MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH WARISAN



 Makalah tentang :


WARISAN
Oleh :
Kelompok 9

Suwandari
Syarifah Nasution
Ika Nurmahyuni Daulay
Fahrijal Halomoan Harahap

Dosen Pengampu
Dr. Hamdan Hasibuan, M.Pd.

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN
T. A 2019


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb.                    
                                                                                                                        
Puji dan syukur dengan  hati dan pikiran yang  tulus dipanjatkan kehadirat allah swt, karena berkat nikmat, mau’nah dan hidayahnya Alhamdulillah kami telah selesai mengerjakan makalah yang ringkas ini.
Shalawat dan salam dihaturkan pada nabi Muhammad saw, beserta keluarganya dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa raga dan lainnya untuk tegaknya syari’at islam, yang pengaruh dan manfaatnya masih terasa.
Selanjutnya makalah yang  kami susun ini dalam rangka memenuhi  tugas kelompok dalam mata kuliah METODOLOGI PEMBELAJARAN FIQIH yang berjudul  WARISAN , adapun penyusunan makalah kami disini masih kurang lengkap dan terdapat pula kesalahan baik dari segi isinya,keterangannya dan penulisan kami, oleh karena itu kami mohon kepada bapak pembimbing dan kepada teman-teman kami semua agar memberikan kritik dan sarannya karna kami masih dalam proses pembelajaran.sekian dan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang .................................................................................
B.    Rumusan Masalah .............................................................................
C.    Tujuan Masalah .................................................................................    

BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian  Warisan .........................................................................
B.    Rukun dan Syarat Warisan ..............................................................
C.    Dasar Hukum Warisan .....................................................................
D.    Sebab-sebab Adanya Hak Waris .....................................................

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.........................................................................................

DAFTAR PUSTAKA











BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu  Negara bekas jajahan India, Belanda yang beraneka ragam suku, bahasa dan budaya serta agama, mempunyai cirri khas sendiri yang tidak dipunyai oleh Negara-negara lain, karena beraneka ragam suku, adat-istiadat inilah  maka mengenai system yang berlaku berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya sifat-sifat kekeluargaan , golongan-golongan yang masih dipengaruhi dan ditentukan oleh corak warisan dari colonial Hindia Belanda, sehingga hokum warisan yang berlaku di Indonesia juga masih beraneka ragam berdasarkan golongan warga Negara yaitu:
1.     Untuk orang Indonesia asli, dibeberapa daerah berlaku hukum adat, hukum adat kewaridan di Indonesia mengenal tiga macam system susuan kekeluargaan yang sangat mempengaruhi lingkungan adat yang satu dengan lingkungan hukum yang lainnya, yaitu :
a.      Golongan yang bersifat kebapakan, maka seorang istri oleh karena perkawinan dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya, leluhurnya serta sanak keluarganya.
b.     Golongan yang bersifat keibuan, yaitu sejak perkawinan itu dilakukan maka suami berdiam dirumah istrinya atau keluarganya, suami tidak masuk keluarga istri, tetapi apabila ada anak keturunannya dianggap kepunyaan ibu saja.
c.      Golongan bapak dan ibu, di Indonesia adalah yang paling merata yaitu
golongan yang bersifat parental didaerah jawa, Madura, sumatera riau,aceh dan lain-lain yang menonjol kekeluargaan nya .
2.     Untuk orang Indonesia asli yang beragama Islam diberbagai daerah, maka hukum kewarisan Islam sangat berpengaruh.

B.    Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian warisan ?
2.     Bagaimana rukun dan syarat warisan?
3.     Apa saja dasar hukum warisan ?
4.     Apa sebab-sebab adanya hak waris ?

C.    Tujuan Masalah
1.     Untuk mengetahui apa pengertian warisan
2.     Untuk mengetahui bagaimana rukun dan syarat warisan
3.     Untuk mengetahui apa saja dasar hukum warisan
4.     Untuk mengetahui apa sebab-sebab adanya hak waris







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengetian Warisan
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Selain itu dalam istilah lain, waris disebut dengan al-mirats yang artinya berpindahnya hak pemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’I. [1]
Dalam pasal 171 kompilasi hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai kewarisan ini, yaitu: [2]
1.     Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
2.     Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan dan harta peninggalan.
3.     Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubngan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
4.     Harta peninggalan adalah yang ditinggalkan oleh bak yang berupa harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
5.     Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal nya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
6.     Wasiat adalah pemberian suatua benda dari pewaris kepada orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.  [3]

B.    Rukun dan Syarat Waris
1.     Rukun waris
Rukun waris ada tiga yaitu :[4]
a.      Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta waris.
b.     Ahli waris, yaitu mereka yang berhak menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabaratan atau ikatan pernikahan.
c.      Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagianya.
2.     Syarat-syarat waris
Syarat-syarat waris ada tiga yaitu :[5]
a.        Meninggalnya seseorang (pewaris), baik secara hakiki maupun hukum (misalnya dianggap telah meninggal). Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris, baik secara hakiki atau hukum adalah seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka.
Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimana pun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, kecuali setelah meninggal. Matinya pewaris mutlak harus dipenuhi. Seseorang disebut pewaris jika dia telah meninggal dunia. Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan harta kepada para ahli warisnya ketika dia masih hidup, itu bukan waris.
b.     Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia. Maksudnya, hak kepemilikan dari pewaris harus dipindahkan kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang usdah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Hidupnya ahli waris  mutlak harus dipenuhi. Seseorag ahli waris hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia.
Masalah yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain mafqud, anak dalam kandungan, dan mati berbarengan.
Otje salman dan musthafah haffas mengatakan bahwa masalah mafqud terjadi dalam hal keberadaan seorang waris tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau sudah mati ketika pewaris meninggal dunia. Dalam hal terjadi kasus seperti ini, pembagian waris dilakukan dengan cara memandang simafqud tersebut masih hidup. Itu dilakukan untuk menjaga hak  si mafqud jika ternyata dia masih hidup. Iika dalam tenggang waktu yang patut ternyata si mafqud  tersebut tidak datang, sehingga dia diduga telah mati, bagiannya tersebut dibagi diantara ahli waris lainnya sesuai dengan perbandingan masing-masing. [6]
Masalah anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri pewaris dalam keadaan mengandung ketika pewaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat ditangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
Masalah mati berbarengan terjadi apabila dua orang atau lebih yang saling memusakai mati berbarengan, misalnya seorang bapak anaknya tenggelam atau terbakar bersama-sama sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang meninggal terlebih dahulu. Dalam hal terjadi kasus seperti itu, penetapan keberadaan mereka dilakukan dengan memerhatikan kepentingan ahli waris lainnya secara kasus per kasus.
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hal penting yang perlu diperhatikan di dalam masalah waris adalah kronologis kematian pewaris dan para ahli waris karena di dalam praktik seringkali pembagian waris dilakukan jauh-jauh hari dari waktu meninggalnya pewaris.
c.      Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak mnerima warisan.

C.    Dasar Hukum Waris
1.     Menurut al-Qur’an
Dalil yang menyatakan bahwa berhak mendapatkan waris adalah Al-Qur’an dalam surah An-Nisa ayat 11, yaitu:
ÞOä3ŠÏ¹qムª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( ̍x.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷ƒuqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3tƒ ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur Ÿw tbrâôs? öNßgƒr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã $VJŠÅ3ym ÇÊÊÈ  
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga.

Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orangtua (ibu dan bapak) masing-masing mnedapatkan seperenam apabila pewaris mempuanyai keturunan. Akan tetapi, bila pewaris tidak mempunyai anak, seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orangtua. Ayat tersebut juga telah menegskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, ibu mendapat bagian sepertiga. Namun, ayat itu tidak menjelaskan bagian ayah. Dari sini, dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia sebagai ‘ashabah.
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿムÎû Ï's#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øŠs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? 4 uqèdur !$ygèO̍tƒ bÎ) öN©9 `ä3tƒ $ol°; Ó$s!ur 4 bÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=V9$# $®ÿÊE x8ts? 4 bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh [ä!$|¡ÎSur ̍x.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üus[RW{$# 3 ßûÎiüt6ムª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs? 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7OŠÎ=tæ ÇÊÐÏÈ  
“ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”

Pada tersebut tidak disebutkan bagian saudara kandung, melainkan saudara kandung yang akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat “wahuma yaritsuha” memberi isyarat bahwa peninggalan menjadi haknya. Inilah makna ‘ashabah.
Diperkuat juga oleh hadis Rasulullah SAW.,
“Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama”. (H.R. Adz-Dzarimi).
Hadis ini menunjukkan perintah Rasulullah SAW. Agar memberikan hak waris kepada ashab al-furudh. Jika masih tersisa, harta warisan diberikan kepada golongan terdekat dari ‘ashabah (orang laki-laki yang paling utama dari ‘ashabah). Pengertian lafazh “dzakarun” dalam kalimat “fali aula rajulin dzakarin” yang menunjukkan makna seorang laki-laki (menurut gendernya) dengan tidak membedakan anak kecil atau dewasa, dimaksudkan untuk menolak anggapan yang salah, yang hanya memahaminya sebagai anak dewasa dan berkuasa. Padahal, seorang bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai ‘ashabah dan menguasai seluruh harta harta warisn yang ada jika dia sendirian.

D.    Sebab-sebab Adanya Hak Waris  
Sebab-sebab mendapatkan waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris yaitu : [7]
1.   Kerabat  hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2.   Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3.   Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-‘itqi dan wala an-ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Dalam hal ini, orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai sebagai manusia. Oleh karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali pernikahan.  [8]

Sama halnya dengan pendapat Muhammad Jawad Mghniyah, yang menyatakan bahwa ada tiga hal yang menyebabkan seseorang menerima warisan : hubungan kekerabatan, perkawinan dengan akad yang sah. Wala (perwalian). Hal ini dapat juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu sabab dan nasab. Nasab adalah hubungan kekerabatan, sedangkan sabab mencakup perkawinan dan perwalian (wala’). Wala  adalah hubungan antara dua orang yang menjadikan kaduanya seakan sudah sedarah sedaging laksana hubungan nasab. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang memerdekakan hambanya, dia menjadi maula dari orang yang dimerdekakannya, dan berhak mewarisinya manakala bekas hambanya tersebut tidak mempunyai seorang pewaris pun.
Adapun golongan ahli waris terbagi menjadi dua  golongan yaitu:[9]
1.     Dzu Fadlin
Dzu fadlin artinya yang mempunyai bagian tertentu. Pembagian tertentu menurut Al-Qur’an ada enam:
a.      ½  (setengah), adalah bagian untuk:
1)     Anak perempuan apabila hanya seorang diri, tidak mempunyai saudara.
2)     Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), apabila hanya seorang diri.
3)     Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja jika sendirian.
4)     Suami jika tidak ada anak.
b.     ¼ (seperempat), adalah bagian untuk:
1)     Suami, jika ada anak
2)     Istri, baik hanya satu orang, jika tidak ada anak
c.      1/8 (seperdelapan), adalah bagian untuk:
1)     Istri, apabila ada anak atau anak dari anak laki-laki (cucu).
d.     1/3 (sepertiga), adalah bagian untuk:
1)     Ibu, apabila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga
e.      2/3 (dua pertiga), adalah bagian untuk:[10]
1)     Dua orang anak perempuan (atau lebi), jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki
2)     Dua cucu perempuan atau lebih
3)     Dua saudara perempuan yang sebapak atau lebih
f.      1/6 (seperenam), adalah bagian untuk:
1)     Ibu jika ada anak atau cucu
2)     Ayah jika ada anak atau cucu laki-laki
3)     Nenek jika tidak ada ibu
4)     Cucu perempuan dari anka laki-laki, jika ada satu anak perempuan
5)     Saudara perempuan seayah jika ada satu saudara perempuan sekandung
6)     Seorang saudara perempuan atau laki-laki seibu jika sendirian
7)     Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki, sedangkan bapak tidak ada.
Ahli waris yang mendapat bagian tersebut, dinamakan ahli waris dzu fardlin.
2.     Ashabah
Ashabah ialah orang yang berhak mendapat pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah satu enam macam pembagian tersebut diatas. Ahli waris “ashabah menerima pustaka salah satu diantara dua, yaitu menerima seluruh pusaka atau menerima sisa pustaka. Jika ahli waris dzu fardlin tidak ada, ia menerima seluruh pustaka, tetapi kalau ada dzu fardlin ia menerima sisa pusaka setelah ahli waris dzu fardlin mengambil bagiannya.




                             BAB III
  PENUTUP


A.    Kesimpulan
 Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.







             DAFTAR PUSTAKA


Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, Jakarta : PT Raja Grafindo, 2001.

Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Bandung : Pustaka Setia, 2009 hlm.

Mughniyah, dan Muhammad Jawad,  Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : PT Raja Grafindo, 2000.

Salman, Otje dan Musthafa Haffas, Hukum Waris Islam, Bandung : Refika Aditama, 2006

Wirjono Prodjokidoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1991




[1] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 13
[2] Wirjono Prodjokidoro, Hukum Warisan Di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1991), hlm. 35.
[3] Ibid.,
[4] Salman, Otje dan Musthafa Haffas, Hukum Waris Islam, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hlm. 23.
[5] Ibid.,
[6] Ibid., hlm. 24
[7]   Mughniyah, dan Muhammad Jawad,  Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2000), hlm. 34
[8] Ibid.,
[9] Ahmad Rafiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta : PT Raja Grafindo, 2001), hlm. 40
[10] Ibid.,hlm.41SSS

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN