MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH TAFSIR PERINTAH UNTUK MENJAGA DIRI BAGI YANG BELUM MENIKAH


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Seiring kehidupan yang semakin canggih dan modern membuat banyak laki-laki dan muslim bergaya busana mengikuti perkembangan zaman atau kebarat-baratan yang berakibat terumbarnya aurat terkhususnya bagi perempuan, hal ini memicu berbagai permasalahan khususnya bagi ummat muslim yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk menutup aurat yang tercantum dalam Q.S An-Nur 30-31.
Banyak aurat yang terlihat yang menjadikan banyak terjadi perjinahan mata karena banyak laki-laki dan perempuan yang tidak menjaga pandangannya terhadap lawan jenis yang berujung terjadi tindak kriminal.
B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana penafsiran Q.S. An-Nur ayat 31?
2.     Apa asbabun nuzul Q.S. An-Nur ayat 31?
3.     Bagaimana penafsiran Q.S. An-Nur ayat 31 menurut sayyid Qutub?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penafsiran Terhadap Surat an-Nur Ayat 31
1.     Ayat dan Terjemahnya
@è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. Q.S. (An-Nur:31).[1]
2.     Asbabun-Nuzul Ayat
Ayat ini diturunkan di Madinah yang merupakan ayat dari surat an-Nur
yaitu surat keseratus, termasuk golongan Madaniyah. Ayat ini juga merupakan
perintah dari Allah bagi kaum laki-laki mukmin maupun kaum perempuan
mukminah, serta merupakan penghargaan dari Allah bagi suami mereka serta
sebagai perbedaan dengan perempuan jahiliyah dan perilaku musyrik.
Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana diceritakan oleh Muqatil bin
Hayan. Dia berkata, “telah sampai berita kepada kami, dan Allah Maha Tahu,
bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari telah menceritakan bahwa Asma’ binti
Murtsid tengah berada ditempatnya, yaitu Bani Haritsah. Tiba-tiba banyak
perempuan menemuinya tanpa menutup aurat dengan rapi sehingga tampaklah
gelang-gelang kaki mereka, dada, dan kepang rambutnya, maka Asma’ berkata:
Alangkah buruknya pemandangan ini”, maka Allah menurunkan ayat ini yang
berkenaan dengan perintah bagi kaum mukminat untuk menutup aurat mereka.
Selain riwayat yang telah disampaikan di atas, ada pula riwayat lain yang
menyatakan tentang turunnya ayat ini, yaitu: Ibn Jarir meriwayatkan dari alHadhrami bahwa seorang perempuan membuat dua kantong perak di isi untaiain mutu manikam sebagai perhiasan di kakinya.[2] Apabila ia lewat di hadapan sekelompok orang, ia hentakkan kakinya ke tanah sehingga kedua gelang di kakinya bersuara. Maka turunlah kelanjutan ayat itu sampai akhir ayat yang melarang perempuan menggerakkan anggota tubuhnya untuk mendapatkan perhatian laki-laki.
Hal yang serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Jabir. Dan
Ali Karromallahu Wajhah berkata, bahwa: pada masa Rasulullah ada seorang
laki-laki berjalan di Madinah, dia melihat seorang wanita dan wanita itupun
melihatnya, maka syetan menggoda keduanya, mereka sama-sama kagum, lalu
ketika lelaki itu berjalan ke arah tembok ia tidak melihatnya, sehingga ia
terbentur tembok tersebut dan hidungnya berdarah, sebab ia hanya disibukkan
oleh wanita itu. Maka ia berkata bahwa ia tidak akan mengusap darah itu
sehingga ia bertemu Rasulullah dan menceritakan perihal keadaanya. Maka
ketika beretemu Rasulullah, beliau berkata kepadanya:[3]Ini adalah akibat
dosamu
”, kemudian turunlah ayat ini. Mengenai riwayat yang bersumber dari
Ali ra erat kaitannya dengan ayat sebelumnya. Akan teteapi dua riwayat yang
lainnya lebih menekankan pada perilaku muslimah dan keharusan seorang
muslimah untuk menutup auratnya.
Jadi ketiga riwayat tersebut tidak ada yang bertentangan hanya saja redaksi penyampainnya berbeda. Bisa jadi sebab yang lebih khusus itu diutamakan untuk perempuan. Sedangkan, sebab yang sama dengan perintah untuk laki-laki itu dikarenakan korelasinya dengan ayat tersebut.[4]
Berdasarkan sebab turunnya ayat ini, maka sudah semestinya kita
memperhatikan dan melaksanakan apa yang menjadi maksud dari sebab
turunnya ayatini. Karena di dalam ayat ini sudah jelas ketentuannya, maka tidak ada alasan bagi kita untuk tidak melaksanakannya.
Allah telah mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat ini tidaklah lain demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Dan Allah lebih mengetahui tentang kebutuhan dan  kebaikan manusia. Mengenai aspek historis (asbab an-Nuzul) dari ayat di atas, secara umum ulama sepakat dalam satu peristiwa meskipun dari segi redaksi matan terdapat perbedaan. Peristiwa yang menjadi sebab turunya ayat di atas bermula dari kebiasaan orang-orang fasiq penduduk Madinah yang selalu keluar (begadang) di kegelapan malam. Mereka selalu menggoda perempuanperempuan Madinah yang sedang keluar malam untuk memenuhi hajatnya.Ketika mereka ditanya mengapa menganggu wanita-wanita tersebut, mereka menjawab, “kami kira mereka itu wanita budak”. Kemudian turunlah surat alAhzab: 59 sebagai respon kejadian itu.
Ayat 59 dari surat al-Ahzab ini sangat berkaitan erat dengan surat an-nur
ayat 31 yang menjelaskan tentang wajibnya menutup aurat dan melabuhkan
kain jilbab ke dada sehingga leher dan telinga serta rambut mereka tertutupi.
Maka, dalam penafsirannya pun para ulama’ selalu menghubungkan kedua ayat
tersebut. Surat al-Ahzab ayat 59 ini merupakan pelengkap syari’at dari surat anNur ayat 31.
3.     Penafsiran Sayyid Quthb
Ayat ini menyatakan kepada wanita-wanita mukminah, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, sebagaimana perintah kepada kaum pria mukmin untuk menahannya, dan disamping itu janganlah mereka menampakkan hiasan, yakni bagian tubuh mereka yang dapat merangsang laki-laki kecuali yang biasa nampak darinya atau kecuali terlihat tanpa maksud untuk ditampak-tampakkan, seperti wajah dan telapak tangan.[5]
Menurut Sayyid Quthb dalam nash ini bahwa menundukkan pandangan
dari pihak laki-laki merupakan adab pribadi serta merupakan usaha
menundukkan segala keinginan nafsu untuk melirik kecantikan dan godaan
wajah dan tubuh. Pemeliharaan kemaluan merupakan buah alami dari
menundukkan pandangan.[6]
Oleh karena itu kedua perkara itu menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan dihimpun dalam satu ayat dengan gambaran bahwa keduanya sebagai sebab dan efek. Langkah tersebut dapat membersihkan perasaan dan lebih menjamin agar tidak terkena polusi kotoran syahwat agar tidak menjerumuskan ke dalam perilaku hewan yang hina, dan juga lebih bersih bagi komunitas jamaah dan lebih menjaga kehormatannya dan suasana di mana ia bernafas. Allah yang telah mengambil kebijakan pencegahan ini bagi mereka. Karena, Dialah Yang Mahatahu akan penciptaan jiwa dan fitrah mereka, Yang Maha Mengetahui getaran-getaran jiwa dan gerakan-gerakan anggota tubuh mereka.
Firman Allah dalam Surat an-Nur ayat 31Menurut Sayyid Quthb di atas adalah perhiasan itu halal bagi wanita untukmemenuhi kebutuhan fitranya. Setiap wanita selalu ingin tampil menawan dancantik serta berpenampilan cantik. Perhiasan berbeda-beda setiap zaman danwaktu. Tetapi, landasan dasarnya pada fitrah adalah satu, yaitu keinginan untuk tampil cantik dan menyempurnakan kecantikan guna menarik laki-laki.Hal ini menjelaskan tentang perhiasan wanita, karena wanita selalu ingintampil menarik dan cantik. Islam sama sekali tidak memerangi kesenangan fitrahtersebut. Namun, ia mengatur dan memberi rambu-rambu serta tidakmenampakkan hanya untuk suaminya serta para mahram dan orang-orang yangdisebutkan pada ayat ini karena mereka tidak akan membangkitkan syahwatnya. Islam mengakui keindahan (estetika) dan kesenian. Tetapi hendaknyakeindahan dan kesenian yang timbul adalah dari perikemanusiaan dan bukan dari kehendak kehewanan yang ada dalam diri manusia. Keindahan bukan untuk mempertontonkan diri dan bertelanjang atau menggiurkan orang lain. Namun,keindahan itu hanyalah untuk orang yang berhak terhadapnya, yaitu suaminya.Perkataan “kecuali yang (tampak) daripadanya” memberi peringatanbahwa tidak wajib menutupnya pada bagian-bagian tubuh menimbulkan kesukaran dengan menutupnya atau telah menajdi adat bahwa bagian itu terbuka, seperti muka dan telapak tangan.[7]
Kandungan ayat ini memberi pengertian bahwa perempuan pada zaman
pertama kelahiran Islam memperlihatkan diri di depan bukan mahramnya dalm
keadaan terbuka untuk tempat pemakaian perhiasan dan pada bagian yang dapat
menimbulkan nafsu. Maka, al-Qur’an melarang yang demikian itu, serta
menyuruh mereka menutup tempat-tempat pemakaian hiasan dengan ujung
kerudung.
Sedangkan perhiasan yang kelihatan di wajah dan dua tangan boleh
diperlihatkan. Karena membuka wajah dan telapak tangan diperbolehkan
berdasarkan hadis riwayat Abu Daud dari Aisyah ra: “Bahwa Rasulullah SAW
bersabda kepada Asma’ binti Abu Bakar, “Wahai Asma’, sesungguhnya bila
wanita mencapai usia baligh (haid), tidak boleh lagi dilihat darinya melainkan
ini”. Beliau menunjuk wajah dan dua telapak tangan. Ketika jilbab dan pakaian
wanita dikenakan agar aurat dan perhiasan mereka tidak nampak, maka tidak
tepat ketika menjadikan pakaian atau jilbab itu sebagai perhiasan karena tujuan
awal untuk menutupi perhiasan menjadi hilang. Banyak kesalahan yang timbul
karena poin itu terlewatkan, sehingga seseorang merasa sah-sah saja
menggunakan jilbab dan pakaian indah dengan warna-warni yang lembut
dengan motif bunga yang cantik, dihiasi dengan benang-benang emas dan perak
atau meletakkan berbagai pernak-pernik perhiasan pada kerudung mereka.[8]
Firman Allah dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka,” yakni hendaklah kerudung itu dibuat luas hingga menutupi dadanya, untuk menutupi bagian tubuh di bawahya seperti dada dan tulang dada serta agar menyelisihi model wanita jahiliyah. Dalam ayat ini konteks pembicaraannya adalah tentang terminologi Khimar, dan fungsinya sekaligus mempertegas ayat sebelumnya bahwa muka dan telapak tangan bukan merupakan aurat yang wajib hukumnya untuk ditutup.[9]
Sedangkan Sayyid Quthb memaknai Khimar adalah kain penutup kepala, leher,dan dada untuk menutup godaan-godaan fitnah yang ada padanya.
Makna Khimar tersebut di atas menurut Sayyid Quthb dengan merujuk
kepada pakar-pakar bahasa, ahli-ahli tafsir, ahli-ahli hadits dan fuqaha sebagai
sandaran hukum serta sesuai pula dengan asbab al-nuzul ayat tersebut yang
disebutkan oleh ahli tafsir.[10]
Dimana perempuan Arab waktu itu jika menutupi kepala mereka dengan kain kerudung, maka mereka menguraikan kain kerudung itu ke sebalik punggung sebagaimana lazimnya wanita awam ketika itu, sehingga bagian leher depan maupun belakang serta kedua telinganya terbuka. Kemudian lewat ayat ini Allah perintahkan untuk melilitkan Khimar , pada juyub (bagian dada dan leher). Mendengar ayat ini perempuan Muhajirin dan Anshar cepat meresponnya, mereka bukan hanya sekedar menutup dada dan lehernya akan tetapi langsung dengan mempertebal Khimar-nya. Fenomena ini dijelaskan lewat hadist ‘Aisyah ra: “Semoga Allah memberikan rahmat(kasih sayang) kepada wanita-wanitamuhajirin pertama, yang ketika Allah turunkan firmannya: “Dan hendaklah mereka menutupkan Khimār, -khimār, mereka itu pada juyub mereka”, lantas mereka merobek-robek kain tak berjahit(muruth) yang mereka kenakan itu, lalu mereka berkhimār, dengannya. (Dalam riwayat lain disebutkan: Lalu mereka pun merobek-robek sarung-sarung mereka bagian pinggirnya, kemudian mereka berkhimār dengannya.
 Dalam riwayat lain mengatakan bahwa al-Harits bin al-Harits al-Ghamidi bertutur: “Aku pernah bertanya kepada ayahku ketika kami berada di Mina: “Ada apa sekumpulan orang itu?” Ia menjawab: “Mereka adalah suatu kaum yang mengurumuni sesembahan mereka” maka kami pun singgah, dan ternyata Rasulullah SAW berada disana sedang menyeru manusia untuk mentauhidkan Allah dan beriman kepadanya. Namun, mereka menolak seruam beliau dan bahkan menyakiti beliau sampai datang pertengahan siang dan orang-orang pun sudah mulai bubar, ketika itu datang seorang wanita yang tulang lehernya kelihatan dalam keadaan menangis. Wanita tersebut membawa periuk yang.
Hadits dari Aisyah ini nomor: 8263, diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Daud Selengkapnya, lihat kitab Jami’ al-Ushul min Ahadisi al-Rasul (Ahadisi Faqoth), Juz X, 8263 berisikan air dan juga membawa sapu tangan. Nabi pun menerima periuk yang berisi air darinya, lalu beliau minum dan berwudhu, setelah itu Rasul mengangkat kepalannya dan berkata kepada wanita itu: “Wahai putriku, khimrilah (tutuplah dengan khimr) lehermu, dan jangan takut kepada ayah karena memaksamu. “Aku bertanya: “Siapakah perempuan itu? “Mereka menjawab: Ia adalah Zainab putrinya”. Apabila seseorang tidak mengenakan kerudung berwarna hitam maka berarti kerudungnya berfungsi sebagai perhiasan. Hal ini berdasarkan beberapa atsar tentang perbuatan para sahabat wanita di zaman Rasulullah saw yang mengenakan pakaian yang berwarna selain hitam. Salah satunya adalah atsar dari Ibrahim an-Nakhai,[11]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ayat ini diturunkan di Madinah yang merupakan ayat dari surat an-Nur
yaitu surat keseratus, termasuk golongan Madaniyah. Ayat ini juga merupakan
perintah dari Allah bagi kaum laki-laki mukmin maupun kaum perempuan
mukminah, serta merupakan penghargaan dari Allah bagi suami mereka serta
sebagai perbedaan dengan perempuan jahiliyah dan perilaku musyrik.
Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana diceritakan oleh Muqatil bin
Hayan. Dia berkata, “telah sampai berita kepada kami, dan Allah Maha Tahu,
bahwa Jabir bin Abdillah al-Anshari telah menceritakan bahwa Asma’ binti
Murtsid tengah berada ditempatnya, yaitu Bani Haritsah.
Ayat ini menyatakan kepada wanita-wanita mukminah, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, sebagaimana perintah kepada kaum pria mukmin untuk menahannya, dan disamping itu janganlah mereka menampakkan hiasan, yakni bagian tubuh mereka yang dapat merangsang laki-laki kecuali yang biasa nampak darinya atau kecuali terlihat tanpa maksud untuk ditampak-tampakkan, seperti wajah dan telapak tangan.
B.    Saran
kami sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada para pembaca agar memberikan kritik dan sarannya terhadap makalah ini, supanya kedepannya kami bisa memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi. Dan kami juga minta maaf atas kekurangan dari makalah ini, karena kami bersifat khilaf dan lupa.







DAFTAR PUSTAKA


Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu
Katsir,ter. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari, Jilid 6, ttp: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2008.

Abdul Malik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid VII, ttp; Pustaka Nasional Pte Ltd, 1999.

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Sygma Examedia Arkanleema,
1987.

Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, terj. Nashib Musthafa, Jakarta: Lehtera, 2000.

Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Kathir, Jilid 3, Jakarta: Gema Insani, 1999.

Muhammad Chirzin, Buku Pintar Asbabun Nuzul, Jakarta: Zaman, 2006.

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Jil. 4, Beirut: Dar al-Syurq, 2009.

Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Juz VIII, Jakarta: Gema Insani, 2004.

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid Al-Nur, Jilid. 3
Jakarta: Cakrawalal Publishing, 2011.

Qomaruddin Sholeh, DKK, Asbabun Nuzul, Bandung: Diponegoro, 1997.




[1] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Sygma Examedia Arkanleema,
1987), 353.


[2] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Kathir, Jilid 3 (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 1284
[3]Muhammad Chirzin, Buku Pintar Asbabun Nuzul, (Jakarta: Zaman, 2006),  hlm. 336

[4] Qomaruddin Sholeh, DKK, Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 1997), hlm.  356
[5] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Jil. 4 (Beirut: Dar al-Syurq, 2009), hlm. 2512
[6] Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an, Juz VIII, (Jakarta: Gema Insani,2004),hlm.  234

[7] Abdul Malik Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid VII (ttp; Pustaka Nasional Pte Ltd, 1999), hlm. 4929.
[8] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid Al-Nur, Jilid. 3
(Jakarta: Cakrawalal Publishing, 2011), hlm. 212-213


[9] Murtadha Muthahhari, Wanita dan Hijab, terj. Nashib Musthafa, (Jakarta: Lehtera,
2000), hlm. 161
[10] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh, Tafsir Ibnu Katsir,ter. M. Abdul Ghoffar dan Abu Ihsan al-Atsari, Jilid 6 (ttp: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2008), hlm. 289

[11] Ibid., 328

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL