BAB I
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang
Pernikahan
merupakan sunnah dari Rasulullah SAW, namun tidak semua perempuan itu boleh
dinikahi oleh seorang laki-laki, karena dalam hukum syara’ telah ditetapkan
bahwa ada beberapa golongan yang diharamkan untuk dinikahi.
Masalah
pernikahan adalah suatu permasalahan yang membayangi kehidupan kita. Perhatian
Islam yang demikian terhadap pernikahan terlihat dari hukum-hukum yang membahas
pernikahan secara rinci agar keturunan ummat terjaga.
Meskipun hak
pernikahan bagi seorang muslim halal dilaksanakan menurut agama, tetapi harus
di ingat juga bahwa ada juga beberapa golongan wanita yang haram dinikahi dan
perempuan itu di benci oleh Allah SWT. Maka dengan begitu kita sebagai ummat
muslim harus bisa menjaga hubungan yang baik dalam hidup berumah tangga agar
tercapai keluarga yang Sakinah, Mawaddah dan Warahmah. Dalam makalh ini kami
akan membahas tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, yaitu wanita senasab,
sesusuan, pertalian pernikahan dan larangan menikahi wanita sementara.
B. Rumusan
Masalah
1. Kenapa
dilarangan menikahi wanita sebab pertalian senasab?
2. Kenapa
dilarang menikahi sebab sesusuan?
3. Kenapa
dilarang menikahi wanita sebab pertalian pernikahan?
4. Kenapa
dilarang menikahi wanita hanya sementara?
C. Tujuan
Agar kita mengetahui apa saja yang
menyebabkan wanita-wanita dilarang untuk dinikahi dan kenapa wanita itu
dilarang di nikahi hanya sementara.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Larangan
Menikahi Wanita sebab pertalian senasab
Larangan menikah tersebut didasarkan firman Allah dalam
surah an-Nisa ayat 23
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$#
Artinya :
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan.
Berdasarkan ayat
diatas wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya ( halangan abadi )
karena pertalian nasab adalah :
1. Ibu
Ibu yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan
darah dalam garis keturuan garis keatas, yaitu ibu, nenek ( baik dari puhak
ayah maupun ibu dan seterusnya keatas ).
2. Anak
perempuan
Yang dimaksud ialah wanita yang menpunyai darah
dalam garis lurus kebawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak
laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya kebawah.
3. Saudara
perempuan
Baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.
4. Bibi
Bibi yaitu saudara perempuan ayah atau ibu baik
saudara sekandung ayah atau seibu dan seterusnya keatas.
5. Keponakan
perempuan
Yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara
perempuan dan seterusnya kebawah.
B. Larangan
menikahi wanita sebab hubungan sesusuan
Bila seorang
anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu perempuan itu menjadi
darah danging dan pertumbuhan bagi sianak sehingga perempuan yang menyusukan itu
telah seperti ibu nya. Ibu tersebut menghasilkan susu karena kehamilan yang
disebabkan hubungannya dengan suaminya, sehingga suami perempuan itu sudah
seperti ayahnya. Sebaliknya bagi ibu yang menyusukan dan suaminya anak tersebut
sudah seperti anaknya demikian pula anka yang dilahirkan ibu itu seperti
saudara dari anak yang menyusu kepada ibu tersebut, selanjutnya hubungan susuan
sudah seperti hubungan nasab.
Adanya hubungan
persusuan ini muncul setelah terpenuhi beberapa syarat yang setiap sarat itu menjadi
perbincangan dikalangan ulama.
1. Usia
anak yang menyusu
Jumhur ulama berpendapat bahwa anak yang menyusu
masih berumur dua tahun, karena dalam
masa tersebut air susu siibu akan menjadi pertumbuhannya. Batas masa dua tahun
ini berdasarkan kepada sabda Nabi dalam hadits Ibnu Abbas menurut riwayat al-Darmal al-Quthniy, yang artinya:
tidak ada hubungan persusuan kecuali dalam masa dua tahun.
Berbeda pendapat muncul dari ulama Zhahiriy yang
mengatakan bahwa susuan yang berlaku terhadap anak yang berumur lebih dari dua
tahun, bahkan yang sudah dewasa juga menimbulkan hubungan susuan.
Bila sianak telah berhenti menyusu sebelum waktu dua
tahun dan tidak lagi memerlukan air susu ibu, kemudian sianak disusukan oleh
seorang ibu apakah yang demikian menyebabkan hubungan susuan atau tidak. Imam
malik berpendapat yang demikian tidak lagi menyebabkan hubungan susuan. Ulama
ini mendasarkan pendapatnya sepotong hadits Nabi yang artinyan: tidak ada
susuan cecuali bila susuan itu memenuhi kebutuhan laparnya. Imam Abu Hanipah
dan Imam Syafi’i menyatakan bahwa susuan dalam bentuk itu tetap menyebabkan hubungan susuan yang
mengharamkan, karena sianak mesih berada dibawah umur dua tahun sebagaimanaa
dalam hadits diatas.
2. Kadar
susuan
dalam hal seberapabanyak atau seberapa kali sianak
menyusu untuk timbulnya hubungan susuan terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama. Ulama malikiyah tidak memberikan batas kadar tertentu untuk timbulnya
hubungan susuan dalam arti seberapapun sianak menyusu dalam usia dua tahun itu
telah terjadi hubungan susuan. Golongan ini berpegang pada kemutlakan ayat yang
mengatakan larangan susuan. Jumhur ulama berpendapat sebanyak lima kali susuan,
Karena bila kurang dari itu belum akan menyebabkan pertumbuhan.
3. Dalam
cara menyusu
Cara menyusu yang bisa dipahami umum adalah sianak
menyusu langsung dari piting susu ibu sehingga sianak merasakan kehangatan susu
ibu itu. Namun, bila sianak menyusu tidak langsung menyusu dari puting si ibu,
tetapi air susu ibu yang di perah dimasukkan kedalam mulut si anak dengan
menggunakan alat tertentu, terdapat berbeda peendapat dikalangan ulama dalam
menjadikan sebagai hubungan susuan yang menyebabkan haram susuan.
Jumhur ulama (termasuk Malikiyah) berpendapat bahwa
penyusuan tidak melalui puting susu ibu tetap menyebabkan adanya hubungan
susuan, karena yang menjadi dasar bagi golongan ini adalah sampainya air susu
ibu kedalam kerongkongannya. Yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah
golongan Zhairy yang mengatakan bahwa yang menyebakan susuan itu biala sianak langsung
menyusu dari puting susu ibu dan tidak melalui cara lainnya meskipun air susu
itu sampai kedalam kerongkongan si anak, karena yang disebut menyusu itu
adalanh bila sianak langsung menyusu dari puting susu ibu.
4. Kemurnian
air susu ibu
Kemurnian air susu ibu dalam arti tidak bercampur
dengan air susu alin atau dengan zat lain diluar air susu ibu. Sebagian ulama
termasuk Abu Hanifah dan sahabatnya mempersyaratkan kemurnian air susu itu. Hal
ini dihubungkan kepada pendapat bahwa menyusu tidak mesti langsung dari puting
susu sebagaimana yang dikatakan diatas. Dengan demikian, bila air susu ibu itu
telah bercampur dengan yang lainnya, maka tidak terjadi hubungan susuan.
Sebagaian ulama diantaranya imam al-Syafi’i dan
pengikut imam Malik berpendapat air susu yang bercampur itu menyebabkan
hubungan susuan bila percampuran dengan yang lain itu tidak menghilangkan sifat
dan bentuk dari air susu. Namun bila campuran itu melebur air susu ibu, maka
susu tersebut tidak menyebabkan hubungan susuan.
5. Suami
sebagai penyebab adanya susu
Jumhur
ulama mengatakan bahwa pwnyusuan yang menyebabkan adanya hubungan dan susuan
itu ialah bila susu tersebut berasal dari perempuan yang bersuami dan tidak
dari perempuan yang timbulnya air susu itu sebab perbuatan zina. Dalam hal ini
apaka suami yang menyebabkan air susu itu dapat menempati kedudukan ayah
sehingga menimbulkan hubungan pula dengan orang-orang yang berhubungan dengan
ayah itu, terdapat beda pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama termasuk imam
yang 4, berpendapat bahwa suami yang menghasilkan susu ibu yang disebut alfahl
menyebabkan hubungan susuan.
6. Kesaksian
Adanya peristiwa penyusuan menyebabkan hubungan
susuan dan dengan adanya hubungan susuan itu, maka timbullah larangan
perkawinan antara orang-orang yang berhubungan susuan itu. Untuk memastiakan
telah terjadinya peristiwa penyusuan diperlukan adanya kesaksian. Tentang
beberapa orang yang harus menyaksikan terdapat perbedaan dikalangan ulama.
Satu pandangan mengatakan bahwa tidak diterima
kesaksian kecuali 2 orang saksi perempuan sebagaiman kesaksian 2 orang
laki-laki dalam perkawinan.
Beda diantara keduanya adalah dalam kesaksian
penyusuan ini tidak dapat dilakukan oleh laki-laki, maka dengan sendirinya
digantikan oleh perempuan dengan jumlah yang sama.
Segolongan ulama berpendapat bahwa kesaksian untuk
penyusuan dilakukan oleh 4 orang perempuan karena setiap 2 orang perempuan
menduduki tempat seorng laki-laki. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh imam
al-Syafi’i.
Dengan dimaksudnya hubungan susuan dengan hubungan
nasab, maka perempuan yang haram dinikahi karena hubungan susuan itu secara
lengkap adalah sebagai berikut :
1. Ibu
susuan
Yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita
yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang di
susui itu, sehingga haram melakukan pernikahan.
2. Nenek
susuan
Yaitu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami
yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah nagi
anak susuan, sehingga haram melakukan pernikahan.
3. Bibi
susuan
Yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara
suani ibu susuan dan seterusnya ke atas.
4. Keponakan
susuan perempuan
Yakni anak erempuan dari saudara ibu susuan.
5. Saudara
susuan peremuan
Ini baik saudara ayah sekandung maupun se ibu saja.
C. Larangan
Menikahi Sebabab Pertalian Pernikahan
Keharaman ini
disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surah An-Nisa di atas.
ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r&
Artinya:
ibu-ibu isterimu
(mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu.
Jika diperinci
adalah sebagai berikut
:
1. Mertua
perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas, baik garis ibu atau
ayah.
2. Anak
tiri, dengan syarat kalu telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan
anak tersebut.
3. Menantu,
yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya ke bawah.
4.
Ibu tiri, yakni
bekas istri ayah, untuk ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual
antara ibu dan ayah.
Iman Syafi’i
berpendapat bahwa larangan pernikahan karena pertalian pernikahan hanya
disebabkan karena semata-mata akad saja, tidak bisa karena perzinaan, dengan
alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu disamakan dengan pertalian
pernikahan. Sebaliknya imam Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan pernikahan
karena tali pernikahan, disamping disebabkan akad yang sah, bisa juga
disebabkan karena perzinahan.
Istri ayah (ibu
tiri) haram dikawini dengan sepakat para ulama atas dasar semata-mata akad
walaupun tidak disetubuhi. Kalau sudah terjadi akad nikah, baik sudah
disetubuhi ataupun belum namanya adalah istri ayah.
Ibu istri
(mertua) digolongkan di dalamnya nenek dari istri dan ibu dari ayah istri
hingga ke atas, karena mereka digolongkan dalam Ummahatu Nisa’i (ibu-ibu istri).
Anak istri (anak
tiri) dengan syarat keharamannya itu karena telah menyetubuhi ibunya, artinya,
kalu seorang pria dan seorang wanita baru terikat dengan hanya semata-mata akad
(belum terjadi persetubuhan) maka menikahi anaknya tidak haram (boleh) sebagian
ulama berpendapat, ini berlaku pula secara timbal balik buat ibu istri
(mertua), artinya, haram pula menikahi mertua kalau sudah menyetubuhi anaknya.
Kalau belum terjadi persetubuhan dengan anaknya, maka menikahi ibu istri (
mertua) hukumnya tidak haram. Sedangkan yang lainnya (jumhur) berpendapat,
syarat persetubuhan itu hanya berlaku hanya anak tiri saja, tidak bagi mertua.
D. Larangan
Menikahi Wanita Sementara
Yang dimaksud
menikahi wanita sementara adalah seseorang laki-laki menikah dengan seorang
perempuan dalam bats waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa
harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka
dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata talak dan warisan.
Bentuk
pernikahan ini, seorang laki-laki datang kepada seorang perempuan tanpa harus
ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas
waktu tertentu. Misalnya 3 hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih
dari 45 hari, dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati,
tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra
(yaitu atu kali haid bagi wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa,
dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suamiya mininggal), dan tidak ada nasab
kecuali jika disyaratkan.
Jadi rukun menikahi wanita sementara ada 4
yaitu :
1. Sighat,
seperti ucapan (aku nikahkan engkau atau aku mut’ahkan engaku.
2. Calon
istri diutamakan wanita muslimah atau kitabi’ah.
3. Mahar,
dengan syarat saling rela meskipun hanya satu gembam gandum.
4.
Jangka waktu
tertentu
Para ulama kaum
muslimin
telah sepakat tentang haram atau sahnya nikah mut’ah/menikahi wanita sementara,
apabila telah terjadi maka nikahnya batal.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa dilarang menikahi
wanita-wanita karena ada pertalian nasab, baik itu ibu, anak perempuan, saudara
perempuan, bibi, keponakan perempuan. Dan juga dilarang menikahi wanita sebab
hubungan sesuasuan, pertalian pernikahan, dan juga dilarang menikahi wanita
hanya sementara, baik itu tiga hari, sebulan dan lain-lain.
B. Saran
Kami sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada
para pembaca agar memberikan kritik dan sarannya terhadap makalah ini, supanya
kedepannya kami bisa memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.
Dan kami juga minta maaf atas kekurangan dari makalah ini, karena kami bersifat
khilaf dan lupa.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2011.
<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
Komentar
Posting Komentar