BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring kehidupan yang semakin
canggih dan modern membuat banyak laki-laki dan muslim bergaya busana mengikuti
perkembangan zaman atau kebarat-baratan yang berakibat terumbarnya aurat
terkhususnya bagi perempuan, hal ini memicu berbagai permasalahan khususnya
bagi ummat muslim yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk menutup aurat yang
tercantum dalam Q.S An-Nur 30-31.
Banyak aurat yang terlihat yang
menjadikan banyak terjadi perjinahan mata karena banyak laki-laki dan perempuan
yang tidak menjaga pandangannya terhadap lawan jenis yang berujung terjadi
tindak kriminal.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana penafsiran Q.S. An-Nur
ayat 31?
2.
Apa asbabun nuzul Q.S. An-Nur
ayat 31?
3.
Bagaimana penafsiran Q.S. An-Nur
ayat 31 menurut sayyid Qutub?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Penafsiran
Terhadap Surat an-Nur Ayat 31
1.
Ayat
dan Terjemahnya
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur £`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_ ( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ) ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr& ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r& Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàt 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èÏHsd tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ
Artinya:
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya
kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau
putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera
saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang
mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung. Q.S. (An-Nur:31).
2.
Asbabun-Nuzul Ayat
Ayat
ini diturunkan di Madinah yang merupakan ayat dari surat an-Nur
yaitu surat keseratus, termasuk golongan
Madaniyah. Ayat ini juga merupakan
perintah dari Allah bagi kaum laki-laki
mukmin maupun kaum perempuan
mukminah, serta merupakan penghargaan
dari Allah bagi suami mereka serta
sebagai perbedaan dengan perempuan
jahiliyah dan perilaku musyrik.
Sebab turunnya ayat ini adalah
sebagaimana diceritakan oleh Muqatil bin
Hayan. Dia berkata, “telah sampai berita
kepada kami, dan Allah Maha Tahu,
bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari
telah menceritakan bahwa Asma’ binti
Murtsid tengah berada ditempatnya, yaitu
Bani Haritsah. Tiba-tiba banyak
perempuan menemuinya tanpa menutup aurat
dengan rapi sehingga tampaklah
gelang-gelang kaki mereka, dada, dan
kepang rambutnya, maka Asma’ berkata:
“Alangkah
buruknya pemandangan ini”, maka Allah menurunkan ayat ini yang
berkenaan dengan perintah bagi kaum
mukminat untuk menutup aurat mereka.
Selain riwayat yang telah disampaikan di
atas, ada pula riwayat lain yang
menyatakan tentang turunnya ayat ini,
yaitu: Ibn Jarir meriwayatkan dari alHadhrami bahwa seorang perempuan membuat
dua kantong perak di isi untaiain mutu manikam sebagai perhiasan di kakinya. Apabila ia lewat di hadapan sekelompok
orang, ia hentakkan kakinya ke tanah sehingga kedua gelang di kakinya bersuara. Maka turunlah
kelanjutan ayat itu sampai akhir ayat yang melarang perempuan menggerakkan anggota
tubuhnya untuk mendapatkan perhatian laki-laki.
Hal
yang serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Jabir. Dan
Ali Karromallahu Wajhah berkata, bahwa:
pada masa Rasulullah ada seorang
laki-laki berjalan di Madinah, dia
melihat seorang wanita dan wanita itupun
melihatnya, maka syetan menggoda
keduanya, mereka sama-sama kagum, lalu
ketika lelaki itu berjalan ke arah
tembok ia tidak melihatnya, sehingga ia
terbentur tembok tersebut dan hidungnya
berdarah, sebab ia hanya disibukkan
oleh wanita itu. Maka ia berkata bahwa
ia tidak akan mengusap darah itu
sehingga ia bertemu Rasulullah dan
menceritakan perihal keadaanya. Maka
ketika beretemu Rasulullah, beliau
berkata kepadanya: “Ini
adalah akibat
dosamu”, kemudian turunlah ayat ini. Mengenai riwayat yang bersumber
dari
Ali ra erat kaitannya dengan ayat
sebelumnya. Akan teteapi dua riwayat yang
lainnya lebih menekankan pada perilaku
muslimah dan keharusan seorang
muslimah untuk menutup auratnya.
Jadi
ketiga riwayat tersebut tidak ada yang bertentangan hanya saja redaksi
penyampainnya berbeda. Bisa jadi sebab yang lebih khusus itu diutamakan untuk
perempuan. Sedangkan, sebab yang sama dengan perintah untuk laki-laki itu dikarenakan korelasinya
dengan ayat tersebut.
Berdasarkan
sebab turunnya ayat ini, maka sudah semestinya kita
memperhatikan dan melaksanakan apa yang
menjadi maksud dari sebab
turunnya ayatini. Karena di dalam ayat
ini sudah jelas ketentuannya, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melaksanakannya.
Allah
telah mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat ini tidaklah lain demi
kebahagiaan manusia itu
sendiri. Dan Allah lebih mengetahui tentang kebutuhan dan kebaikan manusia. Mengenai aspek historis (asbab an-Nuzul) dari ayat di atas, secara
umum ulama sepakat
dalam satu peristiwa meskipun dari segi redaksi matan terdapat perbedaan. Peristiwa yang menjadi
sebab turunya ayat di atas bermula dari kebiasaan orang-orang fasiq penduduk Madinah yang
selalu keluar (begadang) di kegelapan malam. Mereka selalu menggoda
perempuanperempuan Madinah yang sedang keluar malam untuk memenuhi
hajatnya.Ketika mereka ditanya mengapa menganggu wanita-wanita tersebut, mereka
menjawab, “kami kira mereka itu wanita
budak”. Kemudian turunlah surat alAhzab: 59 sebagai respon kejadian itu.
Ayat 59 dari surat al-Ahzab ini sangat
berkaitan erat dengan surat an-nur
ayat 31 yang menjelaskan tentang
wajibnya menutup aurat dan melabuhkan
kain jilbab ke dada sehingga leher dan
telinga serta rambut mereka tertutupi.
Maka, dalam penafsirannya pun para
ulama’ selalu menghubungkan kedua ayat
tersebut. Surat al-Ahzab ayat 59 ini
merupakan pelengkap syari’at dari surat anNur ayat 31.
3.
Penafsiran Sayyid Quthb
Ayat ini
menyatakan kepada wanita-wanita mukminah, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan
memelihara kemaluan mereka, sebagaimana perintah
kepada kaum pria mukmin untuk menahannya, dan disamping itu janganlah mereka menampakkan hiasan, yakni bagian
tubuh mereka yang dapat merangsang
laki-laki kecuali yang biasa nampak darinya atau kecuali terlihat
tanpa maksud untuk ditampak-tampakkan, seperti wajah
dan telapak tangan.
Menurut
Sayyid Quthb dalam nash ini bahwa menundukkan pandangan
dari pihak laki-laki merupakan adab pribadi serta
merupakan usaha
menundukkan segala keinginan nafsu untuk melirik
kecantikan dan godaan
wajah dan tubuh. Pemeliharaan kemaluan merupakan buah
alami dari
menundukkan pandangan.
Oleh karena
itu kedua perkara itu menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan dihimpun dalam satu
ayat dengan gambaran bahwa keduanya
sebagai sebab dan efek. Langkah tersebut dapat membersihkan perasaan dan lebih menjamin agar tidak
terkena polusi kotoran syahwat
agar tidak menjerumuskan ke dalam perilaku hewan yang hina, dan juga
lebih bersih bagi komunitas jamaah dan lebih menjaga
kehormatannya dan suasana di mana ia bernafas.
Allah yang telah mengambil kebijakan pencegahan ini bagi mereka. Karena, Dialah Yang Mahatahu akan
penciptaan jiwa dan fitrah mereka,
Yang Maha Mengetahui getaran-getaran jiwa dan gerakan-gerakan anggota tubuh mereka.
Firman Allah
dalam Surat an-Nur ayat 31Menurut Sayyid Quthb di atas adalah perhiasan itu
halal bagi wanita untukmemenuhi kebutuhan fitranya. Setiap wanita selalu ingin
tampil menawan dancantik serta berpenampilan cantik. Perhiasan berbeda-beda
setiap zaman danwaktu. Tetapi, landasan dasarnya pada fitrah adalah satu, yaitu
keinginan untuk tampil
cantik dan menyempurnakan kecantikan guna menarik laki-laki.Hal ini menjelaskan
tentang perhiasan wanita, karena wanita selalu ingintampil menarik dan cantik.
Islam sama sekali tidak memerangi kesenangan fitrahtersebut. Namun, ia mengatur
dan memberi rambu-rambu serta tidakmenampakkan hanya untuk suaminya serta para
mahram dan orang-orang yangdisebutkan pada ayat ini karena mereka tidak akan
membangkitkan syahwatnya. Islam mengakui keindahan (estetika) dan kesenian.
Tetapi hendaknyakeindahan dan kesenian yang timbul adalah dari perikemanusiaan
dan bukan dari kehendak kehewanan yang ada
dalam diri manusia. Keindahan bukan untuk mempertontonkan diri dan bertelanjang atau menggiurkan
orang lain. Namun,keindahan itu hanyalah untuk orang yang berhak terhadapnya,
yaitu suaminya.Perkataan “kecuali yang (tampak) daripadanya” memberi peringatanbahwa tidak wajib menutupnya pada
bagian-bagian tubuh menimbulkan kesukaran
dengan menutupnya atau telah menajdi adat bahwa bagian itu terbuka,
seperti muka dan telapak tangan.
Kandungan
ayat ini memberi pengertian bahwa perempuan pada zaman
pertama kelahiran Islam memperlihatkan diri di depan
bukan mahramnya dalm
keadaan terbuka untuk tempat pemakaian perhiasan dan
pada bagian yang dapat
menimbulkan nafsu. Maka, al-Qur’an melarang yang
demikian itu, serta
menyuruh mereka menutup tempat-tempat pemakaian hiasan
dengan ujung
kerudung.
Sedangkan
perhiasan yang kelihatan di wajah dan dua tangan boleh
diperlihatkan. Karena membuka wajah dan telapak tangan
diperbolehkan
berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dari Aisyah ra:
“Bahwa Rasulullah SAW
bersabda kepada Asma’ binti Abu Bakar, “Wahai Asma’,
sesungguhnya bila
wanita mencapai usia baligh (haid), tidak boleh lagi
dilihat darinya melainkan
ini”. Beliau menunjuk wajah dan dua telapak tangan.
Ketika jilbab dan pakaian
wanita dikenakan agar aurat dan perhiasan mereka tidak
nampak, maka tidak
tepat ketika menjadikan pakaian atau jilbab itu
sebagai perhiasan karena tujuan
awal untuk menutupi perhiasan menjadi hilang. Banyak
kesalahan yang timbul
karena poin itu terlewatkan, sehingga seseorang merasa
sah-sah saja
menggunakan jilbab dan pakaian indah dengan warna-warni
yang lembut
dengan motif bunga yang cantik, dihiasi dengan
benang-benang emas dan perak
atau meletakkan berbagai pernak-pernik perhiasan pada
kerudung mereka.
Firman Allah dan
hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada
mereka,” yakni hendaklah kerudung itu dibuat luas hingga menutupi
dadanya, untuk menutupi bagian tubuh di bawahya seperti dada dan tulang dada serta agar menyelisihi
model wanita jahiliyah. Dalam ayat ini konteks pembicaraannya adalah tentang
terminologi Khimar,
dan fungsinya sekaligus mempertegas
ayat sebelumnya bahwa muka dan
telapak tangan bukan merupakan aurat yang wajib hukumnya untuk ditutup.
Sedangkan
Sayyid Quthb memaknai Khimar adalah kain
penutup kepala, leher,dan dada untuk menutup godaan-godaan fitnah yang ada
padanya.
Makna Khimar tersebut
di atas menurut Sayyid Quthb dengan merujuk
kepada pakar-pakar bahasa, ahli-ahli tafsir, ahli-ahli
hadits dan fuqaha sebagai
sandaran hukum serta sesuai pula dengan asbab al-nuzul
ayat tersebut yang
disebutkan oleh ahli tafsir.
Dimana
perempuan Arab waktu itu jika menutupi kepala mereka dengan kain kerudung, maka mereka
menguraikan kain kerudung itu
ke sebalik punggung sebagaimana lazimnya wanita awam ketika itu, sehingga bagian leher depan maupun belakang serta
kedua telinganya terbuka. Kemudian
lewat ayat ini Allah perintahkan untuk melilitkan Khimar , pada juyub (bagian
dada dan leher). Mendengar ayat ini perempuan Muhajirin dan Anshar
cepat meresponnya, mereka bukan hanya sekedar menutup
dada dan lehernya akan tetapi langsung dengan
mempertebal Khimar-nya. Fenomena ini dijelaskan lewat hadist ‘Aisyah ra: “Semoga Allah memberikan rahmat(kasih sayang) kepada
wanita-wanitamuhajirin pertama, yang ketika Allah turunkan firmannya: “Dan
hendaklah mereka menutupkan Khimār,
-khimār, mereka itu pada juyub mereka”, lantas mereka merobek-robek kain tak berjahit(muruth) yang
mereka kenakan itu, lalu mereka
berkhimār, dengannya. (Dalam riwayat lain disebutkan: Lalu mereka pun
merobek-robek sarung-sarung mereka bagian pinggirnya,
kemudian mereka berkhimār dengannya.
Dalam
riwayat lain mengatakan bahwa al-Harits bin al-Harits al-Ghamidi bertutur: “Aku pernah bertanya kepada ayahku ketika
kami berada di Mina: “Ada
apa sekumpulan orang itu?” Ia menjawab: “Mereka adalah suatu kaum
yang mengurumuni sesembahan mereka” maka kami pun
singgah, dan ternyata Rasulullah
SAW berada disana sedang menyeru manusia untuk mentauhidkan Allah dan beriman kepadanya. Namun, mereka menolak
seruam beliau dan bahkan menyakiti beliau
sampai datang pertengahan siang dan orang-orang pun sudah mulai bubar, ketika itu datang seorang wanita
yang tulang lehernya kelihatan
dalam keadaan menangis. Wanita tersebut membawa periuk yang.
Hadits dari
Aisyah ini nomor: 8263, diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Daud Selengkapnya,
lihat kitab Jami’ al-Ushul min Ahadisi al-Rasul (Ahadisi
Faqoth), Juz X, 8263
berisikan air dan juga membawa sapu tangan. Nabi pun
menerima periuk yang berisi air darinya, lalu beliau minum dan berwudhu,
setelah itu Rasul mengangkat kepalannya dan
berkata kepada wanita itu: “Wahai putriku, khimrilah (tutuplah dengan khimr) lehermu, dan jangan takut kepada ayah karena memaksamu. “Aku bertanya: “Siapakah perempuan
itu? “Mereka menjawab: Ia adalah Zainab
putrinya”. Apabila seseorang tidak
mengenakan kerudung berwarna hitam maka berarti
kerudungnya berfungsi sebagai perhiasan. Hal ini berdasarkan beberapa
atsar tentang perbuatan para sahabat wanita di zaman
Rasulullah saw yang mengenakan
pakaian yang berwarna selain hitam. Salah satunya adalah atsar dari
Ibrahim an-Nakhai,
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ayat
ini diturunkan di Madinah yang merupakan ayat dari surat an-Nur
yaitu surat keseratus, termasuk golongan
Madaniyah. Ayat ini juga merupakan
perintah dari Allah bagi kaum laki-laki
mukmin maupun kaum perempuan
mukminah, serta merupakan penghargaan
dari Allah bagi suami mereka serta
sebagai perbedaan dengan perempuan
jahiliyah dan perilaku musyrik.
Sebab turunnya ayat ini adalah
sebagaimana diceritakan oleh Muqatil bin
Hayan. Dia berkata, “telah sampai berita
kepada kami, dan Allah Maha Tahu,
bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari
telah menceritakan bahwa Asma’ binti
Murtsid tengah berada ditempatnya, yaitu
Bani Haritsah.
Ayat ini
menyatakan kepada wanita-wanita mukminah, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan
memelihara kemaluan mereka, sebagaimana perintah
kepada kaum pria mukmin untuk menahannya, dan disamping itu janganlah mereka menampakkan hiasan, yakni bagian
tubuh mereka yang dapat merangsang
laki-laki kecuali yang biasa nampak darinya atau kecuali terlihat
tanpa maksud untuk ditampak-tampakkan, seperti wajah
dan telapak tangan.
B.
Saran
kami
sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada para pembaca agar memberikan
kritik dan sarannya terhadap makalah ini, supanya kedepannya kami bisa
memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Dan kami juga minta
maaf atas kekurangan dari makalah ini, karena kami bersifat khilaf dan lupa.
Komentar
Posting Komentar