BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Istihsan sebagai metode dalam
berijtihad merupakan dalil hukum yang masih diperselisihkan penggunaannya
dikalangan ulama ushul fikih.Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat dalam
penggunaannya bukan hanya disebabkan oleh perbedaan dalam mengartikannya,
tetapi memang berbeda dalam menempatkannya sebagai suatu dalil yang berdiri
sendiri.
Istihsan sebagai mana makna dasar
katanya memang menimbulkan berbagai sudut pandang, terlebih dalam aplikasinya
direntang sejarah perdebatan melahirkan pendapat berbeda.Sebagian menyatakan
istihsan sebagai sumber hukum yang diakui kehujjahannya dan sebagian
menolak.Dalam konteks lebih luas, penerapan istihsan digunakan untuk
persoalan-persoalan kontemporer, khususnya berkaitan dengan bidang Muamalat Maliyyah.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian istihsan?
2. Apa saja dasar syari’ah penggunaan
istihsan?
3. Bagaimana pandangan ulama tentang
kehujjahan istihsan dalam syari’ah?
C.
Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa pengertian istihsan
2. Untuk mengetahui apa dasar syari’ah
penggunaan istihsan
3. Untuk mengetahui kehujjahan istihsan
menurut pandangan ulama
ISTIHSAN DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI KEUANGAN
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Istihsan
Di dalam bahasa Arab, al-Istihsandiartikan
dengan menganggap sesuatu yang baik atau mengikuti sesuatu yang baik.
Adapun defenisi al-Istihsan
dikalangan para ahli ushul berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya masing-masingdan
kemampuannya menyimpulkan pengertian al-Istihsan di dalam kata-kata.
Diantaranya al-Bazdawiy memberi
definisi al-Istihsan adalah meninggalkan keharusan meninggalkan qiyas dan
berpindah kepada qiyas yang lebih kuat atau men-takhshish qiyas dengan dalil
yang lebih kuat dari qiyas tadi.Adapun menurut Al-Nasafiya pengertian
al-Istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas menuju kepada qiyas yang lebih kuat
atau al-Istihsan adalah dalil yang berlawanan dengan qiyas jaliy.
Menurut Abdul Hasan
al-Karkhiy pengertian al-Istihsan adalah perpindahan si mujahid didalam
memberikan hukum dalam suatu masalah seperti yang sudah diberikan hukum
padanya, kepada hukum yang berbeda dengan hukum yang sudah ditentukan tersebut
karena ada segi yang lebih kuat yang menyebabkan perpindahan dari hukum yang
pertama.Defenisi-defenisi tersebut adalah defenisi dari ulama-ulama Madzhab
Hanafiya.
Sedangkan ulama-ulama dari Madzhab
Malikiya memberikan pengertian al-Istihsan menurut Ibn Arabiy adalah
meninggalkan ketetapan dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan karena
ada pertentangan yang menentangnya di dalam sebagian ketetapannya. Menurut
Al-Syathibiy al-Istihsan adalah menurut pendapatku dan menurut pendapat ulama
Hanafiyah adalah beramal dengan dalil yang lebih kuat diantara dua dalil.
Menurut Ibn Rusyd al-Istihsan adalah meninggalkan suatu qiyas yang membawakan
pada yang berlebih-lebihan atau melampaui batas di dalam hukum, dan berpindah
kepada hukum lain yang merupakan kekecualian.
Menurut Ulama Hanbaliyah memberikan
defenisi yang paling baik al-Istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum
tentang suatu kasus Karena ada dalil syara’ yang khusus.
Dari defenisi-defenisi diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa mereka sepakat untuk menerima dua hal:
1. Ahli ushul fikih dari Madzhab Hanafiyah
dan Hanbaliyah, sekalipun berbeda didalam memformulasikan kata-katanya, namun
merek sepakat bahwa Istihsan adalah perpindahan dari suatu hukum kepada hukum
lainnya dalam sebagian kasus atau meninggalkan suatu hukum karena adanya hukum
yang lebih kuat atau pengecualian yang bersifat jus’iyyah dari hukum yang Kulliyahatau
menghususkan sesuatu hukum yang umum dengan hukum yang khusus. Mereka sepakat
pula bahwa perpindahan ini harus ada sandarannya yang berupa dalil syara’ yang
berupa Nash atau Ma’qulnya Nash atau Mashlahat atau ‘Urf yang shahih.
Dalil-dalil sandaran ini disebut Wajh
al-istihsan atau sanad al-istihsan.
2. Perpindahan ini kadang-kadang dari hukum
yang dihasilkan dengan menggunakan umumnya Nash dan kadang-kadang dari hukum
yang dihasilkan dengan menggunakan qiyas dan kadang-kadang dari hukum yang
merupakan penerapan kaidah-kaidah yang Kulliyah.
Oleh karena itu barangkali, dapat disimpulkan bahwa istihsan adalah perpindahan
dari suatu hukum yang ditetapkan oleh dalil syara’ dalam suatu kasus tertentu
kepada hukum lain, karena adanya dalil syara’ yang mengharuskan perpindahan
sesuai dengan jiwa syari’at Islam.
B.
Dasar Syari’ah Penggunaan Istihsan
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah,
dan sebagian Hambaliyah, al-Istihsan merupakan dalil yang kuat dalam menetapkan
hukum syara’. Alasan yang mereka kemukakan terdapat dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah:
Dasar dalam Al-Qur’an:
tûïÏ%©!$#ur(#qç7t^tGô_$#|Nqäó»©Ü9$#br&$ydrßç7÷èt(#þqç/$tRr&urn<Î)«!$#ãNßgs93uô³ç6ø9$#4÷Åe³t6sùÏ$t7ÏãÇÊÐÈ
tûïÏ%©!$#tbqãèÏJtFó¡otAöqs)ø9$#tbqãèÎ6Fusùÿ¼çmuZ|¡ômr&4y7Í´¯»s9'ré&tûïÏ%©!$#ãNßg1yydª!$#(y7Í´¯»s9'ré&uröNèd(#qä9'ré&É=»t7ø9F{$#ÇÊÑÈ
Artinya: “Dan
orang-orang yang menjauhi tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada
Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah gambar
gembira itu kepada hamba-hamb ku”. “(yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan
lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai
akal sehat”.( Q.S. Az-Zumar: 17-18)
Ayat
ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hamba-Nya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditunjukkan kecuali
untuk sesuatu yang di syari’atkan oleh Allah
(#þqãèÎ7¨?$#urz`|¡ômr&!$tBtAÌRé&Nä3øs9Î)`ÏiBNà6În/§`ÏiBÈ@ö6s%br&ãNà6uÏ?ù'tÜ>#xyèø9$#ZptGøót/óOçFRr&urwcrããèô±n@ÇÎÎÈ
Artinya: “Dan
ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum
datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”.( Q.S. Az-Zumar: 55)
Menurut
mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa Ia adalah wajib. Dan Dia disini tidak ada hal
lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib.
Dasar dalam Hadis:
Dimana dalam Hadis Riwayat Ahmad Ibn Hanbal yang
artinya: “Sesuatu yang dipandang baik
oleh ummat Islam, maka ia di hadapan Allah juga baik”.
Hadis
ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal
sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah.
C.
Pandangan Ulama Tentang Kehujjahan Istihsan Dalam
Syari’ah
Ada tiga pandangan ulama tentang
nilai istihsan sebagai hujjah:
1. Pendapat dari Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanbaliyah yang menyatakan bahwa istihsan adalah dalil syara’. Dengan alasan:
a. Istihsan yang ditetapkan berdasarkan
penelitian terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum yang ternyata bahwa penggunaan
qiyas, menerapkan yang umum atau dalil yang Kulliyah,
kadang-kadang, didalam beberapa kasus menybabkan hilangnya kemaslahatan manusia
karena kasus-kasus ini mempunyai ke khususan-ke khususan tersendiri, merupakan
suatu keadailan dan rahmad bagi manusia, apabila dibuka jalan bagi mujtahid
didalam memecahkan kasus ini mentarjih dalil agar tercapai kemaslahatan dan
tertolak kemudharatan dengan kata lain menolak kemafasadatan dan meraih
kemaslahatan. Jadi istihsan dugunakan untuk mendapatkan kemanfaatan dan menolak
kemudharatan atau menemukan maslahat yang lebih kuat atau mudharat yang lebih
sedikit.
b. Istihsan ditetapkan berdasarkan
penelitian terhadap Nash-Nash syara’ yang menunjukkan bahwa Allah yang Maha
bijaksana, berpindah dari sebagian kasus-kasus yang bisa digunakan qiyas atau
umumnya Nash kepada hukum lain yang memberikan kemaslahatan dan menolak
kemafsadatan, misalnya Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan apa
yang disembelih selain nama Allah. Dan Allah berfirman:
$yJ¯RÎ)tP§ymãNà6øn=tæsptGøyJø9$#tP¤$!$#urzNóss9urÍÌYÏø9$#!$tBur¨@Ïdé&¾ÏmÎ/ÎötóÏ9«!$#(Ç`yJsù§äÜôÊ$#uöxî8ø$t/wur7$tãIxsùzNøOÎ)Ïmøn=tã4¨bÎ)©!$#ÖqàÿxîíOÏm§ÇÊÐÌÈ
Artinya: “barangsiapa terpaksa, sedangkan ia tidak
menginginkannya dan tidak melebihi batas, maka tidaklah ada dosa baginya (
Q.S. Al-Baqarah: 173)
2. Ulama-ulama yang menolak istihsan
sebagai dalil syara’ dengan alasan sebagai berikut:
a. Syari’at itu berupa Nash atau
mengembalikan Nash kepada qiyas, maka dimanakah letaknya istihsan, dan istihsan
bertentangan dengan firman Allah swt:
Ü=|¡øtsr&ß`»|¡RM}$#br&x8uøIã´ßÇÌÏÈ
Artinya: “Adakah manusia menyangka bahwa ia akan
dibiarkan percuma”. ( Q.S. Al-Qiyamah: 36)
b. Banyak ayat-ayat Al-qur’an yang menyuruh
taat kepada Allah swt dan taat kepada Rasul-Nya serta melarang untuk mengikuti
hawa nafsu dan menyuruh kita kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi saw.
apabila terjadi pertentangan hal ini sesuai dengan firmannya:
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#Í<'ré&urÍöDF{$#óOä3ZÏB(bÎ*sù÷Läêôãt»uZs?Îû&äóÓx«çnrãsùn<Î)«!$#ÉAqߧ9$#urbÎ)÷LäêYä.tbqãZÏB÷sè?«!$$Î/ÏQöquø9$#urÌÅzFy$#4y7Ï9ºs×öyzß`|¡ômr&ur¸xÍrù's?ÇÎÒÈ
Artinya: “kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(As-Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang
kemudian itu lebih utama bagimu dan lebih banyak akibatnya”. (Q.S. An-Nisa:
59)
c. Nabi tidak pernah member fatwa dengan
istihsan , dengan apa yang dianggap Beliau baik. Karena beliau tidak pernah
memberi fatwa sesuai hawa nafsunya.
d. Nabi menolak sahabat-sahabat yang
berfatwa dengan istihsan atau apa yang dianggap baik, tidak menyetujui
sahabat-sahabat yang membakar orang musyrik, atas dasar fatwa itulah yang
mereka anggap baik.
e. Istihsan tidak ada dhabitnya, tidak ada
ukuran-ukuran mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang
mujtahid suatu kasus, dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang dianggap
baik sesuai dengan seleranya.
f. Apabila istihsan diperbolehkan dalam
berijtihad, dan tidak berdasarkan Nas atau tidak dikembalikan kepada Nash, maka
istihsan boleh dilakukan sipa saja, meskipun tidak mengetahui Al-Qur’an atas
alasan-alasan ini, Asy-Syafi’I berkesimpulan: “barangsiapa menetapkan hukum
dengan istihsan berarti dia membuat syari’at sendiri.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa istihsan
adalah dalil syara’, akan tetapi bukan dalil yang mustaqil tetapi kembali
kepada dalil syara’ yang lain sebab setelah diteliti kembali kepada maslahat.
Pendapat ini dipegang antara lain Asy-Syaukaniyah. Sesungguhnya apabila kita
teliti alasan-alasan imam syafi’I didalam menentang istihsan kemudian kita
bandingkan dengan defenisi istihsan yang telah dikemukakan diatas tidak ada
pertentangan yang prinsip. Alasannya baik mazhab Syafi’I maupun Hanafi apabila
istihsan diartikan sebagai apa-apa yang dianggap baik oleh manusia saja sesuai
dengan kenginan hawa nafsunya tanpa adanya dalil yang batil dan tidak bisa
diterima. Apabila istihsan diartikan sebagai perpindahan dari suatu dalil
kepada dalil lain yang lebih kuat maka pengertian semacam ini tidak ada yang
akan menolaknya. Imam Asy-Syaukaniyah mengenai hal ini mengatakan bahwa orang
yang mengambil istihsan sebagai dalil tidaklah ia semata-mata mendasarkan
pendapatnya kepada perasaan dan syahwatnya tetapi ia kembali kepada apa yang ia
ketahui tentang maksud syara’ secara keseluruhan.
D.
Penerapan Istihsan Dalam Ekonomi Keuangan
Contoh penerapan istihsan dalam
ekonomi keuangan menurut Madzhab Hanafiyah bila seseorang mewaqafkan sebidang
tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak
membuat saluran air diatas tanah itu dan sebagainya, hal ini ditetapkan
berdasarkan istihsan. Menurut qiyas jail hak-hak tersebut tidak mungkin
diperoleh, karena mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting
ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.Bila waqaf diqiyaskan
kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.Sedangkan menurut
istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa
menyewa.Pada sewa menyewa yang penting adalah pemindahan memperoleh manfaat
dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf
yang penting pada waqah ialah agar
barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat
dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik.Jika waqaf itu diqiyaskan
kepada jual beli (qiyas jail) maka tujuan dari waqaf tidak tercapai, karena
pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari
asalnya yang lain, yaitu sewa menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan
Illatnya yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah
qiyas khafi, karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainnya tujuan waqaf,
maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jail kepada qiyas khafi yang disebut
istihsan.
Contoh lain adalah mengenai sisa
minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan sebagainya
adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan. Menurut qiyas jail sisa
minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram
dimunum karena sisa minuman yang bercampur dengan air liur binatang itu di
qiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya,
sehingga air liurnya masuk ke minumnya.Menurut qiyas khafi bahwa burung buas
itu berbeda mulutnya dengan binatang buas.Mulut binatang buas terdiri dari
daging yang haram dimakan, sedangkan mulut burung buas merupakan paruh yang
terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan
najis.Karena itu sisa minuman burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya
yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya, demikian pula dengan air
liurnya.Dalam hal ini dengan keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas
yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasarkan kedaan inilah ditetapkan
perpindahan dari qiyas jail kepada qiyas khafi yang disebut istihsan.
Contoh kedua, syara’ melarang
seseorang memperjualbelikkan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang
yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan.Hal ini berlaku pada
seluruh jenis jual beli dan perjanjian yang disebut hukum kulli. Tetapi syara’
memberikan rukhsah (keinginan) kepada pembelian barang dengan kontan tetapi
barangnya akan dikirim kemudian sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau
pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk
memudahkan lalu lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhsah kepada
salam itu merepakan pengecualian dari hukum kulli dengan menggunakan hukum
juz’i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam
masyarakat.
Yang berpegang dengan dalil
istihsan ialah Madzhab Hanafiyah, menurut mereka istihsan sebenarnya semacam
qiyas khafi atas qiyas jali atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu
peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan pada ketentuan umum kepada
ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut
mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahah
mursalahah tentulah melakukan istihsan, karena dua hal itu pada hakekatnya
adalah sama, hanya namanyasaja yang berlainan. Disamping madzhab Hanafi
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian madzhab Maliki dan
sebagian madzhab Hanbali.
Yang menentang istihsan dan tidak
tidak mnjadikannya sebagai dasar hujjah adalah madzhab Syafi’i.istihsan menurut
mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam
Syafi’I berkata “siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah
menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya. Sedangkan
yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah swt”. Dalam buku risalah
Ushuliyyah karangan beliau, dinyatakan: “perumpamaan orang yang menggunakan
istihsan adalah seperti orang orang yang melakukan shalat yang menghadap
kesuatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah ka’bah tanpa ada
dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah ka’bah itu”.
Jika diperhatikan alasan-alasan
yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian istihsan menurut mereka
masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut pendapat madzhab Hanafi
berbeda dengan dari istihsan menurut pendapat madzhab Syafi’i. menurut madzhab
Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena adanya suatu kepentingan,
bukan berdasarkan hawa nafsu. Sedangkan menurut madzhab Syafi’I istihsan itu
timbul karena rasa kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang paling
enak.Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi.
Oleh karena itu Asy-Sathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat menyaatakan: “Orang
yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan
keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui
bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt menciptakan syara’ dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Istihsan adalah keterkaitan dengan
penerapan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari
Nash, Ijma’ atau qiyas.Tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat
diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik.Dasar istihsan diambil dari Al-Qur’an dan Hadis. Golongan Imam
Hanafi, Hanbali dan Maliki menyepakati adanya istihsan sedangkan yang menolak
adanya istihsan adalah Imam Syafi’i. contoh penerapan istihsan dalam ekonomi
keuangan adalah syara’ melarang seseorang memperjualbelikkan atau mengadakan
janji tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya pada saat jual beli
dilakukan, hal ini berlaku pada semacam jual beli dan perjaanjian yang disebut
hukum kulli, tetapi syara’ memberikan rukhsah (keringanan)kepada pembelian
barang dengan kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian sesuai dengan
waktu yang telah dijanjikan, atau dengan cara pembelian secara pemesanan
(salam).
DAFTAR PUSTAKA
Aen,
Nurol. 2000. Ushul Fiqh (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada).
Djalil,
Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fikih
(Jakarta: Kencana).
Syarifuddin,
Amir. 2001. Ushul Fiqh (Jakarta:
Logos).
Komentar
Posting Komentar