BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata-kata “sumber hukum Islam”
merupakan terjemahan darii lafazh Masadir al-Ahkam. Kata-kata tersebut tidak
ditemukan dalaam kitab-kitab hukum Islam yangg ditulis oleh ulama-ulama fikih
dan ushul fikih klasik. Untukk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka
menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir al-Ahkam oleh ulama
pada masa sekarang ini, tentu yangg dimaksudkan ialah searti dengaan istilah
al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yangg dimaksud Masadir al-Ahkam
ialah dalil-dalil hukum syara’ yangg diambil (diistinbathkan) dariipadanya
untukk menemukan hukum. Sumber hukum dalaam Islam, ada yangg disepakati
(muttafaq) para ulama dan ada yangg masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun
sumber hukum Islam yangg disepakati jumhur ulama ialah Al Qur’an, Hadits, Ijma’
dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengaan urutan dalil-dalil tersebut.
Qiyas merupakan sumber hukum Islam
yangg keempat. Qiyas juga merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untukk menggali
hukum syara’ dalaam hal-hal yangg nash al-Qur’an dan Sunnah tidak menetapkan
hukumnya secara jelas. Keterkaitan dengaan qiyas sangan erat sekali dengaan
hukum dan sebab.
Kami akan membahas mengenai sumber
hukum dalaam Islam yaitu qiyas. Dalaam makalah ini kami akan menjelaskan
mengenai pengertian qiyas, rukun qiyas, dan kehujjahan qiyas.
B.
Rumusan Masasalah
1.
Pengertian Qiyas
2.
Rukun Qiyas, Dan
3.
Kehujjahan Qiyas.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan,
membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B,
karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama,
wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur
tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan
sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Qiyas menurut bahasa ialah
pengukuran sesuatu dengaan yangg lainnya atau penyamaan sesuatu dengaan yangg
sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi yangg berbede-beda bergantung
pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas dalaam istinbath
hukum. Dalaam hal ini, mereka terbagi dalaam dua golongan berikut ini.
Golongan
pertama, menyatakan bahwa qiyas merupakan
ciptaan manusia, yakni pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan
kedua, qiyas merupakan ciptaan syari’ , yakni merupakan dalil hukum
yangg berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yangg dibuat Syari’
sebagai alat untukk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik
dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak.
Bertitik tolak pada pandangan
masing-masing ulama tersebut maka mereka memberikan definisi qiyas
sebagai berikut:
a. Shadr Asy-Syari’at menyatakan bahwa qiyas
ialah pemindahan hukum yangg terdapatt pada ashl kapada furu’
atas dasar illat yangg tidak dapatt diketahui dengaan logika bahasa.
b. Al-Human menyatakan bahwa qiyas
ialah persamaan hukum suatu kasus dengaan kasus lainnya karena kesamaan illat
hukumnya yangg tidak dapatt diketahui melalui pemahaman bahasa secara murni
Sebenarnya, masih banyak definisi
lainnya yangg dibuat oleh para ulama, namun secara umum qiyas ialah
suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus yangg tidak disebutkan
dalaam suatu nash, dengaan suatu hukum yangg disebutkan dalaam nash
karena adanya kesamaan dalaam illat-nya.
Dasar
hukum qiyas sebagian besar para ulama fiqh dan
para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah
satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya
mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas
yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan
ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan
qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun
yang dapat dijadikan dasar.
2. Rukun Qiyas
Darii pengertian qiyas yangg
dikemukakan di atas dapatt disimpulkan bahwa unsur pokok (rukun) qiyas
terdiri atas empat unsur yangg berikut:
a. Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yangg sudah ada nash-nya
yangg dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl
menurut fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog ialah suatu nash
syara’ yangg menunjukkan ketentuan hukum, dengaan kata lain, suatu
nash yangg menjadi dasar hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih
(yangg dijadikan tempat meng-qiyas-kan), mahmul alaih (tempat
membandingkan), atau musyabbah bih (tempat menyerupakan)
b. Far’u (cabang) yaitu peristiwa yangg tidak ada nash-nya.
Far’u itulah yangg dikehendaki untukk disamakan hukumnya dengaan ashl.
Ia disebut juga maqis (yangg dianalogikan) dan musyabbah (yangg
diserupakan)
c. Hukum Ashl, yaitu hukum syara’,
yangg ditetapkan oleh suatu nash
d. Illat, yaitu suatu sifat yangg terdapatt pada ashl. Dengaan
adanya sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dan dengaan sifat itu
pula, terdapatt cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengaan hukum ashl.
Sebagai contoh ialah menjual harta
anak yatim ialah suatu peristiwa yangg perlu ditetapkan hukumnya karena tidak
ada nash yangg dapatt dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini fara’. Untukk
menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yangg lain yangg telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash yangg illatnya sama dengaan peristiwa pertama. Peristiwa
kedua ini memakan harta anak yatim disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan
firman Allah SWT, QS. An-Nisa ayat 10:
سَعِيرًا
وَسَيَصْلَوْنَ ۖنَارًا بُطُونِهِمْ فؽ
يَأْكُلُونَ إِنَّمَا ظُلْمًا الْيَتَامَىٰ أَمْوَالَ يَأْكُلُونَ الَّذِينَ إِنَّ
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yangg memakan harta anak yatim
secara zalim sebenarnya meraka
itu menelan api sepenuh perutnya dan meraka akan masuk ke dalaam api yangg
menyala-menyala (neraka).”
Persamaan illat antara kedua
peristiwa ini ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak
yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengaan
memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.
3. Kehujjahan Qiyas
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima
pendapat mengenai hal ini:
a. Jumhur ulama memandang bahwa qiyas hujjah dan wajib mengamalkannya
berdasarkan syar’i
b. Pendapat Qaffal dan Abu Husein al-Bashri bahwa akal dan naql menunjukkan
kehujjahan qiyas
c. Pendapat al-Qasyani, Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib
diamalkan dalam dua hal:
1) Illah ashl ditetapkan oleh nash dengan jelas atau dengan jalan ima’ (الإيماء)
2) Hukum far’u lebih utama dari hukum ashl. Seperti keharaman
memukul orang tua dikiaskan pada keharaman berkata “ah”
d. Mazhab Zhahiri mengingkari kehujjahan qiyas berdasarkan syariat,
meski secara akal bisa
e. Mazhab Syiah dan Nizham dari mu’tazilah memandang bahwa kehujjahan qiyas
mustahil secara akal
Secara garis besar, lima pendapat ini dapat
dikelompokkan dalam dua pendapat yatiu antara menerima kehujjahan
qiyas dan kelompok yang menolaknya. Berikut dalil-dalil masing-masing:
a. Dalil mazhab kehujjahan qiyas
1)
Alquran
·
Surat an-Nisa ayat 58. Ayat ini
menjelaskan, bila terjadi sengketa maka kembalikan kepada Allah dan RasulNya
yaitu alquran dan sunnah. Dan Qiyas, befungsi menggali hukum yang menjadi perselisihan yang tidak ada nashnya
dari alquran dan sunnah untuk dikiaskan kepada hukum yang diperselisihkan yang
ada nashnya, karena keduanya memiliki illat yang sama yaitu
adanya hukum yang
diperselisihkan
·
Surat Ali Imran ayat 59.
Allah menyamakan penciptaan Nabi Isa dan Adam tanpa seorang bapak, keterkaitan
sama-sama tidak punya bapak merupakan illah penyamaan kedua Nabi tersebut.
2)
Sunnah Rasulullah mengutus Muaz
dan Abu musa ke Yaman sebagai qadhi.
3)
Ijma’
Para sahabat ada
mengeluarkan pendapat dengan cara qiyas seperti Abu Bakr dan Umar.
Pendapat mereka tidak ada yang mengingkari. Maka ini dipandang sebagai ijma’.
4) Aqliy:
Akal tidak bisa menolak suatu perkara yang
serupa dan sama dalam hukum. Pengingkaran
terhadap qiyas merupakan pengingkaran terhadap fitrah akal.
b. Dalil yang menafikah kehujjahan qiyas
1. Alquran
·
“ ولا تقف ما ليس لك به علم”. Dalam qiyas, hukum far’u belum diketahui status
hukumnya, dan qiyas adalah zhanniy, mengikuti qiyas
berarti mengikuti sesuatu yang tidak diketahui.
·
يأيها اللذين أمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله " ”.
Ayat ini melarang beramal dengan selain
Alquran dan sunnah. Menggunakan qiyas berarti mendahului Alquran dan
sunnah.
2. Sunnah
Sabda Rasulullah
" تعمل هذه الأمة برهة بالكتاب وبرهة بالسنة وبرهة بالقياس
فإذا فعلوا ذالك فقد ضلوا"
Beramal dengan qiyas
akan berakibat kepada kesesatan.
3. Ijma’
Sebagian sahabat mencela
penggunakan qiyas. Dan tidak ada pengingkaran hal tersebut. Maka ini
menjadi sebuah ijma’.
4. Aqliy
Menggunakan qiyas akan
menyebabkan perselisihan dan pertikaian. Dan ini dilarang oleh Allah, ولا تنازعوا " "
Mengenai dalil-dalil
diatas terjadi perdebatan hangat dan panjang. Masing-masing pihak membantah dan
menjawab balik kritikan yang ada.
Diantara ulama yang cukup keras menolak hujjah
adalah Ibn Hazm. Dalam bukunya ia menjelaskan argumentasi penolakannya
terhadap qiyas.
“nahnu insya Allah nanqudu
kulla ma ihtajjuu bihi, wa nahtajju lahum bikulli ma yumkinu an ya'taridhuu
bihi wa nubayyinu bi haulillah ta'ala wa quwwatihi butlana ta’aluqihim bikulli
ma ta’allaquu bihi fi zalik tsumma
nabtadiu bi ‘aunillah azza wajalla bi irad al barahin al wadhihah
ad-dharuriyah’ ala ibtal al qiyas.
Dilihat dari argumentasi yang disampaikan Ibn Hazm terhadap qiyas,
ada dua hal yang menjadi basis penolakannya:
·
Bahwa Allah telah menurutkan
syariat-syariat-Nya dengan sempurna. Dia telah menentukan hukum-hukum-Nya. Apa
yang tidak disebutkan berarti mubah dan halal. Memakai qiyas berarti
membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan syariat.
·
Penolakannya Ibn Hazm terhadap qiyas
bukan karena kesimpulan hukum tersebut, melainkan cara memperoleh hukum itu
yang tidak tepat. Misalnya, firman Allah:
"
أن تأكلوا من بيوتكم أو بيوت ءابائكم
Ayat di sini
tidak menyebutkan kebolehan makan di rumah anak, lalu dikiaskanlah kepada
kebolehan makan dirumah bapak. Metode ini tidak tepat. Bolehnya makan di rumah
anak bukan karena penerapan qiyas, tapi karena adanya nash yang
membolehkan hal tersebut.
BAB III
PENUTUP
Qiyas
menurut bahasa ialah pengukran sesuatu dengaan yangg lainnya atau penyamaan
sesuatu dengaan yangg sejenisnya. Ulama ushul fikih memberikan definisi
yangg berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyas
dalaam istinbath hukum. Qiyas merupakan salah satu hukum Islam yangg banyak
diterima oleh ulama.
Adapun
rukun qiyas ada 4 yaitu:
a. Ashal: masalah yangg telah ditetapkan dalaam
al-Qur’an
b. Far’u: yangg berarti cabang yaitu suatu
peristiwa yangg belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada dalaam nash
al-Qur’an
c. Hukum ashal: hukum yangg terdapatt
dalaam masalah yangg ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash tertntu baik
al-Qur’an maupun as-Sunnah
d. Illat: pokok yangg menjadi landasan
qiyas.
Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan qiyas. Ada lima
pendapat mengenai hal ini:
a.
Jumhur ulama memandang
bahwa qiyas hujjah dan wajib mengamalkannya berdasarkan syar’i
b.
Pendapat Qaffal dan Abu
Husein al-Bashri bahwa akal dan naql menunjukkan kehujjahan qiyas
c.
Pendapat al-Qasyani,
Nahrawani memandang, bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal:
1.
Illah ashl ditetapkan oleh nash
dengan jelas atau dengan jalan ima’ (الإيماء)
2.
Hukum far’u lebih
utama dari hukum ashl. Seperti keharaman memukul orang tua dikiaskan
pada keharaman berkata “ah”
d.
Mazhab Zhahiri mengingkari
kehujjahan qiyas berdasarkan syariat, meski secara akal bisa
e.
Mazhab Syiah dan Nizham
dari mu’tazilah memandang bahwa kehujjahan qiyas mustahil secara akal
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar