MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH PENDIDIKAN ANAK USIA 7-12 TAHUN DALAM PERSPEKTIF HADITS




PENDIDIKAN ANAK USIA 7-12 TAHUN DALAM PERSPEKTIF HADITS
Oleh: Gusti Arma
Nim: 1620100144

A.    PENDAHULUAN
            Al-Qur’an dan Hadits merupakan pedoman hidup bagi ummat muslim agar dapat menjalani kehidupan secara baik dan benar. Didalamnya terdapat berbagai tuntunan tentang aspek kehidupan, baik secara rinci maupun prinsip-prinsip yang dapat dijadikan landasan dalam melakukan segala tindakan, tanpa terkecuali juga tindakan kegiatan pendidikan. Pendidikan dipandang sesuatu yang urgen bagi umat manusia, karena dengan penddikan diharapkan dapat menghasilkan manusia yang berkualitas dan bertanggung jawab serta mampu mengantisipasi dan mengimbangi masa sekarang atau masa yang akan datang.
            Ahmad D. Mariba (1987: 19), mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani terdidi menuju terbentunya kepribadian utama. Pendidikan yang paling pertama dan utama adalah pendidikan dalam keluarga semenjak anak dilahirkan sampai anak tumbuh dewasa, makanya para orang tua harus memperhatikan tentang pendidikan anaknya, terutama pendidikan agama, karena pada usia anak, seorang anak masih sangat membutuhkan bimbingan dari keluarga terutama orang tuanya.
            Pada realitas yang ada masih banyak orang tua yang tidak memperhatikan tentang pendidikan anaknya dalam keluarga, sehingga dalam perkembangannya seorang anak tersebut tidak mengerti tentang nilai-nilai pendidikan, terutama nilai-nilai yang terkanung dalam pendidikan Agama.


B.    PEMBAHASAN
1.     Pengertian Pendidikan
      Pendidikan adalah usaha membina dan mengembangkan kepribadian manusia baik dibagian rohani atau dibagian jasmani. Ada juga para beberapa orang ahli mengartikan pendidikan itu adalah suatu proses pengubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau sekelompok orang dalam mendewasakan melalui pengajaran dan latihan. Dengan pendidikan kita bisa lebih dewasa karena pendidkan tersebut memberikan dampak yang sangat positif bagi kita, juga pendidikan bisa memberantas buta huuf dan akan memberikan keterampilan, kemampuan mental, dan lain sebagainya.
      Seperti yang tertera didalam UU No.20 tahun 2003 pendidkan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan, yang diperlukan dirinya, masyarakat, dan Negara. Pendidkan adalah usaha yang secara sengaja dari orang tua yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moril dari segala perbuatannya.
      Dari segi bahasa pendidikan berasal dari bahasa arab “tarbiyah” dengan kata kerja “rabba”. Kata pengajaran dalam bahasa arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerja “alama”. Pendidkan dan pengajaran dalam bahasa arabnya “tarbiyah wa ta’lim”. Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa arabnya adalah “tarbiyah Islamiyah”.[1] Kata kerja rabba (mendidik) sudah digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW, seperti terlihat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits Nabi. Dalam ayat Al-Qur’an kata ini digunakan dalam susunan sebagai berikut:

ôÙÏÿ÷z$#ur $yJßgs9 yy$uZy_ ÉeA%!$# z`ÏB ÏpyJôm§9$# @è%ur Éb>§ $yJßg÷Hxqö$# $yJx. ÎT$u­/u #ZŽÉó|¹ ÇËÍÈ  
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil". (Al-Israa’: 24).[2]
Drs. Ahmad D. Marimba dalam bukunya pengantar filsafat pendidikan memberikan defenisi pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju kepribadian yang utama. Prof. H. M. Arifin, M. Ed. Mengatakan bahwa pendidikan adalah menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Dari defenisi di atas dapat disimpulkan, bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan orang dewasa secara sadar kepada seseorang atau sekelompok yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaaan, sehingga tumbuh sifat utama dan baik.
      Oleh karena itu pengertian pendidikan agama dapat diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Oleh sebab itu pendidikan dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok dalam membentuk generasi muda agar memiliki kepribadian yang utama.[3]
      Secara sederhana, istilah Pendidikan Agama Islam dapat dikatakan sebagai pendidikan menurut Islam atau Pendidikan Islam, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan, dan diajarkan dalam nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya yaitu, Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dalam pengertian ini Pendidikan Agama Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut. Sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Qur’an Surat Luqman ayat 12.
      Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hakekat Pendidikan Agama Islam tersebut konsep dasrnya dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari Al-Qur’an dan Al-Hadits, konsep operasionalnya dapat dipahami, diananlisis, dan dikembnagkan dari proses pemberdayaan pewarisan dan pengembangan ajaran-ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari segi generasi ke generasi, sedangkan secara praktis dapat dipahami, dianalisis dan dikembangkan dari proses pembinaan dan pengembangan (pendidikan) pribadi muslim pada setiap generasi dalam sejarah umat Islam.[4]
      Pendidikan Agama Islam menurut Prof. Dr. Zakiah Daradjat adalah pendidikan melalui ajaran agama Islam yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai pandangan hidupnya (way of life) demi keselamatan dari kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat kelak.[5]
2.     Pengertian Anak
      Anak adalah generasi masa depan untuk kemajuan Negara, maka dari itu anak mempunyai beban di pundak mereka untuk memajukan masa depan Negaranya. Peran besar yang disandangkan kepada anak tersebut menyangkut untuk dididik, dibina, dan dibesarkan yang benar supaya mereka menjadi generasi yang baik sehingga membawa Negara menjadi lebih baik dan maju. Anak juga sebagai generasi yang akan datang maka dari itu anak perlu dididik yang benar supaya dia menjadi generasi yang akan datang yang baik.
      Menurut Alton Philip, anak adalah setiap orang yang umurnya masih belum mencapai 18 tahun. Hak asasi anak telah diakui dan didlindungi mulai dari kandungan orang tuanya. Tanpa terkecuali kalau anak tersebut usianya 18 tahun maka anak tersebut berhak mendapatkan hak sebagai anak, sehingga dia juga mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana mestinya. Anak juga harus mendapatkan pendidikan karena itu adalh suatu hak bagi seorang anak agar dia menjadi generasi yang baik dan bisa membawa Negara menjadi lebih baik.[6]
3.     Pendidikan Anak Usia 7-12 dalam Perspektif Hadits
      Perkembangan jiwa agama pada seseorang yaitu umur 7-12 tahun, yaitu masa Sekolah Dasar (SD/Anak) perkembangan jiwa agama dimasa ini sangat menonjol pada segala keinginan untuk mengetahui bagaimana bentuk atau rupa dan keagungan Tuhan. Kemudian keinginan untuk mengetahui ajaran Tuhan. Pertanyaan ini lahir secara spontan, seiring dengan kemampuannya meyakini sesuatu terbatas pada meyakini sesuatu berdasarkan benda nyata, seperti manusia menciptakan sesuatu. Pada masa ini juga ajaran agama yang lekat dengan pengamalan rumah tangga orangtuanya itulah yang ditiru untuk diamalkannya. Hafalan, pengamalan secara dasar atas ilmu agama mulai mau mengikutinya. Misalnya: bacaan shalat, dan akhlak bergaul.     Sebaliknya, kebencian atau penolakannya terhadap sesuatu agama tumbuh dari kebencian orangtuanaya atas agama yang ditolaknya. Adapun kritikan anak terhadap ajaran serta praktik agama yang dilakukan orangtuanya lahir akibat pngamatannya serta bandingannya terhadap praktik orang yang pernah diamatinya atau konsistensi pengamalan orangtua atas apa yan perlu dilakukan atau dikatakannya. Masa ini keyakinannya terhadap tuhan Tuhan dan pengamalan agama semakin jelas, walaupun analisis krisis masih sangat minim, belum holistis.[7] 
      Menurut penelitian Ernest Harms perkermbangan anak-anak melalui beberapa fase. Dalam buku The Depelopment of Religious on Children, anak usia sekolah dasar hingga usia adolesens (remaja) merupakan fase kenyataan (the realistic stage) pada masa ini ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep yang berdasarkan ppadaa kenyataan. Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa.  Pada masa ini ide perkembangan keagamaan anak usia 6-12 tahun keagamaan pada anak didasarkan pada dorongan emosional hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis.
      Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa. Segala bentuk tindak atau amal keagamaan mereka ikuti dan mempelajarinya dengan penuh minat.[8] Sesuai dengan ciri yang mereka miliki maka sifat agama pada anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority, Ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, maksudnya konsep keagamaan pada diri mereka dipengaruhi oleh faktor luar. Mereka telah melihat dan mengikuti apa-apa yang dikerjakan dan diajarkan orang dewasa tau orang tua. Mereka hanya meniru dan menyesuaikan diri saja dengan pandangan hidup orang tuanya.[9]
      Dengan demikian ketaatan pada ajaran agama merupakan kebiasaaan yang mereka pelajari dari orang tua maupun guru. Bagi mereka sangat mudah untuk menerima ajaran dari orang dewasa walaupun belum mereka sadari sepenuhnya manfaat ajaran tersebut. Menurut Fuad Nashori, pada usia 7-10 tahun (fase tamyiz), anak sudah mempunyai kemampuan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, antara yang prioritas dan bukan prioritas melalui kemampuan akalnya. Karena kemampuan itu, maka anak telah siap untuk berkenalan dan memahami adanya hukuman yang diterimanaya.           Dalam suatu hadits di jelaskan bahwa pada usia 10 tahun anak boleh di hukum (secara fisik) apabila menolak istiqomah dalam melakukan shalat. Namun demikian, pengenalan akan konsekuensi positif seperti pahala, surga, semestinya didahulukan daripada konsekuensi negatif seperti hukuman, adzab, neraka dan seterusnya. Kesan yang mendalam tentang pahala, hadiah dan surga diharapkan menjadikannya bersemangat berbuat baik. Sungguh pun demikian, anak-anak harus memahami bahwa ada konsekuansi positif dan negatif.
  عن عمروبن شعيب عن ابيه عن جده قال: رسول الله صلى الله عليه وسلم : مرواصبيناكم بالصلاة لسبع سنين واضربوهم عليها لعشرسنين وفرقوا بينهم فى ا لمضاجع. رواه أحمدوابوداود.
Artinya:
“Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda: “Suruhlahanak anak kecil kamu mengerjakan sembayang pada (usia) tujuh tahun, dan pukullah mereka (bila lalai) atasnya pada (usia )sepuluh tahun, dan pisahkanlah mereka di tempat-tempat tidur”. (HR Ahmad dan Abu Daud).[10]
Dari hadits diatas dijelaskah bahwasanya perintah shalat sejak berusia tujuh tahun, di pukul bila lalai pada usia sepuluh tahun dan dipisahkan dari tempat tidur dalam melaksanakan shalat. Dengan melakukan hal-hal seperti itu anak nantinya akan terbiasa sampai dia besar dia akan melaksanakan shalat dan tidak akan melalaikannya.
Dalam kaitannya dengan pemberian materi agama, disamping mengembangkan pemahamannya juga memberikan latihan atau pembiasaan keagamaan yang menyangkut ibadah vertikal seperti: melaksanakan shalat, berdo’a dan membaca Al-Qur’an (anak diwajibkan menghafalkan surat-surat pendek berikut terjemahannya), juga dibiasakan melakukan ibaadah horizontal, seperti: hormat pada orang tua, guru dan orang lain, memberikan bantuan pada orang yang memerlukan pertolongan, bersikap jujur, amanah dan lain-lain.[11]
Pendidikan yang dilakukan anak usia 6-12 tahun seringkali diikutsertakan dalam metode bermain, agar pemahaman terhadap dapat masuk pada anak-anak. Bermain adalah “any activity engaged in for the enjoyment it gives without considerationpf the result”. Bermain adalah kesibukan masa anak dan balita. Dalam bermainlah terjadi banyak pembelajaran dan peregangan pikiran. Bermain membangun keterampilan motorik, meningkatkan akal anak, dan menyiapkannya menghadapi dunia.[12]

 حدثناالعباس بن الوليدالدمشقي حدثناعلي بن عياش حدثناسعيدبن عمارة أخبرني الحارث بن النعمان سمعت أنس بن ما لك يحدث عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال اكرموا أولادكم وأحسنوا أدبهم
Artinya: ‘Abbas bin Walid ad Dimasyqi telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin ‘Ayyas telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Umaroh telah menceritakan kepada kami, haris bin Nu’man memberitahukan kepadaku bahwa aku medengar anas bin Malik menceritakan dari Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah pendidikan mereka”. (HR. Ibnu Majah).[13]
Hadits ini menegasakan pentingnya sebuah pendidikan, khususnya pendidikan bagi seoarang anak. Dari redaksi hadits di atas jelas bahwa hendaknya orang tua memperhatikan pendidikan terhadap anak-anaknya. Dari pemaknaan di atas, hadits tersebut lebih jeasnya menerangkan perintah untuk memuliakan anak serata memperbaiki pendidikan bagi mereka.
 Oleh sebab itu, hadits di atas daat dipahami bahwa memuliakan anak dengan memperbaiki pendidikannya merupakan dua hal yang saling berkaitan. Pendidikan khususnya dalam bidang keagamaan yang diberikan orang tua kepada anak menunjukkan sejauh mana ia memuliakan anak-anaknya. Semakin bak kualitas pendidikan yang diberikan orang tua semakin baik pula ia memuliakan anak-anaknya, begitu pula sebaliknya, semakin rendah pendidikan anak maka menunjukkan semakin rendahnya bentuk pemuliaan terhadap anaknya.                                             
وحدثنى عمرالتقد زابن ابي عمر جميعا عن سفيا قال عمرو حدثنا سفيان بن عيينه عن الزهري عن أبى هريرة "أن الآقرع بن حابس أبصرالنبي صلى الله عليه وسلم يقبل الحسن فقل "إن لي عشرة من الولاد ما قبلت واحدا منهم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إنه من لم يرحم. "(رواه أبو داود)
Artinya: Menceritakan kepadaku ‘Amar Al-Naqid dan Ibn Abi ‘Umar, sekalian dari Sufyan. Berkata ‘Amr, “Menceritakan kepada kami Sufyan Ibn ‘Uyainat, dan Zuhri, dari Abi Salamat, dari Abu Hurairah, bahwa Aqra’’ bin Habis penah melihat Nabi SAW sedang menciun Hasan. Dia (Aqra’ bin Habis) lalu berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak tetapi aku tidak pernah mencium seorang pun dari mereka, kemudian Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya barang siapa yang tidak mengasihi, tidak akan dikasihi”. (HR. Abu Daud).[14]
Hadits di atas menggambarkan contoh perilaku Rasulullah dalam menyayangi anak, ditunjukkan dengan mencium cucunya Hasan. Hadis ini juga memberikan pelajaran untuk selalu bersikap kasih sayang terhadap sesama sekaligus ancaman bagi siapapun yang tidak melakukannya.
Secara garis besar, materi pendidikan bagi anak usia 6-12 tahun terbagi menjadi tiga bagian, yaitu akidah, akhlak dan syari’ah.
1.   Akidah
Istilah “akidah” berasal dari bahasa Arab “aqada” yang berarti “ikatan  yang erat atau janji yang mengikat”. Dalam hal ini, akidah berarti ikatan erat yang menghubungkan antara hamba dan Sang Pencipta. Selain itu, akidah juga berarti “benteng”, karena akidah adalah sebuah benteng dalam diri manusia yang berfungsi sebagai proteksi dan dasar untuk membangun iman seseorang.[15]
Akidah biasanya diidentikkan dengan istilah iman, yaitu sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan anggota tubuh. Akidah juga diidentikkan dengan istilah tauhid, yakni mengesakan AllahSWT (tahudullah).[16] Adapun lingkup pembahasan tentang akidah Islam dalam pendidikan Islam, meliputi rukun iman, yaitu: Iman kepada Allah SWT, Iman kepada malaikat-malaikat Allah, iman kepada Kitab-kitab Allah, iman kepada Rasul-rasul Alllah, iman kepada hari akhir dan iman kepada qadla dan qadar.
2.   Akhlak
            Secara bahasa “akhlak” berarti “ budi pekerti, kelakuan, perangai, tabiat, kebiasaan, bahkan agama”. Akhlak menurut istilah adalah aturan tentang perilaku lahir dan batin yang dapat membedakan antara perilaku yang terpuji dan tercela, antara yang salah dan yang bebar, antara yang sopan dan tidak sopan, serta antara yang baik dan yang tidak baik (buruk).[17]
            Objek kajian akhlak meliputi akhlak manusia trhadap Allah, akhlak manusia terhadap dirinya sendiri, akhlak manusia terhadap orang lain (sesama manusia) dan akhlak terhadap lingkungan sekitarnya. Akhlak merupakan implementasi iman dalam segala bentuk perilaku, akhlak yang dibiasakan dalam kebiasaan sehari-hari akan membentuk watak atau kepribadian, dan watak yang dijiwai akhlak Islami akan mengokohkan iman seseorang.
3.   Syariah
            Secara etimologi, syariah berati jalan yang harus dilalui, tatanan, perundang-undangan atau hukum. Dan secara terminologi, syariah adalah tata aturan yang mengatur pola hubungan manusia dengan Allah secara Vertikal yang biasa disebut ibadah, dan hubungan manusia dengan sesamanya secara horizontal yang biasa disebut muamalah.[18]
            Ibadah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdlah (khusus) dan iabadah ghairu mahdlah (umum). Ibadah mahdlah adalah bentuk peribadatan yang tata cara, cara-cara, acara dan upacaranya sudah diatur secara rinci dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Bentuk peribadatan ini didasarkan atas perintah seperti shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Sedangkan ibadah ghairu mahdlah adalah segala bentuk peribadatan yang betolak dari hati yang ikhlas, begariskan amal shaleh dan bertujuan untuk mencapai ridla Allah swt. Misalnya mencari nafkah, ber-silaturahmi, menuntut ilmu, menolong dan menghormati orang lain, berkata dengn sopan, beolah ragadan lainnya.[19] 
C.    KESIMPULAN
            Perkembangan jiwa agama pada seseorang yaitu umur 7-12 tahun, yaitu masa Sekolah Dasar (SD/Anak) perkembangan jiwa agama dimasa ini sangat menonjol pada segala keinginan untuk mengetahui bagaimana bentuk atau rupa dan keagungan Tuhan. Kemudian keinginan untuk mengetahui ajaran Tuhan. Pertanyaan ini lahir secara spontan, seiring dengan kemampuannya meyakini sesuatu terbatas pada meyakini sesuatu berdasarkan benda nyata, seperti manusia menciptakan sesuatu. Pada masa ini juga ajaran agama yang lekat dengan pengamalan rumah tangga orangtuanya itulah yang ditiru untuk diamalkannya. Hafalan, pengamalan secara dasar atas ilmu agama mulai mau mengikutinya. Misalnya: bacaan shalat, dan akhlak bergaul.
            Sebaliknya, kebencian atau penolakannya terhadap sesuatu agama tumbuh dari kebencian orangtuanaya atas agama yang ditolaknya. Adapun kritikan anak terhadap ajaran serta praktik agama yang dilakukan orangtuanya lahir akibat pngamatannya serta bandingannya terhadap praktik orang yang pernah diamatinya atau konsistensi pengamalan orangtua atas apa yan perlu dilakukan atau dikatakannya. Masa ini keyakinannya terhadap tuhan Tuhan dan pengamalan agama semakin jelas, walaupun analisis krisis masih sangat minim, belum holistis.







                                                 DAFTAR PUSTAKA

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 19960..
DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: CV Toha Putra, 1989.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Al-MA’rif, 1989.
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT Rosda Karya, 2002.
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 19960.
Alton Philips, Hukum Studi Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Magnis, 2008.
Rusmin Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: KENCANA, 2014.
Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Kalam Mulua, 1998.
Zulkifli, Psikologi Perkembangan, Bandung: PT. Rosdakarya, 2000.
Al Imam Muhammad Asy-Syaukani,  Nailul Authar SyarhMuntaqa Juz I, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994.
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Offset, 2000.
Tracy Hogg dan Melinda Blau, Mendidik dan Mengasuh Anak Balita Anda, Jakarta: PT. Grmedia Pustaka Utama, 2014.
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Adab, Bairr al-Walid 11.
Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi: Membangun Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah, Jakarta: Kalam Mulia, 2011.
Abdul ‘Al-Salim Makram, Pengaruh Akidah Dalam Membentuk Individu dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Azzam, 2004.
Zaky Mubarak, Aqidah Islam, Jakarta: UII Press, 2001.
Miftah Ahmad Fathoni, Pengantar Studi Islam: Pendekatan Sains Dalam Memahami Agama, Semarang: Gunungjati, 2001.




               [1]Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 19960), hlm. 25.
               [2]DEPAG RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: CV Toha Putra, 1989), hlm. 248.
               [3]Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Al-MA’rif, 1989), cet. Ke-VIII, hlm. 19.
               [4]Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: PT Rosda Karya, 2002), hlm. 30.
               [5] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 19960), hlm. 86.
               [6]Alton Philips, Hukum Studi Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Magnis, 2008), hlm. 269.
               [7]Rusmin Tumanggor, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: KENCANA, 2014), hlm. 90-91.
               [8]Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Kalam Mulua, 1998), cet. Ke-7, hlm. 66-67.
               [9]Zulkifli, Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2000, cet. Ke-7, hlm. 60.
               [10]Al Imam Muhammad Asy-Syaukani,  Nailul Authar SyarhMuntaqa Juz I, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1994), hlm. 677.
               [11]Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Offset, 2000), hlm. 183.
               [12]Tracy Hogg dan Melinda Blau, Mendidik dan Mengasuh Anak Balita Anda, (Jakarta: PT. Grmedia Pustaka Utama, 2014), hlm.112.
               [13]Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Kitab al-Adab, Bairr al-Walid 11, hl. 64, No. 3661.
               [14]Samsul Nizar dan Zainal Efendi Hasibuan, Hadis Tarbawi: Membangun Kerangka Pendidikan Ideal Perspektif Rasulullah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), hlm. 45-46.
               [15]Abdul ‘Al-Salim Makram, Pengaruh Akidah Dalam Membentuk Individu dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2004), hlm. 15.
               [16]Zaky Mubarak, Aqidah Islam, (Jakarta: UII Press, 2001), hlm. 30.
               [17]Ibid., hlm. 12.
               [18]Miftah Ahmad Fathoni, Pengantar Studi Islam: Pendekatan Sains Dalam Memahami Agama, (Semarang: Gunungjati, 2001), hlm. 64.
               [19]Ibid., hlm.64-65.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN