MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH IJTIHAT DAN PENERAPANNYA DALAM EKONOMI KEUANGAN

 IJTIHAD DAN PENERAPANNYA DALAM

EKONOMI KEUANGAN

Oleh, Syafri Muda Hrp, SE


Abstract

Facing the era of digitalization which is often called the "four point zero (4.0)" era, every nation and individual must be literate in information, ability and expertise to keep pace with the changing times, from the era of manual activities towards digitalization, the conventional economic system (Capitalist and Socialists) and even the sharia economic system must align itself with the digitalization era. Indonesia as one of the largest Muslim majority countries in the world in economic activities uses a light economic system or what we call an economy based on the noble values of Pancasila, meaning that our country is still open to the world economic system used by its citizens as long as it does not conflict with Pancasila as an ideology. nation, the presence of the Islamic economy of the muamalah system colors the frenzy of the nation's economic activities, the offer of the muamalah system in terms of financial management should be able to integrate the Islamic ummah as kaffah, but Indonesia is not a country based on Islam, so diversity and freedom of choice are the rights of citizens To determine its economic needs, it is the financial system of the era of the Prophet Muhammmad SAW, the era after the Prophet's death and now the era of "contemporary Islamic economics" which keeps usury, gambling and speculation away from being offered in muamalah principles that rests on every human being in doing their job. tifitas meet their needs must be in harmony with a person who is tawaqal towards Allah SWT, in accordance with the Al-Quran and Hadith. From the changing times mentioned above, the existence of the Islamic economic system, especially muamalah, is it able to align itself with this era of digitalization, does the muamalah system need changes, understandings and interpretations that do not contradict the Al-Quran and Hadiths by carrying out ijtihad for the benefit of the economy of the ummah

Keyword; ijtihad, muamalah finances





Abstrak

Menghadapi era digitalisasi yang sering disebut era “four poin zero ( 4,0)”,  setiap bangsa maupun orang perseorang ditunutut harus melek informasi, kemampuan dan keahlian dalam mengimbangi arus perubahan zaman, dari era aktifitas manual kearah digitalisasi, Sistim ekonomi konvensial ( Kapitalis dan Sosialis) maupun dan bahkan sistim ekonomi syariah harus menyelaraskan diri dengan era digitalisasi. Indonesia sebagai salah satu negara mayoritas muslim terbesar didunia dalam aktifitas ekonomi memakai sistim ekonomi campuaran atau yang kita sebut ekonomi yang berasaskan dengan nilai keluhuran Pancasila, dalam artian negara kita masih membuka diri terhadap sistim ekonomi dunia yang dipakai oleh warganya sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila sebagai idiologi bangsa, kehadiran ekonomi islam sistim  muamalah mewarnai hiruk pikuk aktifitas ekonomi bangsa, tawaran sistim muamalah dalam hal tata kelola menejemen keuangan seharusnya mampu secara itegritas diterima ummat islam secara kaffah, akan tetapi indonesa bukan negara berdasarkan islam, maka kemajemukan dan kebebasan pilihan menjadi hak warga negara untuk menentukan kebutuhan ekonominya, sistim keuangan dari era zaman Nabi Muhammmad SAW, era setelah nabi wafat dan kini era “ ekonomi islam kontenporer” yang menjauhkan riba, judi dan spekulasi ditawarkan dalam prinsif muamalah yang bertumpu pada setiap manusia dalam melakukan aktifitas memenuhi kebutuhannya harus selaras dengan pribadi yang tawaqal terhadap Allah SWT, sesuai dengan Al-Quran dan Hadist. Dari perubahan zaman yang disebut diatas eksistensi sistim ekonomi islam terutama muamalah apakah bisa menyelaraskan diri dengan era digitalisasi ini, apakah sistim muamalah membutukan perubahan, pemahaman dan tafsiran yang tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist dengan melakukan ijtihad demi kemaslahatan ekenomi ummat

Keyword; ijtihad, keuangan muamalah


I. Pendahuluan.

Perubahan setiap masa akan menimbulkan persoalan baru secara stimulant, yang mengakibatkan setiap individu maupun golongan akan menerima konsikuensi perubahan tersebut, perubahan perubahan yang dimaksud ada yang bersifat statis yang tidak bisa diubah melaikan dilakukan penyempurnaan dengan tidak mengurangi makna perubahan tersebut, perubahan kondisional yang dipengaruhi zaman yang dihadapi pada saat itu dengan melakukan terobosan alternative, dan kemudian perubahan mutlak dengan memodifikasi keseluruhan tanpa lagi berpatokan pada awalnya.

Dalam konteks untuk melakukan perubahan aturan harus dibarengi dengan Kemampuan, kekuatan maksimal dan usaha sungguh-sungguh untuk memperoleh suatu hasil yang dapat diyakini dan dijalankan, untuk melakukan perubahan tersebut dibutukan orang-orang yang mempunyai performa kepribadian yang baik. Dalam islam dikenal sumber segala aturan /hukum atau yang disebut Ushul fiqh yakni Al-quran, Hadist, Ijttihat dan Qiyas yang perlu dipahami oleh orang pembuat aturan selain al’quran dan hadist yang memiliki kriteria mujtahid, ijtihad sebagai media para mujtahid melakukan segala Pencurahan, kemampuan, kekuatan dan kesanggupan secara maksimal untuk memperoleh suatu hukum syarak yang amali melalui penggunaan sumber syarak yang diakui. 

Manusia dalam pengertian diatas ditujukan kepada manusia atau seseorang yang sudah mukallaf, yaitu seseorang yang sudah dibebani hukum, mereka itu sudah baligh dan berakal lagi cerdas,  dan sesuai dengan surah az-Zariat (QS. 51-56) yang berbunyi;

لِيَعْبُدُونِ إِلَّا وَٱلْإِنسَ ٱلْجِنَّ خَلَقْتُ وَمَا 

Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.


Seseorang dalam konteks diatas dengan kemapuan dan kesanggupan yang dimilikinya demi terwujudnya tatanan kemaslahatan, harus bersunguh-sungguh atau maksimum dalam menghadapi kesulitan dan kesukaran dengan `pemahaman dan kajian hukum  Islam (Maqashid al-syari'ah), maqashid al-syari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum Islam.  Karena begitu pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para ahli teori hukum menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai sesuatu yang harus dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat.  Istilah yang sepadan dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.

Usaha para pemikir islam dalam menyatukan pemikiran, pemahaman, kemampuan untuk mencapai suatu tujuan demi kemaslahatan ummat dalam menghadapi ekonomi digitalisasi membutuhkan ijtihad pada saat ini. Umat Islam dihadapkan pada tantangan untuk menjawab pertanyaan tentang di mana posisi Islam dalam kehidupan modern ini, serta bentuk Islam yang bagaimana yang harus ditampilkan dalam menghadapi modernisasi. Qardhawi (1994), menyatakan bahwa setelah tertutupnya pintu ijtihad, pada awal abad ke 19 muncul di kalangan pemikir muslim untuk membuka kembali aktifitas berijtihad dengan melakukan pembaruan hukum Islam,

Sedangkan para ulama mendefinisikan ijtihad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu, untuk merumuskan kepastian atau penilaian mengenai sesuatu (atau beberapa) perkara, yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas baik dalam al-Qur’an maupun dalam Al-Hadits (Manan. 2006: 162-163).

Pada masa digitalisasi ini ummat islam dihadapkan pada tantangan posisi islam dalam kehidupan ekonomi dan tata kelola keuangan modern, serta bentuk islam yang bagaimana yang harus ditampilkan dalam menghadapi tantangan ekenomi digitalisasi ini. 


II. Ijtihad.

2.1. Pengertian Ijtihad.

a. Pengertian Ijtihad Menurut definisi etimologis, kata ijtihād berasal dari kata jahd yang berarti mashaqqah (kesulitan, kesukaran) atau mubālaghah (sungguh-sungguh) atau ghāyah (maksimum, klimaks) dan juhd yang berarti thaqah (kemampuan, kekuatan) atau wus'u (kemampuan, kekuatan, kesanggupan). Kata ijtihād mengikuti wazan ifti'āl, hasil derivasi dari kata jahd dan juhd dan merupakan bentuk isim maṣdar dari kata jahada-yajhadu-ijtihād. Ibn Manẓūr mengartikan kata ijtihād adalah badhl al-wus' wa ‘l-majhūd (pencurahan segala kemampuan, kekuatan dan kesanggupan).

b. Ijhtihad menurut ulama Ushul Fiqh, ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci (Zahroh, 2000: 567). Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah mengerahkan segala kesanggupan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhlyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai-niiai syari'ah (Umam dkk, 2001: 131) 

c. Dalil Ijtihad dalam Al-Quran Antara lain; 

1. QS.An-nisa:59

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. 

2. QS.Al-Hasyr : 2

“…Maka ambillah ibarat, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (QS.Al-Hasyr : 2)

Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya, agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal ini adalah ijtihad.

Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad.

2.2.     Syarat  Mujtahid.

Para Ulama Ushul berbeda pendapat untuk menetapkan syarat dan kriteria kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad, secara umum perbedaan pendapat dikalangan ushul dapat disimpulkan secara umum antara lain; (1) Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam alquran baik bahasa maupun syari’ah, (2) Menguasai dan mengetahui hadist tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’ah, (3) Mengetahui nasakh dan Mansukh dari Al-Quran dan as-sunah supaya tidak salah dalam menetapkan hokum, (4) mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehinga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’, (5) mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad, (6) mengetahui Bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan Bahasa, (7) mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan pondasi dari ijtihad, (8) mengetahui maqashidu al-Syari’ah ( tujuan syari’at) secara umum  


2.3.    Klasifikasi Mujtahid.

Arti kata mujtahid dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah (muj.ta.hid) ahli ijtihad. Mujtahid ialah orang yang berijhtihad atau dengan kata lain sebagai seseorang yang mencurahkan segala kemampuan dalam mengistinbathkan hukum syara. 

a. Musjtahid Mustaqil, adalah sesorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan mazhab yang ada, menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi

b. Mujtahid Mutlak ( mutlaq qhairu mustaqil), adalah seorang mujtahid yang memiliki kriteria mujtahid mustaqil, namun dia tidak menciptakan kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab, Dia bisa disebut juga sebagai munthalaq muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlid kepada imamnya melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya.  Contoh; Abu yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.

c. Mujtahid Muqayyal/ Mujtahid Takhrij, adalah mujtahid yang terikat oleh mazhab imimanya, memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasanya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya, Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyum dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi’i

d. Mujtahid Tarjih, adalah Mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takrijh, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’ mujtahid ini sangat faqih, hapal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, diantaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-hidayah dalam mazhab Hanapi

e. Mujtahid Fatwa, adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imim mazhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas, menurut Imam Nawawi, “ tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam mazhab, serta berbagai cabang yang ada dalam mazhab tersebut” 


2.4.   Pembagian Ijtihad.

1. Ijtihad Istimbathiy, adalah metode menemukan hukum dan menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.

2. Ijtihad Tathbiqy, Jika ijtihad isthinbaty mendasrkan pada nash-nash, maka ijtihad tathbiqy mendasarkan pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan. Dalam hal ini seorang mujtahid berhadapan langsung dengan objek hukum dimana ide atau subtansi hukum dari produk ijtihad istinbathi akan diterapkan.

3. Ijtihad Intiqaiy, Yang dimaksud dengan ijtihad intiqaiy atau ijtihad tarjih adalah Ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk memilih pendapat para ahli hukum terdahuiu mengenai masalah-masaiah tertentu, sebagaimana tertulis dalam berbagai kitab hukum Islam, kemudlan menyeleksi mana yang lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi masyarakat. 

4. Ijtihad Insya-iy, adalah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai peristiwa peristiwa baru yang belum diselesalkan oleh para ahli hukum terdahuiu (Al-Qardawl, tt: 126). Kegiatan Ijtihad insya'iy mutlak harus kembali diaktifkan guna mencari solusi-solusi baru terhadap permasalahan yang baru muncul serta demi pengembangan hukum Islam, sebab setiap masa memiliki problem yang berbeda, demikian pula halnya dengan masa sekarang, problemnya tidak serupa dengan masa dahulu. Kriterianya sangat keras dialamatkan kepada sebagian ulama yang menganggap bahwa pintu ijtihad telah tertutup ((Al-Qardawi, tt: 19).  


2.5.   Lapangan Ijtihad.

Ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu yaltu: (1) dalil-dalil yang qath'i wurud-nya dhani dalalah-nya, (2) dalll-dalil yang dhani wurudnya qath'i dalalah-nya, (3) dalil-dalil yang dhanni wurud dan dalalah-nya, dan (4) terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya (Djazuli, 2005: 71-72). lapangan ijtihad yang menuntut jawaban-jawaban baru ada dua bidang. yaitu: Pertama, bidang ekonomi atau keuangan, dalam bidang ini muncul sederetan bentuk-bentuk transaksi yang sifatnya tidak pernah dijumpai pada masa dahulu. Kedua, bidang ilmu pengetahuan atau kedokteran. Dalam bidang ini juga ditemukan berbagai cara kegiatan yang memerlukan kejelasan hukum (AlQardawi, tt: 126). Perkembangan ekonomi yang sangat pesat dan mengglobal yang didukung oleh teknoiogi informasi telah melahirkan banyak produk ekonomi, oleh sebab itu, bidang ekonomi menuntut dasar-dasar hukum Islam yang sesuai dengan syariah.  


2.6.   Kekuatan Hasil  Ijtihad.

Makna ijtihad dalam menghadap permasalahan yang dihadapi oleh ummat, baik dimasa kepemimpinan Rasulullah Muhammad SWT, masa khalifah setelah nabi wafat hingga sekarang dalam era modern, upaya menghadapi pembaharuan dan pengembangan hukum islam, sangat dibutuhkan ijtihad. Ijhtihad adalah sumber hukum islam ketiga dalam ajaran islam setelah al-Quran dan Hadist, karakteristik dan sifat  ijtihad dalam menghadapi pembaharuan dan pengembangan mempunyai kekuatan tersendiri diataranya; (1) ta’amul ( Sempurna, (2) wasathiyah (harmonis) dan ke-(3) harakah (dinamis).  Sifat harakah atau dinamis yang dimiliki oleh hukum Islam inilah yang bisa merespon persoalan yang tidak ditemukan dari sumber utama hukum islam dari permasalahan perubahan dan kemajuan sosial yang dihadapi oleh ummat. Dalam sejarah ijtihad pertama kali dilakukan dalam pemilihan Khalifah untuk mengganti nabi Muhammad SAW, kemudian terpilh Khalifah Abu Bakar, setelah terpilih menjadi khalifah beliau pun menghadapi suatu masalah, sebagian orang Islam tidak mau membayar zakat setelah Nabi Muhammad wafat, kemudian ia menyelesaikan masalah itu dengan ijtihad.

Urgensi ijtihad dalam menghadapi permasalahan kehidupan ummat yang tidak ditemukan dalam hukum syari’at namun tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Hadist akan menjadi kekuatan sehingga penerapan syariat islam yang kita yakini tidak ter-eleminir oleh waktu, ruang dalam menghadapi era kontenporer saat ini.

Dalam Islam, ijtihad adalah sebuah persoalan yang tidak akan pernah berhenti, yang ramai mulai zaman dahulu sampai dengan zaman sekarang. Hidup bermasyarakat merupakan salah satu fitrah manusia yang telah dibawakan sejak lahir, salah satu ciri kehidupan manusia adalah adanya perubahan yang konstan dalam masyarakat tersebut. 

Dalam posisinya manusia diciptakan oleh Allah SWT adalah mahluk yang paling mulia diatara mahluk yang dicipkannya, manusia sebagai khalifah dan hamba diberikan akal dan pikiran. Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu berkembang dan mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi. . Maka Konsep ijtihad menjadi kekuatan ummat islam dalam menghadapi era kontenporer terutama dalam bidang ekonomi.

2.7.   Kedudukan Ijtihad

Kedudukan ijtihad merupakan sumber hukum yang ketiga setelah Al – Qur’an dan As-Sunah. Berijtihad itu sangat berguna sekali untuk mendapatkan hukum syara’ yang dalilnya tidak terdapat dalam Al – Qur’an maupun hadits dengan tegas. 

Ditinjau dari fungsi ijtihad, ijtihad itu perlu dilaksanakan :

a. Pada suatu peristiwa yang waktunya terbatas, sedangkan hukum syara’ yang mengenai peristiwa sangat diperlukan, dan juga tidak segera ditentukan hukumnya, maka dikhawatirkan kesempatan menentukan hukum itu akan hilang .

b. Pada suatu peristiwa diperlukan hukum syara’ di suatu daerah yang terdapat banyak para ahli ijtihad, sedang waktu peristiwa itu tidak mendesak maka hal yang semacam itu perlu adanya ijtihad, karena dikhawatirkan akan terlepas dari waktu yang ditentukan.

c. Terhadap masalah-masalah yang belum terjadi yang akan kemungkinan nanti akan diminta tentang hukum masalah-masalah tersebut, maka untuk ini diperlukan ijtihad. 

III. Penerapan Ijtihad dalam Ekonomi Keuangan.


Syariat Islam telah memberikan pedoman khusus dalam menetapkan hukum dalam bidang muamalah yang berbeda dengan furu’ fiqih lainnya, selain itu Islam juga telah memberikan beberapa kaedah dalam bidang muamalah ini. Oleh karena itu, setiap orang yang ingin membahas tentang transaksi atau muamalah keuangan syariah kontemporer mesti memahami pedoman khusus ini dan karakteristiknya. Karakteristik yang paling penting dipahami adalah bahwa fiqih muamalah berdiri di atas dasar prinsip-prinsip umum.

Sumber dasar muamalah serta cabang-cabang fiqih lainnya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi dalam bidang muamalah pensyariatannya juga didasarkan kepada prinsip-prinsip umum (المبادئ العامة) dan kaedah-kaedah umum (القواعد اكلية), hal tersebut agar memudahkan para fuqaha’ untuk melakukan ijtihad pada perkara-perkara baru yang dibuat oleh manusia. Di antara prinsip-prinsip umum tersebut adalah:

3.1 Melarang tindak kezaliman dan harus saling ridho

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَتِجَارَةً عَن

 تَرَاضٍ مِّنكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمً

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(QS. An-Nisa’29)


3.2.  Melarang riba

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya :“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah: 275)


3.3. Melarang gharar

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ 

وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ 

Artinya: “Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW telah melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”. (HR. Muslim)


3.4. Melarang maisir (perjudian) atau spekulasi 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ 

الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (QS. Al-Maidah: 90)


3.5   Memerintahkan jujur dan amanah

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. Al-Maidah: 01)


3.5. Sadd Adz-Dzariah (سد الذرائع).

Sadd adz-dzariah adalah menutup semua jalan atau cara yang zahirnya mubah tetapi tujuannya haram. Dalam menggunakan kaedah ini, para ulama telah menetapkan beberapa pedoman yaitu:

a. Perkara tersebut secara umum mendatangkan mafasadat.

b. Mafsadat yang ditimbulkan sama dengan maslahat yang diperoleh atau lebih.

c. Niat untuk melakukan mafsadat tidak menjadi syarat dalam mengamalkan kaedah ini.

d. Kaedah ini tidak melarang untuk melakukan hal yang mubah jika merupakan kebutuhan, misalnya pelamar atau dokter melihat perempuan ajnabi (bukan mahram), hal ini dibolehkan karena hajat apabila terjamin tidak terjadi mafsadat.

Nilai-nilai dalam Al-Qur’an dan Hadits terkait dengan ekonomi sangatlah banyak, sehingga pilar ekonoimi Islam perlu dijabarkan lebih lanjut menjadi nilai-nilai yang lebih terinci agar dapat menjadi rumusan penuntun perilaku para pelaku ekonomi. Keberadaan nilai semata pada perilaku ekonomi dapat mengasilkan suatu perekonomian yang normatif, tidak akan bisa berjalan secara dinamis. Oleh karena itu, implementasi nilai-nilai ini harus secara bersama-sama didasarkan atas prinsip ekonomi 

IV. Ijtihad dalam Inovasi Produk Perbankan Keuangan Syariah.


Sampai dengan tahun 2008 pertumbuhan lembaga keuangan Syariah di Indonesia mengalami perkembangan signifikan ditandai pasca krisis ekonomi global tahun 1998,  Dari perkembangan tersebut peran negara sebagai penjaga sekaligus pembuat regulasi mengeluarkan UU nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dari regulasi tersebut menciptakan efek berantai (multiplier effect) kepada sektor lainnya, misalnya asuransi, finance, dan pasar modal syariah. . 

Dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah tersebut berimbas munculnya lembaga-lembaga keuangan sistim syariah, semakin banyak beroperasinya  lembaga tersebut, memculkan permasalahan-permasalahn baru, terutama dengan aspek kesyariahan. Selama ini aspek kesyariahan yang terkodifikasi di berbagai kitab fiqih pada umumnya merujuk pada opini syariah terhadap kejadian/kasus (qadhaya/hawadits) yang terjadi di masa buku fiqih tersebut ditulis, yakni di abad pertengahan. ,  disisi lain permasalahan keuangan syariah ini berkembang dinamis belum terespon secara keseluruhan dalam kitab-kitab fiqih, maka permasalah seperti ini membutuhkan ijtihad dalam paradigma ekonomi kontenporer. Qharadawi (1995), bahwa bidang ekonomi dan keuangan merupakan salah satu lapangan ijtihad yang relatif baru. Melakukan ijtihad di bidang ini memiliki makna signifikan tersendiri karena di bidang inilah telah terjadi perubahan yang cukup intens dan berskala besar. Semakin modernnya dunia bisnis, munculnya berbagai lembaga keuangan dengan beragam jasa yang ditawarkan memunculkan pertanyaan seputar keabsahan berbagai transaksi yang terjadi antara nasabah dengan pihak pengelolanya. .

Majelis Ulama Indonesia secara eksplisit menjadi otoritas penentu dalam aturan aktifitas keuangan syariah dan ekonomi syariah, pada tahun 1999 MUI telah membentuk Dewan Syariah Nasional ( DSN). Tugasnya adalah menjalankan tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi syariah, baik yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah ataupun yang lainnya. Pada prinsipnya pembentukan Dewan Syariah Nasional dimaksudkan oleh MUI sebagai upaya efisiensi dan koordinasi para ulama dalam menanggapi isuisu yang berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan.

Otoritas yang dimiliki oleh DSN-MUI dalam hal pengembangan ekonomi syariah dan lembaga keuangan syariah, antara lain;

4.1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah di masing-masing Lembaga Keuangan Syariah dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. 

4.2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/ peraturan yang dikeluarkan oleh institusi yang berhak, seperti Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

4.3. Memberikan dukungan dan/atau mencabut dan menyokong nama-nama yang akan duduk sebagai Dewan Pengawas Syariah pada suatu Lembaga Keuangan Syariah.

4.4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah, termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam maupun luar negeri.

4.5. Memberikan rekomendasi kepada Lembaga Keuangan Syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional. 

4.6. Mengusulkan kepada institusi yang berhak untuk mengambil tindakan apabila perintah tidak didengar. 

DSN-MUI adalah satu-satunya lembaga yang diberi amanat oleh undang-undang untuk menetapkan fatwa-fatwa  Hukum Ekonomi Syariah  dan keuangan syariah. dalam perjalanan operasinya. Tanpa adanya ketentuan hukum, termasuk aspek hukum Islam, akan menyulitkan LKS dalam menjalankan seluruh aktivitasnya. 

 Fatwa Produk dan Inovasi hukum dan aturan tentang lembaga keuangan syariah yang dikeluarkan oleh DSN MUI anatara lain; 

a. Fatwa tentang prinsip perbankan syariah.

b. Penghimpunan dana,

c. Jual beli, dan jasa. 

Prinsip Perbankan Syariah didefinisikan sebagai perbankan yang sesuai dengan sistem, nilai dan etos Islam. Ada lima prinsip yang disepakati oleh ulama untuk menjalankan aktivitas ekonomi Islam, yaitu (1) tauhid (monoteisme), (2) khilafah, (3) ‘adalah, (4)ta’awun dan (5) maslahah.  Prinsip perbankan syariah yang paling menonjol adalah pada sistem profit-lost sharing. Sistem ini didasarkan pada kaidah yang terjadi dalam fiqih muamalah, yaitu no return without risk atau al-Ghunmu bi al-Ghurmi (keuntungan karena tanggung jawab risiko).  Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan tidak boleh dituntut tanpa ada kemungkinan menanggung risiko. Implikasi dari prinsip ini mendukung pelbagai kegiatan investasi dan ekonomi yang akan memberikan dampak positif pada ekonomi riil berdasarkan keadilan sebagai investor dan pengelolanya.

Contoh produk yang dihasilkan dari ijtihad Majelis Ulama Indonseia seperti;

a. Al-Wadiah (Titipan) Titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.

b. Murabahah Perjanjian jual beli antara bank dengan nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah, kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.

c. Ijarah (Sewa) Akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujroh) tanpa diikuti dengan pemindahan pemilikan barang itu sendiri.

d. Rahn (Gadai) Menahan barang sebagai jaminan atas uang.

e. Syirkah (Bagi Hasil) Akad kerja sama antara dua pihak atau lebih (bank dengan nasabah) untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal (dana/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

f. Mudharabah Bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih pihak di mana pemilik modal (shahibul amal) memercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen modal dari pemilik modal dan keahlian dari pengelola.

g. Al-Qard (Pinjaman) Akad pinjaman kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya (jumlah pokok yang diterima) kepada lembaga keuangan syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati oleh LKS dan nasabah. Pembiayaan jenis ini adalah produk pinjaman tanpa pengenaan bagi hasil sama sekali dalam bank syariah. Sumber dana yang digunakan untuk memberikan pinjaman ini berasal dari zakat, infak, dan sedekah.

h. Bay'i (Jual Beli) Ada tiga jenis jual beli dalam pembiayaan di perbankan syariah, yaitu akad Bay'u al-Murabahah (akad jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan (margin) yang disepakati), Bay'u al-Salam (pembiayaan jual beli di mana barang yang dibeli diserahkan kemudian, sedangkan pembayaran dilakukan di muka), dan Bay'u al-Istishna (kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang).   



V. Kesimpulan:

5.1. Ijtihad adalah berusaha bersungguh-sungguh  atau  mengarahkan segala kemampuan. 

5.2. Ijtihad berfungsi sebagai penggerak, tanpa ijtihad sumber syari’at Islam itu akan rapuh, itulah sebabnya ijtihad sebagai sumber ketiga yang tidak dapat dipisahkan dari Al-qur’an dan Al-Hadits.

5.3. MUI sebagai Majelis Fatwa untuk menetapkan aturan Ekonomi Syariah.

5.4. Usaha ushul fiqih tidak akan berhasil tanpa didukung oleh cara-cara pendekatan istinbath yang benar dan tepat, disamping ditopang oleh pengetahuannya yang memadai tentang sumber-sumber hukum Islam.

5.5. Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid,

5.6. Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan. Dalam Al-Qur’an disebutkan.


Daftar Pustaka;


1. Dr. Sri Sudiarti, MA. ( Fiqh Muamalah Kontenporer, FEBI UIN-SU Press, 2018).

2. (https://ayoksinau.teknosentrik.com/masyarakat-ekonomi-asean/)

3. Amir Mu'allim dan M.Roem Syibly. ( Urgensi Ijtihad Ekonomi Pada Era Globalisasi. Pusat Studi Hukum islam, Pascasarjana FIAI-Uil, Yogyakarta).

4. Prof. DR. Racmad Syafe’I, MA ( Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN,STAIN,PTAIS, Pustaka Setia bandung, 2010).

5. Nasruddin Rusli,(Konsep Ijtihad Al-Syaukani; Relevansinya bagi pembaharuan Islam Di Indonesia, Ciputat; PT. Logos Wacana Ilmu, 1999).

6. Muhammad Roy Purwanto,(Kritik Terhadap Konsep Mashlahah Najm Ad-Din At-Tufi”,  Madania Vol. 19, No. 1, Jakarta Juni 2015).

7. Dr. Saiban, Kasuwi MA., Metode Ijtihad Ibnu Rusyd, (Kutub Minar 2005).

8. Nur Ahmad Fadhil Lubis, (”Financial Activitism Among Indonesian Muslims,” dalam Viginia Hooker & Amin Saikal, et.al., 2004), Islamic Perspectives on The New Millenium, Singapore: ISEAS Publications, 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL