BAB
I
PENDAHULAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Fiqih Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan
dengan maslah perbuatan yang dilarang (Jarimah) dan hukumnya (‘uqubah) yang
diambil dari dalil-dalilyang terperinci. Defenisi tersebut merupakan defenisi
antara pengertian “fiqih” dan “Jinayah”. Dari pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa objek pembahasan fiqih jinayah itu secara garis besar ada 2
yakni: jarimah ( tindak pidana) dan ‘uqubah (hukumannya). Dalam istilah lain
jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut abdul qadira udah pengertian
jinayah adalah
B.
Rumusan
Masalah
1.
Pengertian
jarimah dan ‘uqubah
2.
Unsur-unsur
jarimah
3.
Macam-macam
Jarimah
4.
Macam-macam
‘uqubah
5.
Tujuan
penetapan ‘uqubah
6.
Hal-hal
yang membatalkan dan Menghapus ‘Uqubah
C.
Tujuan
1.
Untuk
Mengetahui Pengertian Jarimah dan ‘Uqubah
2.
Untuk
Mengetahui Unsur-unsur Jarimah
3.
Untuk
Mengetaui Macam-macam Jarimah
4.
Untuk
Mengetahui Macam-macam ‘Uqubah
5.
Untuk
Mengetaui Tujuan Penetapan ‘Uqubah
6.
Untuk
Mengetahui H-hal yang Membatalkan dan Menghapus ‘Uqubah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Jarimah dan ‘Uqubah
Jarimah berasal dari bahasa Arab ja ri ma yang sinonimnya ka
sa ba wa qa ta’a yang artinya berusaha dan bekerja. Hanya saja usaha
disinikhusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang di benci Allah.
Dalam terminologi hukum islam, jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh menurut syara’ dan ditentukan hukumnya oleh Tuhan, baik
dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun
sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta’zir). Dalam
pembahasan mengenai tindak pidana kejahatan beserta sanksi hukumannya disebut
dengan istilah jarimah dan uqubah.
Menurut istilah para fuqaha, ‘uqubah (hukuman) itu adalah pembalasan
yang telah ditetapkan demi kemaslahatan masyarakat atas pelanggaran perintah
pembuat syariat (Allah dan Rasul-Nya).Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah.
Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqaba yang
sinonimnya khalafahu wa ja a bi’aqabihi, artinya: mengiringnya dan
datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati
pengertian istilah, barangkali lafazh tersebut bisa diambil dari lafaz: ‘aqaba
yang sinonimnya jazahu sawa a bima fa’ala, artinya: membalasnya
sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa
sesuatu dapat disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan
sesudah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat
dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap
perbuatan nyang menyimpang yang telah dilakukannya.
Menurut
Hukum Pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefenisikan oleh Abdul Qadir
Audah sebagai berikut:
“hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk
memelihara kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan
syara”
Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman
adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas
perbuatan yang melanggar ketentuan syara’, dengan tujuan untuk memelihara
ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga untuk melindungi
kepentingan individu.
Maksud pokok hukuman adalah untuk memelihara dan
menciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga mereka dari hal-hal yang mafsadah,
karena islam itu sebagai rahmatan lil’alamin, untuk memberi petunjuk dan
pelajaran kepada manusia.Hukuman itu harus mempunyai dasar, baik dari Al
Qur’an, hadis, atau lembaga legislatif yang mempunyai kewenangan menetapkan
hukuman untuk kasus ta’zir. Selain itu hukuman itu harus bersifat pribadi.
Artinya hanya dijatuhkan kepada yang melakukan kejahatan saja. Hal ini sesuai
dengan prinsip bahwa:”Seseorang tidak menanggung dosanya orang lain”. Terakhir,
hukuman itu harus bersifat umum, maksudnya berlaku bagi semua orang, karena
semua manusia sama di hadapan hukum.
B.
Unsur-unsur
Jarimah
Bila dilihat dari
perbuatannya, suatu perbuatan dikatakan jarimah dalam islam bila perbuatan
tersebut mengandung tiga unsur:
1. Unsur formil: adanya undang-undang yang mengatur
atau nash. Artinya apabila sebuah perbuatan dikatakan jarimah atau tidaknya,
bila perbuatan tersebut bisa dipersalahkan atau dibenarkan oleh Undang-undang
yang berlaku. Dalam Hukum Islam masalah ini dikenal dengan istilah ar-rukn
asy-syar’i.
2. Unsur materiil: adanya sifat melawan hukum, artinya
sebuah perbuatan dikatakan jarimah bila perbuatan tersebut melanggar
aturan-aturan yang telah ditetapkan, dan bisa dikatagorikan kejahatan atau
jarimah.
3. Unsur moril: pelaku jarimah yaitu mukalaf, artinya
seseorang yang melakukan jarimah tersebut orang yang bisa bertanggung jawab,
dan bisa dipersalahkan. Cukup umur, akil baligh, berakal baik(tidak gila) bisa
disimpulkan mampu bertanggung jawab.
Selain unsur yang
telah dijalaskan diatas ada beberapa unsur yang harus diperhatikan dari aspek
yang menonjol sebagai tindakan jarimah:
a. Dari segi berat ringannya hukuman, Hukum Pidana Islam
dapat dibedakan atas: jarimah hudud, jarimah qishash, dan jarimah ta’zi.
b. Dilihat
dari niatnya dibagi menjadi dua jarimah , yaitu jarimah sengaja dan jarimah
tanpa disegaja
c. Dari segi cara mengerjakannya, dibedakan menjadi dua
jarimah yaitu yang positif dan juga yang negatif.
d. Dilihat
dari segi si korban ada dua yaitu, korban perorangan dan juga kelompok
e. Dilihat
dari tabiatnya, dibedakan menjadi dua, yaitu bersifat biasa dan juga bersifat
politik.
C.
Macam-macam Jarimah
Dari
penjelasan unsur-unsur jarimah diatas, ada beberapa jarimah Yang sering menjadi
bahasan dalam Hukum Pidana islam, yang mendasari lebih kepada berat atau
ringannya suatu hukuman yang dibebankan kepada pelaku jarimah tersebut. Jarimah
tersebut adalah:
1.
Jarimah Hudud
Hudud
(berasal dari bahasa arab) jamak dari kata had yang berarti batasan, siksaan,
ketentuan. Dalam bahasan Fikih sendiri had adalah perbuatan kejahatan yang
hukuman-hukumannya berupa fisik ataupun moral yang telah ditentukan oleh nash,
yaitu hukuman ketetapan Allah terdapat dalam Al-quran dan juga kanyataan yang
telah dilakukan oleh Rasullullah., hukuman atau ketetapan Allah tersebut tidak
memiliki batas tertinggi dan juga batas terendah, dan juga tidak bisa
dihapuskan oleh perorangan. Tapi dalam penerapanya, Nabi memperlakukan hukum
tidak sebagai bunyi teks, lebih kepada stuasi yang kondisional, dengan
mempertimbangkan hal yang baik dan buruknya untuk pelaku kejahatan.
Hukuman dan
ketetapan Allah yang telah tertulis, dan diberlakukan oleh Nabi dan menjadi
Hukum Islam sampai sekarang, bertujuan menjaga ketentraman umat, menjaga
ketentraman, keamanan masyarakat.
Ada beberapa jarimah-jarimah yang masuk dalam jarimah
hudud, sedikitnya ada tujuh jarimah yaitu:
a.
Zina
b.
Qazf (menuduh orang lain berzina)
c.
Pencurian
d.
Perampokan
atau Penyamunan (hirabah)
e.
Al-baghy
(Pemberontakan)
f.
Murtad
g.
Minum-minuman
keras
2.
Jarimah
Qisas Diyat.
Qisas diyat adalah suatu kejahatan terhadap jiwa
(menghilangkan nyawa) atau anggota badan, yang diancam dengan hukuman Qishash (
serupa=semisal) perbuatan dibalas dengan perbuatan yang sama juga, ataupun
hukuman Diyat (Hukuman ganti rugi) berupa harta benda, denda, kepada korban
ataupun kepada walinya atas perbuatan pelaku jarimah tersebut,
Ada beberapa jarimah yang berat ringannya termasuk
kedalam Jarimah Qishash Diyat yaitu:
a.
Pembunuhan sengaja (al-qatl
al-amd)
b.
Pembunuhan semi sengaja (al-qatl
sibh al-amd)
c.
Pembunuhan keliru atau karena
kealpaan (al-qatl al-khata’)
d.
Penganiayaan sengaja (I’tida’)
e.
Penganiayaan salah atau keliru (khata’)
3.
Jarimah
Ta’zir
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata azzara
yang berarti man’u wa radda (mencega dan menolak) dan dapat
berarti adabba (mendidik), diartikan mendidik karena Jarimah Ta’zir
adalah perbuatan pidana yang bentuk ancaman hukumannya ditentukan oleh penguasa
(Hakim) sebagai pelajaran bagi pelaku jarimah.
Jadi jarimah ta’zir ini tidak ditentukan kadar
ukurannya, artinya untuk menentukan batas rendah dan tertinggi diserahkan
kepada Hakim (penguasa). Dalam hukumannya sendiri ta’zir berbeda-beda
tergantung besar kecilnya bahaya yang ditimbulkan, hukuman bisa berupa
kurungan, penjara, diasingkan, didenda dan sebagainya. Ta’zir ini dibagi
menjadi tiga yaitu:
a.
Jarimah hudud atau qishash/diyat
yang subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya
percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga dan
juga pencurian aliran listrik.
b.
Jarimah-jarimah yang ditentukan Al-Quran
dan Al-Hadist, namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi
palsu, tidak melaksanakan amanat dan juga menghina agama.
Jarimah-jarimah
yang ditentukan oleh ulil amri untuk kemaslahatan umum, dalam hal ini nilai
ajaran islam dijadikan pertimbangan kemaslahatan umum, misalnya pelanggaran
lalu lintas sedangkan jarimah berdasarkan niat pelakunya digolongkan menjadi
dua, yaitu:
1)
Jarimah yang
disengaja (al-jarimah al-maqsudah), perbuataan jarimah yang dilakukan
atas dasar kesengajaan untuk melawan hukum,
2)
Jarimah
karena kesalahan (al-jarimah ghayr al-maqsudah atau jarimah al-
khatha), jarimah yang terjadi dikarenakan ketidak sengajaan, tetapi
perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur jarimah.
D.
Macam macam ‘uqubah
Dalam hukum
pidana Islam terbagi atas dua bagian, yaitu:
1.
Ketentuan hukum yang pasti mengenai
berat ringannya hukuman termasuk Qishas dan Diat yang tercantum dalam Al
Qur’an dan Hadis.
2.
Ketentuan
hukuman yang dibuat oleh hakim melalui putusannya yang disebut hukuman ta’zir
Hukum publik dalam ajaran Islam adalah jinayah
yang memuat aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman, baik dalam jarimah
hudud maupun dalam jarimah ta’zir. Jarimah adalah perbuatan tindak
pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan pidana yang mempunyai bentuk dan
batas hukumannya di dalam Al qur’an dan Hadis. Lain halnya dengan Jarimah
Ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk dan ancaman hukumannya
ditentukan oleh penguasa (hakim) sebagai pelajaran bagi pelakunya.
Ditinjau dari segi hubungannya
antara satu hukuman dengan hukuman lain, dapat dibagi empat:
a.
Hukuman
pokok, yaitu hukuman yang asal bagi satu kejahatan, seperti hukuman mati bagi
pembunuh dan hukuman jilid bagi pezina ghair muhsan.
b.
Hukuman pengganti, yaitu hukuman
yang menempati hukuman pokok, apabila hukuman pokok itu tidak dapat
dilaksanakan karena suatu alasan hukum, seperti hukuman denda bagi pembunuh
yang disengaja yang dimaafkan qishasnya oleh keluarga korban.
c.
Hukuman
tambahan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku atas dasar mengikuti
hukuman pokok, seperti terhalangnya seorang pembunuh untuk mendapatkan warisan
dari harta terbunuh.
d.
Hukuman
pelengkap, yaitu hukuman yang dijatuhkan sebagai pelengkap terhadap hukuman
yang telah dijatuhkan, seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong
di lehernya. Hukuman ini harus berdasarkan keputusan hakim tersendiri.
Sedangkan hukuman pengganti tidak memerlukan keputusan hakim tersendiri.
Ditinjau
dari segi kekuasaan hakim yang menjatuhkan hukuman, maka hukuman dapat dibagi
dua:
a.
Hukuman yang tidak memiliki satu
batas tertentu, dimana hakim tidak dapat menambah atau mengurangi batas itu,
seperti hukuman had.
b.
Hukuman yang memiliki dua batas,
yaitu batas tertinggi dan batas terendah, dimana hakim dapat memilih hukuman
yang paling adil dijatuhkan kepada terdakwa, seperti dalam kasus maksiat yang
diancam dengan ta’zir.
Ditinjau
dari sasaran hukum, hukuman dibagi menjadi empat:
a.
Hukuman badan, yaitu hukuman yang
dikenakan kepada badan manusia, seperti hukuman jilid.
b.
Hukuman yang dikenakan kepada jiwa,
yaitu hukuman yang mati.
c.
Hukuman yang dikenakan kepada
kemerdekaan manusia, seperti hukuman penjara atau pengasingan.
d.
Hukuman
harta, yaitu hukuman yang dikenakan kepada harta, seperti diyat, denda
dan perampasan.
E.
Tujuan penetapan ‘Uqubah
1.
Pencegahan (Ar Rad’u wa Zajru)
Pengertian
pencegahan adalah menahan orang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak terus menerus melakukan jarimah
tersebut. Disamping mencegah pelaku, pencegahan juga mengandug arti mencegah
orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia
bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan
kepada orang lain yang juga melakukan perbuatan yang sama. Dengan demikian,
kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu
sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak
berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.
Tujuan yang pertama
ini, berefek kepada masyarakat, sebab dengan tercegahnya pelaku dari perbuatan
jarimah maka masyarakat akan tenang, aman, tenteram dan damai. Dan juga efeknya
terhadap pelaku, sebab dengan tidak dilakukannya jarimah maka pelaku akan
selamat dan terhindar dari penderitaan akibat dari hukuman itu.
2.
Perbaikan
dan Pendidikan (Al Ishlah wa Tahdzib)
Maksudnya
adalah agar bisa mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan
menyadari kesalahannya. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam
diri pelaku suatu kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan
hukuman, melainkan karena kesadaran diri dan kebencian terhadap jarimah serta
dengan harapan mendapat ridha Allah.
Disamping
kebaikan pribadi pelaku, syari’at islam dalam menjatuhkan hukuman juga
bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi oleh rasa saling
menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan mengetahui
batas-batas hak dan kewajibannya.
Pelaksanaan
‘Uqubah pada dasarnya dilakukan oleh penguasa atau wakilnya, namun dalam
kondisi kasus-kasus tertentu si korban atau walinya juga mempunyai hak untuk
melakukan hukuman itu sendiri terhadap si pelaku jarimah.
F.
Hal-hal yang mebatalkan dan
menghapus ‘uqubah
Pembatalan
‘uqubah ialah tidak dapat dilaksanakannya hukuman yang telah dijatuhkan,
berhubung tempat (badan atau bagiannya) untuk melaksanakan sudah tidak ada
lagi, atau waktu pelaksanaanya sudah lampau, atau keadaan lain yang berhubungan
dengan mental dan psikis terhukum.
Hal-hal yang
menyebabkan batalnya ‘uqubah:
1.
Pelaku meninggal dunia, kecuali
untuk hukuman yang berupa denda, diyat, dan perampasan harta.
2.
Hilangnya anggota badan yang harus
dikenakan hukuman, maka hukumannya berpindah pada diyat dalam kasus jarimah
qishash.
3.
Taubat, dalam kasus ini pengadilan
boleh memberikan hukuman ta’zir apabila
kemaslahatan umum menghendakinya.
4.
Pemaafan, seperti hadish yang
diriwayatkan oleh Amar bin Syuaib dari ayhanya dan kakeknya, bahwa Nabi SAW ,
bersabda: “saling memafkan lah kamu atas hukuman-hukuman yang masih berada
di tangan kalian. Manakala perkaranya telah sampai ke tanganku, maka wajib
melaksanakan hukuman”.
5.
Diwariskannya qishash
6.
Kadaluarsa
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam terminologi hukum islam, jarimah diartikan sebagai
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh menurut syara’ dan ditentukan hukumnya
oleh Tuhan, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had)
maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta’zir). Dalam
pembahasan mengenai tindak pidana kejahatan beserta sanksi hukumannya disebut
dengan istilah jarimah dan uqubah.
Menurut istilah para fuqaha, ‘uqubah (hukuman) itu adalah
pembalasan yang telah ditetapkan demi kemaslahatan masyarakat atas pelanggaran perintah
pembuat syariat (Allah dan Rasul-Nya).Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah.
Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata ‘aqaba yang
sinonimnya khalafahu wa ja a bi’aqabihi, artinya: mengiringnya dan
datang di belakangnya. Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati
pengertian istilah, barangkali lafazh tersebut bisa diambil dari lafaz: ‘aqaba
yang sinonimnya jazahu sawa a bima fa’ala, artinya: membalasnya
sesuai dengan apa yang dilakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Wardi
Muchlis, Pengantar dan asas hukum pidana islam”Fiqih Jinayah”, Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2004.
Mahrus munajat,
fiqih jinayah (Hukum Pidana Islam), (Jakarta: pesantren Nawesa press, 2010.
Zainuddin
Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Djauli,
A Fiqih Jinayah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000.
Komentar
Posting Komentar