MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

Makalah Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan Dalam Era Digital


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kebudayaan yang merupakan cetak biru bagi kehidupan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, adalah perangkat –perangkat acuan yan berlaku umum dan menyeluruh daalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat pendukun kebudayaan tersebut.
Perangkat-perangkat pengetahuan itu sendiri memebentuk sebuah sistem yang terdiri atas satuan-satuan yang berbeda-beda secara bertingkat-tingkat yang fungsional hubungannya satu sama lainnya secara keseluruhan.
Karena dijadikan kerangka bertondak dan bertingkah laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.tradisis adalah sesuatu yan sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehiudupan masyarakat pendukungnya.
Era global bertepatan dengan milenium iii. era global ditandaioleh proses kehidupan mendunia, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintasbudaya. kondisis ini mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia.mobilitas menjadi cepat oleh adanya kemajuan bidang transportasi. kemudian dengan dukungan teknik komunikasi yang canggih, manusia dengan mudah dapat berhubungan dan memperoleh informasi.
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.

         B.  Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan dalam era digital?

C.    Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan dalam era digital.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tradisi Keagamaan dan Kebudayaan
Herskouits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain. Sementara, menurut Andreas Eppink kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan, serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain.Sementara itu Corel R. E dan Melvin E. (seorang ahli antropologi – budaya) memberikan konsep kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku yang selah merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu (yang meliputi) hal – hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan, pekerjaan, larangan-larangan dan sebagainya.[1]
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat sebaga aspek – aspek dar kebudayaan itu sendiri yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Mitos lahir dari tradisi yang sudah mengakar kuat disuatu masyarakat, sementara agama dipahami berdasarkan kultus setempat sehingga mempengaruhi tradisi.
Tradisi menurut Parsudi Suparlan merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dan sulit berubah. Meredith Mc Guire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara garis besarnya tradisi kerangka acuan norma dalam masyarakat disebut pranata. Pranata ini ada yang bercorak rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan komplik yang menekankan legalitas, seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi, dan pasar berbagai hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Para ahli sosiologi menyebutnya sebagai pranata sekunder.
Dari sudut pandang sosiologi, tradisi merupakan suatu pranata sosial, karena tradisi dijadikan kerangka acuan norma ini ada yang bersifat sekunder dan primer. Pranata sekunder ini bersifat fleksibel mudah berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan, sedangkan pranata primaer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, serta kelestarian masyarakatnya, karena pranata ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar dan hakiki dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu pranata ini tidak dengan mudah dapat berubah begitu saja.[2]
Mengacu pada penjelasan di atas, tradisi keagamaan termasuk ke dalam pranata primer, karena tradisi keagamaan ini mengadung unsur-unsur yang berkaitan dengan ketuhanan atau keyakinan, tindakan keagamaan, perasaan – perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci, dan keyakinan terhadap nilai – nilai yang hakiki. Dengan demikian, tradisi keagamaan sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah unsur – unsur yang memiliki nilai – nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan masyarakat. Tradisi keagamaan mengadung nilai-nilai yang sangat penting yang berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat, atau pribadi – pribadi pemeluk agama tersebut.
Dalam suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka secara umum pranata keagamaan menjadi salah satu pranata kebudayaan yang ada di masyarakat tersebut. Dalam konteks seperti ini terlihat hubungan antara tradisi keagamaan dengan kebudayaan masyarakat tersebut. Bila kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, maka dalam masyarakat pemeluk agama perangkat – perangkat yang berlaku umum dan menyeluruh sebagai norma – norma kehidupan akan cenderung mengandung muatan keagamaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, hubungan antara kegamaan dengan kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan dalam suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya dalam kebudayaan.
                                                                                      
B.    Tradisi Keagamaan dan Sikap Keagamaan
Tradisi keagamaan dan sikap keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang. Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.[3]
Sikap keagamaan yang terbentuk oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, tradisi keagamaan dalam pandangan Robert C. Monk memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda. Yaitu bagi masyarakat maupun individu. Fungsi yang pertama adalah sebagai kekuatan yang mampu membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan fungsi yang kedua yaitu tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan dalam masyarakat atau diri individu, bahkan dalam situasi terjadinya konfilik sekalipun.
Sikap dan keberagamaan seseorang atau sekelompok orang bisa berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan budaya dimana agama itu hidup dan berkembang. Demikian pula budaya mengalami perkembangan dan tranformasi. Transformasi budaya merupakan perubahan yang menyangkut nilai-nilai dan struktural sosial. Proses perubahan sturuktur sosial akan menyangkut masalah-masalah disiplin sosial, solidaritas sosial, keadilan sosial, system sosial, mobilitas sosial dan tindakan-tindakan keagamaan. Tranformasi budaya yang tidak berakar pada nilai budya bangsa yang beragam akan mengendorkan disiplin sosial dan solidaritas sosial, dan pada gilirannya unsur keadilan sosial akan sukar diwujudkan.[4]
C.    Kebudayaan dalam Era Digital dan Pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan
Era global umumnya digambarkan sebagai kehidupan masyarakat dunia yang menyatu. Karena kemajuan teknologi, manusia antarnegara jadi mudah berhubungan baik melalui kunjungan secara fisik, karena alat transportasi sudah bukan merupakan penghambat bagi manusia untuk melewati ke berbaai tempat di seantero bumi ini, ataupun melalui pemanfaatan perangkat komunikasi.[5]
Era global yang ditopang oleh kemajuan dan kecanggihan teknologi menjadikan manusia seakan hidup dalam satu kota, kota dunia. Batas negara sudah tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling berhubungan. Kehidupan manusia di era global saling pengaruh mempengaruhi, sehingga segala sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai milik suatu bangsa tertentu akan terangkat menjadi milik bersama. Dibayangkan bahwa buah apel dan anggur sebagai tanaman wilayah subtropis akan dapat dibeli dan dikonsumsi oleh mereka yang tinggal di daerah yang beriklim dingin atau masyarakat di wilayah tropis. Dan mungkin saja tari pendet yang berasal dari budaya Bali akan dapat ditonton atau dilakonkan oleh para penari berkebangsaan Denmark atau Brazilia. Demikian pula gejala penyakit seperti AIDS akan menyebar ke seluruh dunia, sebagai dampak dari kunjungan wisata antarbangsa.
Era global ditandai oleh proses kehidupan mendunia, kamajuan IPTEK terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup manusia, menjadikan dunia semakin transparan. Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh (permissiveness). Apa yang sebelumnya dianggap sebagai tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap biasa. Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengalami proses perubahan sistem nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakatnya. Termasuk ke dalamnya sistem nilai yang bersumber dari ajaran agama.[6]
Tetapi, menurut Davidc. Korten, ada tiga krisis yang bakal dihadapin manusia secara global. Kesadaran akan krisis ini sudah muncul sekitar tahun 1980-an, yaitu: kemiskinan, penanganan lingkungan yang salah serta kekerasan sosial. Gejala tersebut akan menjadi mimpi buruk kemanusiaan di abad ke 21 ini. Selanjutnya ia menginventarisasi ada 1 permasalahan yang secara global akan dihadapi manusia, yaitu:[7]

1.     Pemulihan lahan kosong yang kritis
2.     Mengkonservasi dan mengalokasi sumber-sumber air yang langka
3.     Mengurangi polusi udara
4.     Memperkuat dan memelihara lahan pertanian kecil
5.     Mengurangi tingkat pengangguran yang kronis
6.     Jaminan terhadap pemeliharaan hak-hak asasi manusia
7.     Penyediaan kredit baik keigatan ekonomi berskala kecil
8.     Usaha pengurangan persenjataan dan militerisasi
9.     Pengawasan terhadap suhu udara secara global
10.  Penyediaan tempat tingal baik tunawisma
11.  Pertemuan yang membutuhkan pendidikan dua bahasa
12.  Pengurangan tingkat kelaparan, tuna aksara, dan tingkat kematian bayi untuk menambah jumlah penduduk
13.  Mengurangi tingkat kehamilan remaja
14.  Mengatur pertambahan penduduk dan pengaturan perimbangannya
15.  Meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap permasalahan yang menyangkut perkembangan global
16.  Peningkatan kewaspadaan terhadap pengrusakan alam
17.  Menyediakan fasilitas bagi kesepakatan untuk mengurangi berbagai ketegangan regional yang disebabkan perbedaan rasial, etnis dan agama.
18.  Menghilangkan atau membersihkan hujan asam
19.  Penyembuhan terhadap korban penyakit AIDS serta mengawasi penyebaran berjangkitnya wabah tersebut
20.  Menempatkan kembali atau memulangkan para pengungsi
21.  Pengawasan terhadap lalu lintas perdagangan alkohol dan penyalahgunaan obat bius

Keseluruhan permasalahan itu menurut David C. Korten merupakan contoh ilustrasi yang harus dihadapi bersama oleh seluruh negara di dunia ini tanpa memandang letak geografis maupun tingkat perkembangannya. David melihat gejala-gejala dimaksud akan dialami oleh masyarakat dunia secara menyeluruh sebagai dampak dari globalisasi.[8]
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan, barangkali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannen Baum perubahan sikap akan terjadi jika terjadi persamaaan persepsi pada diri sesorang atau masyarakat terhadap sesuatu. Hal Ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi dengan segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka mereka akan menerimanya.
Secara fenomena, kebudayaan dalam era global mengarah pada nilia-nilai sekular yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan, khususnya di kalangan generasi muda. Meskipun dalam sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam kesemarakannya, namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan para generasi muda. Paling tidak ada dua kecenderungan yang tampak. Pertama, muncul sikap toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama. Kedua, muncul sikap fanatik keagamaan. Sikap toleransi di jumpai di kalangan masyarakat moderat, sedangkan sikap fanatik sering diidentikkan dengankelompok fundamental.
Era global dan milenium III seakan menawarkan alternatif kehidupan baru bagi manusia, yakni kekaguman terhadap hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang menawarkan kemudahan dan kenikmatan bendawi. Di pihak lain, manusia juga dihadapkan pada upaya untuk mempertahankan sistem nilai yang mereka anut.[9]
Nilai sebagai sesuatu yang diangap benar dan diyakini, serta perlu dipertahankan. Sementara itu, merekapun memerlukan produk teknologi yang menjanjikan kemudahan, keamanan dan kenyamanan hidup. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan keraguan dan kecemasan kemanusiaan. dalam situasi yang cemas ini manusia mencari pilhan yang diyakini dapat menentramkan jiwanya.[10]
Dalam situasi seperti itu, bisa saja terjadi berbagai kemungkinan. Pertama, mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan, kemugkinan akan lebih meyakini kebenaran agama. Kedua, golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekososngan jiwa. Oleh karena itu, adakalanya mereka melarikan dirinya ke agama-agama yang memiliki tradisi mistis.
Namun, kecenderungan batin dapat pula mendorong manusia untuk memperturutkan khayalan semuanya. Golongan ini mungkn saja akan tetap bertahan dan larut dalam keterikatannya dengan pengaguman terhadap kecanggihan teknologi. Kecemasan batin dinetralisasi dalam kenikmatan duniawi. Pelarian diri ke alkohol dan obat bius, walaupun bersifat semu, dianggap mampu menentramkan kegelisahan batin. Karena sifatnya sementara, maka golongan yang “salah pilih”  ini akan menghancurkan kehidupannya.
Adapun kecenderungan berikutnya adalah dengan menciptakan “agama” baru melalui berbagai ritus dan upacara yang disakralkan. Bila mereka dapat mempengaruhi dan mengumpulkan banyak pengikut, akan muncul semacam gerakan keagamaan. Berbagai macam gerakan keagamaan seperti ini pada hakikatnya merupakan tindakan kompensatif. Hanya sekedar menentramkan batin, mengisi jiwa yang mengalami kekosongan nilai-nilai ruhaniah. Dalam kondisi kesendirian kekosongan itu terasa menyakitkan, hingga perlu mengajak orang lain secara bersama-sama larut dalam upacara yang mereka rekayasa.
Era global diperkirakan memunculkan tiga kecenderungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecenderungan pertama, berupa arus kembali ke tradisi keagamaan yang liberal. Kedua, kecenderungan ke tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan, kecenderungan ketiga, adalah munculnya gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.











BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia yang di dalamnya terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat sebagai aspek dari kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat karena kebudayaan merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan pedoman hidup oleh masyarakat.
Tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Secara fenomina, kebudayaan dalam era digital mengarah kepada nilai-nilai sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan dampak globalisasi dapat dilihat melalui hubungan dengan perubahan sikap, seperti hilangnya pegangan hidup yang bersumber dari tradisi masyarakat dan bersumber dari ajaran agama.

A.    Kritik dan Saran

Demikian pembahasan dari makalah ini. Kami sebagai penulis berharap semoga pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi pembaca. Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali kekurangannya, dan kami berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam tugas selanjutnya. Sekian dan terima kasih.









DAFTAR PUSTAKA

Atiqullah, “Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan Dalam Era Digital”, Jurnal Miqot, Volume 02, No.3, Mei 2019.

Burhanuddin, “Pengaruh Budaya Pada Jiwa Beragama Pada Era Digital”, Jurnal Miqot, Volume 26, No.1, Mei 2019.

Djamaluddin Ancok, “Pendidikan dan Kebudayaan”, http:www.kompasiana.co.id, diakses 06 mei 2019 pukul 08.00 wib.

Drajat, Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1970.

Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2010.

Mukti Ali, “Pengaruh Budaya Pada Jiwa Yang Beragama Pada Era Diital”, http:www.kompasiana.co.id, diakses 06 Mei 2019 pukul 08.00 Wib.

Nasori, Fuat, Agama dan Masyarakat:Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta: Rajawali,1975.




[1] Atiqullah, “Pengaruh Kebudayaan Terhadap Jiwa Keagamaan Dalam Era Digital”, Jurnal Miqot, Volume 02, No.3, Mei 2019, Hlm. 125-127.
[2] Burhanuddin, “Pengaruh Budaya Pada Jiwa Beragama Pada Era Digital”, Jurnal Miqot, Volume 26, No.1, Mei 2019, Hlm.125-147.
[3] Mukti Ali, “Pengaruh Budaya Pada Jiwa Yang Beragama Pada Era Diital”, http:www.kompasiana.co.id, diakses 06 Mei 2019 pukul 08.00 Wib.
[4] Djamaluddin Ancok, “Pendidikan dan Kebudayaan”, http:www.kompasiana.co.id, diakses 06 mei 2019 pukul 08.00 wib.
               [5] Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2010), Hlm.231-232.
[6] Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta:Bulan Bintang, 1970), Hlm. 120-123.
               [7] Jalaluddin, Psikologi Agama, hlm. 232-233.
[8] Jalaluddin, Psikologi Agama, hlm.236
[9] Fuat Nasori, Agama dan Masyarakat:Suatu Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: Rajawali,1975)
[10] Jalaluddin, Psikologi Agama, hlm.238-239.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN