MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH INTEGRASI AGAMA DAN SAINS DI PTKIN (PENGALAMAN UIN YOGYAKARTA)


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berjalan dengan demikian cepat. Sementara itu, pemahaman yang terkait dengan pengembangan teknologi yang mendasarkan pada keimanan berjalan lebih lambat. Para ilmuwan berargumentasi bahwa semua penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaliknya para agamawan lebih sibuk membicarakan persoalan akhirat dan pesan-pesan moral, tidak heran jika selalu terjadi benturan antara ilmu pengetahuan dan agama.
     Kaum agamawan memerlukan etika dalam arti, memakai akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan masalah bagaimana harus hidup kalau ia mau menjadi baik, jangan sampai akal budi dikesampingkan dari agama. Oleh karena itu kaum agamawan yang diharapkan betul-betul memakai rasio dan memahami ilmu pengetahuan serta kemajuan teknologi.
     Ciri paling utama dalam rasionalisme adalah kepercayaan pada akal budi manusia, segala seuatu harus dapat dimengerti secara rasional. Sebuah pernyataan hanya boleh diterima sebagai sebuah kebenaran apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dalam sisi lainnya, tradisi, berbagai bentuk wewenang tradisional, dan dogma, adalah sesuatu yang tidak rasional bagi masyarakat modern.
     Perkembangan selama ini menunjukkan bahwa sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu sebuah aliran yang sangat mengedepankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafisis, aksiologis dan epistemologis. Menurut aliran ini, sains mempunyai reputasi tinggi untuk menentukan kebenaran, sains merupakan ‘dewa’ dalam beragam tindakan sosial, ekonomi, politik, dan lain-lain. Menurut sains, kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisten, dan dapat diverifikasi. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh indra manusia.
     Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran disini akan menjadi rujukan bagi kebenaran-kebenaran yang lain.
     Hubungan antara sains dan agama  kini menjadi pertimbangan penting dikalangan pemikir, dan pembentukan kuliah-kuliah akademik tentang sains dan Islam merupakan petunjuk kuat tentang hal tersebut. Oleh karena demikian, maka makalah yang dihadapan saudara ini adalah salah satu bentuk upaya untuk mengkaji pandangan hubungan sains dan Islam, yakni dari sisi pandangan konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
                 Sains dan agama berbeda, karena mungkin mereka berbeda paradigma, pengklasifikasian secara jelas antara sains dan agama menjadi suatu trend tersendiri di masyarakat zaman rennaisance dan trend ini menjadi dasar yang kuat hingga pada perkembangan selanjutnya. Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri dan tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di antara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan

B.      Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari integrasi agama dan sains?
2.      Bagaimana integrasi agama dan sains dapat tercapai?
3.      Bagaimana pandangan integrasi agama dan sains menurut ilmuwan?



BAB II
PEMBAHASAN
A.          Pengertian Integrasi
Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti penggabungan, keseluruhan atau kesempurnaan. Integrasi Agama dan Sains dimaknai sebagai proses penggabungan dan penyesuaian di antara unsur-unsur Agama maupun Sains, sehingga menghasilkan perpaduan dua dimensi berbeda yang kemudian memilki keserasian. Definisi lain mengenai integrasi  dalah penyatuan atau penggabungan dua hal sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan padu.[1]
B.          Integrasi Agama dan Sains
Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan(sains) di akhir abad ke-16 telah menciptakan Persepsi masyarakat barat berbeda dari pada saat-saat ditanamkan dasar-dasar paradigmatiknya. Jika filsafat dapat dipahami sebagai manifestasi kegiatan intelektual, maka tradisi ilmiah dalam kehidupan masyarakat barat modern tidak lain merupakan kelanjutan dari perjalanan panjang kehidupan orang-orang Yunani kuno.
 Dengan demikian seperti dikemukakan oleh Koento Wibisono, pada awal kelahirannya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya identik dengan filsafat itu mempunyai corak mitologik. Pada perkembangan berikutnya, melalui para filsuf pra-Socrates filsafat mengalami demitologisasi dan pada puncaknya berkembang menjadi “ilmu pengetahuan”. Sampai disini hingga pasca Aristoteles, meskipun filsafat berkembang menjadi ajaran praktis, namun pada masa Agustinus dan Thomas Aquinas filsafat berjalan seiring dengan agama.[2]
Pertemuan antara filsafat dengan agama tersebut menemukan batu pijakannya, sehingga mendorong lahirnya berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti astronomi, kedokteran, psikologi, biologi, aljabar, geometri, arsitektur dan sebagainya pada saat berada dalam perawatan para filosof muslim di abad 9-13 M. Perkembangan pesat ini bukan semata-mata dikarenakan potensi dinamis yang terkandung dalam tradisi Intelektual Helenismetersebut, tetapi lebih disebabkan keadaan umat islam pada saat itu telah memiliki sikap dan semangat berpikir ilmiah yang diwarisi dari ajaran agama. Misalnya, semangat menghormati penalaran, mencari kebenaran dan objektifitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti empiris seperti diwarisi dari tradisi Nabi Ibrahim dan Muhammad SAW. Filsafat Yunani di sini hanya berperan mengembangkan isi dan membangun kerangka metodologi ke dalam semangat berfikir intelektual muslim pada saat itu.
   Ayat lain yang mendukung pengembangan sains adalah firman Allah Swt. yang berbunyi bahwa:
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ   tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  
Artinya:
   “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-si. Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. QS. Ali-Imran: 190-191).
   Ayat-ayat di atas adalah sebuah support yang Allah berikan kepada hambanya untuk terus menggali dan memperhatikan apa-apa yang ada di alam semesta ini. Sebuah anjuran yang tidak boleh kita abaikan untuk bersama-sama melakukan penggalian keilmuan yang lebih progresif sehingga mencapai puncak keilmuan yang dikehendaki Tuhan.[3]
   Tak heran, kalu seorang ahli sains Barat, Maurice Bucaile, setelah ia melakukan penelitian terhadap Alquran dan Bibel dari sudut pandang sains modern, menyatakan bahwa:
   “Saya menyelidiki keserasian teks Qur’an dengan sains modern secara objektif dan tanpa prasangka. Mula-mula saya mengerti, dengan membaca terjemahan, bahwa Qur’an menyebutkan bermacam-macam fenomena alamiah, tetapi dengan membaca terjemahan itu saya hanya memperoleh pengetahuan yang ringkas. Dengan membaca teks arab secara teliti sekali saya dapat menemukan catatan yang membuktikan bahwa Alquran tidak mengandung sesuatu pernyataan yang dapat dikritik dari segi pandangan ilmiah di zaman modern”.
   Semangat ilmiah para ilmuan muslim menurut Osman Bakar, sesungguhnya mengalir dari kesadaran mereka akan tawhid. Bagi umat islam, kesadaran akan KeEsaan Tuhan merupakan kesadaran beragama yang paling fundamental. Atas dasar semangat tawhid itu, maka di dalam islam berlaku pandangan bahwa realitas objektif alam semesta ini merupakan satu kesatuan. Kosmos yang terdiri dari bukan saja berbagai realitas fisik tetapi juga nonfisik dipahami saling berkaitan dan membentuk jaringan kesatuan hukum-hukum kosmos sebagai manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal usul metafisiknya, yakni Allah SWT.
   Dalam islam, kekuatan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan KeEsaan-Nya. Maka, semangat ilmiah dalam ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan agama karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari semangat tawhid. Dengan semangat ilmiah tersebut, ilmu pengetahuan menjadi salah satu instrumen yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada KeEsaan Realitas Transenden itu sendiri. Sebaliknya kesadaran tentang keEsaan Tuhan (tawhid) merupakan sumber dari semangat ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan umat islam.
   Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan (sains) di dalam islam bisa di ibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan. Dengan lain ungkapan, sains didalam islam sangat memperhatikan agama demikian juga sebaliknya, karena ilmu pengetahuan merupakan jalan untuk memahami kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
   Dengan semangat gerakan tawhid dan eksplorasi ilmiah pada awal perkembangannya itu, menjadikan islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia yang secara gemilang mampu menjembatani dan menghubungkan wilayah-wilayah peradaban lokal menjadi peradaban mondial.
   Namun, karena sebagai sebab yang cukup kompleks peradaban islam tersebut tidak dapat dipertahankan oleh masyarakat muslim abad pertengahan. Semangat dan etos ilmiah umat islam generasi ini perlahan-lahan mulai mengalami pergeseran paradigma. Bahkan pada saat yang bersamaan pergeseran itu semakin menggejala lalu berubah menjadi perpindahan tradisi ilmiah Timur ke Barat.
   Filsafat sebagai kegiatan yang bisa dipertanggungjawabkan secara aqliah, yang oleh Aristoteles dibagi menjadi ilmu pengetahuan poitis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (dalam arti normatif seperti etika dan politik) serta ilmu pengetahuan teoritik, mulai tereduksi dan dikaji bagian yang tersebut belakangan. Ilmu pengetahuan teoritik dipandang sebagai paling signifikan, yang oleh founding father faham empirisme itu dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama kemudian dikenal sebagai metafisika. Namun, para intelektual muslim kala itu tidak lagi memperhatikan yang lainnya kecuali bagian metafisikanya saja. Bahkan pada bagian akhir ini pun hampir-hampir umat islam dihadapkan pada polemik berkepanjangan yang akhirnya merasa jenuh lalu menjauhinya sama sekali.
   Sebaliknya di Barat, dipelopori oleh gerakan Renaissance pada abad ke-15 kemudian disempurnakan oleh gerakan Aufklarung pada abad ke-18, filsafat yunani yang dipelajari para sarjana barat melalui karya-karya para filsuf muslim memasuki tahap yang baru dan lebih maju atau modern. Dalam sentuhan tangan dingin “anak-anak” Renaissance dan Aufklarung seperti Copernicus, Galilei Galileo, Kepler, Descrates, Immanuel Kant dan lain-lain filsafat telah memberikan pengaruh yang amat luas dan mendalam terhadap perkembangan pemikiran dan peradaban barat.
   Sebagaimana terjadi di dunia islam, pemikiran filsofis warisan yunani itu telah membantu barat menemukan makna kebebasan dalam kemanusiaannya. Dengan kebebasan itu, terutama dalam pemikiran, perlahan barat yang pada abad ke-10 jauh dari peradaban intelektual mulai menapak dan merasakan  pentingnya proses civilization. Hanya, dikarenakan pengalaman traumatik terhadap gereja yang tidak menyediakan ruang gerak bagi pemikiran di luar Bibel, maka mereka mengarahkan kebebasan itu ke arah hidup “sekuler". Pengertian Koento, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukan manusia yang semula merupakan koloni dan sub koloni agama dan gereja.
   Dengan arah filsafat yang cenderung pada kehidupan sekuler itu bukan saja mengakibatkan ditinggalkannya agama, tetapi pada konsekuensi radikalnya, bahkan sampai meragukan eksistensi Tuhan. Indikasi yang paling nyata tercermin dalam pernyataan Frederich Nietzsche, bahwa setidaknya di dunia barat “Tuhan telah mati”.
   Fenomena seperti ini apabila tidak segera disadari maka pada saatnya akan melahirkan dunia tanpa Tuhan dan tanpa agama. Atau, paling tidak agama hanya ditempatkan sebagai urusan pribadi. Oleh Karena itu, tidak mengherankan jika filsafat dan agama di barat masing-masing berdiri secara mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikirannya sendiri-sendiri. Proses diferensiasi ini dilanjutkan dengan ditinggalkannya filsafat oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri secara intens. Diawali oleh lepasnya ilmu-ilmu alam, fisika dan matematika yang dimotori oleh Copernicus (1473-1543), Versalinus (1514-1564), dan Issac Newton (1642-1727) ilmu pengetahuan mulai tercabut dari akar filsufisnya. Khususnya perkembangan ini semakin mencapai bentuknya secara definitif saat Auguste Comte (1798-1857) dengan grand teori-nya menetapkan bahwa perkembangan berfikir manusia akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah ini mengandung arti bahwa yang benar dan nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi manfaat.
   Dengan adanya perkembangan seperti itu, maka ilmu pengetahuan di barat cenderung menjauh dari berbagai pengetahuan yang menurut dunianya dianggap tidak konkret, tidak terukur dan spekulatif. Atas dasar itu, bukan saja filsafat lantas  menjadi tidak menarik di mata ilmu pengetahuan karena wataknya yang spekulatif, tetapi juga pengetahuan agama yang dipandang out of date bahkan ahistoris cenderung diabaikan.
   Sampai memasuki abad 20, “revolusi” ilmu pengetahuan di barat masih terus berlangsung,  berbagai penemuan telah merombak teori-teori yang sudah mapan sebelumnya, tetapi belum sampai menggeser paradigma diferensiasi atau “deagamaisasi” ilmu pengetahuan yang menjadi ciri era modern tersebut. Namun pada paroh abad 20, etos keilmuan dengan cara pandang seperti itu mulai dihadapkan pada kecenderungan baru yang lebih memperhatikan dunia spiritual. John Naisbitt dan Patricia Aburdence, dalam Megatrendi 2000 menyebutkan krisis kebudayaan barat yang mendorong kemunculan istilah New Age yaitu suatu era yang berusaha meyakinkan banyak orang bahwa cara yang paling tepat dalam memecahkan berbagai persoalan dan sosial hanya akan terselesaikan apabila ada cukup orang mencapai apa yang disebut The Higher Consciousness.
C.          Pandangan ilmuwan tentang Integrasi Agama dan Sains
   Pengamatan Naisbitt dan Patricia di atas ada relevansinya dengan pandangan Capra, bahwa untuk keluar dari belenggu dikotomi(pembagian atas dua kelompok yang bertentangan) dalam kehidupannya, manusia modern dituntut dapat mengintegrasikan nilai-nilai dan makna-makna yang dikombinasikan dengan pengetahuan (sains). Menurut Azizan, hanya ada satu subjek yang dapat mengajarkan dan menawarkan nilai-nilai tersebut, yaitu agama. Hal ini tidak berlebihan karena agama memang merupakan sumber makna dan nilai-nilai yang kita pandang penting dan dapat diterjemahkan melalui pembangunan.
   Pandangan integratif seperti ini disebabkan sains modern yang positivistic cenderung melakukan reduksi terhadap realitas alam, termasuk manusia sebagai makhluk hidup. Misalnya, ketika berbicara tentang kosmologi, sains senantiasa melepaskannya dari unsur-unsur spiritualnya seperti Tuhan, malaikat ruh dan sebagainya. Alam semesta dipahami sebagai yang terjadi dengan sendirinya dan diatur oleh sebuah hukum alam yang mandiri, tetap dan tidak diubah oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Begitu juga tentang manusia, yang sering dipandang agama dan filsafat memiliki dimensi luhur seperti jiwa, hati, ruh, dan sebagainya.
   Dalam penilaian Golshai, pandangan bahwa aktifitas ilmiah adalah bebas nilai hanyalah mitos belaka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
1.   Aktivitas ilmiah adalah sebuah tujuan yang mengarahkan suatu usaha. Berarti bahwa beberapa nilai mengambil peran sebagai pembimbing di dalamnya. Misalnya, pencarian kebenaran merupakan nilai yang menjadi prinsip dalam mengarahkan banyak ilmuan.
2.   Semua aktifitas ilmiah melibatkan beberapa pertimbangan nilai (value judgements):
a.       Beberapa kode etik seperti kejujuran, keadilan, dan fungsi integritas sebagai     mekanisme pengawasan kualitas dalam usaha ilmiah.
b.       Pertimbangan nilai dapat membentuk garis penelitian seorang ilmuwan atau    pilihan teori-teorinya. Misalnya, Einstein dan Heisenberg memiliki tekanan    khusus pada  kesederhanaan teori fisikanya. Sedang Dirac menekankan pada    keindahan teori fisikanya. Pertimbangan pragmatisnya adalah beberapa    kriteria orang lain untuk  pilihan teori-teori.
Dengan demikian, dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa melalui argumen-argumen filosofis dan penemuan mutakhir tentang sains, berpikir dikotomis tentang agama dan sains memang sudah saatnya dikoreksi kembali. Sebab, penemuan mutakhir di bidang fisika kuantum misalnya, setidaknya telah meruntuhkan asumsi kaum materialis bahwa dunia ini hanyalah bersifat materi belaka.

Oleh karena itu agama dan sains, memang sudah semestinya terjalin hubungan fungsional dan dialektis dalam kerangka yang bisa dipahami oleh akal rasional manusia. Hal ini dikarenakan antara sains yang berpijak pada observasi inderawi, dan filsafat yang mengutamakan rasional, dan agama yang bersandar pada wahyu memiliki kecenderungan untuk saling melengkapi.
Ian G. Barbour selaku tokoh pengkaji hubungan sains dan agama telah memetakan hubungan keduanya dengan membuka kemungkinan interaksi di antara keduanya. Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia juga berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan hubungan sains dan agama terhadap disiplin-disiplin ilmiah tertentu. Tipologi ini terdiri dari empat macam pandangan, yaitu:
1.       Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19 melalui dua buku berpengaruh, yakni History of the conflict between Religion and Science karya J.W. Draper dan History of the Warfare of Science with Theology in Christendom karya A. D. White.
Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya.Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.
Adapun alasan utama para pemikir yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains adalah sebagai berikut:
a.       Menurut mereka agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains dapat melakukan itu.
b.       Agama mencoba bersifat diam-diam dan tidak mau memberi petunjuk bukti konkrit tentang keberadaan Tuhan, sementara   dipihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan pengalaman.
Pertentangan antara kaum agamawan dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh pihak gereja(kaum agamawan). Akibatnya, tidak sedikit ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman dari pihak gereja.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya tentang teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili pada tahun 1633.
Sementara disisi lain, sebagian saintis berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipahami. Penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi sebagian kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains.
Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Sains dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan klenik, sedangkan agama dapat memurnikan sains dari keberhalaan dan keyakinan mutlak yang keliru. Dengan keduanyalah(Agama dan Sains) kita mendapatkan pandangan yang lebih luas dalam membangun keilmuan masa dewasa ini.
Jelaslah bahwa pertentangan yang terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.
2.       Independensi
Satu cara untuk menghindari konflik antara sains dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam kawasan yang berbeda. Agama dan sains dianggap mempunyai kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup berdampingan dengan damai. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk menghindari konflik yang menurut mereka tidak perlu, tetapi juga didorong oleh keinginan untuk mengakui perbedaan karakter dari setiap era pemikiran ini.
Pemisahan wilayah ini dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman, menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan independensi ini, menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata maupun gaib. Hanya agama yang dapat mengetahuinya melalui keimanan. Sedangkan sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama. Para saintis yang menganut pandangan independensi adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould, Karl Bath, dan Langdon Gilkey.
Sebagaimana dikutip oleh Ian G. Barbour, Karl Bath dan pengikutnya, menyatakan beberapa hal tentang pandangan independensi, yakni menurut mereka tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi.
Ian G. Barbour berkomentar bahwa “jika sains dan agama benar-benar independen, kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi hal tersebut juga berefek pada memupus kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya. Kita menghayati kehidupan bukan sebagai bagian-bagian yang saling lepas.Melainkan kita merasakan hidup sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita membangun berbagai disiplin untuk mempelajari aspek-aspeknya yang berbeda”.
3.       Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan.
Ian G. Barbour memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.
Penganut pandangan dialog ini berpendapat bahwa agama dan sains jelas berbeda secara logis dan linguistik, tetapi dia tahu bahwa dalam dunia nyata mereka tidak bisa dikotak-kotakkan dengan mutlak, sebagaimana diandaikan oleh pendekatatan indenpendensi. Bagaimanapun juga agama telah membantu membentuk sejarah sains, dan pada gilirannya kosmologi ilmiah pun telah mempengaruhi teologi.
Dalam diskusi-diskusi filosofis dewasa ini tentang hakikat ilmu pengetahuan, cara-cara sains dan teologi hampir-hampir tidak begitu berbeda, secara tidak langsung hubungan sains dan agama tidak lagi dalam posisi konflik dan indenpendensi. Pada pendekatan dialog ini sains tidak lagi tampak sangat murni dan objektif sebagaimana biasanya, dan demikian pula teologi tidak tampak sangat tidak murni atau subjektif. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap mempertahankan integritas masing-masing.
4.       Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu di antara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman. Pendukung integrasi mengklaim adanya hubungan dekat antara teori ilmiah dan keyakinan agama tertentu daripada yang diajukan oleh pendukung Dialog, meskipun tidak ada garis tajam yang memisahkan keduanya.
Ada tiga versi berbeda dalam integrasi, yaitu:
a.       Natural Theology, mengklaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari bukti tentang desain alam, yang dengan keajaiban struktur alam membuat kita semakin menyadari bahwa alam ini adalah karya Allah Swt. semata.
b.       Theology Of Nature, berangkat dari tradisi keagamaan berdasarkan pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Theology of Nature tidak berangkat dari sains sebagaimana natural theology, Dalam theology  of nature, ia berpendapat bahwa sumber utama teologi terletak di luar sains, tetapi ia juga berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang dalam sinaran sains terkini. Karena secara khusus, doktrin tentang penciptaan dan sifat dasar manusia dipengaruhi oleh temuan-temuan sains.
c.       Sintesis Sistematis. Integrasi yang lebih sistematis dapat dilakukan jika sains dan agama memberikan kontribusi kea rah pandangan  dunia yang lebih koheren yang dielaborasi dalam kerangka metafisika yang komprehensif.
Mencermati pandangan integrasi Sains dan agama akan memberikan wawasan yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern tentang alam dengan deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman subyektif keagamaan.Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang alam.
Pemahaman yang diperoleh melalui sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi.Seperti halnya ketika memperhatikan bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu dalam teori evolusi yang mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail struktur organisme itu terbentuk karena seleksi alam dan variasi acak dalam proses adaptasi, namun dia sendiri mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi dalam anggapan sebagai penentu dari hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka kemungkinan variasi detail organisme tersebut.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama.[4]









BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan.                                                                                                                                    
1.       Integrasi adalah penggabungan, keseluruhan atau kesempurnaan, antara dua dimensi yang berbeda, sehingga menghasilkan sesuatu yang padu antara keduanya dan kemudian memilki keserasian, yang tak berlawanan atau bertentangan, maka integrasi Agama dan Sains dimaknai sebagai proses penggabungan dan penyesuaian di antara unsur-unsur Agama maupun Sains, Sehingga menghasilkan perpaduan antara Agama dan Sanis yang kemudian antara keduanya memilki keserasian dan tak berlawanan.
2.       Koento Wibisono mengemukakan bahwa pada awal kelahirannya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya identik dengan filsafat itu mempunyai corak mitologik. Pada perkembangan berikutnya, melalui para filsuf pra-Socrates filsafat mengalami demitologisasi dan pada puncaknya berkembang menjadi “ilmu pengetahuan”. Sampai disini hingga pasca Aristoteles, meskipun filsafat berkembang menjadi ajaran praktis, namun pada masa Agustinus dan Thomas Aquinas filsafat berjalan seiring dengan agama. Pertemuan antara filsafat dengan agama tersebut menemukan batu pijakannya, sehingga mendorong lahirnya berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti astronomi, kedokteran, psikologi, biologi, aljabar, geometri, arsitektur dan sebagainya pada saat berada dalam perawatan para filosof muslim di abad 9-13 M. Perkembangan pesat ini bukan semata-mata dikarenakan potensi dinamis yang terkandung dalam tradisi Intelektual Helenismetersebut, tetapi lebih disebabkan keadaan umat islam pada saat itu telah memiliki sikap dan semangat berpikir ilmiah yang diwarisi dari ajaran agama. Misalnya, semangat menghormati penalaran, mencari kebenaran dan objektifitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti empiris seperti diwarisi dari tradisi Nabi Ibrahim dan Muhammad SAW. Filsafat Yunani di sini hanya berperan mengembangkan isi dan membangun kerangka metodologi ke dalam semangat berfikir intelektual muslim pada saat itu.
3.       Pertemuan antara filsafat dengan agama tersebut menemukan batu pijakannya, sehingga mendorong lahirnya berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti astronomi, kedokteran, psikologi, biologi, aljabar, geometri, arsitektur dan sebagainya pada saat berada dalam perawatan para filosof muslim di abad 9-13 M. Perkembangan pesat ini bukan semata-mata dikarenakan potensi dinamis yang terkandung dalam tradisi Intelektual Helenismetersebut, tetapi lebih disebabkan keadaan umat islam pada saat itu telah memiliki sikap dan semangat berpikir ilmiah yang diwarisi dari ajaran agama. Misalnya, semangat menghormati penalaran, mencari kebenaran dan objektifitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti empiris seperti diwarisi dari tradisi Nabi Ibrahim dan Muhammad SAW. Filsafat Yunani di sini hanya berperan mengembangkan isi dan membangun kerangka metodologi ke dalam semangat berfikir intelektual muslim pada saat itu. Ian G.

Barbour berpendapat bahwa integarasi agama dan sains memiliki pandangan dan tipologi yang berbeda:
a.       konflik: pandangan bahwa Agama dan Sains saling bertentangan dan memberikan pernyataan yang berlawanan.
b.       Independensi: memisahkan  Agama dan Sains dalam kawasan atau wilayah yang berbeda.
c.       Dialog: pandangan yang mengatakan antara Sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan bahkan bisa mendukung satu sama lain.
d.       Integrasi: Sains dan doktrin-doktrin Agama sama dianggap valid dan menjadi sumber     koheren dalam pandangan dunia, pemahaman Sains mampu memperkaya pemahaman keagamaan bagi umat yang beriman.

DAFTAR PUSTAKA

Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat Ilmu Teori & Aplikasi. Jakarta: Referensi.
Barbour, Ian G. 2002. Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama. Terjemahan: E.R. Muhammad, Bandung: Mizan.
Masruri, Hadi & Rossidy, Imron. 2007.  Filsafat Sains dalam Alquran: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama,  Malang: UIN-Malang Press.
B, Hamdan husein & Erliani, Sa’adah. 2011. Pandangan hubungan islam dan sains(konflik, independensi, dialog, dan integrasi), Malang: UIN-Malang.



               [1] Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat Ilmu Teori & Aplikasi. Jakarta: Referensi
               [2] Barbour, Ian G. 2002. Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama. Terjemahan: E.R. Muhammad, Bandung: Mizan.

               [3] Masruri, Hadi & Rossidy, Imron. 2007.  Filsafat Sains dalam Alquran: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan Agama,  Yogyakarta: UIN.Yogyakarta.

               [4] B, Hamdan husein & Erliani, Sa’adah. 2011. Pandangan hubungan islam dan sains(konflik, independensi, dialog, dan integrasi), Yogyakarta: UIN-Yogyakarta.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN