BAB I
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Maslahah al-Mursilah
Kata al-maslahah semakna dengan
dan sewazan (setimbangan) dengan kata al-manfaat, yaitu bentuk
masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-maslahah merupakan bentuk mufrad
(tunggal) yang jama’nya (plural) al-mashalih. Dari makna
kebahasan ini dapat dinyatakan bahwa al-maslahah meliputi segala yang
mendatangkan manfaat, baik dari cara mengambil dan melakukan sesuatu tindakan
maupun dengan menolak dan menghindarkan segala sesuatu bentuk yang menimbulkan
kemudharatan dan kesulitan.
Defenisi ini menerangkan bahwa tasyri’
hukum itu tidak bermaksud selain dari untuk menetapkan kemashalatan masyarakat.
Artinya mendatangkan kemanfaatan dan menghapus kemudharatan dalam masyarakat.
kemashalatan orang itu tidak melingkupi seluruh kehidupan. Dan tidak mencegah
ifradnya. Dia hanya memperbaruhi dengan pembaharuan masalah kemasyarakatan,
mengikuti perkembangan yang berbeda-beda menurut tempat dan masanya. Tasyri’
hukum itu mendatangkan kemanfaatan pada suatu masa dan kemudharatan pada masa
lainnya.
Adapun maslahah yang mengatur masalah
tempat tinggal dan musibah setelah terputusnya wahyu, tidak ada syari’ yang
mensyari’atkan hukum untuk ditetapkan. Ini dinamakan manasib mursil, atau
dinamakan dengan istilah lain. Maslahah Musrsilah ini adalah seperti mursilah
yang berlaku dalam perkawinan yang tidak ditetapkan secara resmi. Misalnya
kemaslahatan yang mengatur masalah akad jual beli yang tidak memindahkan hak
milik. Seluruh maslahah ini tidak disyariatkan oleh pembuat syariat mengenai
hukum-hukumnya itu.
B.
Tingkatan Maslahah al-Mursilah
Ditinjau dari segi kepentingan dan
kualitas maslahah bagi kehidupan manusia, ahli ushul fikih membagi
maslahah kepada tiga tingkatan.
1.
Al-Maslahah al-dharuriyat
Kemaslahatan al-dharuriyat
adalah suatu kemaslahatan yang berkaitan dengan kebutuhan dasar manusia di
dunia dan akhirat. Dengan pentingnya kemaslahatan ini, apabila luput dalam
kehidupan manusia akan terjadi kehancuran, bencana dan kerusakan terhadap
tatanan kehidupan manusia. Kemaslahatan ini meliputi agama, diri, akal,
keturunan dan harta.
2.
Al-Maslahah al-hajiyat
Kemaslahatan al-hajiyat adalah
suatu kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk menyempurnakan kemaslahatan
pokok mereka dan emnghilangkan kesulitan yang dihadapi. Termasuk kemaslahatan
ini semua ketentuan hukum yang mendatangkan keringanan bagi manusia dalam
kehidupannya. Bentuk keringanan dalam ibadah, tampak dari kebolehan meringkas (qashar)
sholat dan berbuka puasa bagi orang yang musafir. Dalam muamalat, keringanan
ini terwujud dengan dibolehkan berburu binatang halal, memakan-makanan yang
baik, dibolehkan melakukan jual beli salam (buy’ salam), kerjasama pertanian (muzara’ah)
dan perkebunan (musaqqah). Semua kegiatan ini disyariatkan Allah guna
memudahkan manusia dalam kehidupan dan sekaligus mendukung perwujudan
kemaslahatan pokok yang diatas.
3.
Al-Maslahah al-tahsiniyat
Kemashalatan al-tahsiniyat
adalah suatu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap dan keluasan terhadap
kemaslahatan dhariruyat dan hajiyat. Kemasalahatan ini dimaksud
untuk kebaikan dan kebagusan budi pekerti. Kemaslahatan ini tidak dapat
diwujudkan dalam kehidupan, tidaklah sampai menimbulkan kegoncangan dan
kerusakan terhadap tatanan kehidupan manusia. Meskipun demikian, kemaslahatan
ini tetap penting dan dibutuhkan manusia. Misalnya, dalam ibadah, keharusan
bersuci, menutup aurat dan memakai pakaian yang lebih indah dan bagus. Contoh
kemaslahatan ini dalam adat, adanya adab dan tata cara makan dan kebiasan
membersihkan diri.
Dari ketiga tindakan kemaslahatan ini
yang perlu diperhatikan seorang muslim adalah kualitas dan tingkat kepentingan
kemaslahatan itu sehingga dapat ditentukan kemaslahatan yang harus
dipriotasikan terlebih dahulu. Kemaslahatan dhariruyat harus lebih
dahulukan dari hajiyat dan kemaslahtan hajiyat harus lebih didahulukan
dari tahsiniyat.
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para
ulama fikih membaginya kepada:
a.
Maslahah al-‘Ammah
yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan
umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentik
berbagai kepentingan mayoritas umat. Misalnya para ulama membolehkan membunuh
penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah umat, karena menyangkut kepentingan
orang banyak.
b.
Maslahah al-Khashshah
yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan
yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinanseseorang yang dinyatakan
hilang (maqfud).
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, ada dua bentuk
yaitu:
a.
Maslahah al-Tsabitah
yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman.
Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
b.
Maslahah al-Mutaghayyirah yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perbuatan
tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan
permaslahan mu’amalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan dareah lainnya.
Dilihat dari keberadaan maslahah terbagi kepada:
a.
Maslahah al-Mu’tabarah
yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus
yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebeut. Misalnya, hukuman
atas orang yang meminun-minuman keras dalam hadist Rasulullah saw. Dipahami
secara berlainan oleh ulama fikih, disebabkan perbedaan alat pemukul yang
digunakan Rasulullah saw.ketika melakukan hukuman bagi orang yang minum-minuman
keras.
b.
Maslahah al-Mulghah
yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan
ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan
hubungan seksual disiang hari bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan
budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau member makan 60 orang kafir
miskin. Al-Laits ibn Sa’ad menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut
bagi seseorang yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya disiang hari
bulan Rammadhan. Para ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadist
Rasulullah diatas, karena bentuk-bentuk
hukuman itu harus ditetapkan secara berturut-turut. Apabila tidak mampu
memerdekakan budak, baru dikenakan hukuman puasa dua bulan berturut-turut. Oleh
karena itu, para ulama ushul fikih memandang mendahulukan hukaman puasa
berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangan
dengankehendak syara’, hukumnya batal.
c.
Maslahah al-Mursilah
yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak dikung syara’ dan tidak pula
dibatalkan atau ditolak syara’ melalui dalil yang rinci.
C.
Pendapat tentang Al-Maslahah al-Mursilah
Para ulama memang berbeda pendapat dalam
mengamalkan al-maslahah al-mursilah. Sebagian ulama tidak menjadikan al-maslahah
al-mursilah sebagai dalil untuk menetapkan hukum dengan beberapa alasan.
1.
Penggunaan al-maslahah al-mursialah akan membuka peluang
bagi penguasa dan para hakim untuk menetapkan hukum sesuai dengan keinginan dan
hawa nafsu mereka.
2.
Bahwa syariat islam memelihara semua kemaslahatan menusia melalui
ketentuan yang terdapat dalam nash dan hukum yang ditunjukkan oleh qiyas.
Syari’ tidak membiarkan manusia mengalami kesulitan dalam kehidupannya dan
tidak satupun kemaslahatan manusia melainkan disyariatkan oleh islam.
3.
Pada dasarnya al-maslahah al-mursilah bearda diantara dua
posisi yaitu, maslahat yang dilarang syari’ mengambilnya dan maslahat yang
diperintahkan syari’ mengambilnya.
Apabila memang boleh memakai al-maslahah al-mursilah yang terkait dalam
maslahat yang diperintahkan syari’ mengambilnya, tentu boleh juga memakai
al-maslahah al-mursilah yang terkait dalam maslahat yang dilarang syari’
mengambilnya. Mengingat posisi al-maslahah al-mursilahseperti ini, maka ia
tidak boleh dijadiakan sebagai dalil untuk menetapkan hukum.
4.
Mengambil al-maslahah al-mursilah sebagai dalil untuk menetapkan
hukum akan merusak kesatuan dan keumuman tasyri’ islam. Dengan al-maslahah
al-mursilah akan terjadi perbedaan hukum kerena perbedaan situasi, kondisi,dan
orang seiring dengan penggantian maslahat setiap waktunya.
Ulama yang tidak menerima al-maslahah
al-mursilah sebagai dalil untuk menetapkan hukum, diantaranya ulama
Hanafiyyah. Sebaian ulama menilai Imam Syafi’I termasuk ulama yang menolak
penggunaan al-maslahah al-mursilah sebagai dalil karena ketegasannya
menolak istihsan dan istihsan dalam pandangan Imam Syafi’I didasarkan atas
maslahah.
Sementara itu, sebagian ulama lain
menerima dan menggunakan al-maslahah al-mursilah sebagai dalil untuk
menetapkan hukum. Diantara ulam yang termasuk dalam kelompok ini adalah Imam
Malik dan Imam Ahmad. Penggunaan al-maslahah al-mursilah sebagai dalil
didasarkan pada sejumlah alasan berikut.
a.
Bahwa syariat islam diturukan untuk menjuwudkan kemaslahatan bagi
manusia.
b.
Bahwa kemaslahatan manusia yang berhubungan dengan persoalan
duniawi selalu berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi manusia
tersebut.
c.
Bahwa syari’ menjelaskan alasan (illat) berbagai hukum
ditetapkan dengan berbagai sifat yang melekat pada perbuatan yang dikenai hukum
tersebut.
d.
Dalam sejarah tasyri’ islam terbukti sejak masa sahabat dan
generasi sesudah mereka ternyata menggunakan maslahat rajihah (kuat)
untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
D.
Kehujjahan Maslahah
Para ulama ushul fikih sepakat menyatakan
bahwa maslahah al-mu’tabarahdapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
islam. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyas. Mereka juga
sepakat maslahah al-Mulghah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum
islam, demikian juga dengan maslahah al-Gharibah, kerena tidak dikekemukakan
oleh praktek syara’. Adapun terhadap maslahah al-Mursilah, pada prinsipnya
Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum
syara’, sekalipun dalam penerapan dan penetapam syaratnya.
Ulama Hanafiyyah menyatakan bahwa
menjadikan maslahah al-mursilah sebagai dalil disyaratkan maslahah
tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadist atau ijma’ yang
menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat
(motivasi hukum)dalam penerapan suatu hukum atau jenis sifat yang menjadi
motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Menghilangkan
kemudaratan, bagaimana pun bentuknya merupakan tujuan syara’ yang wajib
dilakukan. Menolak kemudaratan itu ternasuk kedalam konsep maslahah
al-mursalah. Dengan demikikan, ulama Hanafiyyah menerima maslahah
al-mursilah sebagai dalil yang mneteapkan hukum, dengan syarat dan sifat
kemaslahatan itu terdapat dalam nash dan ijima’ dan jenis sifar
kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang didukun oleh nash atau
ijma’. Penerapan konsep maslahah al-mursalah dikalangan Hanafiyyah
terlihat secara luas dalam metode istihsan (pemalingan hukum dari
kehendak qiyas atau kaidah umum kepada hukum lain disebabkan oleh
beberapa indikasi). Indikasi-indikasi yang dijadikan pemalingan hukum tersebut,
pada umumnya adalah maslahah al-mursalah.
Ulama Malikiyyah dan hanabilah menerima
maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum , bahkan mereka
dianggap sebagai ulama fikih yang paling banyak dan luas menerapkannya.
Meneurut mereka maslahah al-mursalah merupakan induksi dari logika sekumpulan
nash, bukan dari nash yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam
Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas maslahah al-mursalah
itu brsifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni
(relatif).
Untuk bisa menjadikan maslahah
al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama malikiyyah dan
Hanabilah mensyaratkan tiga syarat yaitu:
1.
Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam
jenis kemaslahatan yang didukung oleh nash secara umum.
2.
Kemaslahatam ini bersifat rasinal dan pasti, bukan hanya sekedar
perkiraan sehingga hukum yang ditetapkan melalui maslahah al-mursalah
benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.
Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan
kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah pada
dasarnya juga menjadikan maslahah al-mursalah sebagai salah satu dalil
syara’. Akan tetapi, Imam al-Syafi’i, memasukkannya kedalam qiyas.
Misalnya, ia meng-qiyaskan hukuman bagi peminum-minuman keras kapada hukuman
orang yang menunduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang mabuk akan
menngigau dan dalam pengigaunya diduga keras akan menunduh orang lain berbuat
zina. Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fikihnya membahas
permasalahan maslahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang
dikekemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang daoat dijadikan hujjah
dalam mengistubatkan hukum yaitu:
a.
Maslahah itu
sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’
b.
Maslahah itu
tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’
c.
Maslahah itu
termasuk kedalam katagori maslahah yang dharuri, baik menyangkut kemaslahatan
pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku untuk semua
orang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpilan
Kata al-maslahah
semakna dengan dan sewazan (setimbangan) dengan kata al-manfaat,
yaitu bentuk masdar yang berarti baik dan mengandung manfaat. Al-maslahah
merupakan bentuk mufrad (tunggal) yang jama’nya (plural) al-mashalih.
Dari makna kebahasan ini dapat dinyatakan bahwa al-maslahah meliputi segala
yang mendatangkan manfaat, baik dari cara mengambil dan melakukan sesuatu
tindakan maupun dengan menolak dan menghindarkan segala sesuatu bentuk yang
menimbulkan kemudharatan dan kesulitan.
Macam-macam
maslahah dapat dibedakan atas berdasarkan kualitas dan kepentingannya terdiri
dari maslahah al-Dharuriyah, maslahah al-Hajiyah, maslahah
al-Tahsiniyyah. Berdasarkan kandungannya dapat dibedakan dalam maslahah
al-‘Ammah, maslahah al-Khashshhah. Berdasarkan berubah atau tidaknya
dibedakan dalam maslahah al-Tsabitah, maslahah al-Mutaghayyirah.
Derdasarkan keberadaannya dibedakan dalam maslahah al-Mu’tabarah, maslahah
al-mulghah, maslahah al-mursilah
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar