MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH WANITA-WANITA YANG HARAM DINIKAHI


BAB I
PEMBAHASAN
A.    Latar Belakang
Pernikahan merupakan sunnah dari Rasulullah SAW, namun tidak semua perempuan itu boleh dinikahi oleh seorang laki-laki, karena dalam hukum syara’ telah ditetapkan bahwa ada beberapa golongan yang diharamkan untuk dinikahi.
Masalah pernikahan adalah suatu permasalahan yang membayangi kehidupan kita. Perhatian Islam yang demikian terhadap pernikahan terlihat dari hukum-hukum yang membahas pernikahan secara rinci agar keturunan ummat terjaga.
Meskipun hak pernikahan bagi seorang muslim halal dilaksanakan menurut agama, tetapi harus di ingat juga bahwa ada juga beberapa golongan wanita yang haram dinikahi dan perempuan itu di benci oleh Allah SWT. Maka dengan begitu kita sebagai ummat muslim harus bisa menjaga hubungan yang baik dalam hidup berumah tangga agar tercapai keluarga yang Sakinah, Mawaddah dan Warahmah. Dalam makalh ini kami akan membahas tentang wanita-wanita yang haram dinikahi, yaitu wanita senasab, sesusuan, pertalian pernikahan dan larangan menikahi wanita sementara.

B.    Rumusan Masalah
1.     Kenapa dilarangan menikahi wanita sebab pertalian senasab?
2.     Kenapa dilarang menikahi sebab sesusuan?
3.     Kenapa dilarang menikahi wanita sebab pertalian pernikahan?
4.     Kenapa dilarang menikahi wanita hanya sementara?

C.    Tujuan
Agar kita mengetahui apa saja yang menyebabkan wanita-wanita dilarang untuk dinikahi dan kenapa wanita itu dilarang di nikahi hanya sementara.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Larangan Menikahi Wanita sebab pertalian senasab
Larangan menikah tersebut didasarkan firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 23
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$#
Artinya :
 Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan.
Berdasarkan ayat diatas wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya ( halangan abadi ) karena pertalian nasab adalah :[1]
1.     Ibu
Ibu yang dimaksud ialah perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturuan garis keatas, yaitu ibu, nenek ( baik dari puhak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas ).
2.     Anak perempuan
Yang dimaksud ialah wanita yang menpunyai darah dalam garis lurus kebawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan seterusnya kebawah.
3.     Saudara perempuan
Baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja.


4.     Bibi
Bibi yaitu saudara perempuan ayah atau ibu baik saudara sekandung ayah atau seibu dan seterusnya keatas.
5.     Keponakan perempuan
Yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya kebawah.
B.    Larangan menikahi wanita sebab hubungan sesusuan
Bila seorang anak menyusu kepada seorang perempuan, maka air susu perempuan itu menjadi darah danging dan pertumbuhan bagi sianak sehingga perempuan yang menyusukan itu telah seperti ibu nya. Ibu tersebut menghasilkan susu karena kehamilan yang disebabkan hubungannya dengan suaminya, sehingga suami perempuan itu sudah seperti ayahnya. Sebaliknya bagi ibu yang menyusukan dan suaminya anak tersebut sudah seperti anaknya demikian pula anka yang dilahirkan ibu itu seperti saudara dari anak yang menyusu kepada ibu tersebut, selanjutnya hubungan susuan sudah seperti hubungan nasab.[2]
Adanya hubungan persusuan ini muncul setelah terpenuhi beberapa syarat yang setiap sarat itu menjadi perbincangan dikalangan ulama.
1.     Usia anak yang menyusu
Jumhur ulama berpendapat bahwa anak yang menyusu masih berumur  dua tahun, karena dalam masa tersebut air susu siibu akan menjadi pertumbuhannya. Batas masa dua tahun ini berdasarkan kepada sabda Nabi dalam hadits Ibnu Abbas menurut  riwayat al-Darmal al-Quthniy, yang artinya: tidak ada hubungan persusuan kecuali dalam masa dua tahun.
Berbeda pendapat muncul dari ulama Zhahiriy yang mengatakan bahwa susuan yang berlaku terhadap anak yang berumur lebih dari dua tahun, bahkan yang sudah dewasa juga menimbulkan hubungan susuan.
Bila sianak telah berhenti menyusu sebelum waktu dua tahun dan tidak lagi memerlukan air susu ibu, kemudian sianak disusukan oleh seorang ibu apakah yang demikian menyebabkan hubungan susuan atau tidak. Imam malik berpendapat yang demikian tidak lagi menyebabkan hubungan susuan. Ulama ini mendasarkan pendapatnya sepotong hadits Nabi yang artinyan: tidak ada susuan cecuali bila susuan itu memenuhi kebutuhan laparnya. Imam Abu Hanipah dan Imam Syafi’i menyatakan bahwa susuan dalam bentuk itu  tetap menyebabkan hubungan susuan yang mengharamkan, karena sianak mesih berada dibawah umur dua tahun sebagaimanaa dalam hadits diatas.
2.     Kadar susuan
dalam hal seberapabanyak atau seberapa kali sianak menyusu untuk timbulnya hubungan susuan terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Ulama malikiyah tidak memberikan batas kadar tertentu untuk timbulnya hubungan susuan dalam arti seberapapun sianak menyusu dalam usia dua tahun itu telah terjadi hubungan susuan. Golongan ini berpegang pada kemutlakan ayat yang mengatakan larangan susuan. Jumhur ulama berpendapat sebanyak lima kali susuan, Karena bila kurang dari itu belum akan menyebabkan pertumbuhan.
3.     Dalam cara menyusu
Cara menyusu yang bisa dipahami umum adalah sianak menyusu langsung dari piting susu ibu sehingga sianak merasakan kehangatan susu ibu itu. Namun, bila sianak menyusu tidak langsung menyusu dari puting si ibu, tetapi air susu ibu yang di perah dimasukkan kedalam mulut si anak dengan menggunakan alat tertentu, terdapat berbeda peendapat dikalangan ulama dalam menjadikan sebagai hubungan susuan yang menyebabkan haram susuan.
Jumhur ulama (termasuk Malikiyah) berpendapat bahwa penyusuan tidak melalui puting susu ibu tetap menyebabkan adanya hubungan susuan, karena yang menjadi dasar bagi golongan ini adalah sampainya air susu ibu kedalam kerongkongannya. Yang berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah golongan Zhairy yang mengatakan bahwa yang menyebakan susuan itu biala sianak langsung menyusu dari puting susu ibu dan tidak melalui cara lainnya meskipun air susu itu sampai kedalam kerongkongan si anak, karena yang disebut menyusu itu adalanh bila sianak langsung menyusu dari puting susu ibu.
4.     Kemurnian air susu ibu
Kemurnian air susu ibu dalam arti tidak bercampur dengan air susu alin atau dengan zat lain diluar air susu ibu. Sebagian ulama termasuk Abu Hanifah dan sahabatnya mempersyaratkan kemurnian air susu itu. Hal ini dihubungkan kepada pendapat bahwa menyusu tidak mesti langsung dari puting susu sebagaimana yang dikatakan diatas. Dengan demikian, bila air susu ibu itu telah bercampur dengan yang lainnya, maka tidak terjadi hubungan susuan.
Sebagaian ulama diantaranya imam al-Syafi’i dan pengikut imam Malik berpendapat air susu yang bercampur itu menyebabkan hubungan susuan bila percampuran dengan yang lain itu tidak menghilangkan sifat dan bentuk dari air susu. Namun bila campuran itu melebur air susu ibu, maka susu tersebut tidak menyebabkan hubungan susuan.
5.     Suami sebagai penyebab adanya susu
Jumhur ulama mengatakan bahwa pwnyusuan yang menyebabkan adanya hubungan dan susuan itu ialah bila susu tersebut berasal dari perempuan yang bersuami dan tidak dari perempuan yang timbulnya air susu itu sebab perbuatan zina. Dalam hal ini apaka suami yang menyebabkan air susu itu dapat menempati kedudukan ayah sehingga menimbulkan hubungan pula dengan orang-orang yang berhubungan dengan ayah itu, terdapat beda pendapat dikalangan ulama. Jumhur ulama termasuk imam yang 4, berpendapat bahwa suami yang menghasilkan susu ibu yang disebut alfahl menyebabkan hubungan susuan.

6.     Kesaksian
Adanya peristiwa penyusuan menyebabkan hubungan susuan dan dengan adanya hubungan susuan itu, maka timbullah larangan perkawinan antara orang-orang yang berhubungan susuan itu. Untuk memastiakan telah terjadinya peristiwa penyusuan diperlukan adanya kesaksian. Tentang beberapa orang yang harus menyaksikan terdapat perbedaan dikalangan ulama.
Satu pandangan mengatakan bahwa tidak diterima kesaksian kecuali 2 orang saksi perempuan sebagaiman kesaksian 2 orang laki-laki dalam perkawinan.
Beda diantara keduanya adalah dalam kesaksian penyusuan ini tidak dapat dilakukan oleh laki-laki, maka dengan sendirinya digantikan oleh perempuan dengan jumlah yang sama.
Segolongan ulama berpendapat bahwa kesaksian untuk penyusuan dilakukan oleh 4 orang perempuan karena setiap 2 orang perempuan menduduki tempat seorng laki-laki. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh imam al-Syafi’i.
Dengan dimaksudnya hubungan susuan dengan hubungan nasab, maka perempuan yang haram dinikahi karena hubungan susuan itu secara lengkap adalah sebagai berikut :[3]
1.   Ibu susuan
Yaitu ibu yang menyusui, maksudnya seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak, dipandang sebagai ibu bagi anak yang di susui itu, sehingga haram melakukan pernikahan.
2.   Nenek susuan
Yaitu dari yang pernah menyusui atau ibu dari suami yang menyusui itu, suami dari ibu yang menyusui itu dipandang seperti ayah nagi anak susuan, sehingga haram melakukan pernikahan.
3.   Bibi susuan
Yakni saudara perempuan ibu susuan atau saudara suani ibu susuan dan seterusnya ke atas.
4.   Keponakan susuan perempuan
Yakni anak erempuan dari saudara ibu susuan.
5.   Saudara susuan peremuan
Ini baik saudara ayah sekandung maupun se ibu saja.[4]

C.    Larangan Menikahi Sebabab Pertalian Pernikahan
Keharaman ini disebutkan dalam lanjutan ayat 23 surah An-Nisa di atas.
ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r&  
Artinya:
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu.
Jika diperinci adalah sebagai berikut :[5]
1.     Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya ke atas, baik garis ibu atau ayah.
2.     Anak tiri, dengan syarat kalu telah terjadi hubungan kelamin antara suami dengan anak tersebut.
3.     Menantu, yakni istri anak, istri cucu, dan seterusnya ke bawah.
4.     Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dan ayah.
Iman Syafi’i berpendapat bahwa larangan pernikahan karena pertalian pernikahan hanya disebabkan karena semata-mata akad saja, tidak bisa karena perzinaan, dengan alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu disamakan dengan pertalian pernikahan. Sebaliknya imam Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan pernikahan karena tali pernikahan, disamping disebabkan akad yang sah, bisa juga disebabkan karena perzinahan. 
Istri ayah (ibu tiri) haram dikawini dengan sepakat para ulama atas dasar semata-mata akad walaupun tidak disetubuhi. Kalau sudah terjadi akad nikah, baik sudah disetubuhi ataupun belum namanya adalah istri ayah.
Ibu istri (mertua) digolongkan di dalamnya nenek dari istri dan ibu dari ayah istri hingga ke atas, karena mereka digolongkan dalam Ummahatu Nisa’i (ibu-ibu istri).
Anak istri (anak tiri) dengan syarat keharamannya itu karena telah menyetubuhi ibunya, artinya, kalu seorang pria dan seorang wanita baru terikat dengan hanya semata-mata akad (belum terjadi persetubuhan) maka menikahi anaknya tidak haram (boleh) sebagian ulama berpendapat, ini berlaku pula secara timbal balik buat ibu istri (mertua), artinya, haram pula menikahi mertua kalau sudah menyetubuhi anaknya. Kalau belum terjadi persetubuhan dengan anaknya, maka menikahi ibu istri ( mertua) hukumnya tidak haram. Sedangkan yang lainnya (jumhur) berpendapat, syarat persetubuhan itu hanya berlaku hanya anak tiri saja, tidak bagi mertua.
D.    Larangan Menikahi Wanita Sementara
Yang dimaksud menikahi wanita sementara adalah seseorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan dalam bats waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata talak dan warisan.
Bentuk pernikahan ini, seorang laki-laki datang kepada seorang perempuan tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya 3 hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari 45 hari, dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra (yaitu atu kali haid bagi wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suamiya mininggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[6]
 Jadi rukun menikahi wanita sementara ada 4 yaitu :
1.     Sighat, seperti ucapan (aku nikahkan engkau atau aku mut’ahkan engaku.
2.     Calon istri diutamakan wanita muslimah atau kitabi’ah.
3.     Mahar, dengan syarat saling rela meskipun hanya satu gembam gandum.
4.     Jangka waktu tertentu
Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram atau sahnya nikah mut’ah/menikahi wanita sementara, apabila telah terjadi maka nikahnya batal.[7]




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa dilarang menikahi wanita-wanita karena ada pertalian nasab, baik itu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi, keponakan perempuan. Dan juga dilarang menikahi wanita sebab hubungan sesuasuan, pertalian pernikahan, dan juga dilarang menikahi wanita hanya sementara, baik itu tiga hari, sebulan dan lain-lain.

B.    Saran
Kami sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada para pembaca agar memberikan kritik dan sarannya terhadap makalah ini, supanya kedepannya kami bisa memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Dan kami juga minta maaf atas kekurangan dari makalah ini, karena kami bersifat khilaf dan lupa.





DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta : Pranada Media, 2003.
Hasan, Ali. M, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Mardani, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.
Sinaga, Ali Imran, Fikih Bagian Kedua;Munakahat, Mawaris, Jinayah dan
Siyasah, Bandung : Cita Pustaka Media Printis, 2011.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006.


[1] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta : Pranada Media, 2003), hlm. 104-107
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm 115-119
[3] Abd. Rahman Ghazaly, Op. Cit., hlm. 105-107
[4]M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm. 78

[5] Ibid., hlm. 108-110
[6] Ali Imran Sinaga, Fikih Bagian Kedua;Munakahat, Mawaris, Jinayah dan Siyasah, (Bandung: Cita Pustaka Media Printis, 2011), hlm. 8
[7]Mardani, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), hlm. 19

<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL