BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Kebudayaan yang merupakan cetak biru bagi kehidupan
atau pedoman bagi kehidupan masyarakat, adalah perangkat –perangkat acuan yan
berlaku umum dan menyeluruh daalam menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
warga masyarakat pendukun kebudayaan tersebut.
Perangkat-perangkat
pengetahuan itu sendiri memebentuk sebuah sistem yang terdiri atas
satuan-satuan yang berbeda-beda secara bertingkat-tingkat yang fungsional
hubungannya satu sama lainnya secara keseluruhan.
Karena dijadikan kerangka bertondak dan bertingkah
laku maka kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.tradisis
adalah sesuatu yan sulit berubah, karena sudah menyatu dalam kehiudupan
masyarakat pendukungnya.
Era global bertepatan dengan milenium iii. era
global ditandaioleh proses kehidupan mendunia, kemajuan ilmu pengetahuan, dan
teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi serta terjadinya
lintasbudaya. kondisis ini mendukung terciptanya berbagai kemudahan dalam hidup
manusia.mobilitas menjadi cepat oleh adanya kemajuan bidang transportasi.
kemudian dengan dukungan teknik komunikasi yang canggih, manusia dengan mudah
dapat berhubungan dan memperoleh informasi.
Sikap keagamaan yang terbentuk
oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang
dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut
mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap
segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan dalam era digital?
C. Tujuan Penulisan
Untuk
mengetahui pengaruh kebudayaan terhadap jiwa keagamaan dalam era digital.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tradisi
Keagamaan dan Kebudayaan
Herskouits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari
satu generasi ke generasi yang lain. Sementara, menurut Andreas Eppink
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai, norma, ilmu pengetahuan,
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius dan lain-lain.Sementara
itu Corel R. E dan Melvin E. (seorang ahli antropologi – budaya) memberikan
konsep kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku yang selah
merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu (yang meliputi) hal –
hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama,
kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan, pekerjaan, larangan-larangan dan
sebagainya.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan
menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam
kebudayaan tersebut terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat
sebaga aspek – aspek dar kebudayaan itu sendiri yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian,
kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan sistem nilai tertentu yang
dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut. Karena
dijadikan kerangka acuan dalam bertindak dan bertingkah laku, maka kebudayaan
cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Mitos lahir dari tradisi yang sudah mengakar kuat
disuatu masyarakat, sementara agama dipahami berdasarkan kultus setempat
sehingga mempengaruhi tradisi.
Tradisi menurut Parsudi Suparlan
merupakan unsur sosial budaya yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat
dan sulit berubah. Meredith Mc Guire melihat bahwa dalam masyarakat pedesaan
umumnya tradisi erat kaitannya dengan mitos dan agama.
Secara garis besarnya tradisi kerangka
acuan norma dalam masyarakat disebut pranata. Pranata ini ada yang bercorak
rasional, terbuka dan umum, kompetitif dan komplik yang menekankan legalitas,
seperti pranata politik, pranata pemerintahan, ekonomi, dan pasar berbagai
hukum dan keterkaitan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Para ahli
sosiologi menyebutnya sebagai pranata sekunder.
Dari sudut pandang sosiologi,
tradisi merupakan suatu pranata sosial, karena tradisi dijadikan kerangka acuan
norma ini ada yang bersifat sekunder dan primer. Pranata sekunder ini bersifat
fleksibel mudah berubah sesuai dengan situasi yang diinginkan, sedangkan
pranata primaer berhubungan dengan kehormatan dan harga diri, serta kelestarian
masyarakatnya, karena pranata ini merupakan kerangka acuan norma yang mendasar
dan hakiki dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu
pranata ini tidak dengan mudah dapat berubah begitu saja.
Mengacu pada penjelasan di atas, tradisi keagamaan termasuk ke dalam
pranata primer, karena tradisi keagamaan ini mengadung unsur-unsur yang
berkaitan dengan ketuhanan atau keyakinan, tindakan keagamaan, perasaan –
perasaan yang bersifat mistik, penyembahan kepada yang suci, dan keyakinan
terhadap nilai – nilai yang hakiki. Dengan demikian, tradisi keagamaan
sulit berubah, karena selain didukung oleh masyarakat juga memuat sejumlah
unsur – unsur yang memiliki nilai – nilai luhur yang berkaitan dengan keyakinan
masyarakat. Tradisi keagamaan mengadung nilai-nilai yang sangat penting yang
berkaitan erat dengan agama yang dianut masyarakat, atau pribadi – pribadi
pemeluk agama tersebut.
Dalam suatu masyarakat yang warganya terdiri atas pemeluk agama, maka
secara umum pranata keagamaan menjadi salah satu pranata kebudayaan yang ada di
masyarakat tersebut. Dalam konteks seperti ini terlihat hubungan antara tradisi
keagamaan dengan kebudayaan masyarakat tersebut. Bila kebudayaan sebagai
pedoman bagi kehidupan masyarakat, maka dalam masyarakat pemeluk agama
perangkat – perangkat yang berlaku umum dan menyeluruh sebagai norma – norma kehidupan
akan cenderung mengandung muatan keagamaan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, hubungan antara kegamaan dengan
kebudayaan terjalin sebagai hubungan timbal balik. Makin kuat tradisi keagamaan
dalam suatu masyarakat akan makin terlihat peran akan makin dominan pengaruhnya
dalam kebudayaan.
B.
Tradisi
Keagamaan dan Sikap Keagamaan
Tradisi keagamaan dan sikap
keagamaan saling mempengaruhi, sikap keagamaan mendukung terbentuknya tradisi
keagamaan, sedangkan tradisi keagamaan sebagai lingkungan kehidupan turut
memberi nilai-nilai, norma-norma pola tingkah laku keagamaan kepada seseorang.
Dengan demikian, tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman
dan kesadaran agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri
seseorang yang hidup dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Sikap keagamaan yang terbentuk
oleh tradisi keagamaan merupakan bagian dari pernyataan jati diri seseorang
dalam kaitan dengan agama yang dianutnya. Sikap keagamaan ini akan ikut
mempengaruhi cara berpikir, cita rasa, ataupun penilaian seseorang terhadap
segala sesuatu yang berkaitan dengan agama, tradisi keagamaan dalam pandangan
Robert C. Monk memiliki dua fungsi utama yang mempunyai peran ganda. Yaitu bagi
masyarakat maupun individu. Fungsi yang pertama adalah sebagai kekuatan yang
mampu membuat kestabilan dan keterpaduan masyarakat maupun individu. Sedangkan
fungsi yang kedua yaitu tradisi keagamaan berfungsi sebagai agen perubahan
dalam masyarakat atau diri individu, bahkan dalam situasi terjadinya konfilik sekalipun.
Sikap dan keberagamaan seseorang
atau sekelompok orang bisa berubah dan berkembang sejalan dengan perkembangan
budaya dimana agama itu hidup dan berkembang. Demikian pula budaya
mengalami perkembangan dan tranformasi. Transformasi budaya merupakan perubahan
yang menyangkut nilai-nilai dan struktural sosial. Proses perubahan sturuktur
sosial akan menyangkut masalah-masalah disiplin sosial, solidaritas sosial,
keadilan sosial, system sosial, mobilitas sosial dan tindakan-tindakan
keagamaan. Tranformasi budaya yang tidak berakar pada nilai budya bangsa yang
beragam akan mengendorkan disiplin sosial dan solidaritas sosial, dan pada
gilirannya unsur keadilan sosial akan sukar diwujudkan.
C.
Kebudayaan
dalam Era Digital dan Pengaruhnya terhadap Jiwa Keagamaan
Era global umumnya digambarkan sebagai
kehidupan masyarakat dunia yang menyatu. Karena kemajuan teknologi, manusia
antarnegara jadi mudah berhubungan baik melalui kunjungan secara fisik, karena
alat transportasi sudah bukan merupakan penghambat bagi manusia untuk melewati
ke berbaai tempat di seantero bumi ini, ataupun melalui pemanfaatan perangkat
komunikasi.
Era global yang ditopang oleh kemajuan
dan kecanggihan teknologi menjadikan manusia seakan hidup dalam satu kota, kota
dunia. Batas negara sudah tidak menjadi penghalang bagi manusia untuk saling
berhubungan. Kehidupan manusia di era global saling pengaruh mempengaruhi,
sehingga segala sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai milik suatu bangsa
tertentu akan terangkat menjadi milik bersama. Dibayangkan bahwa buah apel dan anggur sebagai tanaman wilayah
subtropis akan dapat dibeli dan dikonsumsi oleh mereka yang tinggal di daerah
yang beriklim dingin atau masyarakat di wilayah tropis. Dan mungkin saja tari
pendet yang berasal dari budaya Bali akan dapat ditonton atau dilakonkan oleh
para penari berkebangsaan Denmark atau Brazilia. Demikian pula gejala penyakit
seperti AIDS akan menyebar ke seluruh dunia, sebagai dampak dari kunjungan
wisata antarbangsa.
