MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH ISTIHSAN DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI KEUANGAN



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Istihsan sebagai metode dalam berijtihad merupakan dalil hukum yang masih diperselisihkan penggunaannya dikalangan ulama ushul fikih.Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat dalam penggunaannya bukan hanya disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikannya, tetapi memang berbeda dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri sendiri.
Istihsan sebagai mana makna dasar katanya memang menimbulkan berbagai sudut pandang, terlebih dalam aplikasinya direntang sejarah perdebatan melahirkan pendapat berbeda.Sebagian menyatakan istihsan sebagai sumber hukum yang diakui kehujjahannya dan sebagian menolak.Dalam konteks lebih luas, penerapan istihsan digunakan untuk persoalan-persoalan kontemporer, khususnya berkaitan dengan bidang Muamalat Maliyyah.

B.    Rumusan Masalah
1.     Apa pengertian istihsan?
2.     Apa saja dasar syari’ah penggunaan istihsan?
3.     Bagaimana pandangan ulama tentang kehujjahan istihsan dalam syari’ah?

C.    Tujuan Pembahasan
1.     Untuk mengetahui apa pengertian istihsan
2.     Untuk mengetahui apa dasar syari’ah penggunaan istihsan
3.     Untuk mengetahui kehujjahan istihsan menurut pandangan ulama


ISTIHSAN DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI KEUANGAN

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Istihsan
Di dalam bahasa Arab, al-Istihsandiartikan dengan menganggap sesuatu yang baik atau mengikuti sesuatu yang baik.
Adapun defenisi al-Istihsan dikalangan para ahli ushul berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya masing-masingdan kemampuannya menyimpulkan pengertian al-Istihsan di dalam kata-kata.
Diantaranya al-Bazdawiy memberi definisi al-Istihsan adalah meninggalkan keharusan meninggalkan qiyas dan berpindah kepada qiyas yang lebih kuat atau men-takhshish qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari qiyas tadi.Adapun menurut Al-Nasafiya pengertian al-Istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas menuju kepada qiyas yang lebih kuat atau al-Istihsan adalah dalil yang berlawanan dengan qiyas jaliy.[1]
Menurut Abdul Hasan al-Karkhiy pengertian al-Istihsan adalah perpindahan si mujahid didalam memberikan hukum dalam suatu masalah seperti yang sudah diberikan hukum padanya, kepada hukum yang berbeda dengan hukum yang sudah ditentukan tersebut karena ada segi yang lebih kuat yang menyebabkan perpindahan dari hukum yang pertama.Defenisi-defenisi tersebut adalah defenisi dari ulama-ulama Madzhab Hanafiya.
Sedangkan ulama-ulama dari Madzhab Malikiya memberikan pengertian al-Istihsan menurut Ibn Arabiy adalah meninggalkan ketetapan dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan karena ada pertentangan yang menentangnya di dalam sebagian ketetapannya. Menurut Al-Syathibiy al-Istihsan adalah menurut pendapatku dan menurut pendapat ulama Hanafiyah adalah beramal dengan dalil yang lebih kuat diantara dua dalil. Menurut Ibn Rusyd al-Istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas yang membawakan pada yang berlebih-lebihan atau melampaui batas di dalam hukum, dan berpindah kepada hukum lain yang merupakan kekecualian.
Menurut Ulama Hanbaliyah memberikan defenisi yang paling baik al-Istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum tentang suatu kasus Karena ada dalil syara’ yang khusus.
Dari defenisi-defenisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa mereka sepakat untuk menerima dua hal:
1.     Ahli ushul fikih dari Madzhab Hanafiyah dan Hanbaliyah, sekalipun berbeda didalam memformulasikan kata-katanya, namun merek sepakat bahwa Istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum kepada hukum lainnya dalam sebagian kasus atau meninggalkan suatu hukum karena adanya hukum yang lebih kuat atau pengecualian yang bersifat jus’iyyah dari hukum yang Kulliyahatau menghususkan sesuatu hukum yang umum dengan hukum yang khusus. Mereka sepakat pula bahwa perpindahan ini harus ada sandarannya yang berupa dalil syara’ yang berupa Nash atau Ma’qulnya Nash atau Mashlahat atau ‘Urf yang shahih. Dalil-dalil sandaran ini disebut Wajh al-istihsan atau sanad al-istihsan.[2]
2.     Perpindahan ini kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan umumnya Nash dan kadang-kadang dari hukum yang dihasilkan dengan menggunakan qiyas dan kadang-kadang dari hukum yang merupakan penerapan kaidah-kaidah yang Kulliyah. Oleh karena itu barangkali, dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum yang ditetapkan oleh dalil syara’ dalam suatu kasus tertentu kepada hukum lain, karena adanya dalil syara’ yang mengharuskan perpindahan sesuai dengan jiwa syari’at Islam.





B.    Dasar Syari’ah Penggunaan Istihsan
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Hambaliyah, al-Istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah:
Dasar dalam Al-Qur’an:
tûïÏ%©!$#ur(#qç7t^tGô_$#|Nqäó»©Ü9$#br&$ydrßç7÷ètƒ(#þqç/$tRr&urn<Î)«!$#ãNßgs93uŽô³ç6ø9$#4÷ŽÅe³t6sùÏŠ$t7ÏãÇÊÐÈ
tûïÏ%©!$#tbqãèÏJtFó¡otAöqs)ø9$#tbqãèÎ6­Fusùÿ¼çmuZ|¡ômr&4y7Í´¯»s9'ré&tûïÏ%©!$#ãNßg1yydª!$#(y7Í´¯»s9'ré&uröNèd(#qä9'ré&É=»t7ø9F{$#ÇÊÑÈ
Artinya: “Dan orang-orang yang menjauhi tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah gambar gembira itu kepada hamba-hamb ku”. “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat”.( Q.S. Az-Zumar: 17-18)
            Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hamba-Nya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditunjukkan kecuali untuk sesuatu yang di syari’atkan oleh Allah


(#þqãèÎ7¨?$#urz`|¡ômr&!$tBtAÌRé&Nä3øs9Î)`ÏiBNà6În/§`ÏiBÈ@ö6s%br&ãNà6uÏ?ù'tƒÜ>#xyèø9$#ZptGøót/óOçFRr&urŸwšcrããèô±n@ÇÎÎÈ
Artinya: “Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.( Q.S. Az-Zumar: 55)
            Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa Ia adalah wajib. Dan Dia disini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib.
Dasar dalam Hadis:
Dimana dalam Hadis Riwayat Ahmad Ibn Hanbal yang artinya: “Sesuatu yang dipandang baik oleh ummat Islam, maka ia di hadapan Allah juga baik”.
            Hadis ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah.

C.    Pandangan Ulama Tentang Kehujjahan Istihsan Dalam Syari’ah
Ada tiga pandangan ulama tentang nilai istihsan sebagai hujjah:
1.     Pendapat dari Hanafiyah, Malikiyah dan Hanbaliyah yang menyatakan bahwa istihsan adalah dalil syara’. Dengan alasan:[3]
a.      Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum yang ternyata bahwa penggunaan qiyas, menerapkan yang umum atau dalil yang Kulliyah, kadang-kadang, didalam beberapa kasus menybabkan hilangnya kemaslahatan manusia karena kasus-kasus ini mempunyai ke khususan-ke khususan tersendiri, merupakan suatu keadailan dan rahmad bagi manusia, apabila dibuka jalan bagi mujtahid didalam memecahkan kasus ini mentarjih dalil agar tercapai kemaslahatan dan tertolak kemudharatan dengan kata lain menolak kemafasadatan dan meraih kemaslahatan. Jadi istihsan dugunakan untuk mendapatkan kemanfaatan dan menolak kemudharatan atau menemukan maslahat yang lebih kuat atau mudharat yang lebih sedikit.
b.     Istihsan ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap Nash-Nash syara’ yang menunjukkan bahwa Allah yang Maha bijaksana, berpindah dari sebagian kasus-kasus yang bisa digunakan qiyas atau umumnya Nash kepada hukum lain yang memberikan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan, misalnya Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih selain nama Allah. Dan Allah berfirman:

$yJ¯RÎ)tP§ymãNà6øn=tæsptGøŠyJø9$#tP¤$!$#urzNóss9ur͍ƒÌYÏø9$#!$tBur¨@Ïdé&¾ÏmÎ/ÎŽötóÏ9«!$#(Ç`yJsù§äÜôÊ$#uŽöxî8ø$t/Ÿwur7Š$tãIxsùzNøOÎ)Ïmøn=tã4¨bÎ)©!$#ÖqàÿxîíOŠÏm§ÇÊÐÌÈ

Artinya: “barangsiapa terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak melebihi batas, maka tidaklah ada dosa baginya ( Q.S. Al-Baqarah: 173)

2.     Ulama-ulama yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ dengan alasan sebagai berikut:
a.      Syari’at itu berupa Nash atau mengembalikan Nash kepada qiyas, maka dimanakah letaknya istihsan, dan istihsan bertentangan dengan firman Allah swt:

Ü=|¡øtsr&ß`»|¡RM}$#br&x8uŽøIヴßÇÌÏÈ
Artinya: “Adakah manusia menyangka bahwa ia akan dibiarkan percuma”. ( Q.S. Al-Qiyamah: 36)
b.     Banyak ayat-ayat Al-qur’an yang menyuruh taat kepada Allah swt dan taat kepada Rasul-Nya serta melarang untuk mengikuti hawa nafsu dan menyuruh kita kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi saw. apabila terjadi pertentangan hal ini sesuai dengan firmannya:

$pkšr'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&ur͐öDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrŠãsùn<Î)«!$#ÉAqߧ9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#ur̍ÅzFy$#4y7Ï9ºsŒ×Žöyzß`|¡ômr&ur¸xƒÍrù's?ÇÎÒÈ

Artinya: “kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang kemudian itu lebih utama bagimu dan lebih banyak akibatnya”. (Q.S. An-Nisa: 59)
c.      Nabi tidak pernah member fatwa dengan istihsan , dengan apa yang dianggap Beliau baik. Karena beliau tidak pernah memberi fatwa sesuai hawa nafsunya.
d.     Nabi menolak sahabat-sahabat yang berfatwa dengan istihsan atau apa yang dianggap baik, tidak menyetujui sahabat-sahabat yang membakar orang musyrik, atas dasar fatwa itulah yang mereka anggap baik.
e.      Istihsan tidak ada dhabitnya, tidak ada ukuran-ukuran mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang mujtahid suatu kasus, dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang dianggap baik sesuai dengan seleranya.
f.      Apabila istihsan diperbolehkan dalam berijtihad, dan tidak berdasarkan Nas atau tidak dikembalikan kepada Nash, maka istihsan boleh dilakukan sipa saja, meskipun tidak mengetahui Al-Qur’an atas alasan-alasan ini, Asy-Syafi’I berkesimpulan: “barangsiapa menetapkan hukum dengan istihsan berarti dia membuat syari’at sendiri.[4]

3.     Pendapat yang menyatakan bahwa istihsan adalah dalil syara’, akan tetapi bukan dalil yang mustaqil tetapi kembali kepada dalil syara’ yang lain sebab setelah diteliti kembali kepada maslahat. Pendapat ini dipegang antara lain Asy-Syaukaniyah. Sesungguhnya apabila kita teliti alasan-alasan imam syafi’I didalam menentang istihsan kemudian kita bandingkan dengan defenisi istihsan yang telah dikemukakan diatas tidak ada pertentangan yang prinsip. Alasannya baik mazhab Syafi’I maupun Hanafi apabila istihsan diartikan sebagai apa-apa yang dianggap baik oleh manusia saja sesuai dengan kenginan hawa nafsunya tanpa adanya dalil yang batil dan tidak bisa diterima. Apabila istihsan diartikan sebagai perpindahan dari suatu dalil kepada dalil lain yang lebih kuat maka pengertian semacam ini tidak ada yang akan menolaknya. Imam Asy-Syaukaniyah mengenai hal ini mengatakan bahwa orang yang mengambil istihsan sebagai dalil tidaklah ia semata-mata mendasarkan pendapatnya kepada perasaan dan syahwatnya tetapi ia kembali kepada apa yang ia ketahui tentang maksud syara’ secara keseluruhan.


D.    Penerapan Istihsan Dalam Ekonomi Keuangan
Contoh penerapan istihsan dalam ekonomi keuangan menurut Madzhab Hanafiyah bila seseorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air diatas tanah itu dan sebagainya, hal ini ditetapkan berdasarkan istihsan. Menurut qiyas jail hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.Sedangkan menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa menyewa.Pada sewa menyewa yang penting adalah pemindahan memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf yang penting pada waqah ialah  agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik.Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jail) maka tujuan dari waqaf tidak tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari asalnya yang lain, yaitu sewa menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan Illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi, karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainnya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jail kepada qiyas khafi yang disebut istihsan.[5]
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan  dengan istihsan. Menurut qiyas jail sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram dimunum karena sisa minuman yang bercampur dengan air liur binatang itu di qiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke minumnya.Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan binatang buas.Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedangkan mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.Karena itu sisa minuman burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula dengan air liurnya.Dalam hal ini dengan keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasarkan kedaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jail kepada qiyas khafi yang disebut istihsan.
Contoh kedua, syara’ melarang seseorang memperjualbelikkan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan.Hal ini berlaku pada seluruh jenis jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’ memberikan rukhsah (keinginan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya akan dikirim kemudian sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhsah kepada salam itu merepakan pengecualian dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz’i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.[6]
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafiyah, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan pada ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahah mursalahah tentulah melakukan istihsan, karena dua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanyasaja yang berlainan. Disamping madzhab Hanafi golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian madzhab Maliki dan sebagian madzhab Hanbali.
Yang menentang istihsan dan tidak tidak mnjadikannya sebagai dasar hujjah adalah madzhab Syafi’i.istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’I berkata “siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya. Sedangkan yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah swt”. Dalam buku risalah Ushuliyyah karangan beliau, dinyatakan: “perumpamaan orang yang menggunakan istihsan adalah seperti orang orang yang melakukan shalat yang menghadap kesuatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah ka’bah itu”.
Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat madzhab Hanafi berbeda dengan dari istihsan menurut pendapat madzhab Syafi’i. menurut madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena adanya suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu. Sedangkan menurut madzhab Syafi’I istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang paling enak.Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Oleh karena itu Asy-Sathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat menyaatakan: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt menciptakan syara’ dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Istihsan adalah keterkaitan dengan penerapan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari Nash, Ijma’ atau qiyas.Tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik.Dasar istihsan diambil dari Al-Qur’an dan Hadis. Golongan Imam Hanafi, Hanbali dan Maliki menyepakati adanya istihsan sedangkan yang menolak adanya istihsan adalah Imam Syafi’i. contoh penerapan istihsan dalam ekonomi keuangan adalah syara’ melarang seseorang memperjualbelikkan atau mengadakan janji tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya pada saat jual beli dilakukan, hal ini berlaku pada semacam jual beli dan perjaanjian yang disebut hukum kulli, tetapi syara’ memberikan rukhsah (keringanan)kepada pembelian barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan cara pembelian secara pemesanan (salam).









DAFTAR PUSTAKA

Aen, Nurol. 2000. Ushul Fiqh (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Kencana).
Syarifuddin, Amir. 2001. Ushul Fiqh (Jakarta: Logos).


[1]Nurol Aen, Shul Fiqh (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 157.
[2]Ibid.,hlm. 160.
[3]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 157.
[4]Ibid., hlm. 165.
[5]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 313.
[6]Ibid.,hlm. 315.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN