BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Semenjak pemerintah Harun ar-Rasyid
(786-809M/170-194H) dikatakan bahwa pada masa itu terjadi masa keemasan bani
Abbasiyah. Tetapi pada waktu inilah terjadi benih-benih disintegrasi tepatnya
saat penurunan tahta. Haru ar-Rasyid telah mewariskan tahta tahta kakhalifaan
pada putranya yaitu Al-Amin dan putra yang lebih muda yaitu al-ma’mun (saat itu
menjabat sebagai gubernur khurasan). Setelah wafatnya Harun al-Rasyid, Al-Amin
berusaha menghianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai
penggantinya kelak. Inilah yang akhirnya menjadi awal masa perpecahan, yang
akhirnya dimenangkan oleh al-ma’mun.
Pada masa kekhalifaan al ma’mun (198-218
H/813-833M) juga mengalami disintegrasi yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah
yang didirikan oleh Tahir. Beliau diangkat menjadi jendral militer abbasiyah
karena telah membantu dalam memperebutkan kekuasaan al-Amin. Pemberian jabatan
ini dimaksudkan agar al-ma’mun dapat menjalin kerja sama dengan kalangan elit
yang dinaungi oleh Thahir. Namun upaya untuk menyatukannya tidak dapat terwujud
dan akhirnya kekuasaan dikuasai oleh gibernur besar.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan
yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah.
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai dinasti
Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah,
bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cendrung ingin lebih mewah dari
pendahulunya. Kehidupan mewah khalifah-khalifah ini ditiru oleh para hartawan
dan anak-anak pejabat. Kecendrungan bermewah-mewah, ditambah dengan kelemahan
khalifah dan factor lainnya menyebabkan roda pemerintah terganggu dan rakyat
miskin. Kondisi ini member peluang kepada tentara professional asal Turki yang
semula diangkat oleh khalifah al-Mu’tashim untuk mengambil alih pemerintah.
Usaha mereka berhasil, sehingga kekuasaan sesungguhnya berada ditangan mereka,
sementara kekuasaan Bani Abbas didalam khilafah Abbasiyah yang didirikannya
mulai pudar dan ini merupakan awal dari keruntuhan dinasti ini meskipun setelah
itu usianya masih dapat bertahan lebih dari 400 tahun.
B.
Diansti-dinasti yang memerdekakan diri di Baghdad
Disintegrasi dalam bidang politik
sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani umayyah. Akan tetapi,
berbicara tentang politik islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan
antara pemerintah Bani umayyah dengan pemerintah bani Abbas. Wilayah kekuasaan
bani umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar
dengan batas-batas wilayah kekuasaan islam. Hal ini tidak seluruhnya benar
untuk diterapkan pada pemerintahan bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak
pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika utara, kecuali Mesir yang bersifat
sebentar-bentar dan kebanyakan bersifat nominal. bahkan, dalam kenyataanya,
banyak daerah tidak dikuasai khalifah.
Secara rill, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur
propinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khilafah ditandai dengan pembayar
upeti.
Ada kemungkinan bahwa para khilafah
Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi
tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya pertama, mungkin para khilafah
tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya, kedua, penguasa bani
Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada
politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan islam dari persoalan politik itu,
propinsi-propinsi tertentu dipinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa bani
Abbas. Ini bisa terjadi dalam salah satu dari dua cara: pertama, seorang
pemimpin lokal memimpin suatu pemberontak dan berhasil memperoleh kemerdekaan
penuh, seperti daulat Umayyah di spanyol dan idrisyiah di maroko. Kedua,
seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah kedudukannya semakin
bertambah kuat, seperti Daulat Aghlabiyab di Tunisia.
Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan
Idrisiyah di Maroko, propinsi-propinsi itu pada mulaya tetap patuh membayar
upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi
pergolokan-pergolokan yang muncul. Namun, pada saat wibawa khalifah sudah
memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja
menggerogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa diantaranya bahkan berusaha
menguasai khalifah itu sendiri.
Menurut watt, sebenarnya keruntuhan
kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini
mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan
militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen. Kekuatan military Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran.
Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang
professional dibidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem
perbudakan baru seperti diuraikan di atas. Pengankatan anggota militer Turki
ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata, menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan
khalifah. Apalagi, pada priode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah
muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’aibah (kebangsaan anti arab).
Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerkan politik,
disamping persoalan-persoalan keagamaan tampaknya, para khilafah tidak sadar
akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu,
sehingga, meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam
kesustraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersunggu-sungguh menghapuskan
fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru melibatkan diri
dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan
kemunduran bani Abbas pada priode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan
diri, adalah:
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulat
abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan
dengan itu, tingkatan saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana
pemerintahan sangat rendah.
2. Dengan profesionalisasi angkatan
bersenjata, ketergantungan khalifah kepada mereka sangat tinggi.
3. Keuangan Negara sangat sulit karena
biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan
militer menurun, khalifah tidak sanggup memksa pengiriman pajak ke Baghdad.
C.
Perebutan kekuasaan dipusat pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran
politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintah. Hal
ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintah-pemerintah islam sebelumnya.
Tetapi, apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berada dengan yang terjadi
sebelumnya.
Nabi Muhammad memang tidak menentukan
bagaimana cara pergantian pemimpin setelah ditinggalkannya. Beliau tampaknya,
menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin
sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang dikalangan masyarakat
Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, proses
suksesi kepemimpinwn politik dalam sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa
kemasa yang lain. Adayang berlangsung aman dan damai, tetapi sering juga
melalui konflik dan pertumpahan darah akibat ambisi tak terkendali dari
pihak-pihak tertentu setelah nabi wafat, terjadi pertentaangan pendapat antara
kaum Muhajirin dan Anshar dib alai kota bani Sa’idah di Madinah. Masing-masing
golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada dipihak mereka, atau
setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai pemimpin sendiri. Akan
tetapi, karena pemahaman keagamaan mereka yang baik, semangat musyawarah,
ukhwah yang tinggi, perbedaan itu dapat diselesaikan, Abu Bajar menjadi
Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam
karena perbuatan kekuasaan terjadi pada masa Kekhalifaan Ali bin Abi Thalib.
Pertama-tama Ali menghadapi pemberontak Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan
pemberontak itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka
menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Namun, dibalik
alasan itu, menuru Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zabirlah yang menyebabkan
terjadinya pemberontak yang banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar
untuk menduduki kursi Khilafah. Untuk itu ia menghasut bibi dan ibu asuhnya,
Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat
menggantikan posisi Ali.
Dengan tujuan mendapatkan kedudukan Khilafah itu pula, Muawiyah, gubernur
Damaskus, memberontak. Selain banyak menimbulkan korban, Muawiyah berhasil
mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Pemberontak-pemberontak yang muncul pada
masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari dari kusi Khilafah dan digant
oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa
pemerintahan bani Umayyah di Damaskus. Pemberontakan-pemberontakan sering
terjadi, diantaranya, pemberontakan Husein ibn Ali, Syi’ah yang dipimpin oleh
Al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan bani Abbas yang
untuk pertama kalinya menggunakaan nama gerakan bani Hasyim. Pemberontakan
terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi
nama Khilafah Abbasiyah atau bani Abbas.
Pada masa pemerintahan bani Abbas,
perbuatan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama diawal berdirinya. Akan
tetapi, pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan
seterusnya, meskipin Khalifat tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut
jabatan Khilafah dari tangan bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut
kekuasaannya dengan membiarkan jabatan Khalifah tetap dipegang bani Abbas. Hal
ini terjadi karena, khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang
sacral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan, kekuasaan dapat didirikan
dipusat maupun didaerah jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk
dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan
tersebut. Ditangan mereka Khlifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat
apa-apa. Bahkan, merekalah yang memilih dan menjatuhkan Khalifah sesuai dengan
keinginan polotik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tangan
orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334
H/945-447H/1055M), daulad Abbasiyah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.
Kehadiran bani Buwaih berawal dari tiga
orang putra Abu Syuja’ Buwaih, pencari ikan yang tinggal di Daerah Dailam,
yaitu Ali, Hasan, dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan dan kemiskinan,tiga
bersaudara ini memasuki dinar dinas militer yang ketika itu dipandang banyak
mendatangkan rezeki. Pada mulanya, mereka bergabung dengan pasukan makan ibn
kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor makan ibn kali
memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar
Al-Dailamy. Karena perestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur
Al-karaj, dan dua saudaranyadi beri kedudukan penting lainnya. Dari Al-karij
itulah ekspansi kekuasaan bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil
menaklukkan daerah-daerah dipersia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat
pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz
itu berhasil melakukan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan
daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari Khalifah Abbasiyah ,
Al-Radhi Billah, dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan Negara. Ia
berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke Irak,
Akhwaz, dan Wasith. Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut
kekuasaan dipusat pemerintahan. Ketika itu, Baghdad sedang dilanda kekisruhan
politik,akibat perebutan jabatan amir al-umara antara wajir dan pemimpin
militer.
Setelah Baghdad dikuasai, bani Buwaih memindahkan
markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri
ditengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.meskipun demikian, kendali politik
yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua)
bertahta. Dengan kekuatan militer bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang
sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti bani Hamdan di wilayah
Syiria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsidiyah, dapat dikendalikan kembali
dari Baghdad.
Sebagaimana para khalifah Abbasiyah
periode pertama, para penguasa bani Buwaih mencurahkan perhatian secara
langsung dan dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesustraan. Pada masa bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuan besar, diantaranya
al-farabi (w. 950 M), ibn Sina (980-1037 M), Al-Farghani, Abd Al-Rahman
Al-Shufi (w. 986 M), ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu Al-‘ala Al-Ma’arri
(973-1057 M), dan kelompok Ikhwan Al-Shafa.
Jasa Bani Buwai juga terlihat dalam
pembangunan kanal-kanal, mesjid-mesjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah
bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan
ekonomi; pertanian, perdagangan, dan industry terutama permadani. Kekuatan
politin bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama, tiga
bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak
mereka. masing-masing merasa paling berhakatas kekuasaan pust. Misalnya,
pertikaian antara ‘Izz Al-Daulah putra Imad al-Daulah, dalam perebutan jabatan
amir al-umara. Perebutan kekuasaan dikalangan keturunan bani Buwaih ini
merupakan salah satu factor internal yang membawa kemunduran dan kehancuran
pemerintahan mereka.
Faktor internal lainnya adalah
pertentangan dalam tubuh militer, antara golonagan yang berasal dari Dailam
dengan keturunan Turki. Ketika amir al-umara dijabat oleh Muizz al-daulah
persoalan itu dapat diatasi, tetapi manakala jabatan itu diduduki oleh
orang-orang yang lemah, masalah tersebut muncul kepermukaan, mengganggu
stabilitasdan menjatuhkan wibawa pemerintah.
D. Perang
salib
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa
penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa
Manzikart, tahun 464 H (1071 M). tentara
alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini
berhasil mengalahkan tentara romawiyang berjumlah 200.000 orang terdiri dari
tentara romawi, Ghuz, Al-Akraj, Al-Hajr, prancis, dan Armenia. Peristiwa besar
ini menanamkanbenih permusuhankebencian orang-orang Kristen terhadap umat
Islam, yang kemudian mencetuskan perang salib. Kebencian itu bertambahsetelah
dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan
dinasti fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan
beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah kesana. Peraturan itu
dirasakan sangat menyulitkan mereka. untuk memperoleh kembali keleluasan
berziarah ke tanah suci. Perang ini kemudian dikenal dngn nama perang salib, yang
terjadi dalam tiga periode yaitu:
1. Periode pertama
Pada
semi tahun 1095 M. 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Prancis dan
Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara yang
dipinpin oleh Godfrey, Behemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar.
Pada tanggal 18 juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M
menguasai Raha (Edessa). Disini mereka mendirikan kerajaan latin I dengan
Baldawin sebagai Raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea
dan mendirikan kerajaan Latin IIdi timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya.
Mereka juga berhasil menduduki Bait al-maqdis (15 juli 1099 M). dan mendirikan
kerajaan latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al- maqdis
itu, tentara salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104
M). Tripoli (1109 M), dan kota Tyre (1124 M), dan Tripoli mereka mendirikan
kerajaan latin IV, rajanya adalah Raymond.
2. Periode kedua
Imaluddin
Zanki, penguasa Moshul, dan Irak, berhasil melakukan kembali Aleppo, Hamimah,
dan Edessa 1144 M. namun, ia wafat tahun 1146 M. tugasnya dilanjutkan oleh
putranya,Nuruddin Zanki. Nuruddi berhasil merebut.
kembali
Antiocheapada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbat
kembali.kejutan Edessa ini menyebabkan orang-orang kristenmengobarkan perang
salib kedua. Paus Eugenius III menyeruka perang suci yang disambut positif oleh
raja Prancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan
salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria. Akan tetapi, gerak maju mereka
dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis
VII dan Condrad II sendiri melarikan diripulang kenegerinya. Nuruddin wafat
tahun 1174 M. pemimpin perang kemudian dipegang oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi
yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175M. hasil
peperangan Shalah Al-Din yang terbesar adalah merebut kembali Yuressalam pada
tahun 1187M. dengan demikian, kerajaan latin di Yuressalam yang berlangsung
selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya
Yuressalam ketangan kaum muslimin sangat memukul perasaan tentara salib.
Merekapun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh
Fraderick Baebarossa raja jerman, Richard The Lion Hart, raja inggris, dan
Philip Augustus, raja Prancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. meskipun
mendapat tantangan beratdari Shalah al-Din, namun mereka berhsil merebut akka
yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan latin. Akan tetapi, mereka tidak
berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 November 1192 M, dibuat perjanjian antara
tentara salib dengan Shalah al-Din yang disebut dengan Shulh al-ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang
Kristen yang pergi berziarah ke Bait al-maqdis tidak akan diganggu.
3. Periode ketiga
Tentara
Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Fredirck II. Kali ini mereka
berusaha merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat
bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil
menduduki Dimyat. Raja mesir dari dinasti Ayyubiyah di waktu itu, Al-malik Al-
kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick
bersedia melepaskan Dimyat, sementara Al-malik al-kamil melepaskan Palestina,
Frederick menjamin keamanan kaum muslimin disana dan Frederick tidak mengirim
bantuannya kepada Kristen di Syiria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina
dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, dimasa pemerintahan
al-Malik Al-Shalih, penguasa Mesir selanjutya.ketika Mesir dikuasai oleh
dinasti Mamaliki yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah pemimpin perang di
pegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kebali
oleh kaum muslimin, tahun 1291 M.
Demikianlah
perang salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di
Spanyol, sampai ummat Islam terusir dari sana. Walaupun ummat Islam berhasil
mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara-tentara salib, namun kerugian yang
mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi diwilayahnya.
Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik ummat Islammenjadi lemah.
Dalam kondisi demikian, mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat
Abbasiyah di Baghdad.
E.
Sebab-sebab kemunduran Bani Abbas
Berakhirnya kekuatan dinasti Seljuk atas
Baghdad atau Khilafah abbasiyah merupakan awal dari periode kelima.pada periode
ini, kilafah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali dinasti islam berdiri. Ada diantaranya yang cukup besar,
namun yang terbanyak adalahdinasti kecil. Para Khilafah Abbasiyah, sudah
merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah
kekuasaan Khilafah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa
inilah tentara Mangol dan Tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancur luluhkan tanpa berlawanan yang berarti.kehancuran Baghdad akibat
serangan tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah Islam, yang
disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodesasi
Khilafah abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun
demikian, factor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba.
Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena Khalifah pada
periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila Khalifah kuat, para materi
cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan Khalifah, banyak
faktor lain yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing
faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Persaingan antarbangsa
Khilafah
Abbasiyah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia.
Persekutuan dilatar belakangu oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada
masabani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah Khilafah
Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut Stryzewska, ada dua sebab dinasti bani Abbas memilih orang-orang Persia
dari pada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk
melupakan bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua,
orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ‘ashabiyyah kesukuan.
Dengan demikian, Khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ‘ashabiyyah
tradisional.
Meskpun
demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah
dinsti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab
beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah (ras)
istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-arab di dunia Islam.
Setelah
itu, wilayah kekusaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi
barbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syiria, Irak, Persia, Turki,
dan India. Mereka disatukan dengan bangsa semit. Kecuali Islam, pada waktu itu
tidak ada kesadaranyang merejut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut
dengan kuat. Akibatnya disamping fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan
gerakan syu’aibah.
Fanatisme
kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu,
para Khilafah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia
atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan
mendapat gaji. Oleh bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem
perbudakan ini telah mempertinggipengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena
jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa Negara adalah
milikmereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan
khalifah.
Kecendrungan
msing-masing bangsa untuk mendomonasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
Khilafah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para Khilafah adalah
orang-orang yang kuat dan mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas
politik dapat terjaga. Setelah Al-mutawakkil, seseorang Khilafah yang lemah,
naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan
bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada ditangan orang-orang
Turki. Posisi ini kemudian direbutoleh bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode
ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat,
sebagaimana diuraikan terlebih dahulu.
2. Kemerosotan ekonomi
Khilafah
abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran dibidang politik. Pada periode pertama, pemerintaha bani Abbas
merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari pada dana
yang keluar, sehingga bait al-mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang
besar diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah
Khilafah memasiki periode kemunduran, pendapat Negara menurun,sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapat Negara itudisebabkan
oleh makin menyempitnyawilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang
mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, dan banyaknya dinasti-dinasti
kecil yang memerdekakan diridan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan,
pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupanpara khilafah dan
pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat
melakukan korupsi.
Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian Negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik
dinastiAbbasiyah, kedua factor ini saling brkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
3. Konflik keagamaan
Fanatisme
keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang
Persia tidak sepenuhnyatercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka
mempropagandakan ajaran manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Munculnya
gerakan yang dikenal dengan gerakan zindiqini menggoda rasa keimanan para
Khalifah. Al- Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa
perlu mendirikan jabatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan
melakukan mihnah dengan tujuan memberantas Bidah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. konflik antra kaum beriman dengan golongan zindiq
berlanjut mulai dari bentuk yang sederhana seperti, polemik tentang ajaran,
sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah dikedua belah pihak.
Gerakan Al-afsyin dan Qaramitha adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada
saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak perlindungan di blik
Syi’ah yang dipandang ghulat (eksrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut
syi’ah sendiri aliran syiah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam
yang berhadapan dengan paham ahlussunnah. Antara keduanya, sering terjadi
konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-mutawakkil misalnya,
memerintahkan agar makam Husein di Karabela dihancurkan. Namun, anaknya
Al-Muntashir (861-862M) kembali memperkenankan orang Syi’ah menziarahi makam
Husein tersebut. Syiah pernah berkuasa didalam Khilafah Abbasiyah melalui bani
Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Maroko dan Khilafah
Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah yang memerdekakan diri dari
Baghdad yang sunni.
Konflik
yang dilatar belakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan
Zindiq atau ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antar aliran dalam
Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasioanal dituduh sebagai pembuat bidah oleh
golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh Al-Ma’mun,
Khalifah ketujuh dinastidinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan
Mu’tazilah sebagai mazhab resmiresmi Negara dan melakukan mihnah. Pada masa
Al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran Negara dan
golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali itu (salaf)
terhadap Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.
Aliran
Mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun, pada masa dinasti
seljuk yang menganut aliran asi’ariyah, penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai
dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran asy’ariyah tumbuh
subur dan berjaya. Pikiran-pikiran Al-Ghozali yang mendukung aliran ini menjadi
cirri utama paham ahlusunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang
tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon
sampai sekarang.
4. Ancaman dari luar
Apa
yang disebutkan diatas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode
dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara mongol kewilayah kekuasaan
Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen terpanggil untuk ikut
berperang setelah paus urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang
salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada
diwilayah kekuasaan Islam. Namun, di antara komunitas-komunitasKristen Timur,
hanya Armenia dan Moranit Lebanon yang tertarik dengan perang salib dan
melebatkan diri dalam tentara salib itu.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disintegrasi
merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi
terpisah-pisah. Penyebab terjadinya disintegrasi pada masa Kekhalifaan Islam
dimasa lampau yaitu diantaranya; adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri
dari Baghdad, perebutan kekuasaan dipusat pemerintahan, perang salib serta
faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran bani Abbasiyah.
Masa
disintegrasi itu muncul akibat adanya perpecahan dalam pemerintahan bani
Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak lahir pemerintahan Harun
ar-Rasyid tepatnya pada saat penurunan tahta beliau mengangkat putranya yaiti
Al-Amin. Selain itu yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas adalah persaingan
antar bangsa, kemerosotan ekonomi,
konflik keagamaan, dan ancaman dari luar.
Perkembangan
intelektual dalam masa disintegrasi tetap menunjukkan perkembangan yang
berarti. Itu terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya
baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam
bidang hukum dan politik.
.
DAFTAR
PUSTAKA
Sir William Muir, The Cliphat, New York: AMS inc, 1975.
Badri Yatim,
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Nurcholish Madjid, Khazanah
Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
Komentar
Posting Komentar