Era global ditandai oleh proses
kehidupan mendunia, kamajuan IPTEK terutama dalam bidang transportasi dan
komunikasi serta terjadinya lintas budaya. Kondisi ini mendukung terciptanya
berbagai kemudahan dalam hidup manusia, menjadikan dunia semakin transparan.
Pengaruh ini ikut melahirkan pandangan yang serba boleh (permissiveness). Apa
yang sebelumnya dianggap sebagai tabu, selanjutnya dapat diterima dan dianggap
biasa. Sementara itu, nilai-nilai tradisional mengalami proses perubahan sistem
nilai. Bahkan mulai kehilangan pegangan hidup yang bersumber dari tradisi
masyarakatnya. Termasuk ke dalamnya sistem nilai yang bersumber dari ajaran
agama.
Tetapi, menurut Davidc. Korten, ada tiga
krisis yang bakal dihadapin manusia secara global. Kesadaran akan krisis ini
sudah muncul sekitar tahun 1980-an, yaitu: kemiskinan, penanganan lingkungan
yang salah serta kekerasan sosial. Gejala tersebut akan menjadi mimpi buruk
kemanusiaan di abad ke 21 ini. Selanjutnya ia menginventarisasi ada 1
permasalahan yang secara global akan dihadapi manusia, yaitu:
1. Pemulihan
lahan kosong yang kritis
2. Mengkonservasi
dan mengalokasi sumber-sumber air yang langka
3. Mengurangi
polusi udara
4. Memperkuat
dan memelihara lahan pertanian kecil
5. Mengurangi
tingkat pengangguran yang kronis
6. Jaminan
terhadap pemeliharaan hak-hak asasi manusia
7. Penyediaan
kredit baik keigatan ekonomi berskala kecil
8. Usaha
pengurangan persenjataan dan militerisasi
9. Pengawasan
terhadap suhu udara secara global
10. Penyediaan
tempat tingal baik tunawisma
11. Pertemuan
yang membutuhkan pendidikan dua bahasa
12. Pengurangan
tingkat kelaparan, tuna aksara, dan tingkat kematian bayi untuk menambah jumlah
penduduk
13. Mengurangi
tingkat kehamilan remaja
14. Mengatur
pertambahan penduduk dan pengaturan perimbangannya
15. Meningkatkan
kewaspadaan masyarakat terhadap permasalahan yang menyangkut perkembangan
global
16. Peningkatan
kewaspadaan terhadap pengrusakan alam
17. Menyediakan
fasilitas bagi kesepakatan untuk mengurangi berbagai ketegangan regional yang
disebabkan perbedaan rasial, etnis dan agama.
18. Menghilangkan
atau membersihkan hujan asam
19. Penyembuhan
terhadap korban penyakit AIDS serta mengawasi penyebaran berjangkitnya wabah
tersebut
20. Menempatkan
kembali atau memulangkan para pengungsi
21. Pengawasan
terhadap lalu lintas perdagangan alkohol dan penyalahgunaan obat bius
Keseluruhan permasalahan itu menurut David
C. Korten merupakan contoh ilustrasi yang harus dihadapi bersama oleh seluruh
negara di dunia ini tanpa memandang letak geografis maupun tingkat
perkembangannya. David melihat gejala-gejala dimaksud akan dialami oleh
masyarakat dunia secara menyeluruh sebagai dampak dari globalisasi.
Dalam kaitannya dengan jiwa keagamaan,
barangkali dampak globalisasi itu dapat dilihat melalui hubungannya dengan
sikap. Menurut teori yang dikemukakan oleh Osgood dan Tannen Baum perubahan
sikap akan terjadi jika terjadi persamaaan persepsi pada diri sesorang atau
masyarakat terhadap sesuatu. Hal Ini berarti bahwa apabila pengaruh globalisasi
dengan segala muatannya dinilai baik oleh individu maupun masyarakat, maka
mereka akan menerimanya.
Secara fenomena, kebudayaan dalam era
global mengarah pada nilia-nilai sekular yang besar pengaruhnya terhadap
perkembangan jiwa keagamaan, khususnya di kalangan generasi muda. Meskipun
dalam sisi tertentu kehidupan tradisi keagamaan tampak meningkat dalam
kesemarakannya, namun dalam kehidupan masyarakat global yang cenderung sekuler
barangkali akan ada pengaruhnya terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan para
generasi muda. Paling tidak ada dua kecenderungan yang tampak. Pertama, muncul sikap toleransi yang
tinggi terhadap perbedaan agama. Kedua,
muncul sikap fanatik keagamaan. Sikap toleransi di jumpai di kalangan
masyarakat moderat, sedangkan sikap fanatik sering diidentikkan dengankelompok
fundamental.
Era global dan milenium III seakan
menawarkan alternatif kehidupan baru bagi manusia, yakni kekaguman terhadap
hasil rekayasa ilmu pengetahuan dan teknologi yang menawarkan kemudahan dan
kenikmatan bendawi. Di pihak lain, manusia juga dihadapkan pada upaya untuk mempertahankan
sistem nilai yang mereka anut.
Nilai sebagai sesuatu yang diangap benar
dan diyakini, serta perlu dipertahankan. Sementara itu, merekapun memerlukan produk
teknologi yang menjanjikan kemudahan, keamanan dan kenyamanan hidup. Kondisi
seperti ini dapat menimbulkan keraguan dan kecemasan kemanusiaan. dalam situasi
yang cemas ini manusia mencari pilhan yang diyakini dapat menentramkan jiwanya.
Dalam situasi seperti itu, bisa saja
terjadi berbagai kemungkinan. Pertama,
mereka yang tidak ikut larut dalam pengaguman yang berlebihan terhadap rekayasa
teknologi dan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan, kemugkinan akan
lebih meyakini kebenaran agama. Kedua,
golongan yang longgar dari nilai-nilai ajaran agama akan mengalami kekososngan
jiwa. Oleh karena itu, adakalanya mereka melarikan dirinya ke agama-agama yang
memiliki tradisi mistis.
Namun, kecenderungan batin dapat pula
mendorong manusia untuk memperturutkan khayalan semuanya. Golongan ini mungkn
saja akan tetap bertahan dan larut dalam keterikatannya dengan pengaguman
terhadap kecanggihan teknologi. Kecemasan batin dinetralisasi dalam kenikmatan
duniawi. Pelarian diri ke alkohol dan obat bius, walaupun bersifat semu,
dianggap mampu menentramkan kegelisahan batin. Karena sifatnya sementara, maka
golongan yang “salah pilih” ini akan
menghancurkan kehidupannya.
Adapun kecenderungan berikutnya adalah
dengan menciptakan “agama” baru melalui berbagai ritus dan upacara yang
disakralkan. Bila mereka dapat mempengaruhi dan mengumpulkan banyak pengikut,
akan muncul semacam gerakan keagamaan. Berbagai macam gerakan keagamaan seperti
ini pada hakikatnya merupakan tindakan kompensatif. Hanya sekedar menentramkan
batin, mengisi jiwa yang mengalami kekosongan nilai-nilai ruhaniah. Dalam
kondisi kesendirian kekosongan itu terasa menyakitkan, hingga perlu mengajak
orang lain secara bersama-sama larut dalam upacara yang mereka rekayasa.
Era global diperkirakan memunculkan tiga
kecenderungan utama dalam kesadaran agama dan pengalaman agama. Kecenderungan pertama, berupa arus kembali ke tradisi
keagamaan yang liberal. Kedua,
kecenderungan ke tradisi keagamaan pada aspek mistis. Sedangkan, kecenderungan
ketiga, adalah munculnya gerakan sempalan yang mengatasnamakan agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia yang di dalamnya terdapat
pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat sebagai aspek dari
kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu
masyarakat karena kebudayaan merupakan sistem nilai tertentu yang dijadikan
pedoman hidup oleh masyarakat.
Tradisi keagamaan memberi pengaruh dalam membentuk pengalaman dan kesadaran
agama sehingga terbentuk dalam sikap keagamaan pada diri seseorang yang hidup
dalam lingkungan tradisi keagamaan tertentu.
Secara fenomina, kebudayaan dalam era digital
mengarah kepada nilai-nilai
sekuler yang besar pengaruhnya terhadap perkembangan jiwa keagamaan. Dalam
kaitannya dengan jiwa keagamaan dampak globalisasi dapat dilihat melalui
hubungan dengan perubahan sikap, seperti hilangnya pegangan hidup yang
bersumber dari tradisi masyarakat dan bersumber dari ajaran agama.
A.
Kritik
dan Saran
Demikian pembahasan dari makalah ini. Kami sebagai
penulis berharap semoga pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan
bermanfaat bagi pembaca. Kami yakin dalam penulisan makalah ini banyak sekali
kekurangannya, dan kami berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan dalam tugas selanjutnya. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar