MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH MASA DISINTEGRASI (MENYATU TIDAK MENYATU)


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Semenjak pemerintah Harun ar-Rasyid (786-809M/170-194H) dikatakan bahwa pada masa itu terjadi masa keemasan bani Abbasiyah. Tetapi pada waktu inilah terjadi benih-benih disintegrasi tepatnya saat penurunan tahta. Haru ar-Rasyid telah mewariskan tahta tahta kakhalifaan pada putranya yaitu Al-Amin dan putra yang lebih muda yaitu al-ma’mun (saat itu menjabat sebagai gubernur khurasan). Setelah wafatnya Harun al-Rasyid, Al-Amin berusaha menghianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Inilah yang akhirnya menjadi awal masa perpecahan, yang akhirnya dimenangkan oleh al-ma’mun.
Pada masa kekhalifaan al ma’mun (198-218 H/813-833M) juga mengalami disintegrasi yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah yang didirikan oleh Tahir. Beliau diangkat menjadi jendral militer abbasiyah karena telah membantu dalam memperebutkan kekuasaan al-Amin. Pemberian jabatan ini dimaksudkan agar al-ma’mun dapat menjalin kerja sama dengan kalangan elit yang dinaungi oleh Thahir. Namun upaya untuk menyatukannya tidak dapat terwujud dan akhirnya kekuasaan dikuasai oleh gibernur besar.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cendrung ingin lebih mewah dari pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Kecendrungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan khalifah dan factor lainnya menyebabkan roda pemerintah terganggu dan rakyat miskin. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal Turki yang semula diangkat oleh khalifah al-Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintah. Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada ditangan mereka, sementara kekuasaan Bani Abbas didalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini meskipun setelah itu usianya masih dapat bertahan lebih dari 400 tahun.
B.    Diansti-dinasti yang memerdekakan diri di Baghdad
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani umayyah. Akan tetapi, berbicara tentang politik islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintah Bani umayyah dengan pemerintah bani Abbas. Wilayah kekuasaan bani umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-bentar dan kebanyakan bersifat nominal. bahkan, dalam kenyataanya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah.[1] Secara rill, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayar upeti.
Ada kemungkinan bahwa para khilafah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya pertama, mungkin para khilafah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.[2]
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu dipinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa bani Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontak dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di spanyol dan idrisyiah di maroko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti Daulat Aghlabiyab di Tunisia.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, propinsi-propinsi itu pada mulaya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolokan-pergolokan yang muncul. Namun, pada saat wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa diantaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen. Kekuatan military Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional dibidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengankatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata, menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi, pada priode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’aibah (kebangsaan anti arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerkan politik, disamping persoalan-persoalan keagamaan tampaknya, para khilafah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga, meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesustraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersunggu-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran bani Abbas pada priode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:[3]
1.     Luasnya wilayah kekuasaan daulat abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkatan saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
2.     Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3.     Keuangan Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memksa pengiriman pajak ke Baghdad.
C.    Perebutan kekuasaan dipusat pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintah. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintah-pemerintah islam sebelumnya. Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berada dengan yang terjadi sebelumnya.[4]
Nabi Muhammad memang tidak menentukan bagaimana cara pergantian pemimpin setelah ditinggalkannya. Beliau tampaknya, menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin  sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinwn politik dalam sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa kemasa yang lain. Adayang berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga melalui konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali dari pihak-pihak tertentu setelah nabi wafat, terjadi pertentaangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar dib alai kota bani Sa’idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada dipihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhwah yang tinggi, perbedaan itu dapat diselesaikan, Abu Bajar menjadi Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perbuatan kekuasaan terjadi pada masa Kekhalifaan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi pemberontak Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontak itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun, dibalik alasan itu, menuru Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zabirlah yang menyebabkan terjadinya pemberontak yang banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk menduduki kursi Khilafah. Untuk itu ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali.[5] Dengan tujuan mendapatkan kedudukan Khilafah itu pula, Muawiyah, gubernur Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah berhasil mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontak-pemberontak yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari dari kusi Khilafah dan digant oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan sering terjadi, diantaranya, pemberontakan Husein ibn Ali, Syi’ah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan bani Abbas yang untuk pertama kalinya menggunakaan nama gerakan bani Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama Khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.
Pada masa pemerintahan bani Abbas, perbuatan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama diawal berdirinya. Akan tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipin Khalifat tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan Khilafah dari tangan bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan Khalifah tetap dipegang bani Abbas. Hal ini terjadi karena, khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sacral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan, kekuasaan dapat didirikan dipusat maupun didaerah jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Ditangan mereka Khlifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih dan menjatuhkan Khalifah sesuai dengan keinginan polotik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945-447H/1055M), daulad Abbasiyah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.
Kehadiran bani Buwaih berawal dari tiga orang putra Abu Syuja’ Buwaih, pencari ikan yang tinggal di Daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan, dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan dan kemiskinan,tiga bersaudara ini memasuki dinar dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya, mereka bergabung dengan pasukan makan ibn kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor makan ibn kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar Al-Dailamy. Karena perestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur Al-karaj, dan dua saudaranyadi beri kedudukan penting lainnya. Dari Al-karij itulah ekspansi kekuasaan bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah dipersia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil melakukan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari Khalifah Abbasiyah , Al-Radhi Billah, dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan Negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke Irak, Akhwaz, dan Wasith. Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan dipusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik,akibat perebutan jabatan amir al-umara antara wajir dan pemimpin militer.
Setelah Baghdad dikuasai, bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri ditengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.meskipun demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta. Dengan kekuatan militer bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti bani Hamdan di wilayah Syiria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad.
Sebagaimana para khalifah Abbasiyah periode pertama, para penguasa bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesustraan. Pada masa bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuan besar, diantaranya al-farabi (w. 950 M), ibn Sina (980-1037 M), Al-Farghani, Abd Al-Rahman Al-Shufi (w. 986 M), ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu Al-‘ala Al-Ma’arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan Al-Shafa.
Jasa Bani Buwai juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, mesjid-mesjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi; pertanian, perdagangan, dan industry terutama permadani. Kekuatan politin bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka. masing-masing merasa paling berhakatas kekuasaan pust. Misalnya, pertikaian antara ‘Izz Al-Daulah putra Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan amir al-umara. Perebutan kekuasaan dikalangan keturunan bani Buwaih ini merupakan salah satu factor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran pemerintahan mereka.
Faktor internal lainnya adalah pertentangan dalam tubuh militer, antara golonagan yang berasal dari Dailam dengan keturunan Turki. Ketika amir al-umara dijabat oleh Muizz al-daulah persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul kepermukaan, mengganggu stabilitasdan menjatuhkan wibawa pemerintah.
D.    Perang salib
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). [6]tentara alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara romawiyang berjumlah 200.000 orang terdiri dari tentara romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, prancis, dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkanbenih permusuhankebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan perang salib. Kebencian itu bertambahsetelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah kesana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. untuk memperoleh kembali keleluasan berziarah ke tanah suci. Perang ini kemudian dikenal dngn nama perang salib, yang terjadi dalam tiga periode yaitu:

1.     Periode pertama
Pada semi tahun 1095 M. 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Prancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara yang dipinpin oleh Godfrey, Behemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Disini mereka mendirikan kerajaan latin I dengan Baldawin sebagai Raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan Latin IIdi timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-maqdis (15 juli 1099 M). dan mendirikan kerajaan latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al- maqdis itu, tentara salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M). Tripoli (1109 M), dan kota Tyre (1124 M), dan Tripoli mereka mendirikan kerajaan latin IV, rajanya adalah Raymond.[7]
2.     Periode kedua
Imaluddin Zanki, penguasa Moshul, dan Irak, berhasil melakukan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa 1144 M. namun, ia wafat tahun 1146 M. tugasnya dilanjutkan oleh putranya,Nuruddin Zanki. Nuruddi berhasil merebut.
kembali Antiocheapada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbat kembali.kejutan Edessa ini menyebabkan orang-orang kristenmengobarkan perang salib kedua. Paus Eugenius III menyeruka perang suci yang disambut positif oleh raja Prancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diripulang kenegerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M. pemimpin perang kemudian dipegang oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175M. hasil peperangan Shalah Al-Din yang terbesar adalah merebut kembali Yuressalam pada tahun 1187M. dengan demikian, kerajaan latin di Yuressalam yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yuressalam ketangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Merekapun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Fraderick Baebarossa raja jerman, Richard The Lion Hart, raja inggris, dan Philip Augustus, raja Prancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. meskipun mendapat tantangan beratdari Shalah al-Din, namun mereka berhsil merebut akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan latin. Akan tetapi, mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 November 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalah al-Din yang disebut dengan Shulh al-ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Bait al-maqdis tidak akan diganggu.
3.     Periode ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Fredirck II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja mesir dari dinasti Ayyubiyah di waktu itu, Al-malik Al- kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara Al-malik al-kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin disana dan Frederick tidak mengirim bantuannya kepada Kristen di Syiria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, dimasa pemerintahan al-Malik Al-Shalih, penguasa Mesir selanjutya.ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamaliki yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah pemimpin perang di pegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kebali oleh kaum muslimin, tahun 1291 M.
Demikianlah perang salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai ummat Islam terusir dari sana. Walaupun ummat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara-tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi diwilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik ummat Islammenjadi lemah. Dalam kondisi demikian, mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
E.    Sebab-sebab kemunduran Bani Abbas  
Berakhirnya kekuatan dinasti Seljuk atas Baghdad atau Khilafah abbasiyah merupakan awal dari periode kelima.pada periode ini, kilafah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti islam berdiri. Ada diantaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalahdinasti kecil. Para Khilafah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khilafah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mangol dan Tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa berlawanan yang berarti.kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodesasi Khilafah abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para materi cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1.     Persaingan antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangu oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masabani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ‘ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, Khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ‘ashabiyyah tradisional.
Meskpun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinsti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-arab di dunia Islam.
Setelah itu, wilayah kekusaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi barbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaranyang merejut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya disamping fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’aibah.
Fanatisme kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para Khilafah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggipengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa Negara adalah milikmereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecendrungan msing-masing bangsa untuk mendomonasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal Khilafah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khilafah adalah orang-orang yang kuat dan mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-mutawakkil, seseorang Khilafah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada ditangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbutoleh bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat, sebagaimana diuraikan terlebih dahulu.
2.     Kemerosotan ekonomi
Khilafah abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran dibidang politik. Pada periode pertama, pemerintaha bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari pada dana yang keluar, sehingga bait al-mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah Khilafah memasiki periode kemunduran, pendapat Negara menurun,sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapat Negara itudisebabkan oleh makin menyempitnyawilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diridan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan, pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupanpara khilafah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian Negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinastiAbbasiyah, kedua factor ini saling brkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
3.     Konflik keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnyatercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiqini menggoda rasa keimanan para Khalifah. Al- Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jabatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas Bidah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. konflik antra kaum beriman dengan golongan zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sederhana seperti, polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dikedua belah pihak. Gerakan Al-afsyin dan Qaramitha adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak perlindungan di blik Syi’ah yang dipandang ghulat (eksrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut syi’ah sendiri aliran syiah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham ahlussunnah. Antara keduanya, sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-mutawakkil misalnya, memerintahkan agar makam Husein di Karabela dihancurkan. Namun, anaknya Al-Muntashir (861-862M) kembali memperkenankan orang Syi’ah menziarahi makam Husein tersebut. Syiah pernah berkuasa didalam Khilafah Abbasiyah melalui bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Maroko dan Khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang sunni.
Konflik yang dilatar belakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan Zindiq atau ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasioanal dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh Al-Ma’mun, Khalifah ketujuh dinastidinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmiresmi Negara dan melakukan mihnah. Pada masa Al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran Negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf) terhadap Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun, pada masa dinasti seljuk yang menganut aliran asi’ariyah, penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran asy’ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran Al-Ghozali yang mendukung aliran ini menjadi cirri utama paham ahlusunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon sampai sekarang.
4.     Ancaman dari luar
Apa yang disebutkan diatas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara mongol kewilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen terpanggil untuk ikut berperang setelah paus urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada diwilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitasKristen Timur, hanya Armenia dan Moranit Lebanon yang tertarik dengan perang salib dan melebatkan diri dalam tentara salib itu.[8]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Penyebab terjadinya disintegrasi pada masa Kekhalifaan Islam dimasa lampau yaitu diantaranya; adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad, perebutan kekuasaan dipusat pemerintahan, perang salib serta faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran bani Abbasiyah.
Masa disintegrasi itu muncul akibat adanya perpecahan dalam pemerintahan bani Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak lahir pemerintahan Harun ar-Rasyid tepatnya pada saat penurunan tahta beliau mengangkat putranya yaiti Al-Amin. Selain itu yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas adalah persaingan antar  bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, dan ancaman dari luar.
Perkembangan intelektual dalam masa disintegrasi tetap menunjukkan perkembangan yang berarti. Itu terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.
.  



DAFTAR PUSTAKA
Sir William Muir, The Cliphat, New York: AMS inc, 1975.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Syalabi, Sejarah Peradaban Dan Islam, Jilid 1, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987.

Harun Nasution, Islam Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UL Press, 1985.

M. Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa Yogyakarta: Bina

Usaha, 1987.

           Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.





[1] Sir William Muir, The Cliphat, (New York: AMS inc, 1975), hlm. 432
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 63
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 66
[4]  Ibid, hlm. 66
[5] Syalabi, Sejarah Peradaban Dan Islam, Jilid 1, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987), hlm. 289
[6] Harun Nasution, Islam Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UL Press, 1985), hlm. 77
[7] M. Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa (Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), hlm. 12-14
[8] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.35

<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL