TAFSIR AL-QURAN DAN HADIST TENTANG KONSUMSI
Oleh: ANGGI DWI LESTAI MUNTHE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai sumber ajaran Islam, al-Qur’an perlu ditafsirkan untuk menghasilkan pemahaman yang tepat mengenai perilaku kehidupan manusia, termasuk dalam bidang ekonomi. Sebagai sebuah metodologi, tafsir ekonomi terhadap ayat-ayat al-Qur’an memberi peluang bagi pengembangan ilmu ekonomi Islam. Pilihan atas masalah ini didasarkan pada kebutuhan terhadap konsumsi yang seimbang dalam tatanan perekonomian. Model tahapan kerja yang akan digunakan yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait dengan konsumsi.
Islam memposisikan konsumsi sebagai bagian dari aktifitas ekonomi yang bertujuan mengumpulkan pahala menuju kebahagiaan dunia dan akherat. Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah maslahah (public interest or general human good) atas kebutuhan dan kewajiban. Keperluan hidup manusia ini secara kualitas memiliki tahapan-tahapan pemenuhan. Berdasarkan teori Maslow, keperluan hidup itu berawal dari pemenuhan keperluan hidup yang bersifat kebutuhan dasar (basic needs), kemudian pemenuhan keperluan hidup yang lebih tinggi kualitasnya seperti keamanan, kenyamanan dan aktualisasi. Namun teori Maslow ini merujuk pada pola pikir konvensional yang menggunakan perspektif individualistik-materialistik. Sementara dalam Islam pemuasan keperluan hidup setelah tahapan pertama (pemenuhan kebutuhan dasar), akan dilakukan ketika memang secara kolektif keperluan kebutuhan dasar tadi sudah pada posisi yang stabil.
Pemanfaatan konsumsi dalam kehidupan sehari-hari merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Terutama untuk melakukan kehidupan langsung di masa mendatang. Bahkan konsumsi sangat sensitif untuk dibahas, karena banyak perbedaan di antara beberapa daerah. Pada makalah ini akan dibahas mengenai tafsir Al-Quran dan Hadist serta prinsip-prinsip tentang konsumsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsumsi
Dalam Bahasa Arab istilah konsumsi disebut al-istihlāk yang memiliki akar kata halaka dengan masdar halākan - hulkan – hulūkan –tahlūkan- tahlukatan –mahlikan. Kemudian kata ini mendapat tambahan tiga huruf hamzah, sin dan ta menjadi istahlaka – yastahliku berarti yang menjadikan hancur, binasa, habis, mati atau rusak. Istahlak al-mal berarti menafkahkan atau menghabiskan harta. Dalam hal ini makna kata tersebut dapat digunakan untuk makna membelanjakan atau menafkahkan, dan menghabiskan. Istihlak dapat juga diartikan membelanjakan atau menghabiskan benda, barang atau uang untuk memperoleh manfaat dari benda tersebut. Konsumen dalam bahasa Arab disebut al-mustahlik yang berarti orang yang menyandarkan sesuatu kepada orang lain.
Konsumsi dapat juga diartikan dengan orang menghabiskan, membelanjakan atau menggunakan harta, benda, uang atau jasa. Jadi konsumen ialah orang yang melakukan kegiatan konsumsi dengan cara membeli, dan sebagainya dengan tujuan menghabiskan atau menggunakan barang. Konsumsi merupakan suatu bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam kehidupan manusia. Dalam ilmu ekonomi secara umum, konsumsi adalah perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi dalam Islam. Dalam teori ekonomi konvensional hal terpenting dalam konsumsi adalah bagaimana konsumen mengalokasikan pendapatan untuk membelanjakan atas produk atau jasa dan menjelaskan keputusan alokasi tersebut dalam menentukan permintaan yang diinginkan. Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa. Ia merupakan tujuan yang penting, karena sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan hidup seseorang.
Konsumen akan menggunakan parameter kepuasan melalui konsep kepuasan (utility) yang tergambar dalam kurva indifferent (tingkat kepuasan yang sama). Setiap individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktifitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal menggunakan tingkat pendapatannya (income) sebagai keterbatasan penghasilan (budget constraint). Teori ekonomi Islam lahir karena adanya teori permintaan akan barang dan jasa. Sedangkan permintaan akan barang dan jasa timbul karena adanya keinginan (want) dan kebutuhan (need) oleh konsumen riil maupun konsumen potensial. Manusia diberi kebebasan dalam melakukan kegiatan konsumsi sesuai dengan aturan-aturan yang ada dalam ajaran Islam. Dalam Islam tidak hanya mengatur tentang ibadah dan cara mendekatkan diri kepada pencipta-Nya, namun juga kegiatan perekonomian.
Perbedaan antara ilmu ekonomi modern dengan ilmu ekonomi Islam dalam hal konsumsi terletak pada cara pendekatannya dalam memenuhi kebutuhan setiap orang. Islam tidak mengakui kegemaran materialistis semata-mata dari pola konsumsi. Menurut Monzer Kahf, teori konsumsi dalam Islam yakni konsumsi agregat merupakan salah satu variabel kunci dalam ilmu ekonomi konvensional. Konsumsi agregat terdiri dari konsumsi barang kebutuhan dasar serta konsumsi barang mewah. Barang-barang kebutuhan dasar (termasuk untuk keperluan hidup dan kenyamanan) dapat didefinisikan sebagai barang dan jasa yang mampu memenuhi suatu kebutuhan atau mengurangi kesulitan hidup sehingga memberikan perbedaan yang riil dalam kehidupan konsumen. Barang-barang mewah sendiri dapat didefinisikan sebagai semua barang dan jasa yang diinginkan baik untuk kebanggaan diri maupun untuk sesuatu yang sebenarnya tidak memberikan perubahan berarti bagi kehidupan konsumen.
Islam melihat pada dasarnya perilaku konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Dalam perspektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi. Ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas juga harus sesuai dengan prinsip ekonomi Islam. Islam melihat aktivitas ekonomi adalah salah satu cara untuk menciptakan maslahah menuju falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Motif berkonsumsi dalam Islam pada dasarnya adalah maslahah.
B. Prinsip dan Pola Konsumsi
Dalam ekonomi Islam konsumsi dikendalikan oleh lima prinsip dasar.
1. Prinsip Keadilan, prinsip ini mengandung arti yang sangat penting mengenai mencari rezeki secara halal dan tidak dilarang oleh ajaran Islam. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama selain Allah.
2. Prinsip Kebersihan, prinsip yang kedua ini tercantum dalam kitab suci al-Qur’an maupun Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari semua yang diperbolehkan, makanan dan minuman yang bersih dan bermanfaat.
3. Prinsip Kesederhanaan, prinsip ini mengatur prilaku manusia mengenai makanan dan minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan secara berlebih.
4. Prinsip Kemurahan Hati, dengan mentaati perintah Islam, tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Allah karena kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Allah dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya.
5. Prinsip Moralitas, bukan hanya mengenai makanan dan minuman secara langsung tetapi dengan tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilainilai moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan. Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi keinginan-keinginan fisiknya. Hal ini penting artinya karena Islam menghendaki perpaduan nilai-nilai hidup material dan spiritual yang berbahagia.
Sedangkan untuk pola konsumsi Islam mengajarkan pola konsumsi yang berorientasikan akhirat demi meratanya kesejahteraan manusia. Membelanjakan harta untuk membantu perekonomian masyarakat miskin merupakan suatu keharusan. Karena di dalam ajaran Islam, satu orang Muslim dengan yang lainnya diibaratkan seperti satu badan, ketika salah satu anggota tubuhnya merasakan sakit, maka, semua anggota tubuh yang lainnya juga akan sakit. Islam mengajarkan bahwa membelanjakan harta tidak boleh melampaui batas. Misalnya menafkahkan harta untuk orang banyak dalam jumlah yang lebih besar dibanding nafkah pribadinya. Aturan ini ditetapkan agar ia dan keluarganya dapat hidup serba cukup dan tidak mengemis kepada orang lain.
C. Tafsir Al-Quran Tentang Konsumsi
1. Al-A’raf ayat 31, 32 dan 157
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Al-‘Araf ayat 31).
M. Quroish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan mengkonsumsi hal apapun agar tidak berlebih-lebihan, baik pakaian, terlebih lagi dalam makan dan minum. Anjuran ini ditujukan kepada setiap manusia, terlepas apapun agama mereka, karena berkaitan dengan kesehatan badan. Sedangkan dalam sudut pandang ilmu ekonomi, Quraish berpendapat bahwa sikap konsumtif atau boros dapat menyebabkan kelangkaan barang sehingga menimbulkan kenaikan harga dan ketidakseimbangan barang di pasar.
Artinya: Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (Al-‘Araf ayat 32)
M. Quraish Shihab menjelaskan maksud ayat menggunakan kalimat sisipan dalam tanda kurung, bahwa zinah (perhiasan) dan tayyibat (rezeki yang baik-baik) Allah berikan kepada seluruh manusia, baik yang beriman dan tidak beriman, akan tetapi perhiasan atau kenikmatan tersebut di akhirat kelak akan dikhususkan bagi yang beriman saja. Rezeki yang baik tersebut sesuai dengan kondisi manusia sebagai salah satu jenis makhluk –memiliki jasmani dan rohani- maupun sebagai pribadi –anak, dewasa, wanita, pria, menderita penyakit tertentu, dan sebagainya- secara proporsional. Menurut Quraish, kata “khalisatan” dapat dipahami dalam arti suci, yaitu kelak rezeki tersebut di hari akhir bebas dari apapun yang dapat menodainya, baik berupa kebebasan dari pengharaman, pembatasan, ketiadaan, kekurangan, persaingan memperebutkannya, persoalan mendapatkannya, juga kotoran dan hal yang dapat membahayakan sebagaimanya ketika di dunia.
• • •
Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (Al-‘Araf ayat 157)
Maksudnya, bahwa Nabi yang Ummi itu hanya menyuruh yang baik-baik saja dan tidak melarang kecuali yang buruk. Sebagaimana kata Abdullah bin Mas’ud, “apabila kamu mendengar firman Allah ‘ya ayyuhal lazina amanu’ maka pasanglah telingamu untuk mendengarkannya, karena firman (yang didahului ya ayyuhal lazina amanu) itu memuat kebaikan yang kamu disuruh melakukan atau keburukan yang kamu dilarang mengerjakannya.”
2. Al-Baqarah ayat 168
••
Artinya: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa seruan kehalalan makanan dan minuman pada ayat ini ditujukan kepada seluruh manusia apakah ia beriman kepada Allah atau tidak, namun demikian, tidak semua makanan dan minuman yang halal otomatis baik. karena yang halal terdiri dari empat macam yaitu: wajib, Sunnah, Mubah dan Makruh. Selanjutnya, tidak semua yang halal sesuai dengan kondisi masing-masing. Ada halal yang baik untuk si A yang memiliki kondisi kesehatan tertentu, dan ada juga yang kurang baik untuknya, walau baik buat yang lain. Ada makanan yang baik tetapi tidak bergizi, dan ketika itu menjadi kurang baik. Karena itu, M. Quraish Shihab yang dianjurkan adalah makanan dan minuman yang halal lagi baik.
Dari penafsiran mufassir di atas dapat dipahami bahwa anjuran itu tentang makanan dan minuman yang halal lagi baik pada ayat 168 surah al-Baqarah ini mengandung ajaran kepada seluruh ummat manusia di bumi ini tak terkecuali non muslim, makanan yang halal adalah seluruh makanan yang tidak diharamkan Allah sedangkan yang baik adalah makanan dan minuman yang mengandung gizi yang baik itu untuk seseorang. Penekanan pada yang baik untuk seseorang ini disesuaikan dengan kondisi kesehatan seseorang. Misalnya: gulai daging kambing itu halal dan baik untuk orang yang memiliki tekanan darah rendah atau normal, tetapi, menjadi tidak baik bagi seseorang yang memiliki tekanan darah tinggi. Dengan demikian makanan yang halal mudah diketahui dengan adanya pembahasan makanan dan minuman yang haram. Sedangkan untuk makan dan minuman yang baik membutuhkan penyesuaian dengan kondisi kesehatan seseorang. Dengan kata lain makanan dan minuman yang baik tidak hanya harus mengandung gizi. Tetapi, juga harus memperhatikan kondisi kesehatan seseorang.
D. Hadist Tentang Konsumsi
Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat menjauhi riba, menjauhi israf dan tabzir merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif, bahkan keterkaitan antara individu dan kolektif tidak bisa didikotomikan. Dan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam yaitu: “prinsip ketauhidan, prinsip khilafah, prinsip keadilan”. Beberapa contoh hadist Rasululloh tentang konsumsi diantaranya:
ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه
Artinya: tidaklah seorang anak adam mengisi sesuatu yang lebih buruk dari perutnya sendiri, cukuplah bagi anak adam beberapa suap yang dapat menegakkan tulang punggungnya, jikapun ingin berbuat lebih, maka sepertiga untuk makanan dan sepertiga untuk minum dan sepertiga lagi untuk nafasnya. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Hibban).”
Hadis ini menjelaskan tentang bagaimana tata cara pola dan perilaku konsumsi dalam Islam yang baik ayat tersebut memberikan penjelasan kepada manusia agar mengkonsumsi yang sewajarnya saja dan melarang kita untuk memakan makanan-makanan dengan cara yang berlebih-lebihan. Makanan yang halal adalah makanan yang dihalalkan oleh Allah Swt dan rasul-Nya, baik yang tercantum dalam al-Quran maupun hadis. Islam membagi kebutuhan manusia dalam tiga bagian yaitu: Al-Hajjah Al-Dharuriyah, Al-Hajjah Al-Hjjiyah, Al- Hajjah Al-Tahsiniyah.
عَنْ عَمْرِوبْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُواوَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِإِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَة (رَوَهُ النَّسَا عِي (
Artinya : dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya berkata, Rasul SAW bersabda: “makan dan minumlah, bersedekahlah serta berpakaianlah dengan tidak berlebihan dan tidak sombong.” (HR. Nasa’i)
Pada hadist ini telah di jelaskan bahwa kita sebagai orang beriman haruslah menempatkan sesuatu berdasarkan takarannya dan tidak berlebihan bahkan dalam hal makan dan minum. Bahkan jikalau kita sudah memiliki hidup yang bercukupan diminta untuk menyisihkan sebagian harta untuk orang yang tidak mampu, dan dilarang untuk berbuat semena-mena atau sombong terhadap orang lain. Hidup sederhana adalah tradisi Islam yang mulia, baik dalam membeli makanan, minuman, pakaian, rumah dan segala apapun, bahkan Rasulullah melarang boros berwudhu dengan air walaupun berada di sungai yang mengalir. Sebagaimana sabda Rasul yang artinya:
“Rasulullah bertemu Sa’ad ibn Abi waqqos saat berwudhu,dan bersabda :”Kenapa engkau berlebih lebihan?”, Sa’ad bertanya:”Apakah dalam berwudhu ada sikap berlebihan?”, beliau bersabda ;”Ya ada, walaupun engkau berwudhu di disungai yang mengalir”. (HR Ibnu Majah).
Konsumen muslim seharusnya tidak mengikuti gaya konsumsi kaum xanthous yang berkarakteristik menuruti hawa nafsu. Tidak boleh hidup bermewah-mewahan (Tarf). Tarf adalah sebuah sikap berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan dalam menikmati keindahan dan kenikmatan dunia. Islam sangat membenci tarf karena merupakan yang menyebabkan turunnya azab dan rusaknya kehidupan umat. Menjauhi Israf, Tabdhir, dan Safih. Israf adalah melampaui batas hemat dan keseimbangan dalam berkonsumsi. Israf merupakan perilaku di bawah tarf. Tabdhir adalah melakukan konsumsi secara berlebihan dan tidak proposional. Syariah Islam melarang perbuatan tersebut karena dapat menyebabkan distorsi dalam distribusi harta kekayaan yang seharusnya tetap terjaga demi menjaga kemaslahatan hidup masyarakat.
Menjauhi mengkonsumsi atas barang dan jasa yang membahayakan. Syariah mengharamkan mengkonsumsi atas barang-barang dan jasa yang berdampak negatif terhadap kehidupan manusia baik dari segi sosial dan ekonomi yang didalamnya sarat dengan kemudaratan bagi individu dan masyarakat serta ekosistem masyarakat bumi. Konsumsi terhadap komoditas dan jasa yang dapat membahayakan kesehatan dan tatanan kehidupan sosial, sangat berdampak bagi kehidupan ekonomi. Seperti halnya narkoba, minuman keras, judi dan penyakit sosial lainnya dapat menimbulkan tindakan kriminal yang dapat meresahkan kehidupan masyarakat.
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari makalah ini adalah:
Konsumsi diartikan dengan orang menghabiskan, membelanjakan atau menggunakan harta, benda, uang atau jasa. Jadi konsumen ialah orang yang melakukan kegiatan konsumsi dengan cara membeli, dan sebagainya dengan tujuan menghabiskan atau menggunakan barang. Konsumsi merupakan suatu bentuk perilaku ekonomi yang asasi dalam kehidupan manusia. Dalam ilmu ekonomi secara umum, konsumsi adalah perilaku seseorang untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi dalam Islam.
Prinsip ekonomi dalam Islam yang disyariatkan adalah agar tidak hidup bermewah-mewah, tidak berusaha pada kerja-kerja yang dilarang, membayar zakat menjauhi riba, menjauhi israf dan tabzir merupakan rangkuman dari akidah, akhlak dan syariat Islam yang menjadi rujukan dalam pengembangan sistem ekonomi Islam. Nilai-nilai moral tidak hanya bertumpu pada aktifitas individu tapi juga pada interaksi secara kolektif, bahkan keterkaitan antara individu dan kolektif tidak bisa didikotomikan. Dan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam yaitu: “prinsip ketauhidan, prinsip khilafah, prinsip keadilan”
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Kasdi, Tafsir Ayat-Ayat Konsumsi Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ekonomi Islam, Jurnal Ekonomi Islam, vol.1.
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional (Jakarta: Graha Ilmu, 2005).
M. Quraish Shihab, Tafsir al Misbah, Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000).
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam Teori dan Praktek (Dasar-dasar Ekonomi Islam), (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1993).
Muhammad Ruwwās Qal`ah Jiy, Mabāhis fi al-Iqtiṣad al-Islāmiy min Uṣūlihi al-Fiqhiyyah, cet. I (Beirut: Dār al-Nafā‟is, 1991).
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Raja Grafindo, 2010).
Rozalinda, Ekonomi Islam: Teori dan Aplikasinya Pada Aktivitas Ekonomi (Jakarta: Rajawali Press, 2014).
Sumar’in, Ekonomi Islam Sebuah Pendekatan Ekonomi Mikro Perspektif Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013).
Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001).
Komentar
Posting Komentar