MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH METODE IRFANI DAN METODE BAYANI


A.    Pengertian Metode
Dalam pengertian umum, metode diartikan sebagai cara mengerjakan sesuatu. Cara itu mungkin baik mungkin tidak baik. Baik dan tidak baiknya sesuatu metoda banyak bergantung kepada beberapa faktor.
Faktor-faktor itu mungkin berupa situasi dan kondisi, pemakai metode dengan seleranya, atau secara objektif metode itu kurang cocok dengan kondisi dari objek. Juga mungkin karena metodenya sendiri yang secara intrinsik tidak memenuhi persyaratan sebagai metode. Hal itu semua bergantung pada metode itu diciptakan di satu pihak, dan pada sasaran yang akan digarap dengan metode itu di lain pihak.
Dalam pengertian letterlijk, kata “metode” berasal dari bahasa Greek yang terdiri dari meta yang artinya “melalui”, dan hodos yang berarti “jalan”. Jadi, metode berarti “jalan yang dilalui”.
Dalam pandangan filosofis pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Alat itu mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat polipragmatis dan monopragmatis.
Polipragmatis, bilamana metode itu mengandung kegunaan yang serba ganda (multipurpose). Suatu metode tertentu pada suatu situasi dan kondisi tertentu dapat dipergunakan untuk merusak, pada situasi dan kondisi yang lain dapat digunakan untuk membangun atau memperbaiki. Kegunaannya dapat bergantung pada sipemakai atau pada corak dan bentuk serta kemampuan dari metode sebagai alat, seperti halnya Video Cassette Recorder (VCR) yang dapat dipergunakan untuk merekam semua jenis film yang pornografis atau yang moralis (suatu bentuk dan kemampuan yang melekat padanya) juga dapat dipergunakan untuk alat mendidik/mengajar dengan film-film pendidikan.
Sebaliknya, metode sebagai alat yang bersifat monopragmatis adalah alat yang hanya dapat dipergunakan untuk mencapai satu macam tujuan saja. Misalnya, labolatorium ilmu alam, hanya dapat dipergunakan untuk eksperimen-eksperimen bidang ilmu alam, tidak dapat dipergunakan untuk eksperimen bidang lain, seperti ilmu sosial atau kedokteran.
Namun, bagaimanapun bentuk dan kemampuan sesuatu metode, penggunaan suatu macam metode dalam proses kependidikan adalah mutlak. Mungkin dibidang lain orang dapat mengerjakan sesuatu tugas pekerjaan tanpa menggunakan suatu metode, melainkan harus memakai suatu teknik mengerjakannya saja.
Metode mengandung implikasi bahwa proses penggunaannya bersifat konsisten dan sistematis, mengingat sasaran metode itu adalah manusia yang sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan.[1]
Metodologi merupakan bagian epistemologi yang mengkaji perihal urutan langkah-langkah yang ditempuh supaya pengetahuan yang diperoleh memnuhi ciri-ciri ilmiah. Metodologi juga dapat dipandang sebagai bagian dari logika yang mengkaji kaidah penalaran yang tepat.[2]
Penelitian ini memadukan antara jenis penelitian falsafah dengan penelitian endidikan. Penelitian falsafah dimaksudkan untuk mengkaji pemikiran tokoh beserta konsep pendidikannya. Objek fprmalnya adalah buah pikiran fisuf tersebut yang diketahui melalui karya tulisnya, bukan dalam arti sosiologis, budaya atau politik, melainkan mengungkap visi pendidikannya. Sedangkan, penelitian pendidik disini termasuk dalam penelitian pengembangan karena, berupaya untuk mengembangkan teori dan metodologi pendidikan islam melalui analisis konsep pendidikan yang ada sebelumnya.[3]


B.     Beberapa Pandangan Tentang Prinsip Metodologis
Filsuf-filsuf yang paling banyak menaruh perhatian terhadap persoalan penting dibalik metodologis atau pun prinsip-prinsip metodologi yaitu :
1.      Rene Descartes
Rene Decartes mengusulkan suatu metode umum yang memiliki kebenaran yang pasti. Dalam karyanya yang termasyur, Discourse on methode, Risalah tentang metode, diajukan enam bagian penting sebagai berikut :
a.       Membicarakan masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan menyebutkan akal sehat (common-sense)  yang pada umumnya dimiliki semua orang.
b.      Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam aktivitas ilmiah.
c.       Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan metode.
d.      Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acapkali terkecoh oleh indera.
e.       Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia, yang terdiri atas dua substansi, yaitu Res cogitans (jiwa bernalar) dan res extensa (jasmani yang meluas).
f.       Dua jenis pengetahuan, yaitu pengetahuan spekulatif yang menyangkut hal-hal yang bersifat filosofis dan pengetahuan praktis seperti api, air, udara, planet dan lain-lain.

2.      Alfred Jules Ayer
Pemikiran Ayer yang termuat dalam bukunya yang berjudul Language, truth, and logic. Ajaran terpenting yang terkait dengan masalah metodologis adalah prinsip verifikasi. Pada mulanya perbincangan mengenai prinsip verifikasi ini mengacu pada metode ilmiah yang diterapkan dalam bidang fisika modern, atau kritik terhadap metode fisika klasik isaac Newton. Teori “Relativitas” Einstein yang termasyur itu telah memperlihatkan secara jelas bahwa konsep “Ruang dan waktu yang Absolut” dari fisika klasik yang diajukan oleh newton, hanya bermakna manakala seseorang dapat merinci apakah pelaksana terhadap percobaan yang dilakukan itu dapat dipastikan.

3.      Karl Raimund Popper
Popper seprang filsuf kontenporer yang melihat kelemahan dalam prinsif verifikasi berupa sifat pembenaran atau (justification) terhadap teori yang telah ada. Ia mengajukan prinsip falsifikasi yang dapat diurai sebagai berikut:
1)      Popper menolak anggapan umum bahwa suatu teori dirumuskan dan dapat dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi, sebagaimana yang dianut oleh kaum positivistik.
2)      Cara kerja metode induksi yang secara sistematis dimulai dari pengamatan atau observasi secara teliti gejala yang sedang diselidiki.
3)      Popper menawarkan pemecahan baru dengan mengajukan prinsip falsifiabilitas, yaitu bahwa sebuah pernyataan dapat dibuktikan kesalahannya.[4]

C.    Pentingnya Perbandingan sebagai Metode dan Ilmu
Sebagaimana halnya dalam ilmu-ilmu sosial, misalnya sosiologi, perbandingan dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan perbedaan antara dua gejala tertentu. Perumusan mengenai perbandingan sebagai metode dapat disimak dari pendapat para ahli antara lain sebagai berikut:
Thomas Fort Hoult menyatakan bahwa studi sistematik tentang dua atau lebih masyarakat untuk memperoleh perbedaan-perbedaan maupun persamaan-persamaan signifikan diantara kedua masyarakat.
Sedangkan Hugo F. Reading menyatakan: membandingkan dua masyarakat dan lembaga-lembaga untuk mengungkapkan ikatan-ikatan dan korelasi-korelasi.
Dalam ilmu hukum, penggunaan perbandingan itu demi pengembangan ilmu kaidah dan ilmu pengertian. Dalam membangun ilmu perbandingan hukum dan metodologinya, dipergunakan disiplin ilmu sosial misalnya sosiologi maupun antropoli.

D.    Tahap-tahap Menetepkan Perbandingan sebagai Metode dan Ilmu
Menurut Strauss, tahap-tahap menetapkan perbandingan sebagai metode adalah sebagai berikut:
1.      Mendefenisikan fenomena yang dikaji sebagai hubungan antara dua istilah atau lebih, yang bersifat realistik atau rekaan.
2.      Menyusun tabulasi mengenai permutasi antara istilah-istilah ini
3.      Menjadikan tabulasi ini sebgai objek analisis yang bersifat umum yang pada tahap ini, hanya mengahsilkan hubungan yang niscaya oleh fenomena sejak awal dipandang sebagai satu-satunya perpaduan yang mungkin diantara yang lain, sistem sempurna yang harus langsung direkonstruksi
Sedangkan didalam ilmu kalam, perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan yang juga menggunakan metode perbandingan, mempunyai ruang lingkup perbandingan tentang isi kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya, dan dasar-dasar kemasyarakatannya. Lingkup kajian perbandingan serupa ini mencakup kajian ilmu hukum dogmatis yang kegiatannya terutama berkisar pada penafsiran, konstruksi dan sistematika hukum.[5]

E.     Pengertian Irfani dan Bayani
Irfani merupakan bahasa Arab yang memiliki makna asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakana diam dan tenang. Namun secara Harfiyah al-irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Secara termologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasy) setelah melalui riyadhoh.
Kata bayani berasal dari bahasa arab yaitu al-bayani yang secara harfiah bermakna sesuatu yang jauh atau sesuatu yang terbuka. Secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan, jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mental sehingga perlu tafsir dan penalaran.[6]
F.     Pengetahuan Irfani
Untuk berada dekat pada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi stasiun-stasiun, yang disebut maqamat dalam istilah Arab, atau stages dalam istillah inggris. Buku-buku tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang stasiun-stasiun ini.[7]
Dibawah ini akan diberikan stasiun-stasiun yang kedudukannya dalam tasawuf tidak sederajat dengan al-zuhd, al-ma’rifah, al-mahabbah dan sebagainya.
1.      Tobat yang dimaksudkan sufi ialah tobat yang sebenar-benarnya, tobat tidak akan membawa kepada dosa lagi.
2.      Wara’, menjauhkan diri dari segala sesuatu yang tidak jelas statusnya (subbat). Dalam tasawuf, Wara’ ini terdiri atas dua tingkatan, lahir dan batin.
3.      Fakir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan dari kehidupan masa kini dan masa yang akan datang, dan tidak mengkehendaki sesuatu apapun kecuali Tuhan, sehingga ia tidak terikat dengan apapun dan hati tidak menginginkan sesuatupun.
4.      Sabar, yakni menerima segala bencana dengan laku sopan dan rela.
5.      Tawakkal, percaya atas apa yang ditentukan Tuhan. Tahap awal dari tawakkal adalah menyerahkan diri pad Tuhan laksana mayat dihadapan orang yang memandikan
6.      Rida / kerelaan, hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita. Ini adalah puncak dari tawakkal.[8]






DAFTAR PUSTAKA
Arifin Muzayyin, Filsafat Pendidikan Islam, jakarta : PT Bumi Aksara, 2003
Assegaf Abd. Rachman, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 2014
Kartanegara Mulyadhi, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, Jakarta Selatan : Teraju, 2002
Mustansyir Rizal dkk, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006
Nasution Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1999
Pbasemviainpsp.blogspot.com, kumpulan makalah filsafat ilmu jurusan pba sem V iain padang sidimpuan2017, Dikutip 09 maret 2019, jam 19:30 wib



[1] Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (jakarta : PT Bumi Aksara, 2003), hlm. 89
[2] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), hal. 107
[3] Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), hlm. 31
[4] Log. Cit., hlm.108-118
[5] Mulyadhi Kartanegara, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, (Jakarta Selatan : Teraju, 2002), hlm. 84
[6] Pbasemviainpsp.blogspot.com, kumpulan makalah filsafat ilmu jurusan pba sem V iain padang sidimpuan2017, Dikutip 09 maret 2019, jam 19:30 wib
[7] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1999), hlm. 60
[8] Ibid, hlm. 65

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL