BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu permasalahan yang terjadi di kalangan
umat islam adalah ketika seorang suami menzhihar istrinya dengan mengatakan
anti ‘alayya ka zhahri ummi. Yang apabila dilakukan oleh seorang suami maka
suami itu haram menggauli istrinya sebelum ia membayar kafarat. Dan tata cara
pembayaran ini yang di jelaskan dalam surat al-mujadalah ayat 2-4. Dan mengenai
zhihar ini pemakalah akan berupaya untuk menjelaskannya.
Dalam makalah
ini akan menjelaskan mengenai zhihar. Dan berupaya menjawab mengenai
masalah-masalah yang berhubungan dengan zhihar yang terdapat di tengah-tengah
masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan zihar?
2.
Jelaskan
dasar hukum zihar?
3.
Apa
akibat dari zihar?
BAB II
PEMBAHASAN
ZIHAR (MENYAMAKAN ISTRI DENGAN IBU)
A. AYAT DAN TERJEMAHAN
1.
Ayat
Tentang Sebab Turunya Ayat Zihar
قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي
زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسۡمَعُ تَحَاوُرَكُمَآۚ إِنَّ
ٱللَّهَ سَمِيعُۢ بَصِيرٌ
Artinya
: Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan
Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.(Q.S Al-Mujadilah :1)
2.
Ayat
Tentang Hukum Zihar
ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم مَّا هُنَّ
أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ وَإِنَّهُمۡ
لَيَقُولُونَ مُنكَرٗا مِّنَ ٱلۡقَوۡلِ وَزُورٗاۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٞ
Artinya : Orang-orang
yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya,
padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain
hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh
mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Q.S Al-Mujadilah: 2)
مَّا
جَعَلَ ٱللَّهُ لِرَجُلٖ مِّن قَلۡبَيۡنِ فِي جَوۡفِهِۦۚ وَمَا جَعَلَ
أَزۡوَٰجَكُمُ ٱلَّٰٓـِٔي تُظَٰهِرُونَ مِنۡهُنَّ أُمَّهَٰتِكُمۡۚ وَمَا جَعَلَ
أَدۡعِيَآءَكُمۡ أَبۡنَآءَكُمۡۚ ذَٰلِكُمۡ قَوۡلُكُم بِأَفۡوَٰهِكُمۡۖ وَٱللَّهُ
يَقُولُ ٱلۡحَقَّ وَهُوَ يَهۡدِي ٱلسَّبِيلَ
Artinya : Allah
sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan
Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Q.S Al-Azhab :4)
3.
Ayat
Tentang Kafarat Zihar
وَٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِن نِّسَآئِهِمۡ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا
قَالُواْ فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُمۡ
تُوعَظُونَ بِهِۦۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ
فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ فَمَن لَّمۡ
يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ذَٰلِكَ لِتُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ
وَرَسُولِهِۦۚ وَتِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِۗ وَلِلۡكَٰفِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya : Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah
atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir
ada siksaan yang sangat pedih. (Q.S Al-Mujadilah :3-4)
B. PENJELASAN KATA KUNCI
1.
Sebab Turunya Ayat Zihar
قَدۡ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوۡلَ ٱلَّتِي تُجَٰدِلُكَ فِي
زَوۡجِهَا وَتَشۡتَكِيٓ إِلَى ٱللَّهِ
ialah
berhubungan dengan persoalan seorang wanita sebagaimana ia
tidak boleh menggauli ibunya. menurut adat Jahiliyah kalimat zhihar seperti itu
sudah sama dengan menthalak isteri.
zdhihar adalah menyamakan istri yang halal itu
jasadnya terhadap jasad ibunya, dzhihar bukan hanya kepada ibunya saja akan
tetapi juga terhadap saudara yang haram di nikahinya: seperti kakanya, adexnya
dan saudaranya yang haram dinikahinya.
Nah, dzhihar
itu hanya di tujukan hanya pada jasadnya saja, jikalau kepada sifatnya, itu
tidak termaksud dzhihar, sebagai contohnya: hadist nabi, laaha anti alaiyya
kazhohri ummii, artinya punggungmu seperti punggung ibuku, jadi dari hadist
tersebut sudah merupakan contoh dari perbuatan dzhihar, intinya jika ditujukan
kepada jasad itu sudah merupakan dzhihar, akan tetapi jika di tujukan kepada
sifat itu tidak dinamakan dzhihar contohnya: sifatmu seperti sifat ibuku.
