MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH KONSEP MUDHARABAH DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH

KONSEP MUDHARABAH DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH


BAB I 

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Sebuah realita yang tidak baik dalam masyarakat terkhusus masyarakat muslim, adalah terjeratnya mereka dalam system perekonomian kapitalis (non Islami) yang hampir tidak satupun terlepas dari praktek riba. Padahal sebuah kewajiban bagi masyarakat muslim untuk berekonomi atau mencari harta sesuai dengan tuntunan Islam, dan Islam telah menuntun umatnya agar menjauhi riba karena riba adalah haram dalam pandangan Islam.

Sejak era reformasi semangat beragama terlihat semakin membaik di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Hal itu dilihat dari bertambah realnya kebebasan menjalankan agama masing-masing bagi masyarakat Indonesia. Sehingga masyarakat muslim sangat menikmati kebebasan itu ditandai dengan munculnya ide-ide menerapkan hukum Islam pada masyarakat Indonsia salah satunya ide menerapkan hukum Islam dalam bidang ekonomi.


Sistem perekonomian Islam mulai dibahas, bagaimana solusi Islam keluar dari system riba yang sudah jelas keharamannya. Buah dari pembahasan-pembahasan itu adalah munculnya bank-bank Islami yang menawarkan system bagi hasil atau muḍārabah. Namun penerapannya apakah sudah sesuai dengan rukun dan syarat muḍārabah? Apakah sudah benar-benar sudah terlepas dari riba? Hal inilah yang mendorong penulis untuk membahasnya dalam tulisan ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian mudharabah ?

2. Apa dasar hukum mudharabah ?

3. Apa rukun dan syarat mudharabah ?

4. Apa jenis mudharabah ?

5. Bagaimana penerapan muḍārabah di perbankan syariah ?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mudharabah

Alqur’an tidak secara langsung menunjukkan istilah mudharabah, melainkan melalui akar kata d-r-b yang diungkapkan sebanyak Limap puluh Delapan kali, dari beberapa kata inilah yang kemudian mengilhami konsep mudharabah.

Mudharabah pada umumnya digunakan sebagai pendukung dalam perluasan jaringan perdagangan. Karena dengan menerangkan prinsip mudharabah, dapat dilakukan transaksi jual beli dalam ruang lingkup yang luas .

Secara terminologi ( Bahasa) Mudharabah adalah masdar dari fiil Madzi (براض) yang berarti berdagang, dan memperdagangkan . Mudharabah juga berasal dari kata Adh dharb fil ar’dhi atau bepergian untuk urusan dagang.

Secara terminologi (Istilah) Mudharabah menurut ulama fiqih adalah sebagai berikut :

1. Madhab Hanafi : “Akad atas suatu syarikat dalam suatu keuntungan dengan modal harta dari suatu pihak dan dengan pekerjaan (Usaha) dari pihak lain. Penjelasan dari pengertian ini adalah Mudharabah adalah suatu akad dan mereka juga menjelaskan unsur unsur pentingnya yaitu : berdirinya syarikat ini atas usaha fisik dari satu pihak dan atas modal dari pihak lain. Namun tidak menjelaskan dalam definisi tersebut cara pembagian keuntungan antara orang yang bersyarikat tersebut.

2. Madzhab Maliki : “suatu pemberian mandat (taukiil) untuk berdagang dengan mata uang tunai yang diserahkan (kepada pengelola) dengan mendapatkan sebagian dari keuntunganya. Dalam definisi imam Maliki telah disebutkan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi dalam mudharabah dan cara pembagian keuntungan dengan pemnbagian secara jelas, sesuai kesepakatan antara yang bersyarikat. Namun dalam definisi Imam Maliki tidak dijelaskan menegaskan kategori mudharabah sebagai suatu akad, melainkan beliau menyebutkan bahwa mudharabah adalah pembayaran (penyerahan modal) itu sendiri.

3. Madzhab Syafi’i : “suatu akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk mengusahakanya dan keuntunganya dibagi antara mereka berdua. Meskipun belaiau (Imam Syafi’i) telah menegaskan kategori mudharabah sebagai suatu akad, namun ia tidak menyebutkan apa yang harus dipenuhi dari persyaratan kedua pihak melakukan akad dan juga ia tidak menjelaskan bagaimana cara pembagian keuntungan.

4. Madzhab Hambali : “Penyerahan suatu modal tertentu dengan jelas jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakanya dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntunganya”. Imam Hambali telah menyebutkan bahwa pembagian keuntungan adalah antara dua orang yang berserikat, namun ia tidak menyebutkan lafadz akad sebagai mana juga belum menyebutkan persyaratan yang harus dipenuhi pada kedua orang yang melakukan sarikat.

Istilah mudharabah merupakan istilah yang paling banyak digunakan oleh bank-bank Islam, prinsip ini juga dikenal sebagai Qiradh, atau Muqaradah.

Imam Saraki, salah seorang pakar perundangan Islam yang dikenal dengan kitabnya “Al-Mabsut” telah memberikan difinisi mudharabah dan keterangan sebagai berikut.

Perkataan Mudharabah adalah diambil dari kata darb (Usaha) diatas bumi, dinamakan demikian karena mudharib berhak untuk bekerja sama bagi hasil atas jerih payah dan usahanya. selain mendapatkan keuntungan ia juga berhak untuk mempergunakan modal dan menentukan tujuan sendiri. Orang-orang Madinah memanggil kontrak jenis ini sebgai “Muqaradah” dimana perkataan ini diambil dari kata “Qardh” yang berarti menyerahkan, dalam hal ini pemilik modal akan menyerahkan hak atas modalnya kepada amil .

Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (Shohibul maal) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (Mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan. Mudharib dalam hal ini memberikan kontribusi pekerjaan, waktu, dan pengelola usahanya sesuai dengan ketentuan yang dicapai dalam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan yang dibagi antara pihak shohibul maal dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disepakati berama.

Secara teknis mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama sebagai shohibul maal (penyedia modal) dan pihak lainya sebagai mudharib (pengelola). Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam akad (Kontrak), sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian tersebut tidak diakibatkan kelalaian pengelola, jika kerugian diakibatkan oleh kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

B. Dasar Hukum Mudharabah

Para ulama dan mazhab sepakat bahwa mudharabah hukumnya diperbolehkan berdasarkan Al- Qur’an, sunnah, dan ijma’ dan qiyas . Dasar hukumnya antara lain:

1. Al-Qur’an

Allah berfirman dalam QS Al-Muzzamil ayat 20.

 •                   •                                            •   •                   •       


Artinya :  Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS-Al-Muzzamil ayat 20).


Allah berfirman dalam QS Al-Jumu’ah ayat 10

                  

Artinya : apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (QS. Al-Jumu’ah ayat 10).





Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 198

                               

Artinya: Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.. (QS Al-Baqarah ayat 198)


Dari ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa Allah SWT. memperbolehkan mudlarabah . Namun demikian, mudlarabah itu sebagai upaya untuk membantu sesama bagi yang membutuhkan modal dan juga diniatkan hanya untuk mencari karunia Allah.

2. Hadist.

 

Artinya:  tiga hal yang didalamnya ada keberkahan, ialah jual beli dengan tempo, akad qiradl, dan mencampur gandum dengan gandum sya’ir untuk (makanan) dirumah dan tidak untuk dijual (H.R. Ibnu Majah) .

3. Ijma’

Diantara Ijma’ dalam mudharabah, adanya riwayat yang menyatakan bahwa jama’ah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak di tentang oleh sahabat yang lainya.

4. Qiyas

Seseorang untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka .

C. Rukun dan Syarat Mudharabah

Rukun Mudharabah akan sempurna jika memenuhi rukun-rukun sebagai berikut :

1. Ada mudharib ( pelaksana usaha ).

Mudharib pada hakikatnya memegang 4 (empat) jabatan fungsioner:

a) Mudharib adalah orang yang melakukan dharb, perjalanan dan pengelolaan usaha, dan dharb ini merupakan saham penyertaan dari padanya.

b) Wakil, manakala berusaha atas nama perkongsian yang dibiayai oleh shahibul maal.

c) Syarik yaitu partner penyerta, karena dia berhak untuk menyertai shahibul maal dalam keuntungan usaha.

d) Pemegang Amanat yaitu dana mudharabah dari shahibul maal, dimana ia dituntut untuk menjaganya dan mengusahakannya dalam investasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama, termasuk mengembalikannya manakala usaha sudah selesai.

2. Ada pemilik dana

3. Ada usaha yang akan dihasilkan

4. Ada nisbah (keuntungan)

Syarat yang harus dipenuhi dalam Mudharabah

1. Shohibul Maal dan Mudharib

Dalam mudharabah ada dua pihak yang berkontrak: penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib). Keduanya ini harus memiliki syarat. Di antaranya:

a) Pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah secara hukum.

b) Keduanya  harus  mampu  bertindak  sebagai  wakil  dan kafil dari masing-masing pihak.

2. Sighat (ijab dan qabul)

Ucapan (sighat) yaitu penawaran dan penerima (ijab dan qabul) harus diucapkan oleh kedua pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk menyempurnakan kontrak

3. Modal (maal)

a) Modal harus berbentuk uang tidak berbentuk barang

b) Modal harus jelas dan diketahui  jumlahnya.

c) Modal harus tunai bukan utang. 

4. Keuntungan (nisbah)

Pembagian keuntungan harus jelas dan bagian masing-masing diambilkan dari keuntungan dagang atau hasil usaha itu, seperti setengah, sepertiga dan seperempat.

D. Jenis Mudharabah

1. Mudharabah Muthlaqoh

Mudharabah Muthlaqoh adalah bentuk kerjasama antara shohibuul maal dan Mudharib yang cakupanya sangat luas dan tidak dibatasi oleh jenis usaha, waktu, tempat, perusahaan, dan pelanggan. Dari penerapan mudharabah muthlaqah ini dikembangkan produk tabungan dan deposito, sehingga terdapat dua jenis produk penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.

Adapun ketentuan umum dalam produk ini adalah:

a. Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

b. Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainya kepada penabung. Untuk deposito Mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan.

c. Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenakan mengalami saldo negatif.

d. Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti deposito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpanjangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.

e. Ketentuan- Ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah .

2. Mudaharabah Muqayyadah

Mudaharabah Muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqoh, mudharib dibatasi dengan jenis usha, waktu, dan tempat usaha.

Jenis  Mudharabah  Muqayyadah  ini  dibedakan  menjadi  dua yaitu :

a. Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat)

Mudharabah muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat) yaitu pemilik dana (shahibul maal) membatasi atau memberi syarat kepada mudharib dalam penglolaan dana seperti misalnya hanya melakukan mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat tertentu saja.

Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.

Adapun kerakteristik  jenis simpanan  ini adalah sebagai berikut:

1) Pemilik dana wajib menerapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank dan wajib membuat akad yang mengatur persyaratan penyaluran dana simpanan khusus.

2) Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.

3) Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainya.

4) Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpan (bilyet) deposito kepada deposan .

b. Al Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet

Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet ini merupakan jenis mudharabah dimana penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.

Adapun  kerakteristik jenis simpanan  ini adalah sebagai berikut:

1) Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana ini dari rekening lainya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administrative.

2) Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.

3) Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.

E. Aplikasi Muḍārabah di Perbankan Syariah

1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya.

2. Deposito special (special investmen), di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabah saja atau ijarah saja.

Apabila dilihat dari segi konsep maka bank syariah sangat bagus, terutama dalam tekad menjahui praktek riba dalam perbankan. Namun kenyataannya masih ditemukan beberapa kendala dan kejanggalan sehingga keinginan untuk keluar dari riba tidak bisa terealisasi dengan sempurna. Berikut ini uraian aplikasi muḍārabah dalam bank syariah kususnya yang berlaku di Indonesia sekaligus tinjauan syar’i terhadap aplikasi tersebut:

1. Akad muḍārabah antara nasabah penabung dengan bank.

Pertama, tabungan berjangka. Sistem atau teknisnya adalah nasabah penabung memiliki ketentuan-ketentuan umum yang ada pada bank seperti syarat-syarat pembukaan, penutupan rekening, mengisi formulir, menyertakan fotokopi KTP, specimen tanda tangan, dan lain sebagainya. lalu menyebutkan tujuan dia menabung, misal untuk pendidikan anak, lalu disepakati nominal yang disetor setiap bulannya dan tempo pencairan dana. Pada praktiknya, dana akan cair pada saat jatuh tempo plus bagi hasil dari usaha muḍārabah. Secara kenyataan di lapangan, pihak bank bisa langsung memberikan hasil muḍārabah secara kredit tiap akhir bulan.

Kedua, Deposito biasa Ketentuan teknisnya sama seperti ketentuan umum yang berlaku di semua bank. Pada produk ini, pihak penabung bertindak sebagai shahibul maal (pemodal) dan pihak bank sebagai mudharib (amil). Pada praktiknya harus ada kesepakatan tenggang waktu antara penyetoran dan penarikan agar modal (dana) dapat diputarkan. Sehingga ada istilah deposito 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.

Juga dibicarakan nisbah (persentase) bagi hasilnya dan biasanya dana akan cair saat jatuh tempo. Secara kenyataan, semua akad pada tabungan berjangka dan deposito tertuang pada formulir yang disediakan pihak bank di setiap Customer Service (CS)nya.

Ketiga, Deposito khusus (special investment) Dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. Keumuman bank syariah tidak menerapkan produk ini.

Secara hukum syar’i, akad yang tertuang dalam formulir yang disediakan pihak bank cukup transparan, sesuai dengan prinsip syariah dan berbeda dengan Bank Konvensional. Pada akad, Bank Syariah sangat terkait dengan akad-akad muamalah syari’ah. Bank konvensional tidak terikat dengan aturan manapun.Pada imbalan yang diberikan,Bank syariah menerapkan prinsip muḍārabah, sehingga bagi hasil tergantung pada: Pendapatan bank (hasil/laba usaha), Nominal deposito nasabah, Nisbah (persentase) bagi hasil antara nasabah dan bank serta Jangka waktu deposito. Sedangkan Bank konvensional menerapkan konsep biaya (cost concept) untuk menghitung keuntungan. Artinya bunga yang dijanjikan di muka kepada nasabah penabung merupakan ongkos yang harus dibayar oleh bank. Di sinilah letak riba pada bank konvensional. Selanjutnya pada sasaran pembiayaan, Bank Syariah terikat dengan usaha-usaha yang halal. Bank konvensional terjun dalam semua usaha yang halal maupun haram.

Bentuk akad pada bank syariah tersebut dan perbedaannya dengan bank konvensional menjadi nilai lebih untuk bank syariah, namun demikian, ada beberapa hal yang perlu disoroti pada akad muḍārabah antara penabung dan bank syariah, di antaranya adalah, Pertama, bila terjadi kerugian pada usaha bank atau bank ditutup/bangkrut. Semua bank, baik konvensional maupun syariah harus terikat dan dinaungi oleh sebuah lembaga independen yang resmi  yaitu  Lembaga  Penjamin  Simpanan  (LPS).  Setiap  bank mengasuransikan seluruh dana simpanan nasabah kepada lembaga tersebut,  pihak  bank  yang  membayar  preminya.  Bila  terjadi kerugian/pailit pada pihak bank, maka LPSlah  yang mengganti semua dana simpanan dari nasabah penabung paling banyak Rp 2 miliar (sesuai Peraturan Pemerintah No. 66 Th. 2008, red).

Bila demikian kenyataan di lapangan yang tidak mungkin dipungkiri maka hakikat sesungguhnya adalah bukan akad muḍārabah tetapi akad pinjaman (qiradh) yang karakteristik intinya adalah harus mengembalikan pinjaman, apapun yang terjadi. Dalam hal ini maka akad antara penabung dan bank syariah juga tidak terlepas dari riba karena, (1) Pinjaman tersebut mengandung unsur bunga, dalam hal ini adalah bagi hasil yang dicapai. (2) Kerugian ditanggung mudharib (bank), hal ini menyalahi prinsip muḍārabah yang syar’i seperti telah diuraikan sebelumnya. Kerugian modal yang terjadi pada usaha muḍārabah murni ditanggung modal bukan amil/muḍārib. (3) Pihak bank tidak terlepas dari asuransi bisnis yang diharamkan dalam Islam. 

2. Pembiayaan yang dilakukan pihak bank kepada nasabah peminjam.

Pada umumnya banyak bank syariah yang tidak mengalokasikan dana pembiayaan ke produk muḍārabah dikarenakan risiko yang cukup tinggi, sehingga bank syariah lebih banyak mengalokasikan pembiayaan kepada produk murābaḥah. Padahal bank hanya menghimpun dana dari nasabah-nasabah penabung selaku ṣāhibul māl yang sesungguhnya. Jadi pada hakikatnya, pihak bank tidak memiliki modal hingga layak disebut pemilik modal (ṣāhibul māl) hingga bisa merobah jenis akad dari muḍārabah kepada murābhāh. Bank hanyalah sebagai perantara/wakil para nasabah penabung untuk melakukan akad muḍārabah dan yang lainnya dengan nasabah peminjam. Inilah yang disebut dengan istilah mudharabatul muḍārib.

Seharusnya kalau harus terjadi perubahan maka sebenarnya diperbolehkan jika ada izin khusus dari nasabah penabung (ṣāhibul māl), dan muḍārib (bank) tidak mendapatkan laba muḍārabah tapi hanya dapat ujratul wakalah (upah sebagai wakil) baik terlibat langsung dalam usaha atau tidak.


Selanjutnya apabila terjadi kerugian pada usaha nasabah diluar prediksi semua pihak, maka secara prinsip muḍārabah yang syar’i, kerugian yang terjadi selama bukan karena kelalaian dan kecerobohan amil murni ditanggung modal, dalam hal ini adalah bank. Amil tidak dibebani apapun kecuali dia rugi tidak dapat laba dari usaha tersebut.


Praktik yang terjadi di dunia bank syariah cukup beragam. semua bank mempersyaratkan pada akad muḍārabah, semua aset nasabah yang digunakan untuk usaha harus diasuransikan terlebih dahulu. Ini sebagai upaya pengamanan bilamana terjadi sesuatu di luar prediksi semua pihak. Sebagian bank syariah langsung melakukan penyitaan aset nasabah yang mengalami kebangkrutan atau menuntut pengembalian modal muḍārabah.

Tindakan di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kerugian ditanggung amil. Hal ini jelas menyalahi prinsip muḍārabah yang syar’i. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, hakikat akad sesungguhnya bukan qiraḍ (muḍārabah) tapi qarḍ (pinjaman) yang harus ada pengembalian pinjaman apapun yang terjadi pada pihak peminjam. Dan sebagian bank syariah tidak berani melakukan penyitaan secara langsung karena paham tentang konsekuensi akad muḍārabah yaitu kerugian ditanggung bank. Mereka pun melakukan upaya lain yaitu kompromi (islah) dengan pihak nasabah. Misal, Meminta nasabah menjual aset yang ada. Kalau dicermati intinya dalam prkatek ini adalah modal muḍārabah harus kembali dan kerugian ditanggung amil (nasabah).


Pihak bank sebenarnya memiliki alasan kenapa harus melakukan upaya-upaya di atas. Alasannya adalah, pada saat pihak bank mengeluarkan pembiayaan untuk modal muḍārabah dengan nasabah, pihak bank diharuskan untuk mempersiapkan “dana talangan”. Besar kecilnya dana tersebut tergantung kelancaran usaha nasabah. bila lancar maka dana talangannya 1 % dari pembiayaan, bila tidak lancar maka dana talangan semakin diperbesar menjadi 5 %, 15 %, dan seterusnya. bila sampai sembilan bulan nasabah tidak membayarkan bagi hasil usaha maka dana talangannya menjadi 100 %. Ini adalah ketentuan resmi dari Bank Indonesia (BI) untuk semua bank. Tujuannya supaya usaha nasabah yang tidak lancar tersebut bisa dihapuskan dan untuk kelancaran bank itu sendiri.



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama sebagai shohibul maal (penyedia modal) dan pihak lainya sebagai mudharib (pengelola). Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam akad (Kontrak), sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian tersebut tidak diakibatkan kelalaian pengelola, jika kerugian diakibatkan oleh kelalaian pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Rukun Mudharabah akan sempurna jika memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:

1. Ada mudharib ( pelaksana usaha ).

2. Ada pemilik dana

3. Ada usaha yang akan dihasilkan

Syarat yang harus dipenuhi dalam Mudharabah

1. Shohibul Maal dan Mudharib

2. Sighat (ijab dan qabul)

3. Modal (maal)

4. Keuntungan (nisbah)

Penerapan muḍārabah di perbankan syariah

1. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban dan sebagainya.

2. Deposito special (special investmen), di mana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabah saja atau ijarah saja.

Apabila dilihat dari segi konsep maka bank syariah sangat bagus, terutama dalam tekad menjahui praktek riba dalam perbankan. Namun kenyataannya masih ditemukan beberapa kendala dan kejanggalan sehingga keinginan untuk keluar dari riba tidak bisa terealisasi dengan sempurna.



B. Saran 

Melihat kondisi akad muḍārabah pada bank syariah seperti yang dipaparkan di atas maka hal itu masih menjadi PR bagi semua praktisi ekonomi Islam Indonesia khususnya perbankan syariah untuk mencarikan jalan keluar dari kendala yang ada dan mengonsep dengan serius praktek muḍārabah dalam bank syariah agar benar-benar terlepas dari riba.

DAFTAR PUSTAKA


Abdullah saeed, Bank Islam dan Bunga, Pustaka Belajar, Yogyakarta, Cet II, 2004.

Abu Abdillah Muhammad Afifuddin, “Macam-macam Riba,” Majalah Asy Syariah, No. 28/III1428 H/2007.

Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih Dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, Cet 2.

Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajar al Kanani al ad Qolani Qohiro, Subul Salam, Bandung: Dahlan, 1982.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat, Jakarta: AMZAN, 2010.

Muhammad Yunus, Kamus Bahasa Arab Indonesia, Jakarta 2000.

Muhammad, Tehnik perhitungan bagi hasil dan profit margin pada bank syari’ah, UII Press, Yogyakarta, 2004.

Rahmat Syafei,Fiqh Muammalah, Bandung: Pustaka Ceria, 2001.

Wiroso, SE, M.B.A, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil Usaha Bank Syari’ah, Jakarta, PT. Grasindo, 2005.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN