Makalah tentang :
WARISAN
Oleh :
Kelompok 9
Suwandari
Syarifah Nasution
Ika Nurmahyuni Daulay
Fahrijal Halomoan Harahap
Dosen Pengampu
Dr. Hamdan Hasibuan, M.Pd.
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PADANGSIDIMPUAN
T. A 2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji dan syukur dengan hati
dan pikiran yang tulus dipanjatkan
kehadirat allah swt, karena berkat nikmat, mau’nah dan hidayahnya Alhamdulillah
kami telah selesai mengerjakan makalah yang ringkas ini.
Shalawat dan salam dihaturkan pada nabi Muhammad saw, beserta
keluarganya dan sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa raga dan lainnya untuk
tegaknya syari’at islam, yang pengaruh dan manfaatnya masih terasa.
Selanjutnya makalah yang
kami susun ini dalam rangka memenuhi
tugas kelompok dalam mata kuliah METODOLOGI PEMBELAJARAN FIQIH yang
berjudul WARISAN , adapun
penyusunan makalah kami disini masih kurang lengkap dan terdapat pula kesalahan
baik dari segi isinya,keterangannya dan penulisan kami, oleh karena itu kami
mohon kepada bapak pembimbing dan kepada teman-teman kami semua agar memberikan
kritik dan sarannya karna kami masih dalam proses pembelajaran.sekian dan
terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang .................................................................................
B.
Rumusan Masalah .............................................................................
C.
Tujuan Masalah .................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Warisan .........................................................................
B.
Rukun dan Syarat Warisan ..............................................................
C.
Dasar Hukum Warisan .....................................................................
D.
Sebab-sebab Adanya Hak Waris .....................................................
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan.........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia
sebagai salah satu Negara bekas jajahan
India, Belanda yang beraneka ragam suku, bahasa dan budaya serta agama,
mempunyai cirri khas sendiri yang tidak dipunyai oleh Negara-negara lain,
karena beraneka ragam suku, adat-istiadat inilah maka mengenai system yang berlaku
berbeda-beda, hal ini disebabkan karena adanya sifat-sifat kekeluargaan ,
golongan-golongan yang masih dipengaruhi dan ditentukan oleh corak warisan dari
colonial Hindia Belanda, sehingga hokum warisan yang berlaku di Indonesia juga
masih beraneka ragam berdasarkan golongan warga Negara yaitu:
1.
Untuk orang Indonesia asli, dibeberapa daerah berlaku hukum adat,
hukum adat kewaridan di Indonesia mengenal tiga macam system susuan
kekeluargaan yang sangat mempengaruhi lingkungan adat yang satu dengan
lingkungan hukum yang lainnya, yaitu :
a.
Golongan yang bersifat kebapakan, maka seorang istri oleh karena
perkawinan dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya,
leluhurnya serta sanak keluarganya.
b.
Golongan yang bersifat keibuan, yaitu sejak perkawinan itu
dilakukan maka suami berdiam dirumah istrinya atau keluarganya, suami tidak
masuk keluarga istri, tetapi apabila ada anak keturunannya dianggap kepunyaan
ibu saja.
c.
Golongan bapak dan ibu, di Indonesia adalah yang paling merata
yaitu
golongan
yang bersifat parental didaerah jawa, Madura, sumatera riau,aceh dan lain-lain
yang menonjol kekeluargaan nya .
2.
Untuk orang Indonesia asli yang beragama Islam diberbagai daerah,
maka hukum kewarisan Islam sangat berpengaruh.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian warisan ?
2.
Bagaimana rukun dan syarat warisan?
3.
Apa saja dasar hukum warisan ?
4.
Apa sebab-sebab adanya hak waris ?
C.
Tujuan Masalah
1.
Untuk mengetahui apa pengertian warisan
2.
Untuk mengetahui bagaimana rukun dan syarat warisan
3.
Untuk mengetahui apa saja dasar hukum warisan
4.
Untuk mengetahui apa sebab-sebab adanya hak waris
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian Warisan
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik
seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain,
waris disebut juga fara’idh, yang artinya bagian tertentu yang dibagi
menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Selain itu dalam istilah lain, waris disebut dengan al-mirats yang
artinya berpindahnya hak pemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’I.
Dalam pasal 171 kompilasi hukum Islam, ada beberapa ketentuan
mengenai kewarisan ini, yaitu:
1.
Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
2.
Pewaris adalah orang yang pada saat meninggal berdasarkan putusan
pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan dan
harta peninggalan.
3.
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubngan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
4.
Harta peninggalan adalah yang ditinggalkan oleh bak yang berupa
harta benda yang menjadi hak miliknya maupun hak-haknya.
5.
Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta
bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggal
nya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
6.
Wasiat adalah pemberian suatua benda dari pewaris kepada
orang-orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia.
B.
Rukun dan Syarat Waris
1.
Rukun waris
Rukun
waris ada tiga yaitu :
a.
Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia dan ahli warisnya berhak
untuk mewarisi harta waris.
b.
Ahli waris, yaitu mereka yang berhak menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabaratan atau ikatan pernikahan.
c.
Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagianya.
2.
Syarat-syarat waris
Syarat-syarat
waris ada tiga yaitu :
a.
Meninggalnya seseorang
(pewaris), baik secara hakiki maupun hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris, baik secara hakiki atau hukum adalah
seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau
sebagian dari mereka.
Hal
ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimana pun keadaannya, manusia yang
masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya.
Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun, kecuali setelah
meninggal. Matinya pewaris mutlak harus dipenuhi. Seseorang disebut pewaris
jika dia telah meninggal dunia. Itu berarti bahwa, jika seseorang memberikan
harta kepada para ahli warisnya ketika dia masih hidup, itu bukan waris.
b.
Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris
meninggal dunia. Maksudnya, hak kepemilikan dari pewaris harus dipindahkan
kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang
usdah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Hidupnya ahli waris mutlak harus dipenuhi. Seseorag ahli waris
hanya akan mewaris jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia.
Masalah
yang biasanya muncul berkaitan dengan hal ini antara lain mafqud, anak
dalam kandungan, dan mati berbarengan.
Otje
salman dan musthafah haffas mengatakan bahwa masalah mafqud terjadi
dalam hal keberadaan seorang waris tidak diketahui secara pasti apakah masih
hidup atau sudah mati ketika pewaris meninggal dunia. Dalam hal terjadi kasus
seperti ini, pembagian waris dilakukan dengan cara memandang simafqud tersebut
masih hidup. Itu dilakukan untuk menjaga hak si mafqud jika ternyata dia masih
hidup. Iika dalam tenggang waktu yang patut ternyata si mafqud tersebut tidak datang, sehingga dia diduga
telah mati, bagiannya tersebut dibagi diantara ahli waris lainnya sesuai dengan
perbandingan masing-masing.
Masalah
anak dalam kandungan terjadi dalam hal istri pewaris dalam keadaan mengandung
ketika pewaris meninggal dunia. Penetapan keberadaan anak tersebut dilakukan
saat kelahiran anak tersebut. Oleh sebab itu, pembagian waris dapat
ditangguhkan sampai anak tersebut dilahirkan.
Masalah
mati berbarengan terjadi apabila dua orang atau lebih yang saling memusakai
mati berbarengan, misalnya seorang bapak anaknya tenggelam atau terbakar
bersama-sama sehingga tidak diketahui secara pasti siapa yang meninggal
terlebih dahulu. Dalam hal terjadi kasus seperti itu, penetapan keberadaan
mereka dilakukan dengan memerhatikan kepentingan ahli waris lainnya secara
kasus per kasus.
Dari
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hal penting yang perlu diperhatikan di
dalam masalah waris adalah kronologis kematian pewaris dan para ahli waris
karena di dalam praktik seringkali pembagian waris dilakukan jauh-jauh hari
dari waktu meninggalnya pewaris.
c.
Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian
masing-masing. Dalam hal ini, posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara
pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi
mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing
ahli waris. Sebab, dalam hukum waris, perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan
membedakan jumlah yang diterima, karena tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi, harus dinyatakan apakah ia
sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka
masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak mnerima warisan.
C.
Dasar Hukum Waris
1.
Menurut al-Qur’an
Dalil
yang menyatakan bahwa berhak mendapatkan waris adalah Al-Qur’an dalam surah
An-Nisa ayat 11, yaitu:
ÞOä3Ϲqã ª!$# þÎû öNà2Ï»s9÷rr& ( Ìx.©%#Ï9 ã@÷VÏB Åeáym Èû÷üusVRW{$# 4 bÎ*sù £`ä. [ä!$|¡ÎS s-öqsù Èû÷ütGt^øO$# £`ßgn=sù $sVè=èO $tB x8ts? ( bÎ)ur ôMtR%x. ZoyÏmºur $ygn=sù ß#óÁÏiZ9$# 4 Ïm÷uqt/L{ur Èe@ä3Ï9 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB â¨ß¡9$# $£JÏB x8ts? bÎ) tb%x. ¼çms9 Ó$s!ur 4 bÎ*sù óO©9 `ä3t ¼ã&©! Ó$s!ur ÿ¼çmrOÍurur çn#uqt/r& ÏmÏiBT|sù ß]è=W9$# 4 bÎ*sù tb%x. ÿ¼ã&s! ×ouq÷zÎ) ÏmÏiBT|sù â¨ß¡9$# 4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qã !$pkÍ5 ÷rr& Aûøïy 3 öNä.ät!$t/#uä öNä.ät!$oYö/r&ur w tbrâôs? öNßgr& Ü>tø%r& ö/ä3s9 $YèøÿtR 4 ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇÊÊÈ
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua
orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga.
Dalam
ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orangtua (ibu dan bapak) masing-masing
mnedapatkan seperenam apabila pewaris mempuanyai keturunan. Akan tetapi, bila
pewaris tidak mempunyai anak, seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua
orangtua. Ayat tersebut juga telah menegskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai
anak, ibu mendapat bagian sepertiga. Namun, ayat itu tidak menjelaskan bagian
ayah. Dari sini, dapat kita pahami bahwa sisa setelah diambil bagian ibu, dua per
tiganya menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan ayah disebabkan ia
sebagai ‘ashabah.
y7tRqçFøÿtGó¡o È@è% ª!$# öNà6ÏFøÿã Îû Ï's#»n=s3ø9$# 4 ÈbÎ) (#îtâöD$# y7n=yd }§øs9 ¼çms9 Ó$s!ur ÿ¼ã&s!ur ×M÷zé& $ygn=sù ß#óÁÏR $tB x8ts? 4 uqèdur !$ygèOÌt bÎ) öN©9 `ä3t $ol°; Ó$s!ur 4 bÎ*sù $tFtR%x. Èû÷ütFuZøO$# $yJßgn=sù Èb$sVè=V9$# $®ÿÊE x8ts? 4 bÎ)ur (#þqçR%x. Zouq÷zÎ) Zw%y`Íh [ä!$|¡ÎSur Ìx.©%#Î=sù ã@÷WÏB Åeáym Èû÷üus[RW{$# 3 ßûÎiüt6ã ª!$# öNà6s9 br& (#q=ÅÒs? 3 ª!$#ur Èe@ä3Î/ >äóÓx« 7OÎ=tæ ÇÊÐÏÈ
“ Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu
tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”
Pada
tersebut tidak disebutkan bagian saudara kandung, melainkan saudara kandung yang
akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila
ternyata pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat “wahuma
yaritsuha” memberi isyarat bahwa peninggalan menjadi haknya. Inilah makna ‘ashabah.
Diperkuat
juga oleh hadis Rasulullah SAW.,
“Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa
yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama”. (H.R. Adz-Dzarimi).
Hadis
ini menunjukkan perintah Rasulullah SAW. Agar memberikan hak waris kepada ashab
al-furudh. Jika masih tersisa, harta warisan diberikan kepada golongan
terdekat dari ‘ashabah (orang laki-laki yang paling utama dari ‘ashabah).
Pengertian lafazh “dzakarun” dalam kalimat “fali aula rajulin
dzakarin” yang menunjukkan makna seorang laki-laki (menurut gendernya)
dengan tidak membedakan anak kecil atau dewasa, dimaksudkan untuk menolak
anggapan yang salah, yang hanya memahaminya sebagai anak dewasa dan berkuasa.
Padahal, seorang bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai ‘ashabah
dan menguasai seluruh harta harta warisn yang ada jika dia sendirian.
D.
Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Sebab-sebab mendapatkan waris
Ada
tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris yaitu :
1.
Kerabat hakiki (yang ada
ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2.
Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i)
antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi
hubungan intim (bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau
rusak, tidak rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
3.
Al-Wala, yaitu
kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-‘itqi dan wala
an-ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan
seseorang. Dalam hal ini, orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa
kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-itqi. Orang yang membebaskan
budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai
sebagai manusia. Oleh karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak
mewarisi terhadap budak yang dibebaskan bila budak itu tidak memiliki ahli
waris yang hakiki, baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali
pernikahan.
Sama halnya
dengan pendapat Muhammad Jawad Mghniyah, yang menyatakan bahwa ada tiga hal
yang menyebabkan seseorang menerima warisan : hubungan kekerabatan, perkawinan
dengan akad yang sah. Wala (perwalian). Hal ini dapat juga dibagi
menjadi dua bagian, yaitu sabab dan nasab. Nasab adalah hubungan kekerabatan,
sedangkan sabab mencakup perkawinan dan perwalian (wala’). Wala adalah hubungan antara dua orang yang
menjadikan kaduanya seakan sudah sedarah sedaging laksana hubungan nasab. Oleh
karena itu, apabila ada seseorang yang memerdekakan hambanya, dia menjadi maula
dari orang yang dimerdekakannya, dan berhak mewarisinya manakala bekas
hambanya tersebut tidak mempunyai seorang pewaris pun.
Adapun golongan
ahli waris terbagi menjadi dua golongan
yaitu:
1.
Dzu Fadlin
Dzu
fadlin artinya yang mempunyai bagian tertentu. Pembagian tertentu menurut
Al-Qur’an ada enam:
a.
½ (setengah), adalah bagian untuk:
1)
Anak perempuan apabila hanya seorang diri, tidak mempunyai saudara.
2)
Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), apabila hanya
seorang diri.
3)
Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja jika
sendirian.
4)
Suami jika tidak ada anak.
b.
¼ (seperempat),
adalah bagian untuk:
1)
Suami, jika ada anak
2)
Istri, baik hanya satu orang, jika tidak ada anak
c.
1/8 (seperdelapan),
adalah bagian untuk:
1)
Istri, apabila ada anak atau anak dari anak laki-laki (cucu).
d.
1/3 (sepertiga),
adalah bagian untuk:
1)
Ibu, apabila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga
e.
2/3 (dua pertiga),
adalah bagian untuk:
1)
Dua orang anak perempuan (atau lebi), jika mereka tidak mempunyai
saudara laki-laki
2)
Dua cucu perempuan atau lebih
3)
Dua saudara perempuan yang sebapak atau lebih
f.
1/6 (seperenam),
adalah bagian untuk:
1)
Ibu jika ada anak atau cucu
2)
Ayah jika ada anak atau cucu laki-laki
3)
Nenek jika tidak ada ibu
4)
Cucu perempuan dari anka laki-laki, jika ada satu anak perempuan
5)
Saudara perempuan seayah jika ada satu saudara perempuan sekandung
6)
Seorang saudara perempuan atau laki-laki seibu jika sendirian
7)
Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak
laki-laki, sedangkan bapak tidak ada.
Ahli
waris yang mendapat bagian tersebut, dinamakan ahli waris dzu fardlin.
2.
Ashabah
Ashabah
ialah orang yang berhak mendapat pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam
salah satu enam macam pembagian tersebut diatas. Ahli waris “ashabah
menerima pustaka salah satu diantara dua, yaitu menerima seluruh pusaka atau
menerima sisa pustaka. Jika ahli waris dzu fardlin tidak ada, ia menerima
seluruh pustaka, tetapi kalau ada dzu fardlin ia menerima sisa pusaka setelah
ahli waris dzu fardlin mengambil bagiannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Waris adalah berbagai aturan tentang
perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga fara’idh, yang artinya
bagian tertentu yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak
menerimanya.
DAFTAR PUSTAKA
Wirjono Prodjokidoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Jakarta :
Raja Grafindo
Persada, 1991
Komentar
Posting Komentar