2. Hukum Zhihar
ٱلَّذِينَ يُظَٰهِرُونَ مِنكُم مِّن نِّسَآئِهِم
مَّا هُنَّ أُمَّهَٰتِهِمۡۖ إِنۡ أُمَّهَٰتُهُمۡ إِلَّا ٱلَّٰٓـِٔي وَلَدۡنَهُمۡۚ
Dari ayat tersebut sudah jelas kita
tidak boleh menzhihar istri kita terhadap ibu kita, karena istrimu bukanlah
ibumu, karena ibumu hanyalah perempuan yang melahirkanmu, karena mengibaratkan
istri terhadap ibu tidak boleh.
3. Kafarat Zihar
فَتَحۡرِيرُ
رَقَبَةٖ مِّن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۚ ذَٰلِكُمۡ تُوعَظُونَ بِهِۦۚ
فَمَن
لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ شَهۡرَيۡنِ مُتَتَابِعَيۡنِ مِن قَبۡلِ أَن يَتَمَآسَّاۖ
فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ
Artinya : Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur.
Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang
miskin.
Dari
ayat di atas sudah jelas kaffarat bagi suami yang menzhihar seorang istri yaitu
memmerdekakan hamba sahaya, dan puasa 2 bulan berturut-turut, dan memberikan
makan anak yatim sebanyak 60 orang atau orang miskin.inilah hukuman bagi orang
yang menzhihar istri, jadi barang siapa yang ingkar terhadap hukuman tersebut,
maka tunggulah azab allah yang sangat pedih.
C. ASBABUN NUZUL AYAT DAN MUHASABAH
Ayat satu bercerita mengenai perkataan seorang
wanita (Khaulah Binti Tsa’labah) yang didengar oleh Allah yang mana dia
mengadukan suaminya yangtelah menziharnya kepada Rasulullah. Karena tidak ada
jawaban yang memuaskan hatinyadari
Rasululullah. Maka ia langsung berdo’a kepada Allah dan sampai datang
ayat 1-4.
1.
Q. S
Al-Mujadilah ayat 1
sebab Turunnya
ayat Ini ialah berhubungan dengan persoalan seorang wanita bernama Khaulah
binti Tsa´labah yang Telah dizhihar oleh suaminya Aus ibn Shamit, yaitu dengan
mengatakan kepada isterinya: Kamu bagiku seperti punggung ibuku dengan maksud
dia tidak boleh lagi menggauli isterinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli
ibunya. menurut adat Jahiliyah kalimat zhihar seperti itu sudah sama dengan
menthalak isteri.
Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Rasulullah menjawab,
bahwa dalam hal Ini belum ada Keputusan dari Allah. dan pada riwayat yang lain
Rasulullah mengatakan: Engkau Telah diharamkan bersetubuh dengan dia. lalu
Khaulah berkata: Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak Kemudian Khaulah
berulang kali mendesak Rasulullah supaya menetapkan suatu Keputusan dalam hal
ini, sehingga Kemudian turunlah ayat Ini dan ayat-ayat berikutnya.
2.
Q. S
Al-Azhab ayat 4
Pada suatu hari
Sa’ida, ibunya Zaid meminta ijin kepada suaminya untuk berkunjung ke
keluarganya di luar kota sambil membawa Zaid yang kala itu berusia 6 tahun.
Sesampainya di sana, keduanya disambut dengan suka cita mengingat sudah lama
sekali tidak bertemu. Namun malang, pada suatu malam sekelompok orang menyerang
kampung itu dan membunuhi penduduk laki-lakinya sementara para wanitanya
ditawan sebagai budak belian. Sa’da, ibunya Zaid dapat lolos tidak tertawan dan
kabur melapor pada suaminya, namun nasib Zaid ditawan sebagai budak.
Zaid ibn
Haritsah dijual belikan dari pasar ke pasar dan berpindah-pindah majikan dari
yang satu ke yang lainnya, hingga terakhir dia dibeli oleh Hakim ibn Hizam yang
merupakan saudara Sayyidah Hadijah, isteri Rasulullah. Karena Hadijah
menyukainya, maka Zaid dibelinya dan dihadiahkan kepada Rasulullah. Zaid hidup
ditengah keluarga Rasulullah dan Siti Hadijah yang sangat berbahagia dan dia
pun senang sekali memiliki majikan yang sangat baik serta menyayanginya. Untuk
itu dia tidak ragu-ragu lagi masuk Islam mengikuti ajaran Rasulullah. Dengan
demikian Zaid ibn Haritsah tercatat sebagai budak pertama yang masuk Islam dan
mengimani ajaran Rasulullah.
Haritsah yang
tidak henti-henti mencari Zaid, akhirnya mendengar dari orang-orang yang
sehabis Umrah, bahwa Zaid sebagai budak seorang utusan Allah, Muhammad. Dia
berangkat ke Mekkah dan mendatangi Rasulullah serta meminta untuk mengembalikan
Zaid kepadanya. Rasulullah memaklumi keinginan ayah Zaid yang telah berpisah dengan
buah hatinya, namun beliau menyerahkan sepenuhnya kepada Zaid mau ikut siapa.
Alangkah
terkejutnya ayah Zaid mendengar jawaban Zaid yang dengan tegas lebih memilih
ikut Rasulullah meskipun dirinya hanya sebagai budak: “Aku telah melihat
keistimewaan pada orang ini, sehingga aku terdorong untuk memilihnya. Selamanya
aku tidak akan memilih orang lain selain Tuanku Muhammad”.
3.
Q.S
Al-Mujadilah ayat 3-4
Aku pergi menemui Rasulullah, lalu
duduk di hadapannya. Aku ceritakan apa yang aku hadapai dengan suamiku,
mengeluh kepada beliau tentang perilaku kasar suamiku. Rasulullah berkata,”Wahai Khuwailah, anak
pamanmu itu adalah seorang laki-laki yang telah tua, maka bertaqwalah engkau
kepada Allah terhadap suamimu.” Aku
berkata,”Demi Allah, aku tidak beranjak dari sisi beliau sampai turun al
Qur`an. Ketika itu Rasulullah diliputi sesuatu dan diwahyukan kepada beliau.
Lalu beliau berkata kepadaku,”Wahai, Khuwailah. Allah telah menurunkan
firmanNya tentang permasalahanmu dan suamimu.” Beliau membaca ayat … -yaitu
surat al Mujadalah / 58 ayat 1-4,.
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku,”Perintahkan kepadanya, agar ia
membebaskan seorang budak”. Aku
berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memilki seorang budak”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata,”Kalau begitu, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut.” Aku berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia
adalah seorang lelaki tua yang tidak sanggup lagi berpuasa.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali
berkata,”Jika demikian, hendaklah ia memberi makan enam puluh orang miskin
dengan satu wasaq kurma.” Aku
berkata,”Demi Allah, wahai Rasulullah. Dia tidak memiliki kurma sebanyak itu.”
Akhirnya
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,”Maka kami akan membantunya dengan
sekeranjang kurma.” Aku
berkata,”Aku juga, wahai Rasulullah. Aku akan membantunya dengan sekeranjang
lagi.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata,”Perbuatanmu benar dan bagus. Pergilah dan bersedekahlah untuk suamimu.
Dan berwasiatlah dengan anak pamanmu dengan baik,” maka aku pun melakukan
perintah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
D.
TAFSIR TEMATIK
1.
Q. S
Al-Mujadalah ayat 1
Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan
kepada kami Al-A'masy, dari Tamim ibnu Salamah, dari Urwah, dari Aisyah yang
mengatakan, "Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya mencakup semua
suara, sesungguhnya telah datang kepada Nabi Saw. seorang wanita yang
mengajukan gugatan, lalu wanita itu berbicara kepada Nabi Saw., sedangkan aku
berada di salah satu ruangan di dalam rumah, aku tidak dapat mendengar apa yang
dikatakan oleh wanita itu." Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya:
Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan
kepadamu (Muhammad) tentang suaminya. (Al-Mujadilah: 1).
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari
di dalam Kitabut Tauhid-nya secara ta'liq, dia mengatakan bahwa Al-A'masy telah
meriwayatkan dari Tamim ibnu Salamah, dari Urwah, dari Aisyah, lalu disebutkan
hal yang sama. Imam Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Abu Hatim, dan Ibnu Jarir telah
mengetengahkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Al-A'masy dengan sanad
yang sama.
Menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dari Al-A'masy, dari
Tamim ibnu Salamah, dari Urwah, dari Aisyah, disebutkan bahwa ia pernah
berkata, "Mahasuci Tuhan Yang pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu,
sesungguhnya aku benar-benar mendengar suara pembicaraan Khaulah binti
Sa'labah, tetapi sebagiannya tidak dapat kudengar, yaitu saat dia mengadukan
perihal suaminya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, 'Wahai Rasulullah,
suamiku telah makan hartaku dan mengisap masa mudaku, serta kubentangkan
perutku untuknya, hingga manakala usiaku telah menua dan aku tidak dapat
beranak lagi, tiba-tiba dia melakukan zihar terhadapku. Ya Allah, aku mengadu
kepada Engkau masalah yang menimpaku ini'." Siti Aisyah r.a. melanjutkan
kisahnya, bahwa sebelum Khaulah bangkit pulang, Jibril turun dengan membawa
ayat ini, yaitu: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya. (Al-Mujadilah: 1)
Sedangkan cerai
bid’ah adalah jika seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan haidh atau
dalam keadaan bersih dan telah dicampuri, dan dia tidak mengetahui apakah
istrinya itu hamil atau tidak.
Sedangkan cara ketiga adalah bukan cerai sunnah dan bukan cerai bid’ah, yaitu
menceraikan wanita yang masih kecil (belum pernah menjalani haidh), wanita tua
yang sudah mengalami menopouse, dan wanita yang tidak pernah dicampuri. Dan
pembahasan masalah tersebut dan hal-hal yang berkenaan dengannya terdapat.
2.
Q. S
Al Azhab ayat 4
(Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang
dua buah hati dalam rongganya) firman ini sebagai sanggahan terhadap sebagian
orang-orang kafir yang mengatakan, bahwa dia memiliki dua hati; yang masing-masingnya
mempunyai kesadaran yang lebih utama daripada kesadaran yang dimiliki oleh
Muhammad (dan Dia tidak menjadikan istri-istri kalian yang) lafal allaa-iy
dapat pula dibaca allaa-i (kalian zihari) dapat dibaca tuzhhiruuna dan
tuzhaahiruuna (mereka itu) misalnya seseorang berkata kepada istrinya,
"Menurutku kamu bagaikan punggung ibuku," (sebagai ibu kalian) yakni
mereka diharamkan oleh kalian seperti terhadap ibu kalian sendiri, hal ini di
zaman jahiliah dianggap sebagai talak. Zihar hanya mewajibkan membayar kifarat
dengan persyaratannya yang akan disebutkan di dalam surah Al-Mujadilah (dan Dia
tidak menjadikan anak-anak angkat kalian) lafal ad'iyaa adalah bentuk jamak
dari lafal da'iyyun, artinya adalah anak angkat (sebagai anak kandung kalian
sendiri) yakni anak yang sesungguhnya bagi kalian. (Yang demikian itu hanyalah
perkataan kalian di mulut kalian saja.) Sewaktu Nabi saw. menikahi Zainab binti
Jahsy yang dahulunya adalah bekas istri Zaid bin Haritsah, anak angkat Nabi
saw., orang-orang Yahudi dan munafik mengatakan, "Muhammad telah mengawini
bekas istri anaknya sendiri." Maka Allah swt. mendustakan mereka. (Dan
Allah mengatakan yang sebenarnya) (dan Dia menunjukkan jalan) yang benar.
3.
Q.S
Al azhab ayat 3-4
Adapun mereka
yang pada mulanya menjatuhkan sumpah zihar tetapi kemudian menengok kembali
ucapannya itu, menyadari kesalahannya dan menginginkan agar hubungan suami
istri tetap berlanjut, mereka harus memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum
kembali berhubungan dengan istri. Memerdekakan hamba sahaya yang telah
diwajibkan Allah itu merupakan pelajaran bagi kalian agar tidak kembali kepada
perbuatan semula. Allah mengetahui semua yang kalian perbuat.
Sedangkan bagi orang yang tidak menemukan seorang
hamba sahaya, maka ia harus melakukan puasa dua bulan berturut-turut sebelum
melakukan hubungan suami istri. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi
makan enam puluh orang miskin. Hal itu Kami syariatkan agar kalian beriman
kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian berbuat atas dasar keimanan itu. Itu semua
adalah aturan Allah, maka jangan kalian langgar! Orang-orang kafir akan
mendapatkan siksa yang sangat menyakitkan.
E. PENULISAN IKHTIBAR
Islam mensyari’atkan perkawinan
sebagai ikatan untuk selama-lamanya yang tidak dibatasi oleh waktu dan tidak diputuskan
oleh orang yang mencari kelezatan, atau oleh perbuatan halal yang teramat dibenci
Allah. Dengan perkawinan semua yang dimiliki dibenci oleh Allah. Dengan perkawinan
pula semua yang dimiliki oleh perempuan menjadi halal bagi laki-laki , dalam batasan-batasan
yang telah ditentukan oleh Allah. Maka jika ada seorang datang hendak merubah apa
yang telah dihalalkan oleh Allah sehingga yang halal menjadi haram baginya,
berarti dia telah berbuat dosa besar dan melanggar ketentuan-ketentuan oleh Allah. Orang yang
melakukan pelanggaran akan dihukum berat. Misalnya karena zihar, maka dia akan dikenakan
hukum kaffarat yang didalamnya terkandung berat sekali bagi masyarakat, yaitu berupa
pembatasan budak, dan ini merupakan salah satu dari sekian banyak cara untuk pembebasan
budak.
Dan jika dia tidak sanggup
untuk membeli budak maka dia harus berpuasa dua bulan berturut-turut, sedangkan
puasa itu adalah merupakan latihan moral yang paling baik. Dan andai kata berpuasa tidak sanggup maka dia boleh berpindah denda dengan memberi makan 60 orang miskin. Hal
ini dalam rangka menanamkan sangat solidaritas dan empati dengan orang lain.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keterangan dapat kita simpulkan bahwa dzhihar tidak
secara langsung berakibat cerai, melainkan dhihar merupakan prolog dari
perceraian. Dzhihar merupakan suatu
perkataan dari seorang suami kepada istrinya dengan mengatakan bahwa istrinya
tersebut sama dengan punggung ibunya, dengan maksud suami untuk mengharamkan
istrinya yang sama halnya haram ibunya
atas dirinya untuk digauli. Hal ini disebabkan oleh karena suami tidak berani
untuk mengatakan ucapan talak kepada istrinya,
Dalam permasalah dzhihar ini, ada beberapa syarat atau
kaffarat yang yang harus dipenuhi oleh seorang suami jika ingin menarik ucapan
dan hendak menggauli istrinya kembali, dengan kaffarat seperti yang telah
dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Bahrun. Terjemahan Tafsir Al Maraghy.
Semarang: Toha Putra, 1986
Ali, Muhammad. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam. Surabaya: PT
Bina Ilmu, 2008
Ar- rifa’I. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema
Insani, 2000
Arsal. Tafsir Ayat Hukum Tentang Hukum Perdata Bukittinggi: STAIN Press, 2007
Katsir, Ibnu. Terj Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.
Jakarta: Gema Insani, 1999
Sabiq, Sayyid. Fiqh
Sunnah. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981
Sayyid, Sabiq, Fiqh
Sunnah, (Bandung: PT
Al-Ma’arif, 1981), hlm.303
Ibnu Katsir, Terj Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 198
Muhammad, Ali, Terjemahan
Tafsir Ayat Ahkam, (Surabaya: PT
Bima Ilmu, 2008), hlm.55
Arsal,
Tafsir Ayat Hukum Tentang Hukum Perdata, (Bukittinggi: STAIN Press, 2007), hlm.65
Ar-
rifa’I, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani, 2000), hlm.207
<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
Komentar
Posting Komentar