh para ahli yang cerdas dan berakal, agar dapat mencetuskan solusi yang tepat dan terbaik untuk diamalkan sehingga tujuan yang diharapkan dapat terealisasikan.
            Islam telah menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara.Dalam kehidupan individu, para sahabat sering meminta pendapat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya [HR. Muslim : 1480].[8]
4. Kata jibin dalam QS. As – Saafaat ayat 103
Arti lafaz jabiin ialah bahagian wajah yang berada di sebelah kanan dan kiri dahi, setiap wajah mempunyai dua jabiin dan di antara dua jabiin ada dahi. Dalam bahasa Melayu disebut dengan pelipis.
Kata jabiin hanya disebut sekali saja di dalam Al Qur’an yaitu dalam surah Ash-Shaffaat (37), ayat 103.
Ada juga yang mengartikan jabiin dengan makna yang lainz Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jabir, Ad Dahhak dan Qatadah berpendapat, jabiin adalah satu ungkapan yang berarti menundukkan wajah sehingga ketika Nabi Ismail hendak disembelih wajahnya berada dalam keada­an tertunduk dan menghadap ke tanah, dan Nabi Ibrahim menyembelih puteranya dari arah leher belakang. Beliau melakukan hal ini supaya wajah putaranya tidak dilihat ketika disembelih.[9]
Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Rabbnya) yang mematuhi apa yang diserukan Rabbnya yaitu, mentauhidkan-Nya dan menyembah-Nya (dan mendirikan salat) memeliharanya (sedangkan urusan mereka) yang berkenaan dengan diri mereka (mereka putuskan di antara mereka dengan musyawarah) memutuskannya secara musyawarah dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskannya (dan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka) atau sebagian dari apa yang Kami berikan kepada mereka (mereka menafkahkannya) untuk jalan ketaatan kepada Allah. Dan orang-orang yang telah disebutkan tadi merupakan suatu golongan.
Ayat ini berada dalam rangkaian ayat yang menceritakan tentang tingginya ke­ patuhan dan kesabaran Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam mentaati perintah Allah. Ketika Allah memerintahkan Nabi Ibrahim menyembelih puteranya Nabi Ismail, beliau patuh dan hendak melaksanakannya. Begitu juga dengan Nabi Ismail, ketika ayahnya memberitahu beliau mendapat perintah dari­ pada Allah supaya menyembelihnya, Nabi Ismail pun menerima dan mematuhinya. Nabi Ibrahim membaringkan anaknya dalam keadaan miring sehingga pelipisnya terkena tanah dan ketika beliau hendak menyembelih anaknya, Allah menggantikan Nabi Ismail dengan kibas. Allah menegas­kan, dia memberi pahala kepada orang yang bertakwa hingga mematuhi apa pun yang di­ perintahkan Nya seperti kisah Nabi Ibrahim dan anaknya Nabi Ismail.
5. Kata Sananzhur Ashadaqta dalam Qs. An Naml ayat 27
(Berkatalah) Nabi Sulaiman kepada burung Hud-hud ("Akan kami lihat, apakah kamu benar) di dalam berita yang kamu sampaikan kepada kami ini (ataukah kamu termasuk yang berdusta") yakni kamu termasuk satu di antara mereka. Ungkapan ini jauh lebih sopan daripada seandainya dikatakan, "Ataukah kamu berdusta dalam hal ini". Kemudian burung Hud-hud menunjukkan sumber air itu kepada mereka lalu dikeluarkan airnya; mereka meminumnya sehingga menjadi segar kembali, mereka berwudu, lalu melakukan salat. Sesudah itu Nabi Sulaiman menulis surah kepada ratu Balqis yang bunyinya seperti berikut, "Dari hamba Allah, Sulaiman ibnu Daud kepada ratu Balqis, ratu negeri Saba. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Keselamatan atas orang yang mengikuti petunjuk. Amma Ba'du, Janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri". Setelah itu Nabi Sulaiman menuliskannya dengan minyak kesturi lalu dicapnya dengan cincinnya. Maka berkatalah ia kepada burung Hud-hud,


D. Munasabah Ayat
    a.  Al Baqarah Ayat 233
“Para ibu bendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tabun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tabun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu bila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketabuilah bahwa Allah Mahamelihat apa yangkamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Ini adalah bimbingan dari Allah Ta’ala bagi para ibu supaya mereka menyusui anak-anaknya dengan sempuma, yaitu dua tahun penuh. Dan setelah itu tidak ada lagi penyusuan. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman: liman araada ay yutimmar radlaa-‘ata (“Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”) Kebanyakan para imam berpendapat bahwa tidak diharamkan penyusuan yang kurang dari dua tahun. Jadi, apabila ada bayi yang berusia lebih dari dua tahun masih menyusui, maka yang demikian itu tidak diharamkan.
Hal itu diperkuat dengan apa yang diriwayatkan ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak menjadikan mahram karena penyusuan, kecuali yang dilakukan kurang dari dua tahun.”
Kemudian ad-Daruquthni mengatakan: “Hadits tersebut tidak disandarkan pada Ibnu Uyainah kecuali oleh al-Haitsam bin Jamil, dan ia adalah seorang yang dapat dipercaya dan seorang hafizh.”
Berkenaan dengan hal ini, penulis (Ibnu Katsir) katakan: “Hadits ini terdapat dalam kitab al-Muwattha’, Imam Malik meriwayatkan dari Tsaur bin Yazid, dari Ibnu Abbas, secara marfu’. Juga diriwayatkan oleh ad-Darawardi dari Tsaur, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dan ia menambahkan: “Dan penyusuan setelah dua tahun itu tidak mempunyai pengaruh apa pun.”
Makna yang terkandung dalam hadits ini menjadi lebih sempurna dengan adanya firman Allah yang artinya: “Dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku. “(QS. Luqman: 14). Dia juga berfirman yang artinya: “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. Al-Ahqaaf: 15).
Pendapat yang menyatakan bahwa penyusuan setelah dua tahun tidak menjadikan mahram diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Masud, Jabir, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ummu Salamah, Sa’id Musayyab, Atha’ dan jumhur ulama. Ini juga merupakan pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq, ats-Tsauri, Abu Yusuf, Muhammad, dan Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan, “Yaitu dua tahun enarn bulan.”
Imam Malik berpendapat, jika seorang bayi disapih kurang dari dua tahun, lalu ada wanita lain menyusuinya, maka yang demikian itu tidak menjadikan mahram, karena penyusuan itu berkedudukan sama dengan makanan. Hal ini diriwayatkan dari al-Auza’i. Dan diriwayatkan pula dari Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib, keduanya mengatakan: “Tidak ada penyusuan setelah penyapihan.” Kemungkinan yang dimaksudkan oleh keduanya adalah setelah dua tahun. Hal itu sama seperti pendapat jumhur ulama, baik bagi anak yang disapih ataupun tidak. Dan mungkin yang dimaksud oleh Umar bin Khaththab dan Ali bin Abi Thalib radiallahu anhuma adalah pe-buatannya, seperti yang menjadi pendapat Imam Malik. Wallahu aalam
Dalam kitab Shahihain (al-Bukhari dan Muslim) juga telah diriwayatkan sebuah hadits, dari Aisyah radiallahu’anha, ia berpendapat bahwasanya penyusuan anak yang sudah besar berpengaruh dalam kemahraman. Yang demikian itu juga merupakan pendapat Atha’ bin Abi Ribah, al-Laits Dan Aisyah radiallahu’anha memerintahkan beberapa wanita untuk menyusui laki-laki. Dalam hal itu Aisyah berlandaskan pada hadits Salim, budak Abu Hudzaifah, di mana Rasulullah memerintahkan isteri Abu Hudzaifah untuk menyusui Salim, padahal ia sudah besar. Salim masuk rumah istri Abu Hudzaifah untuk menetek. Namun para istri Nabi menolak hal itu, dan mereka berpendapat bahwa hal itu termasuk pengecualian. Yang demikian itu merupakan pendapat jumhur ulama. Dan yang menjadi landasan jumhur ulama, yaitu empat imam madzhab, tujuh orang ahli fiqih, para sahabat utama dan seluruh istri Rasulullah kecuali Aisyah radiallahu anHaa, adalah hadits yang telah ditegaskan dalam kitab Shahihain, dari Aisyah radiallahu’anha, bahwa Rasulullah bersabda: “Perhatikanlah oleh kalian (kaum wanita) saudara-saudara kalian itu! Sesungguhnya penyusuan itu karena kelaparan (pada masa bayi).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Mengenai masalah penyusuan dan hal-hal yang berkenaan dengan penyusuan orang besar akan diuraikan lebih lanjut pada pembahasan surat an-Nisaa’ yang berbunyi: wa ummaHaatukumul latii ardla’nakum (“Dan ibu-ibu kalian yang menyusui kalian.”) (QS. An-Nisaa: 23)
Dan firman Allah: wa ‘alal mauluudi laHuu rizquHunna wa kiswatuHunna bilma’ruufi (“Dan ke-wajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara yang ma’ruf.”) Maksudnya, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada ibu bayi yang menyusui dengan cara yang ma’ruf, yaitu yang sesuai dengan kebiasaan yang berlaku bagi mereka di negeri mereka masing-masing dengan tidak berlebih-lebihan atau juga terlampau kurang, sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang dimiliki oleh bapak si bayi.
Sebagai-mana firman Allah swt. yang artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaaq: 7).
Adh-Dhahhak mengatakan: “Jika seseorang menceraikan isterinya, dan ia memperoleh anak dari isterinya tersebut, lalu mantan isterinya itu menyusui anaknya, maka sebagai bapak ia berkewajiban memberikan nafkah dan pakaian kepada mantan isterinya tersebut dengan cara yang ma’ruf.”
Dan firman-Nya lebih lanjut: laa tudlaarra waalidatum biwaladiHaa (“Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.”) Yaitu si ibu memberikan anaknya kepada bapaknya dengan maksud untuk menyusahkan bapaknya dalam mengasuhnya. Tetapi si ibu tadi tidak boleh menyerahkan bayinya itu ketika baru melahirkannya hingga ia menyusuinya karena seringkali bayi yang tidak dapat bertahan hidup bila tidak menyusunya. Kemudian setelah masa penyusuan itu, ia boleh menyerahkan bayi tersebut, jika ia menghendaki. Tetapi jika hal itu menyusahkan bapaknya, maka ia tidak boleh menyerahkan bayi itu kepadanya, sebagaimana si bapak tidak boleh merebut bayi tersebut dari ibunya dengan tujuan untuk membuatnya sengsara. Oleh karena itu, Allah berfirman: wa laa mauluudul laHuu biwaladiHi (“Dan jangan pula seorang ayah [menderita ke-sengsaraan] karena anaknya.”) Yakni si bapak berkeinginan untuk merebut anaknya dari istrinya dengan tujuan untuk menyakitinya.
Demikianlah yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, adh-Dahhak, az-Zuhri, as-Suddi, ats-Tsauri, serta Ibnu Zaid, dan yang lainnya.
Dan firman-Nya selanjutnya: fa in araadaaa fishaalan ‘an taraadlim minHumaa wa tasyaawurin falaa junaaha ‘alaiHimaa (“Apabila keduanya ingin meyapih [sebelum dua tahun] dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa bagi keduanya.”) Maksudnya, jika kedua orang tua itu, baik bapak maupun ibu telah sepakat untuk menyapihnya sebelum masa dua tahun dan keduanya melihat adanya kebaikan dalam hal itu bagi si bayi lalu keduanya bermusyawarah dan mengambil kesepakatan, maka tidak ada dosa bagi keduanya. Tetapi keputusan itu tidak cukup jika hanya berasal salah satu pihak saja (bapak ataupun ibu), dan salah satu pihak tidak boleh memaksakan hal itu tanpa adanya musyawarah dengan pihak lainnya. Demikian dikatakan oleh ats-Tsauri dan ulama lainnya.
Hal ini merupakan tindakan kehati-hatian terhadap anak dan keharusan memperhatikan masalah anak. Anak merupakan rahmat dari Allah bagi hamba-hamba-Nya, di mana Dia mengingatkan kedua orang tua untuk senantiasa memperhatikan pemeliharaan anak-anak mereka serta membimbing keduanya kepada kebaikan mereka berdua dan juga anak-anaknya. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala dalam surat ath-Thalaq berikut ini yang artinya: “Dan jika nereka menyusui (anak-anakmu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik.Dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaaq: 6).
B. Munasabah QS. Ali imran 159
Ayat yang menjadi pembahasan mengenai musyawarah yaitu QS Ali Imran (3): 159, turun setelah peristiwa perang uhud. Sebelum perang dilakukan, nabi mengajak para sahabatnya untuk musyawarah tentang bagaimana menghadapi musuh. Pada musyawarah tersebut, nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun ternyata hasilnya sungguh sangat menyedihkan karena berakhir dengan kekalahan kaum muslimin. Setelah kejadian itulah nabi memutuskan untuk menghapus musyawarah. Namun dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meski terbukti hasil keputusannya ( kadang ) keliru. 
Dari ayat tersebut, dapat diambil empat sikap ideal ketika dan setelah melakukan musyawarah:
1. Sikap lemah lembut. Seseorang yang melakukan musyawarah, apalagi pemimpin harus menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala.
2. Memberi maaf dan membuka lembaran baru. Sikap ini harus dimiliki peserta musyawarah, sebab tidak akan berjalan baik, kalau peserta masih diliputi kekeruhan hati apalagi dendam
3. Memiliki hubungan yang harmonis dengan Tuhan yang dalam ayat itu dijelaskan dengan permohonan ampunan kepada- Nya. Itulah sebabnya yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfiroh dan ampunan Ilahi, sebagai mana ditegaskan oleh pesan     
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
Setelah selesai semuanya harus diserahkan kepada Allah, yaitu tawakkal.
Beberapa sikap tersebut ideal namun sekaligus berat. Fakhrudin Ar-Razi menangkap beberapa sikap positif dalam musyawarah.
1. Musyawarah merupakan bentuk penghargaan terhadap orang lain dan karenanya menghilangkan anggapan paternalistik bahwa orang lain itu rendah.
2. Meskipun nabi adalah pribadi sempurna dan cerdas, namun sebagai manusia ia memiliki kemampuan yang terbatas. Karenanya beliau sendiri menganjurkan dalam sabdanya” tidak ada satu kaum yang bermusyawarah yang tidak ditunjuki kearah penyelesaian terbaik perkara mereka.
3. Menghilangkan buruk sangka. Dengan musyawarah prasangka terhadap orang lain menjadi tereliminasi.
4. Mengeliminasi beban psikologis kesalahan. Kesalahan mayoritas dari sebuah hasil musyawarah menjadi tanggung jawab bersama dan lebih bisa ditoleransi dari pada kesalahan keputusan individu. [10]







PENUTUP

A.    Kesimpulan
pendapat  yang baik, di sertai dengan menaggapi dengan baik pula  pendapat tersebut. Akar kata musyawarah yang sudah menjadi bahasa Indonesia tersebut adalahشور  yang berarti menampakan sesuatu atau mengeluarkan madu dari sarang lebah. Musyawarah bararti menampakan sesuatu yang semula tersimpan atau mengeluarkan pendapat yang baik kepada pihak lain.  Sedangkan secara istilah Syura berasal dari kata syawwara-yusyawwiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil sesuatu, bentuk lain dari kata kerja ini adalah asyara (memberi isyarat), tasyawara, (berunding saling tukar pendapat), Syawir ( minta pendapat) musyawarah dan mustasyir ( minta pendapat orang lain). jadi Syura adalah menjelaskan, menyatakan atau mengajukan.
perilaku yang mencerminkan sikap dari bermusyawarah ini, antara lain :
a.Tidakmerendahkan orang lain.
b.Senantiasaberperilaku santun dan bertutur sopan.
c. Berdakwahatau menyiarkan agama tidak menggunakan paksaan dan kekerasan, melainkanmenggunakan keindahan akhlak untuk menarik simpati dan empati manusia ke dalamagama Islam.
d.Tidak bersikap sewenang-wenang kepada orang lain.
e.Senantiasa memaafkan segala kesalahan orang lain seberat apapunitu.
f. Merumuskan segala permasalahan dengan cara bermusyawarah untukkemaslahatan umat yang lebih banyak.





DAFTAR PUSTAKA

Q.S An Naml ayat 27
Al Iman Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al Mahalli, Tafsir Jalaluddin jilid ,(Surabaya : Pustaka Elba,2010)
Alamah Sayid Muhammad Hus[1] Q.S Al-Baqarah ayat 233
Q.S Ali Imran ayat 159
Q.S Asy Syuura ayat 38
Q.S As Saaffaat ayat 103
Allamah Sayid Muhammad Husaain, Terjemah Ilyas Hasan,(Lebanon, Ismailiyan,1981
Ahmad Mustafa Al-Maraghi,Tafsir Al –Maraghi,( Semarang: cv Toha Putra,1987





[1] Q.S Al-Baqarah ayat 233
[2] Q.S Ali Imran ayat 159
[3] Q.S Asy Syuura ayat 38
[4] Q.S As Saaffaat ayat 103
[5] Q.S An Naml ayat 27
[6] Al Iman Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al Mahalli, Tafsir Jalaluddin jilid 3,(Surabaya : Pustaka Elba,2010), hlm. 654
[7] Ahmad Mustafa Al-Maraghi,Tafsir Al –Maraghi,( Semarang: cv Toha Putra,1987), hlm.91
[8] Ahmad Mustafa Al – Maraghi, Ibid,hlm103
[9] Ibid.105
[10] Alamah Sayid Muhammad Husain, Terjemah Ilyas Hasan,(Lebanon, Ismailiyan,1981), hlm 204

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL