MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu Al-jarh Wa At-ta’dil mempunyai posisi yang sangat penting dalam disiplin ilmu hadits. Kenyataan ini didasarkan kepada ilmu ini merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ilmu-ilmu hadist lainnya dalam menentukan diterima atau ditolaknya suatu hadist. Jika seorang ahli hadits dinyatakan cacat maka periwayatnya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka perawinya diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima hadits dipenuhi. Kedudukan ilmu ini semakin signifikan ketika seseorang hendak melakukan penelitian hadits atau biasa dikenal dengan sebutan Takhrij Al-Hadits.
Ilmu jarh wa ta’dil adalah timbangan bagi para rawi hadits. Rawi yang berarti timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbaberarti timbangannya diterima riwayatnya dan rawi yang ringan timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui periwayat yang dapat diterima haditsnya, serta dapat membedakannya dengan periwayat yang tidak dapat diterma haditnya. Oleh karena itu para ulama hadit memperhatikan ilmu ini dengan penuh perhatiannya dan mencurahkan segala pikirannya untuk menguasainya. Mereka pun berijma’ akan validitasnya, bahkan kewajibannya karena kebutuhan yang mendesak akan ilmu ini.
B.    Rumusan Masalah
1.     Pengertian Ilmu Al-jarhwa Al-Ta’dil ?
2.     Manfaat  Ilmu Al-jarhwa Al-Ta’dil ?
3.     Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi serta masalah-masalahnya ?
4.     Syarat-syarat bagi orang yang Men-ta’dil-kan dan Men-tarjih-kan ?


C.    Tujuan Masalah
1.     Untuk mengetahui Pengertian Ilmu Al-jarhwa Al-Ta’dil !
2.     Mengetahui Manfaat  Ilmu Al-jarhwa Al-Ta’dil !
3.     Mengetahui Metode untuk mengetahui keadilan dan kecacatan rawi serta masalah-masalahnya !
4.     Untuk mengetahui Syarat-syarat bagi orang yang Men-ta’dil-kan dan Men-tarjih-kan !


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Kalimat Al-jarh wa at-ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘Al-jarh dan ‘Al-adl’. Al-jarh merupakan bentuk masdar dari kata جرح- يجرح  yang berarti “seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu.” Dikatakan juga جرحاحاكموغيرهالشاهد, yang berati hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjauhkan siafat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.
Kata Al-jarh merupakan betuk dari kata jaraha-yajrahu atau Jariha-yajrahu yang berarti cacat atau luka, atau seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah dari luka itu. Istilah acat ini digunakan untuk menunjukkan sifat jelek yang melekat pada periwayat hadits seperti pelupa, pembohong dan sebagainya. Sedangkan kata Al-Ta’dil merupakan akar  kata dari ‘Addala-Yu’addilu yang berarti mengadilkan, menyucikan atau menyamakan. [1]
Ilmu al-jarh wa at-ta’dil adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui sifat negatif dan positif perawi hadis yang berpengaruh pada kualitas hadis yang diriwayatkannya. Dengan al-jarh, segi-segi kelemahan atau kecacatan perawi diuangkapkan. Sedangkan at-ta’dil, segi-segi penilaian positif pada perawi diuangkapkan. Dengan begitu dapat diketahui apakah sebuah hadis yang diriwayatkan perawi tersebut dapat dipercaya atau tidak.

B.    Manfaat Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’Dil
Ilmu Al-jarh wa at-ta’dil bermanfaat untuk menetapkan apakah periwayatan seseorang rawi itu dapat diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seseorang rawi dinilai oleh para ahli seabagai rawi yang cacat, periwayatnya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji sebagai seorang yang adil, nisaya periwayatnya diteria selama ayat-ayat yang lain untuk menerima hadis terpenuhi.
Kalau Ilmu al-jarh wa ta’dil ini tidak dipelajari dengan saksama, paling tidak akan muncul penilaian bahwa seluruh orang yang meriwayatkan hadis dinilai sama. Padahal perjalanan hadi mengalami perjalanan yang begitu panjang, dan diwarnai oleh situasi dan kondisi yang tidak menentu. Setelah wafatnya Rasulullah SAW., kenalurian sebuah hadis perlu mendapat penelitian yang sacara seksama karena terjadinya pertikaian dibidang politik, masalah ekonomi dan masalah-masalah lainnya banyak dikaitkan dengan hadis. Akibatnya, mereka meriwayatkan suatu hadis yang disandarkan kepada Rasulullah, padahal riwayatnya adalah riwayat yang bohong, yang mereka buat untuk kepentingan golongannya.[2]
Jika kita tidak megetahui dengan benar atau salahnya sebuah riwayat, kita akan mencampuradukkan antara hadis yang benar-benar dari Rasulullah dan hadis yang palsu (maudhu’).
Dengan mengetahui ilmu al-jarh wa-ta’dil, kita akan bisa menyeleksi mana hadis shahi, hasan ataupun hadis dhaif, terutama dari segi kualitas rawi, bukan dari matannya.

C.    Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan Masalah-Masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua ketetapannya.
Pertama, dengan kepopuleran dikalagan para ahli ilmu bahwa ia dkenal dengan sebagai seorang yang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai seorang yang adil dalam kalangan para ahli ilmu bagi Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin HanbL, dan sebagainya. Oleh karena itu, mereka sudah terkenl sebagai orang yang adil dikalangan para ahli ilmu sehingga tidak perlu dipebincangkan lagi tentang keadilannya.[3]
Kedua, dengan pujian dar seorang yamg adil (tazkiyah), yaitu ditetpkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang adil yang semula rawi yang di-ta’dil­-kan itu belum terkenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan keadilan seorang rawi dengan jalan tazkiyah ini dapat dilakukan oleh :
a.      Seorang rawi yang adil. Jadi, tidak perlu dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kan sebab jumlah itu tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis.
b.     Setiap orang yang dapat diterima periwayatnya, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang yang merdeka maupun budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat mengendalikannnya.
Pendapatan tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan yaitu :
a.      Berdasarkan berita tentang ketenaran rawi dalam keaibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang yang fasik atau pendusta dikalangan masyarakat, tidak perlu lagi dipersoalkan. Cukuplah kemasyuran itu sebagai jalan untuk mnetapkan kecacatannya.
b.     Berdasarkan pen-tajrih-an dari seorang yang adil, yang telah mengetahui sebab-sebab dia cacat. Demikian ketetapan yang dipegang muhaditsin, sedangkan menurut para fuqaha, sekurang-kurangnya harus ditajrih oleh dua orang laki-laki yang adil.

D.    Syarat-Syarat Bagi Orang Yang Men-Ta’dil-kan dan Men-Tajrih-kan
Ada beberapa syarat bagi seorang yang men0ta’dil-kan dan men-tajrih-kan, yaitu :
a.      Berilmu pengetahuan,
b.     Takwa,
c.      Wara’ (orang yang slalu menjahui perbuatan maksiat, syubhat, dosa-dosa kecil, dan makruhat-makruhat),
d.     Jujur,
e.      Menjahui fanatik golongan,
f.      Mengetahui sebab-sebab untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan.[4]

E.     Lafazh-Lafaz Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Lafaz-lafaz yang digunakan untuk men-tajrih-kan dan men-ta’dil-kan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah dan Imam An-Nawawy, lafaz-lafaz itu disusun menjadi 4 tigkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan, yaitu sebagai berikut :
Tingkatan pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan menggunakan lafaz-lafaz yang af’alu al-ta;dil atau ungkapkan yang mengandung pengrtian sejenisnya :
 أوثق الناس                          = orang yang paling tsiqat, orang yang palig kuat                                   hapalannya.
أثبت الناس حفظاوعدالة            = orang yang paling kuat hapalan dan keadilannya.
 إليه المنتهى فى الشبت            = orang yang paling menonjol keteguhan hatinya dan akidahnya
Tingkatan kedua, memperkuat tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukkan keadilan dan ke-dhabit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafazh (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya :
 ثبت ثبت         =   orang yang teguh (lagi) eguh, yaitu teguh dalam pendiriannya.
 ثقة ثقة           = orang yang tsiqah (lagi) tsiqah, yaitu orang yang sangat dipercaya.
Tingkatan ketiga, menunjukkan keadilan dengan suatu lafaz yang mengandung arti ‘kuat inggatan’, misalnya :
 ثبت              = orang yang teguh (hati-hati lidahnya).
 متقن              = orang yang menyakinkan ilmunya.
Tingkatan keempat, menunjukkan keadilan dalam ke-dhabit-an, tetapi dengan lafaz yang tidak mengandung arti ‘kuat ingatan dan adil’ (tsiqah), misalnya :
 صدوق           = orang yang sangat jujur.
 مأمون            = orang yang dapat memegang amanat
Tingkatan kelima, menunjukkan kejujuran rawi, tetapi tidak diketahui adanya ke-dhabit-an, misalnya :
 محلة الصدق    = orang yang berstatus jujur.
Tingkatan keenam, menunjukkan arti ‘mendekati cacat’. Seperti sifat-sifat tersebut diatas yang diikuti dengan lafaz “Insya Allah” atau lafaz tersebut di-tashir-kan (pengecilan arti), atau lafaz itu dikaitkan dengan suatu pengharapan, misalnya :
 صدوق إنشاءلله           = orang yang jujur, insya Allah.
 فلان أرجوبأنل لابأسبه = orang yang diharapkan tsiqah.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu jarh adalah kecacatan pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi. Jadi ilmu jarh adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk para perawi hadis yang meliputi perkataan dan perbuatan dalam mendapatkan dan menjaga hadis. Ilm ta’dil adalah lawan dari al-jarh, yaitu pembersih dari sifat-sifat yang membuat riwayatnya ditolak. Sehingga dengan ta’dil ini riwayatnya bisa diterima dikalangan umat islam.
B.    Saran
Dengan mempelajari kedua ilmu ini, maka jelaslah para perawi yang bisa diterim riwayatnya tanpa ada keraguan lagi. Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dijadikan sebagai refrensi untuk bagi para pembaca. Untuk  itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang sangat membantu penyempurnaan makalah ini. Akhirnya, semoga makalah ini dapat berguna bagi kita semua bagi pembaca/umat Islam.


DAFTAR PUSTAKA


Agus Solahudin, Ulumul Hadis. Bandung : CV PUSTAKA, 2008.
Zein, Ma’Shum. Ilmu Memahami Hadis Nabi. Yogyakarta : Pustaka Pesantren.
Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung : PT Al Ma’arif.



[1] Agus Solahudin, Ulumul Hadis. (Bandung : CV PUSTAKA, 2008) , h. 157.
[2] Ma’Shum Zein. Ilmu Memahami Hadis Nabi. (Yogyakarta : Pustaka Pesantren),h.203.
[3] Ibid,.h.160.
[4] Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis.(Bandung : PT Al Ma’arif),h. 268-269.

<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN