MAKALAH PENYITAAN
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
PENYITAAN
By: Yuli,dkk.
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Penyitaan merupakan salah satu upaya paksa dalam
proses peradilan pidana yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil atau
merampas suatu barang tertentu dari seorang tersangka, pemegang, atau penyimpan
dan disimpan dibawah kekuasaannya. Pengertian penyitaan dirumuskan pada pasal 1
butir 16 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi
“Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau
menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan”.
Tujuan dari dilakukannya penyitaan adalah untuk
kepentingan pembuktian, terutama ditujukan sebagai barang bukti dimuka sidang
pengadilan. Didalam proses penanganan dan penyelesaian perkara pidana, upaya
pembuktian merupakan upaya yang paling esensial dalam proses pembuktian didepan
persidangan majelis hakim yang mengadili terdakwa, karena didalam persidangan
tersebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) berupaya mengajukan berbagai macam alat
bukti yang sah disertai barang bukti guna membuktikan dan meyakinkan hakim atas
kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diuraikan dalam surat
dakwaan JPU[1].
Ketentuan Pasal 44 ayat (2) KUHAP perihal tanggung
jawab atas benda sitaan dijabarkan lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah Nomor
27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (PP No.27/1983). Dalam Pasal 30
peraturan pemerintah tersebut diatur mengenai pemisahan tanggung jawab antara
“tanggung jawab secara yuridis” dan “tanggung jawab secara fisik” atas benda
sitaan.Tanggung jawab secara yuridis atas benda sitaan diatur pada pasal 30
ayat (2) PP No.27/1983 yang berbunyi “Tanggung jawab secara yuridis atas benda
sitaan tersebut, ada pada pejabat sesuai dengan tingkat pemeriksaan”.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dan tujuan penyitaan?
2. Apa prinsip pokok sita?
3. Apa yang dimaksud dengan sita revindikasi?
4. Apa yang dimaksud dengan sita jaminan?
5. Apa yang dimaksud dengan sita harta bersama?
6. Bagaimana kriteria sita harta bersama?
C.
TUJUAN
1.Untuk mengetahui pengertian dan tujuan penyitaan
2.Untuk mengetahui prinsip pokok sita
3.Untuk mengetahui sita revindikasi
4.Untuk mengetahui sita jaminan
5.Untuk mengetahui sita harta bersama
6.Untuk mengetahui kriteria sita harta bersama
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Tujuan Penyitaan
1.
Pengertian Penyitaan
Penyitaan berasal dari terminologi beslag
(Belanda),[2] dan
istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau
penyitaan.
Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah:
tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke
dalam keadaan penjagaan (to take into custody the property of a defendant),
tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara
resmi (official) berdasarkan perintah pengadilan atau hakim, barang yang
ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi
boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan
utang debitur atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial
verkoop) barang yang disita tersebut, penetapan dan penjagaan barang yang
disita, berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan
itu.
2.
Tujuan Penyitaan
a.
Agar Gugatan Tidak Illusoir
Tidak dipindahkan kepada orang lain melalui jual beli atau
penghibahan, dan sebagainya.
Tidak dibebani dengan sewa-menyewa atau diagunkan kepada pihak
ketiga.
b.
Objek Eksekusi Sudah Pasti
Memberi jaminan kepastian bagi penggugat, objek eksekusi apabila
putusan berkekuatan hukum tetap.
B.
Beberapa Prinsip Pokok Sita
1.
Sita Berdasarkan Permohonan
a.
Bentuk Lisan
Permintaan sita
dapat diajukan dengan lisan. Hal itu sesuai dengan prinsip yang dianut HIR-RBG
bahwa jalannya proses pemeriksaan di persidangan adalah beracara secara lisan (mondelinge
procedure). Undang-undang membenarkan permohonan sita secara lisan di depan
persidangan. Apabila permohonan sita diajukan dengan lisan, permintaan itu
dicatat dalam berita acara sidang, dan berdasarkan permintaan itulah hakim
mengeluarkan perintah sita apabila permohonan dianggap mempunyai dasar alasan
yang cukup.[3]
b.
Bentuk Tertulis
Bentuk ini dianggap paling tepat karena memenuhi administrasi
yustisial yang lebih baik. Itu sebabnya Pasal 227 ayat (1) HIR menghendaki agar
sita diajukan dalam bentuk tertulis berupa surat permintaan:
a)
Permintaan disatukan dengan surat gugatan
Permintaan sita, dapat diajukan bersama-sama dengan surat gugatan. Dicantumkan
pada bagian akhir uraian dalil dan peristiwa gugatan, sehingga penempatannya
dalam gugatan dikemukakan sebelum petitum gugatan. Menyatukan permintaan dalam
gugatan, secara teoretis sangat tepat bila dikaitkan dengan fungsi sita sebagai
gugatan tambahan yang bersifat asesor dengan pokok perkara pada satu sisi,
maupun dari segi tujuan permintaan sita sebagai upaya menghindari
gugatanmengalami illusoir pada sisi lain.
b)
Diajukan dalam surat tersendiri
Cara ini dijelaskan dalam Pasal 227 ayat (1) HIR, pengajuan sita
dilakukan secara terpisah dari pokok perkara. Berarti permohonan sita, diajukan
tersendiri di samping gugatan pokok pperkara yang membolehkan prinsip peradilan
di Indonesia digolongkan dalam apa yang dinamakan “sistem kontinental” yang
ditandai dengan adanya lembaga kasasi o1eh badan pengadilan tertinggi. Kasasi
diadakan semata-mata untuk mengawasi segi penerapan hukumnya dalam setiap
putusan badan pengadilan.
2.
Permohonan Berdasarkan Alasan
a.
Ada kekhawatiran atau persangkaan bahwa tergugat mencari akal untuk
menggelapkan atau mengasingkan harta kekayaannya, hal itu dilakukan selama
proses pemeriksaan perkara berlangsung.
b.
Kekhawatiran atau persangkaan itu harus nyata dan beralasan secara
objuktif.
c.
Sedemikian rupa eratnya isi gugatan dengan penyitaan, yang apabila
tidak dilakukan dan tergugat menggelapkan harta kekayaan, mengakibatkan
kerugian kepada penggugat.
C.
Sita Revindikasi
1. Pengertian
Sita revindikasi
(revindicatoir beslag) atau revindicatie beslag, termasuk kelompok sita tetapi
mempunyai kekhususan tersendiri dibanding dengan Conservatoir beslag.
Kekhususan itu, terutama terletak pada objek barang sitaan dan kedudukan
penggugat atas barang itu:
Hanya terbatas barang bergerak
yang ada di tangan orang lain (tergugat), barang itu, berada di tangan orang
lain tanpa hak, dan agar dikembalikan permintaan sita diajukan oleh pemilik
barang itu sendiri kepadanya.
Oleh karena yang meminta dan
mengajukan penyitaan adalah pemilik barang sendiri maka lazim disebut pula
penyitaan atas permintaan pemilik[4]
owner’s claim. Dengan demikian,
bentuk sita revindikasi merupakan upaya pemilik barang yang sah untuk
menuntut kembali barang miliknya dari pemegang, yang menguasai barang itu tanpa
hak.
Agar lebih konkret, tergugat
memegang dan menguasai barang bergerak milik penggugat, tanpa alasan yang sah.
Pemilik mengajukan gugatan yang diajukan terhadap pemegang dengan maksud supaya
barang itu kembali kepada penggugat sebagai pemilik yang sah. Untuk menjamin
barang itu tidak digelapkan atau dialihkan tergugat selama proses persidangan
berlangsung, penggugat meminta agar pengadilan meletakkan sita milik (revindicatoir
beslag) atas barang itu.
2. Urgensi Sita Revindikasi
Urgensi sita revindikasi
berkaitan erat dengan ketentuan Pasal 1977 KUHPerdata. Menurut ayat (1) pasal
ini:
Barang siapa yang menguasai
barang bergerak, dianggap sebagai pemilik yang sempurna atas barang itu. Dalam
pengkajian hukum, telah diajarkan doktrin bezit geld als volkomen Titel,
yang berarti penguasaan atas barang bergerak dianggap sebagai bukti pemilikan
yang sempurna atas barang itu.
Berdasarkan doktrin tersebut,
untuk menghindari jatuhnya barang itu kepada pihak ketiga yang berakibat barang
itu dianggap miliknya, sangat urgen meletakkan sita terhadapnya.[5]
3. Penerapan Sita Revindikasi dalam Transaksi Tertentu
Seperti yang telah diterangkan, pada prinsipnya sita
revindikasi berdasarkan pasal 1977 KUH Perdata, hanya dapat diterapkan terhadap
penguasaan barang tanpa hak atau secara melawan hukum (unlawful). Namun
demikian, terhadap ketentuan umum tersebut, terdapat beberapa pengecualian yang
membolehkan sita revindikasi terhadap barang yang ada di bawah penguasaan orang
lain, meskipun penguasaan itu berdasarkan titel yang sah. Yang terpenting di
antaranya:
a. Dalam Transaksi Pinjam Barang
Pasal 1751 KUH Perdata
mengatakan, jika barang itu berada di bawah penguasaan orang lain berdasarkan
atas hak:
Pinjam atau meminjam, dan
Sebelum waktu perjanjian
pinjaman habis, atas alasan mendesak dan sekonyong-konyong barang itu sangat
diperlukan pemilik sendiri,
Pemilik dapat meminta kepada
hakim untuk memaksa peminjam (pemakai) mengembalikan barang itu kepadanya.
Memperhatikan ketentuan di
atas, meskipun penguasaan dan pemakaian barang berdasarkan ketentuan hukum yang
sah yaitu pinjam-pakai berdasarkan pasal 1750 KUH Perdata, pemilik barang
sebagai pihak yang meminjamkan dapat meminta agar diletakkan sita revindikasi
di atasnya, meskipun waktu yang diperjanjikan belum habis, asal permintaan
pengembalian didukung dengan alasan mendesak dan sekonyong-konyong barang itu
benar-benar diperlukan pemilik (yang meminjamkan).
b. Berdasarkan Hak Reklame (Reclamerecht)
Hak reklame adalah tuntutan
hukum untuk meminta kembali barang (rechtsvordering reclame) yang dijual kepada
pembeli atau pemegang barang apabila pembeli tidak melunasi pembayaran harga
yang disepakati. Dalam kasus yang demikian, apabila penjual bermaksud hendak
membatalkan jual-beli, dalam gugatan si penjual dapat meminta sita revindikasi
berdasarkan hak reklame yang diberikan undang-undang kepadanya.
4. Syarat atau Alasan Pokok Sita Revindikasi
a. Objek sengketa adalah barang bergerak
b. Pemohon adalah pemilik barang
c. Barang berada di bawah penguasaan tergugat tanpa hak
berdasar jual-beli maupun pinjam
d. Menyebut dengan seksama barang yang hendak disita.[6]
5. Tata Cara Sita Revindikasi
a. Dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan
b. Penyitaan dilaksanakan panitera atau juru sita
c. Memberitahukan penyitaan kepada tergugat
d. Juru sita dibantu dua orang saksi
e. Pelaksanaan dilakukan di tempat barang terletak
f.
Membuat berita acara sita
g. Meletakkan barang sitaan di tempat semula
h. Menyatakan sita sah dan berharga
D.
Sita Jaminan
Sita Jaminan (Conversatoir Beslag) dasar Hukum pasal 227 HIR perkataan
conservatoir beslag adalah berasal dari perkataan conserveren yang berarti
menyimpan. Makna conversatoir Beslag ialah untuk menyimpan hak-hak seorang
untuk menjaga agar penggugat tidak dirugikan oleh perbuatan tergugat.
Syarat-syarat utama sita jaminan adalah :
1.
Ada sangka yang beralasan,
bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau dilaksanakan akan menggelapkan
atau menghilangkan barang-barangnya;
2.
Barang yang disita itu berupa kepunyaan yang terkena sita, artinya
bukan milik penggugat; 3. Permohonan diajukan kepada
3.
Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut; Dapat
dilakukan atau diletakkan baik tehadap barang bergerak atau yang tidak
bergerak.
Ciri-ciri sita jaminan adalah sebagai
berikut :
Sita jaminan diletakkan atas harta yang disengketakan status
kepemilikannya atau terhadap harta kekayaan tergugat dalam sengketa utang
piutang atau juga dalam sengketa dan tututan ganti rugi.
Obyek sita bisa barang bergerak atau tidak bergerak, bisa berwujud
atau tidak berwujud.
Pembatasan sita jaminan bisa hanya barang-barang tertentu atau
seluruh harta kekayaan tergugat.
E.
Sita Harta Bersama
1.
Pengertian Sita Harta Bersama
Sita harta
bersama merupakan suatu pembagian harta bersama antara suami isteri yang akan
melakukan perceraian. Selama proses perceraian itu masih berlangsung, gugatan
sita marital dapat diajukan. Dalam perkawinan, terdapat 3 macam harta, yaitu
harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan. Harta bersama adalah harta
benda yang didapatkan selama perkawinan tersebut berlangsung.
2.
Pengaturan Sita Harta Bersama
Pengaturannya ditemukan dalam beberapa peraturan
perundangan-undangan seperti yang dikemukakan berikut in:
a.Pasal 190 KUH Perdata yang berbunyi:
Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh
mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak
habis atau diboroskan.[7]
Ketentuan tersebut dulunya berlaku bagi golongan Eropa dan
Tionghoa. Tetapi KUH Perdata mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Namun demikian sejak UU No. 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan segala
ketentuan
Ketentuan Pasal 190 KUH Perdata tersebut, dapat dijadikan bahan
orientasi dalam kedudukannya sebagai hukum adat tertulis.
826.
24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975[8]
Menurut pasal ini, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang
mungkin timbul, pengadilan dapat mengizinkan dan menentukan hal-hal yang perlu
untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama
suami-istri.
Dari segi redaksi, ketentuan ini lebih tegas dari Pasal 190 KUH
Perdata, karena di dalamnya terdapat perkataan menjamin terpeliharanya harta
bersama. Namun terlepas dari itu, hampir tidak ada perbedaan antara keduanya.
Sama-sama bermaksud mengamankan keberadaan dan keutuhan harta bersama agar
tidak jatuh kepada pihak ketiga.
826.
Pasal 78 huruf c UU No. 7 Tahun 1989
Berdasarkan Pasal 78 huruf c, lingkungan peradilan agama pun telah
memiliki aturan hukum positif tentang lembaga sita harta bersama (sita
marital). Bahkan sita tersebut dalam lingkungan peradilan agama, tidak hanya
diatur dalam Pasal 78 UU No. 7 Tahun 1989, tetapi juga dalam Pasal 136 ayat (2)
Huruf b Kompilasi Hukum Islam (KHI),62 yang sama bunyi redaksinya
dengan Pasal 24 ayat (2) huruf c PP No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 78 huruf c UU
No.7 Tahun 1989. Dengan demikian, landasan penerapan sita harta bersama dalam
lingkungan peradilan agama telah diatur dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan.
d.Pasal 823 Rv yang berbunyi:
Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan sehubungan dengan Pasal 190
KUH Perdata adalah penyegelan, pencatatan harta kekayaan dan penilaian
barang-barang, penyitaan jaminan atas barang-barang bergerak bersama atau
jaminan atas barang-barang tetap bersama.....
Pasal ini merupakan salah satu di antara beberapa pasal lainnya
yang mengatur sita marital. Ketentuannya mulai dari Pasal 823-830 Rv. Dapat
dilihat bahwa pengaturan sita marital dalam Rv sangat luas. Sebaliknya, dalam
UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975 hanya terdiri dari satu pasal.
Sedang dalam HIR dan RBG sama sekali tidak disinggung.
3.
Lingkup Penerapan Sita Harta Bersama
a.
Pada perkara perceraian
b.
Pada perkara pembagian harta bersama
c.
Pada perbuatan yang membahayakan harta bersama
F. Kriteria Sita
Harta Bersama
1) Tuntutan perceraian atau pembagian harta
bersama ditolak pengadilan (pasal 823e Rv).
Penolakan gugatan mesti dibarengi dengan:
1. sita harta bersama, serta
2.pencoretan, pendaftaran dan pengumumannya pada buku register (pasal
830 Rv).
2) Berdasarkan penetapan pengangkatan sita yang dikeluarkan pengadil
permohonan salah satu pihak (Pasal 823 c dan Pasal 823 h Rv),
3) Gugatan perceraian dan pembagian harta bersama dikabulkan, kembali
berdasarkan keputusan itu, telah dilaksanakan pembagian harta bersama.
Apabila penyitaan atas barang tidak bergerak sudah sempat didaftarkan
diumumkan sesuai dengan ketentuan Pasal 198 ayat (1) HIR maka
berakhirnya sita marital, hukum mewajibkan juru sita untuk mencoret
dan pengumuman itu dari buku register yang bersangkutan. Bahkan yang dan
lebih sempurna, apabila pencoretan itu diikuti dengan menempatkan kutipan
penolakan atau penetapan pengangkatan maupun pengabulan itu dalam sura
Atau sebaliknya, agar putusan pengabulan atas penyitaan lebih sempurna,
putusan dapat ditempatkan atau diumumkan dalam surat kabar.
Cara yang demikian dianggap bermanfaat melindungi pihak ketiga Schub
dengan itu dalam pembaruan hukum acara, perlu diperhatikan ketentuan Pasal
826 Rv yang mewajibkan mengumumkan putusan pengadilan mengenai pemb
harta bersama dengan cara:
menempatkan kutipan putusan tersebut dalam surat kabar,
kutipan memuat, tanggal putusan, amar putusan pengabulan gugatan,
dan tempat tinggal suami-istri,
Alasan dan dasar pertimbangan putusan, tidak boleh dimuat dalam
karena dalam perkara perceraian dan pembagian harta bersama hal tersebut
dianggap bersifat konfidensial. Masyarakat umum dianggap tidak layak atau
etis untuk mengetahuinya.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyitaan adalah tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke
dalam keadaan penjagaan. Tujuan penyitaan adalah agar gugatan tidak illusoir, objek
eksekusi sudah pasti.
Prinsip
pokok sita:
a.Sita
berdasarkan permohonan
b.Permohonan
berdasarkan alasan
Sita
revindikasi (revindicatoir beslag) atau revindicatie beslag, termasuk kelompok
sita tetapi mempunyai kekhususan tersendiri dibanding dengan Conservatoir beslag.
Hanya terbatas barang bergerak yang ada di tangan orang lain (tergugat), barang
itu, berada di tangan orang lain tanpa hak, dan agar dikembalikan permintaan
sita diajukan oleh pemilik barang itu sendiri kepadanya.
4.
Syarat atau Alasan Pokok Sita Revindikasi
a.
Objek sengketa adalah barang bergerak
b.
Pemohon adalah pemilik barang
c.
Barang berada di bawah penguasaan tergugat tanpa hak berdasar
jual-beli maupun pinjam
d.
Menyebut dengan seksama barang yang hendak disita.
5.
Tata Cara Sita Revindikasi
a.
Dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan
b.
Penyitaan dilaksanakan panitera atau juru sita
c.
Memberitahukan penyitaan kepada tergugat
d.
Juru sita dibantu dua orang saksi
e.
Pelaksanaan dilakukan di tempat barang terletak
f.
Membuat berita acara sita
g.
Meletakkan barang sitaan di tempat semula
h.
Menyatakan sita sah dan berharga
Sita
harta bersama merupakan suatu pembagian harta bersama antara suami isteri yang
akan melakukan perceraian. Selama proses perceraian itu masih berlangsung,
gugatan sita marital dapat diajukan. Dalam perkawinan, terdapat 3 macam harta,
yaitu harta bersama, harta bawaan, dan harta perolehan. Harta bersama adalah
harta benda yang didapatkan selama perkawinan tersebut berlangsung.
Kriteria
Sita Harta Bersama
Apabila
penyitaan atas barang tidak bergerak sudah sempat didaftarkan
Diumumkan
sesuai dengan ketentuan Pasal 198 ayat (1) HIR maka
Berakhirnya
sita marital, hukum mewajibkan juru sita untuk mencoret
Dan
pengumuman itu dari buku register yang bersangkutan. Bahkan yang dan
Lebih
sempurna, apabila pencoretan itu diikuti dengan menempatkan kutipan
Penolakan
atau penetapan pengangkatan maupun pengabulan itu dalam sura
Atau
sebaliknya, agar putusan pengabulan atas penyitaan lebih sempurna,
Putusan dapat
ditempatkan atau diumumkan dalam surat kabar.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Kamus
Hukum, Edisi Lengkap, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas) Hal. 374.
H.M.A, Kuffal,
Barang Bukti Bukan Alat Bukti yang Sah, (Malang : UMM Press, 2013) Hal. 52.
Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,
(Yogyakarta: Liberty, 1988) Hal.63.
R.Subekti,
R.Sousilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya,cet 25) Hal.
60.
Subekti, Hukum
Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977) Hal.49.
Marianne, Termorshuizen, Kamus Hukum
Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999) Hal. 49.
PP tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975, LNRI Tahun 1975, No. 12.
[1] H.M.A,
Kuffal, Barang Bukti Bukan Alat Bukti yang Sah, (Malang : UMM Press,
2013) Hal. 52.
[2] Marianne, Termorshuizen,
Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999) Hal. 49.
[3] Subekti,
Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Bina Cipta, 1977) Hal.49.
[4] Arif,
Kamus Hukum, Edisi Lengkap, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas) Hal. 374.
[5] Sudikno,
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988)
Hal.63.
[6] Ibid, Sudikno, Hal. 64.
[7] R.Subekti,
R.Sousilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Pradnya,cet 25)
Hal. 60.
[8] PP
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan tanggal
1 April 1975, LNRI Tahun 1975, No. 12.
Komentar
Posting Komentar