MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH PENGERTIAN,UNSUR-UNSUR DAN MACAM-MACAM JARIMAH DAN UQUBAH


                                                            BAB I
                                                    PENDAHULAN

A.    Latar Belakang Masalah
Fiqih Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan maslah perbuatan yang dilarang (Jarimah) dan hukumnya (‘uqubah) yang diambil dari dalil-dalilyang terperinci. Defenisi tersebut merupakan defenisi antara pengertian “fiqih” dan “Jinayah”. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan fiqih jinayah itu secara garis besar ada 2 yakni: jarimah ( tindak pidana) dan ‘uqubah (hukumannya). Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut abdul qadira udah pengertian jinayah adalah

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian jarimah dan ‘uqubah
2.      Unsur-unsur jarimah
3.      Macam-macam Jarimah
4.      Macam-macam ‘uqubah
5.      Tujuan penetapan ‘uqubah
6.      Hal-hal yang membatalkan dan Menghapus ‘Uqubah
C.     Tujuan
1.      Untuk Mengetahui Pengertian Jarimah dan ‘Uqubah
2.      Untuk Mengetahui Unsur-unsur Jarimah
3.      Untuk Mengetaui Macam-macam Jarimah
4.      Untuk Mengetahui Macam-macam ‘Uqubah
5.      Untuk Mengetaui Tujuan Penetapan ‘Uqubah
6.      Untuk Mengetahui H-hal yang Membatalkan dan Menghapus ‘Uqubah

                                                                                       










                                                            BAB II
                                                      PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jarimah dan ‘Uqubah
Jarimah berasal dari bahasa Arab ja ri ma yang sinonimnya ka sa ba wa qa ta’a yang artinya berusaha dan bekerja. Hanya saja usaha disinikhusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang di benci Allah.[1] Dalam terminologi hukum islam, jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh menurut syara’ dan ditentukan hukumnya oleh Tuhan, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta’zir). Dalam pembahasan mengenai tindak pidana kejahatan beserta sanksi hukumannya disebut dengan istilah jarimah dan uqubah.
Menurut istilah para fuqaha, ‘uqubah (hukuman) itu adalah pembalasan yang telah ditetapkan demi kemaslahatan masyarakat atas pelanggaran perintah pembuat syariat (Allah dan Rasul-Nya).Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqaba yang sinonimnya khalafahu wa ja a bi’aqabihi, artinya: mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafazh tersebut bisa diambil dari lafaz: ‘aqaba yang sinonimnya jazahu sawa a bima fa’ala, artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu dapat disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan nyang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut Hukum Pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefenisikan oleh Abdul Qadir Audah sebagai berikut:
“hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan syara”
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu.
Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah, karena islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.Hukuman itu harus mempunyai dasar, baik dari Al Qur’an, hadis, atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan hukuman untuk kasus ta’zir. Selain itu hukuman itu harus bersifat pribadi. Artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa:”Seseorang tidak menanggung dosanya orang lain”. Terakhir, hukuman itu harus bersifat umum, maksudnya berlaku bagi semua orang, karena semua manusia sama di hadapan hukum.
B.     Unsur-unsur Jarimah
Bila dilihat dari perbuatannya, suatu perbuatan dikatakan jarimah dalam islam bila perbuatan tersebut mengandung tiga unsur:[2]
1.      Unsur formil:  adanya undang-undang yang mengatur atau nash. Artinya apabila sebuah perbuatan dikatakan jarimah atau tidaknya, bila perbuatan tersebut bisa dipersalahkan atau dibenarkan oleh Undang-undang yang berlaku. Dalam Hukum Islam masalah ini dikenal dengan istilah ar-rukn asy-syar’i.
2.      Unsur materiil: adanya sifat melawan hukum, artinya sebuah perbuatan dikatakan jarimah bila perbuatan tersebut melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan, dan bisa dikatagorikan kejahatan atau jarimah.
3.       Unsur moril: pelaku jarimah yaitu mukalaf, artinya seseorang yang melakukan jarimah tersebut orang yang bisa bertanggung jawab, dan bisa dipersalahkan. Cukup umur, akil baligh, berakal baik(tidak gila) bisa disimpulkan mampu bertanggung jawab.
Selain unsur yang telah dijalaskan diatas ada beberapa unsur yang harus diperhatikan dari aspek yang menonjol sebagai tindakan jarimah:[3]
a.       Dari segi berat ringannya hukuman, Hukum Pidana Islam dapat dibedakan atas: jarimah hudud, jarimah qishash, dan jarimah ta’zi.
b.       Dilihat dari niatnya dibagi menjadi dua jarimah , yaitu jarimah sengaja dan jarimah tanpa disegaja
c.        Dari segi cara mengerjakannya, dibedakan menjadi dua jarimah yaitu yang positif dan juga yang negatif.
d.       Dilihat dari segi si korban ada dua yaitu, korban perorangan dan juga kelompok
e.        Dilihat dari tabiatnya, dibedakan menjadi dua, yaitu bersifat biasa dan juga bersifat politik.
C.     Macam-macam Jarimah
Dari penjelasan unsur-unsur jarimah diatas, ada beberapa jarimah Yang sering menjadi bahasan dalam Hukum Pidana islam, yang mendasari lebih kepada berat atau ringannya suatu hukuman yang dibebankan kepada pelaku jarimah tersebut. Jarimah tersebut adalah:
1.         Jarimah Hudud
Hudud (berasal dari bahasa arab) jamak dari kata had yang berarti batasan, siksaan, ketentuan. Dalam bahasan Fikih sendiri had adalah perbuatan kejahatan yang hukuman-hukumannya berupa fisik ataupun moral yang telah ditentukan oleh nash, yaitu hukuman ketetapan Allah terdapat dalam Al-quran dan juga kanyataan yang telah dilakukan oleh Rasullullah., hukuman atau ketetapan Allah tersebut tidak memiliki batas tertinggi dan juga batas terendah, dan juga tidak bisa dihapuskan oleh perorangan. Tapi dalam penerapanya, Nabi memperlakukan hukum tidak sebagai bunyi teks, lebih kepada stuasi yang kondisional, dengan mempertimbangkan hal yang baik dan buruknya untuk pelaku kejahatan.
Hukuman dan ketetapan Allah yang telah tertulis, dan diberlakukan oleh Nabi dan menjadi Hukum Islam sampai sekarang, bertujuan menjaga ketentraman umat, menjaga ketentraman, keamanan masyarakat.
Ada beberapa jarimah-jarimah yang masuk dalam jarimah hudud, sedikitnya ada tujuh jarimah yaitu:
a.       Zina
b.      Qazf (menuduh orang lain berzina)
c.       Pencurian
d.       Perampokan atau Penyamunan (hirabah)
e.        Al-baghy (Pemberontakan)
f.        Murtad
g.       Minum-minuman keras
2.       Jarimah Qisas Diyat.
Qisas diyat adalah suatu kejahatan terhadap jiwa (menghilangkan nyawa) atau anggota badan, yang diancam dengan hukuman Qishash ( serupa=semisal) perbuatan dibalas dengan perbuatan yang sama juga, ataupun hukuman Diyat (Hukuman ganti rugi) berupa harta benda, denda, kepada korban ataupun kepada walinya atas perbuatan pelaku jarimah tersebut,
Ada beberapa jarimah yang berat ringannya termasuk kedalam Jarimah Qishash Diyat yaitu:
a.       Pembunuhan sengaja (al-qatl al-amd)
b.       Pembunuhan semi sengaja (al-qatl sibh al-amd)
c.         Pembunuhan keliru atau karena kealpaan (al-qatl al-khata’)
d.        Penganiayaan sengaja (I’tida’)
e.         Penganiayaan salah atau keliru (khata’)
3.          Jarimah Ta’zir
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata azzara yang berarti man’u wa radda (mencega dan menolak) dan dapat berarti adabba (mendidik), diartikan mendidik karena Jarimah Ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (Hakim) sebagai pelajaran bagi pelaku jarimah.[4]
 Jadi jarimah ta’zir ini tidak ditentukan kadar ukurannya, artinya untuk menentukan batas rendah dan tertinggi diserahkan kepada Hakim (penguasa). Dalam hukumannya sendiri ta’zir berbeda-beda tergantung besar kecilnya bahaya yang ditimbulkan, hukuman bisa berupa kurungan, penjara, diasingkan, didenda dan sebagainya. Ta’zir ini dibagi menjadi tiga yaitu:
a.       Jarimah hudud atau qishash/diyat yang subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga dan juga pencurian aliran listrik. 
b.      Jarimah-jarimah yang ditentukan Al-Quran dan Al-Hadist, namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan juga menghina agama.
Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan umum, dalam hal ini nilai ajaran islam dijadikan pertimbangan kemaslahatan umum, misalnya pelanggaran lalu lintas sedangkan jarimah berdasarkan niat pelakunya digolongkan menjadi dua, yaitu:
1)         Jarimah yang disengaja (al-jarimah al-maqsudah), perbuataan jarimah yang dilakukan atas dasar kesengajaan untuk melawan hukum,
2)         Jarimah karena kesalahan (al-jarimah ghayr al-maqsudah atau jarimah al- khatha), jarimah yang terjadi dikarenakan ketidak sengajaan, tetapi perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah.
D.    Macam macam ‘uqubah
Dalam hukum pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu:
1.      Ketentuan hukum yang pasti mengenai berat ringannya hukuman termasuk Qishas dan Diat yang tercantum dalam Al Qur’an dan Hadis.
2.            Ketentuan hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta’zir
Hukum publik dalam ajaran Islam adalah jinayah yang memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Jarimah adalah perbuatan tindak pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan batas hukumannya di dalam Al qur’an dan Hadis. Lain halnya dengan Jarimah Ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran bagi pelakunya.[5]
  Ditinjau dari segi hubungannya antara satu hukuman dengan hukuman lain, dapat dibagi empat:
a.        Hukuman pokok, yaitu hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti hukuman mati bagi pembunuh dan hukuman jilid bagi pezina ghair muhsan.
b.         Hukuman pengganti, yaitu hukuman yang menempati hukuman pokok, apabila hukuman pokok itu tidak dapat dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti hukuman denda bagi pembunuh yang disengaja yang dimaafkan qishasnya oleh keluarga korban.
c.            Hukuman tambahan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapatkan warisan dari harta terbunuh.
d.           Hukuman pelengkap, yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman yang telah dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan keputusan hakim tersendiri. Sedangkan hukuman pengganti tidak memerlukan keputusan hakim tersendiri.
  Ditinjau dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi dua:
a.        Hukuman yang tidak memiliki satu batas tertentu, dimana hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas itu, seperti hukuman had.
b.      Hukuman yang memiliki dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti dalam kasus maksiat yang diancam dengan ta’zir.
Ditinjau dari sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat:
a.       Hukuman badan, yaitu hukuman yang dikenakan kepada badan manusia, seperti hukuman jilid.
b.      Hukuman yang dikenakan kepada jiwa, yaitu hukuman yang mati.     
c.       Hukuman yang dikenakan kepada kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara atau pengasingan.
d.           Hukuman harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti diyat, denda dan perampasan.[6]
E.     Tujuan penetapan ‘Uqubah
1.         Pencegahan (Ar Rad’u wa Zajru)
Pengertian pencegahan adalah menahan orang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus menerus melakukan jarimah tersebut. Disamping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandug arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan kepada orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian, kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Tujuan yang pertama ini, berefek kepada masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari perbuatan jarimah maka masyarakat akan tenang, aman, tenteram dan damai. Dan juga efeknya terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya jarimah maka pelaku akan selamat dan terhindar dari penderitaan akibat dari hukuman itu.
2.          Perbaikan dan Pendidikan (Al Ishlah wa Tahdzib)
Maksudnya adalah agar bisa mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebencian terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridha Allah.
Disamping kebaikan pribadi pelaku, syari’at islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya.[7]
Pelaksanaan ‘Uqubah pada dasarnya dilakukan oleh penguasa atau wakilnya, namun dalam kondisi kasus-kasus tertentu si korban atau walinya juga mempunyai hak untuk melakukan hukuman itu sendiri terhadap si pelaku jarimah.
F.     Hal-hal yang mebatalkan dan menghapus ‘uqubah
Pembatalan ‘uqubah ialah tidak dapat dilaksanakannya hukuman yang telah dijatuhkan, berhubung tempat (badan atau bagiannya) untuk melaksanakan sudah tidak ada lagi, atau waktu pelaksanaanya sudah lampau, atau keadaan lain yang berhubungan dengan mental dan psikis terhukum.
Hal-hal yang menyebabkan batalnya ‘uqubah:
1.      Pelaku meninggal dunia, kecuali untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan perampasan harta.
2.      Hilangnya anggota badan yang harus dikenakan hukuman, maka hukumannya berpindah pada diyat dalam kasus jarimah qishash.
3.      Taubat, dalam kasus ini pengadilan boleh memberikan hukuman ta’zir  apabila kemaslahatan umum menghendakinya.
4.      Pemaafan, seperti hadish yang diriwayatkan oleh Amar bin Syuaib dari ayhanya dan kakeknya, bahwa Nabi SAW , bersabda: “saling memafkan lah kamu atas hukuman-hukuman yang masih berada di tangan kalian. Manakala perkaranya telah sampai ke tanganku, maka wajib melaksanakan hukuman”.
5.      Diwariskannya qishash
6.      Kadaluarsa









                                                        BAB III
                                                      PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dalam terminologi hukum islam, jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh menurut syara’ dan ditentukan hukumnya oleh Tuhan, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta’zir). Dalam pembahasan mengenai tindak pidana kejahatan beserta sanksi hukumannya disebut dengan istilah jarimah dan uqubah.
Menurut istilah para fuqaha, ‘uqubah (hukuman) itu adalah pembalasan yang telah ditetapkan demi kemaslahatan masyarakat atas pelanggaran perintah pembuat syariat (Allah dan Rasul-Nya).Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqaba yang sinonimnya khalafahu wa ja a bi’aqabihi, artinya: mengiringnya dan datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafazh tersebut bisa diambil dari lafaz: ‘aqaba yang sinonimnya jazahu sawa a bima fa’ala, artinya: membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.







           

   DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan asas hukum pidana islam”Fiqih Jinayah”, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004.
Mahrus munajat, fiqih jinayah (Hukum Pidana Islam), (Jakarta: pesantren Nawesa press, 2010.
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Djauli, A Fiqih Jinayah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000.













[1] Ahmad Wardi Muchlis, Pengantar dan asas hukum pidana islam”Fiqih Jinayah”, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2004), hlm. 9.
[2] Mahrus munajat, fiqih jinayah (Hukum Pidana Islam), (Jakarta: pesantren Nawesa press, 2010), hlm. 8.
[3] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 22.
[4] Mahrus munajat, Op, Cit., hlm. 145.
[5] Zainuddin Ali, Op, Cit., hlm.11.
[6] Djauli, A Fiqih Jinayah, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 25-26
[7] Muslich, Ahmad Wardi, Op, Cit., hlm. 138-139.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL