MAKALAH USHUL FIQH TENTANG ISTIHSAN
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
USHUL FIQH TENTANG ISTIHSAN
Oleh: Ulan Dari Daulay
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, tingkah laku, dan tutur katanya tidak dapat terlepas dari ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari’at yang tercantum dalam al-Qur’an dan as-Sunnah maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber-sumber lain yang diakui oleh syari’at
Pembaharuan hukum merupakan keharusan sejarah karena fenomena sosial kemasyarakatan tidaklah statis atau tetap, melainkan selalu berubah. Jadi, selain bersifat permanen, hukum juga berubah. Hukum selain bersifat statis dan tetap, pada saat yang sama juga berubah dan diperbaharui agar sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Hukum Islam baik dilihat sebagai produk ilmu maupun sebagai ilmu, serta dari perspektif tajdid, niscaya memerlukan perubahan dan pembaharuan. Hal ini sejalan dengan anggapan bahwa Islam adalah agama rahmat yang melepaskan manusia dari berbagai belenggu penghambaan dan juga sebagai agama yang sempurna, mengatur setiap dimensi kehidupan.
Ihtihsan merupakan sumber hukum Islam yang diperselisihkan oleh Fuqaha di samping ‘Urf, Istishhab, Istishlah (al-Mashlahah al-Mursalah),Syar’u Man Qablana, dan Madzhab Shahabi. Dari masing-masing sumber hukum Islam tersebut ada ulama yang mau menerimanya sebagai sumber dan metode hukum Islam dan ada pula ulama yang menolaknya untuk dijadikan sumber dan metode hukum Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah :
a. Apa pengertian Istihsan ?
b. Apa saja dalil hukum istihsan ?
c. Bagaimana Pembagian macam-macam Istihsan?
d. Bagaimana pendapat Ulama mengenai Istihsan?
e. Seperti apakah Kehujjahan Istihsan?
f. Bagaiman Implikasi sitihsan terhadap produk hokum (fiqh) ?
1.3 Tujuan Makalah
Makalah ini bertujuan untuk menambah wawasan, informasi, serta pengetahuan mahasiswa mengenai rumusan masalah diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Istihsan
Secara etimologi istihsan berasal dari kata al-hasan, yang berarti sesuatu yang baik. Dengan adanya huruf tambahan alif, sin dan ta’, maknanya menjadi “menganggap baik sesuatu.” Sedangkan secara terminologi, istihsan memiliki makna yang beragam, di antaranya:
1. Berpindahnya dari hukum sebuah masalah pada yang semisalnya karena adanya dalil yang lebih kuat.
2. Sesuatu yang dianggap baik oleh Mujtahid menurut penalarannya
3. Dalil yang terbentuk dalam diri seseorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.
Selanjutmya, defenisi berdasarkan beberapa Mazhab yang berbeda-beda sesuai dengan tinjauannya masing-masing dan kemampuannya dalam menyimpulkan pengertian istihsan di dalam kata-kata, diantaranya pengertian tersebut adalah sebagai berikut :
Mazhab Hanafi
1. Menurut al-Bazdawi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan keharusan menggunakan Qiyas dan berpindah kepada Qiyas yang lebih kuat atau men-takhshish Qiyas dengan dalil yang lebih kuat dari Qiyas tadi.
2. Menurut an-Nasafy bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas menuju kepada suatu Qiyas yang lebih kuat atau dalil yang berlawanan dengan Qiyas Jalli.
3. Menurut Abu Hasan al-Karkhi bahwa Istihsan ialah: Perpindahan seorang mujtahid di dalam memberikan hukum dalam suatu masalah, seperti yang sudah diberikan hukum padanya kepada hukum yang berbeda dengan hukum yang sudah ditentukan tersebut, karena ada segi yang lebih kuat dari hukum sebelumnya (hukum pertama) sehingga menyebabkan perpindahan dari hukum tersebut (hukum pertama kepada hukum selanjutnya / kedua).
Mazhab Maliki
1. Menurut Ibnu Arabi bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan ketetapan dalil dengan cara mengecualikan dan meringankan, karena ada perhitungan yang menentangnya di dalam sebagian dari ketetapannya.
2. Menurut asy-Syatibi bahwa Istihsan ialah: (Istihsan menurut pendapatku dan menurut pendapat Ulama-ulama Hanafiyah) yaitu; Beramal dengan dalil yang lebih kuat diantara 2 dalil.
3. Menurut Ibnu Rusyd bahwa Istihsan ialah: Meninggalkan suatu Qiyas yang membawa kepada yang berlebih-lebihan (melampaui batas) di dalam hukum dan berpindah kepada hukum lain yang merupakan pengecualian.
Mazhab Hambali memberikan definisi Istihsan antara lain seperti yang telah dikemukakan oleh ath-Thufi (definisi yang paling baik) ialah: Perpindahan dari suatu hukum tentang suatu kasus, karena ada dalil syara’ yang khusus.
Kemudian, istihsan menurut istilah ushul fiqh seperti yang dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhaili, teridiri dari dua defenisi, yaitu :
1. Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jadi karena ada petunjuk untuk itu
2. Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
2.2 Dalil Hukum Istishan
Para ulama yang menerima Istihsan sebagai dalil hokum, mereka mengembalikan dasar Istihsan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah :
Q.S Az-Zumar:17-18
وَالَّذِيْنَ اجْتَنَبُوا الطَّاغُوْتَ اَنْ يَّعْبُدُوْهَا وَاَنَابُوْٓا اِلَى اللّٰهِ لَهُمُ الْبُشْرٰى ۚ فَبَشِّرْ عِبَادِ ۙ ﴿ ۱۷﴾
لَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ اَحْسَنَهٗ ۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ هَدٰىهُمُ اللّٰهُ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمْ اُولُوا الْاَلْبَابِ ﴿ ۱۸﴾
Artinya :
Dan orang-orang yang menjauhi tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, (QS. Az-Zumar: 17) (yaitu) mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat. (QS. Az-Zumar: 18)
QS. Az-Zumar 55
وَاتَّبِعُوۡۤا اَحۡسَنَ مَاۤ اُنۡزِلَ اِلَيۡكُمۡ
Artinya :
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur'an) dari Tuhanmu
Q.S Al-A’raf 145
وَكَتَبْنَا لَهٗ فِى الْاَلْوَاحِ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَّوْعِظَةً وَّتَفْصِيْلًا لِّكُلِّ شَيْءٍ ۚ فَخُذْهَا بِقُوَّةٍ وَّأْمُرْ قَوْمَكَ يَأْخُذُوْا بِاَحْسَنِهَا ۗسَاُورِيْكُمْ دَارَ الْفٰسِقِيْنَ ﴿الأعراف : ۱۴۵﴾
Artinya :
Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada lauh-lauh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan untuk segala hal; maka (Kami berfirman), “Berpegangteguhlah kepadanya dan suruhlah kaummu berpegang kepadanya dengan sebaik-baiknya, Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang fasik.” (QS. Al-A’raf: 145)
As-Sunnah yang diriwayatkan oleh HR.Ahmad Ibn Hambal yang artimya “Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka baik pula di Sisi Allah”
QS An-Nahl 44
بِالۡبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِؕ وَاَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُوۡنَ
Artinya :
(mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan Adz-Dzikr (Al-Qur'an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.
2.3 Macam-macam Istihsan
Setelah memaparkan beberapa pengertian yang diberikan oleh para ulama tentang istihsan, maka sebagai konsekuensi dari keragaman definisi tersebut, mereka juga berbeda dalam pembagiannya. Abu Hanifah (mazhab Hanafi) membagi ke dalam lima kategori:
1. Istihsan dengan nas yakni penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash-al-Kitab dan Sunnah. Istihsan dalam bentuk ini terdapat dalam beberapa masalah yang bersumber dari nash namun kontradiksi dengan kaidah umum yang berlaku, misalnya jual beli salam (transaksi atas suatu benda yang tidak tampak). Jual beli semacam ini jelas dilarang menurut syara’. Sebab salah satu syarat sahnya jual beli adalah benda yang diperjualbelikan harus ada (wujudnya).
Akan tetapi larangan tersebut dapat ditakhsis berdasarkan pertimbangan istihsan dengan adanya nash khusus yang membolehkannya. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ketika Nabi berdomisili di Madinah, beliau menyaksikan kebiasaan penduduk Madinah melakukan jual beli buah-buahan yang belum jelas wujudnya satu hingga dua tahun. Melihat transaksi seperti itu, Nabi justru membolehkan dengan ketentuan dan masa yang telah diketahui
2. Istihsan dengan ijma’ yaitu mengabaikan penggunaan qiyas pada suatu persoalan karena ijma’. Istihsan seperti ini terjadi apabila muncul fatwa para mujtahid tentang suatu persoalan tidak sesuai dengan kaidah umum yang telah ditetapkan, atau mereka bersikap diam dan tidak mencegah perbuatan masayarakat yang sebenarnya bertentangan dengan dasar-dasar pokok yang ada. Misalnya, penyewaan kamar mandi umum yang biasa dilakukan masyarakat tanpa merinci berapa lama dan jumlah air yang digunakan. Meurut kiyas, perjanjian sewa-menyewa ini tidak sah (batal). Akan tetapi secara istihsan para ulama sepakat membolehkan hal itu sekalipun tanpa menyebutkan lama dan jumlah pemakaian air. Tampaknya ijma ulama dalam memandang istihsan seperti ini didasarkan pada pertimbangan menjauhkan masyarakat dari kesulitan bermuamalah dan mengedepankan kemaslahatan sesuai dengan tujuan syari’at.
3. Istihsan dengan Darurat Hajat ialah adanya kondisi darurat dan kebutuhan yang mengharuskan seorang mujtahid tidak memberlakukan kiyas atau kaidah umum atas suatu masalah. Contoh, kasus sumur atau kolam yang kemasukan najis. Berdasarkan kaidah umum bahwa sumur atau kolam yang terkena najis tidak boleh digunakan. Namun, karena kondisi darurat yang menghendakinya dan air itu sangat dibutuhkan oleh orang banyak, maka dalam keadaan seperti itu dibolehkan. Menurut kalangan Hanafiyah, untuk menghilangkan najisnya cukup dengan memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur atau kolam tersebut. Hal itu dilakukan mengingat situasi darurat menghendaki agar orang tidak menemui kesulitan dalam memenuhi kebutuhan terhadap air.
4. Istihsan dengan Urf dan Adat yakni penyimpangan penetapan hukum dari ketentuan kiyas karena adanya urf yang sudah biasa dipraktekkan dan telah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan dan pakaiannya. Abu Hanifah membolehkan mengupah wanita untuk menyusui bayi dengan upah yang sudah diketahui, demikian pula pemenuhan terhadap makanan dan pakaiannya.
5. Istihsan dengan qiyas khafi yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum kiyas yang jelas kepada ketentuan hukum kiyas yang samar-samar dan tidak jelas, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untk diamalkan. Seperti, wakaf lahan pertanian. Menurut qiyas jaliy, wakaf itu sama dengan jual beli, sebab pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindahtangankan lahan tersebut. Oleh karean itu, hak orang lain atas lahan tersebut, misalnya hak melewati, hak mengalirkan air ke tanahnya melewati lahan itu tidak termasuk dalam akad wakaf kecuali bila dinyatakan dalam akad. Sedangkan menurut qiyas khafiy, wakaf itu sama dengan Sewa menyewa, sebab maksudnya tiada lain kecuali pemanfaatan lahan pertanian. Dengan demikian, maka seluruh hak orang lain pada lahan itu seperti hak melewati, hak mengalirkan air di atasnya termasuk dalam akad wakaf, walaupun tidak disebutkan ketika akad terjadi.
Selanjutnya, akan dikemukakan pembagian istihsan menurut mazhab Maliki. Para pengikut mazhab ini membedakannya dalam tiga kategori sebagi berikut:
1. Istihsan yang disandarkan kepada Urf Mazhab maliki memberi contoh istihsan yang disandarkan pada adat kebiasaan yang berlaku umum (urf), yakni orang yang bersumpah tidak akan makan daging. Jika orang tersebut makan ikan, maka tidaklah dianggap melanggar sumpah, meskipun Al-qur‟an menyamakan ikan dengan daging. Memang, al-qur‟an menyebut ikan dan daging dengan menggunakan satu lafal yakni lahmun, akan tetapi menurut urf, ikan tidak dikategorikan daging.
2. Istihsan yang disandarkan pada keadaaan untuk menghilangkan kesulitan. Yaitu istihsan yang disandarkan pada kemaslahatan. Dalam artian, meninggalkan penggunaan kiyas karena pertimbangan maslahat yang lebih penting. Misalnya, apabila seseorang menyewa suatu barang, kemudian barang tersebut rusak bukan kesalahan penyewa, maka menurut kiyas penyewa tidak menanggung resiko atas kerusakan barang tersebut. Akan tetapi, ketentuan ini tidak berlaku karena demi kemaslahatan, penyewa dituntut untuk bertanggung jawab atas kerusakan barang tersebut.
3. Istihsan yang disandarkan pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan yakni istihsan yang disandarkan pada menghindari kesulitan yang dihadapi. Bentuk istihsan seperti ini sebenarnya hampir sama dengan istihsan
Pada umumnya kategori ke tiga ini banyak dijumpai pada persoalan muamalah dan ibadah. Mengamati pembagian istihsan yang dikemukakan oleh mazhab Hanafi dan Maliki tersebut, ditemukan adanya perbedaan dan persamaannya. Perbedaannya adalah dari segi pengelompokannya, sedang persamaannya, keduanya mengakui adanya istihsan denagn urf dan istihsan karena darurat dan hajat (Hanafi) yang bisa diidentikkan dengan maslahat (Maliki).
Untuk lebih jelasnya gambaran pembagian istihsan menurut kedua mazhab dapat dilihat pada tabel berikut
Mazhab Hanafi Mazhab Maliki
1. Istihsan dengan nas
2. Istihsan dengan ijma’
3. Istihsan dengan darurat dengan hajat 1. . Istihsan dengan maslahat
4. Istihsan dengan urf 2. Istihsan dengan urf
5. 5. Istihsan qiyas khafiy 3. Istihsan dengan raf‟u al-haraj
Catatan: persamaan antara keduanya adalah urutan 3 dan 4 (Hanafi) dan urutan 1 dan 2 (Maliki).
2.4 Pendapat Ulama mengenai Kehujjahan Istihsan
Ada tiga pendapat Ulama tentang nilai Istihsan sebagai hujjah yaitu :
1. Pendapat ulama Hanafiyah,Malikiyah, dan Hanbaliyah yang mengatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara’ denga alas an yaitu :
a. Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum yang ternyata bahwa penggunaan Qiyas adalah menerapkan yang umum atau dalil yang Kulli yang kadang-kadang di dalam beberapa kasus menyebabkan hilangnya kemashlahatan manusia, karena kasus-kasus ini mempunyai kekhususan-kekhususan tersendiri. Hal ini merupakan suatu keadilan dan rahmat bagi semua manusia apabila dibuka jalan bagi seorang mujtahid di dalam memecahkan kasus seperti ini yaitu men-tarjih dalil agar tercapai kemashlahatan dan menolak kemadharatan, dengan kata lain seperti ungkapan dalam kaidah fikih yaitu: “Dar’u al-Mafasid wa Jalbu al- Mashalih” artinya: “Menolak kemafsadatan dan meraih kamashlahatan”. Jadi Istihsan digunakan untuk mendapatkan kemashlatan dan menolak kemadlaratan atau menemukan mashlahat yang lebih kuat dan madlarat yang lebih sedikit.
b. Istihsan ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap Nash-nash Syara‟ yang menunjukan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana berpindah dari sebagian kasus-kasus yang bisa digunakan Qiyas atau umumnya Nash kepada hukum lain yang memberikan kemashlatan dan menolak kemafsadatan, misalnya Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih selain atas nama Allah (alaGhairillah)
2. Ulama-ulam yang menolak Istihsan sebagai dalil syara’, mereka beralasan sebagai berikut :
a. Syari’at itu berupa Nash atau mengembalikan kepada Nash dengan Qiyas, maka di manakah letaknya Istihsan dan dalam hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang terdapat di dalam al-Qur’an surat al-Qiyamah: 36 yang artinya: “Apakah manusiam mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggunganjawab)?”.
b. Istihsan tidak ada dlabit-nya dan tidak ada ukuran-ukuran untuk mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang mujtahid suatu kasus, maka dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang dianggap baik sesuai dengan seleranya.
c. Apabila Istihsan dibolehkan dalam berijtihad yang tidak berdasarkan dengan Nash atau tidak dikembalikan kepada Nash, maka Istihsan boleh dilakukan oleh siapa saja meskipun tidak mengetahui al- Qur‟an. Atas dasar alasan-alasan ini, maka Imam asy-Syafi’iberkesimpulan bahwa: “Man Istahsana Faqad Syara‟a” artinya: “Barang siapa yang menetapkan hukum dengan Istihsan berarti dia telah membuat syari‟at sendiri”.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara’, bukan juga dengan dalil yang Mustaqil, akan tetapi kembali kepada dalil syara’yang lain, sebab setelah diteliti tujuan pokok Istihsan itu tetap kembali kepada mashlahat. Pendapat ini dipegang (antara lain) oleh Imam asy-Syafi’i di dalam menentang Istihsan yang kemudian kita bandingkan dengan definisi Istihsan yang telah dikemukakan di atas (tidak ada pertentangan yang prinsip). Alasannya (baik Madzhab Syafi‟i maupun Madzhab Hanafi), apabila Istihsan diartikan sebagai apa-apa yang dianggap baik oleh manusia saja sesuai dengan keinginan hawa nafsunya tanpa adanya dalil, sehingga yang demkian itu adalah bathil dan tidak bisa diterima. Imam Asy-Syaukani mengenai hal ini mengatakan bahwa orang yang mengambil Istihsan sebagaii dalil, tidaklah ia semata-mata mendasarkan pendapatnya kepada perasaan dan syahwatnya, tetapi ia kembali kepada apa yang ia ketahui tentang maksud syara’ secara keseluruhan.
Ulama yang menjadikan istihsan sebagai hujjah mengatakan bahwa sudah ada kesepakatan (ijma’) dari para ulama tentang kebolehan menggunakan istihsan seperti kebolehan jual beli salam dan juga bolehnya menentukan harga penggunaan kamar mandi umum walaupun ada ketidakpastian tentang waktu penggunaan dan jumlah air yang terpakai.
Istihsan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh ulama’ Syafi’iyyah dan Zhahiriyyah. Imam asy-Syafi'i dalam kedua karyanya ar-Risalah dan al-Umm23 secara panjang lebar menjelaskan alasan penolakannya terhadap istihsan. Di antara alasan yang dipakai oleh asy-Syafi'i adalah sebagai berikut:
a. Allah melarang adanya penetapan hukum kecuali dengan nash atau yang diqiyaskan pada nash. Istihsan tidak termasuk kedua hal tersebut, sehingga bisa dimasukkan pada kategori menetapkan hukum dengan hawa nafsu yang terlarang. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah (5): 48:
احۡكُمۡ بَيۡنَهُمۡ بِمَاۤ اَنۡزَلَ اللّٰهُ وَلَا تَتَّبِعۡ اَهۡوَآءَهُمۡ
Artinya:
“Maka putuskanlah perkaran mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikut keinginan mereka”
b. Rasulullah tidak pernah memberikan keputusan hukum dengan dasar istihsan, akan tetapi selalu menunggu turunnya wahyu. Andaipun Nabi SAW menggunakan istihsan, pasti tidak akan salah karena Nabi tidak pernah mengucapkan sesuatu berdasar pada hawa nafsunya.
c. Dasar istihsan adalah akal, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara ‘alim dengan jahil. Kalau setiap orang boleh memakai istihsan, tentunya setiap orang boleh membuat hukum untuk dirinya sendiri.
Mengenai dasar yang dipakai oleh para pendukung istihsan, mereka memberikan pemahaman yang berbeda, mengenai suarat az-zumar ayat 18 misalnya, ulama syafi’iyah mengatakan bahwa ayat tersebut tidak menunjukkan adanya istihsan, juga tidak menunjukkan kewajiban mengikuti perkataan yang terbaik. Surat az-zumar ayat 55 juga menunjukkan bahwa istihsan adalah dalil, apalagi menjadikannya sebagai yang terbaik.
Jika dicermati pandangan para pendukung dan penolak kehujjahan istihsan, maka akan tampak bahwa ada perbedaan mendasar tentang apa yang dimaksud dengan istihsan. Para Ulama yang menjadikan istihsan sebagai hujjah pada dasarnya tidak serta merta memberikan kebebasan pada akal dan logika untuk menetapkan hukum tanpa batasan dan dasar yang jelas, bahkan mazhab Hanafi menjadikan istihsan sebagai bagian dari qiyas, dan qiyas merupakan salah satu metode penetapan hukum yang disepakati oleh sebagian besar ulama' termasuk asy-Syafi'I yang menolak penggunaan istihsan. Dalam pembahasan tentang macam-macam istihsan di atas, tampak bahwa istihsan diberlakukan pada masalah-masalah yang tidak ada
nashnya sama sekali ataupun ada nash akan tetapi tidak mendukung terlaksananya maqashid asy-syari’ah. Sedangkan para ulama yang menolak istihsan pada dasarnya menolak istihsan sebagai langkah hati-hati dan adanya kekhawatiran adanya penggunaan akal dan logika secara berlebihan sehingga mengesampingkan nash, di mana pandangan seperti ini pada dasarnya juga tidak disetujui oleh para pendukung istihsan. Artinya, mereka juga menolak penggunaan istihsan yang hanya berlandaskan pada logika dan akal tanpa ada dalil yang kuat.
Hal ini menunjukkan, bahwa perbedaan mengenai kehujjahan istihsan hanya bersifat redaksional atau lafaz, bukan pada hakekat istihsan secara istilah. Al-Buthi misalnya, mengatakan bahwa keinkaran asy-Syafi'i pada istihsan bukan dari sisi dijadikannya istihsan sebagai dalil yang mandiri, akan tetapi sebenarnya pada penggunaan ungkapan yang tidak tepat dalam mendefinisikannya
Penjelasan di atas diperkuat oleh kenyataan bahwa imam al-Syafi'i dalam beberapa kesempatan juga menggunakan istihsan. Misalnya beliau mengatakan dalam masalah mut’ah (pemberian pada wanita setelah ditalak): “Saya tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan tetapi saya memandang lebih baik (Istihsan) jika kadarnya 30 dirham.” Dalam masalah perpanjang masa syuf’ah, beliau mengatakan: “Saya menganggap baik (astahsinu) masa syuf’ah adalah 3 hari.” Ketika beliau ditanya tentang seorang pencuri yang menyodorkan tangan kirinya (untuk dipotong) padahal tangan yang harus dipotong adalah tangan kanan, maka beliau berkata: “Qiyas mengharuskan dipotong tangan kanannya, akan tetapi istihsan menghendaki tangan kanannya tidak dipotong”.
Dengan demikian istihsan erat kaitannya pertimbangan maslahat, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Sebab tujuan akhir semua perintah dan larangan dalam syariat Islam adalah untuk kemaslahatan manusia (maqasid al-syari’ah), baik melalui jalbu masalih muapun dar’u mafasid. Maqasid al-syari’ah tidak terlepas dari dimensi insani. Bahkan ketentuan dalam syariat Islam itu sendiri senantiasa berada dalam jangkauan kemampuan manusia
2.5 Implikasi Istihsan terhadap produk hokum (fiqh)
Setelah mengemukakan pembagian dan kehujjahan istihsan, selanjutnya akan diuraikan beberapa contoh tentang implikasinya dalam proses istimbat hukum. Tampaknya eksistensi istihsan yang kontroversial di kalangan fuqaha dapat berpengaruh pada hasil ijtihad mereka, seperti dalam kasus berikut ini:
1. Lelaki yang berada di belakang perempuan dalam shalat
Berdasarkan sunnah, para ulama sepakat bahwa apabila laki-laki dan perempuan melakukan shalat berjama’ah, maka perempuan berda di barisan belakang laki-laki. Namun mereka berbeda pendapat mengenai seorang perempuan yang melaksanakan shalat berjama‟ah berada tepat pada barisan laki-laki atau laki-laki yang menunaikan shalat berjama‟ah tepat berada pada barisan perempuan
a. Abu hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa dianggap batal shalat seorang laki-laki yagn menghadap (berda dibelakang) perempuan, dan tidak dianggap batal shalat perempauan yang menghadap (berada dibelakang) laki-laki. Abu ahnifah berpendpaat dalam kitab Bidayah al-Mubtadi (255:1) seperti yang dikutip oleh Mustafa Dib al-Bugha, bahwa apabila dh ahdapan laki-laki terdapat seorang perempuan dan kedaunya sama-sama dalam satu shalat, maka shalat laki-laki itu batal jika ia berniat sebagai makmum dari perempuan tersebut.Pendapat hanafiuyah tentang batalnya shalat seorang laki-laki yang berada dibelakang perempuan atas pertimbangan istihsan. Alasan istihsan itu didasarkan pada perintah Rasulullah untuk menempatkan laki-laki di shap depan dan perempuan di belakang, sebab jika kaum pria berada di belakang shap wanita maka shalat fardhunya dianggap tertinggal dan shalatnya pun batal. Perintah rasulullah saw tersebut berbunyi: “akhirkanlah mereka (perempuan) seperti halnya allah mengakhirkannya.
b. Imam yang tiga (Malik, Syafi’i dan Ahmad) berpendapat bahwa shalat tersebut adalah makruh, akanb tetapi shalat mereka baik laki-laki maupun perempuan tidak batal. Dalam syarh al-kabir (333:1) seperti yang dikutip oleh Musatafa Dib al-bugha bhawa shalat seorang laki-laki yang berada di antara barisan perempuan dan atau sebaliknya adalah makruh. Demikian halnya shalat seseorang baik laki-laki yang berada di belakang perempuan maupun sebaliknya adalah mnkruh.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pada hakekatnya Istihsan digunakan untuk mendapatkan kemashlatan dan menolak kemadharatan atau dengan kata lain digunakan untuk menemukan kemaslahatan yang lebih kuat atau kemadlaratan yang lebih sedikit, sehingga Istihsan bisa dikatakan untuk digunakan sebagai sumber dan metode hukum Islam. Sebab Istihsan ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap Nash-nash Syara‟ yang menunjukan bahwa Allah SWT Yang Maha Bijaksana berpindah dari sebagian kasus-kasus yang bisa digunakan dengan Qiyas (umumnya nash) kepada hukum lain yang memberikan kemashlatan dan menolak kemafsadatan (kemadlaratan). Istihsan bisa juga dikatakan sebagai dalil syara‟, akan tetapi bukan dalil yang Mustaqil, namun demikian ia harus kembali kepada dalil syara‟ yang lain sebab setelah diteliti tujuan pokok Istihsan itu tetap kembali kepada mencari kemaslahatan dan menolak kemadlaratan.
Istihsan versi mazhab Hanafi dan Maliki terdapat perbedaan dan persamaan. Persamaannya adalah keduanya mengakui adanya istihsan dengan „urf dan istihsan darurat dan hajat (hanafi) yagn bisa diidentikkan denagn maslahat (Maliki). Sedangkan perbedaannya dapat dilihat dari segi pengelompokannya. Jika diperhatikan penyebab perselisihan ulama dalam menerima atau menolak istihsan sebagai salah satu dalil hukum, dapat diaktakan bahwa sebenarnya letak perbedaan tersebut hanyalah pada persoalan peristilahan. Ulama yang menolak istihsan dalam kenyataannya tidak berbeda pendapat dengn ulama yagn menerimanya, misalnya dalam persoalan mudharabah (bagi hasil), meninggalkan puasa bagi musafir dalam bulan ramadhan dan lain-lain.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan yang muncul dikalangan ulama tidak terlepas dari perbedaan sudut pandangmereka dalam mengkaji suatu masalah. Dalam hal ini mereka berbeda dalam menggunakan metode istimbat hukum seperti istihsan, istishab dan lain-lain aygn sangat berimplikasi pada pengambilan keputusan terakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Fiqh Islami. Bandung: PT. al-Ma‟arif, 1997.
Asy-Syathibi.al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah.(Beirut: Dar al-Ma’rifah)
Salenda.(2013).Kehujjahan Istiihsan dan Implikasinya dalam Istimbat Hukum.Jurnal Al-Daulah. Vol 1 No.2
Fitriyani.Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam.(Jurnal Tankim,2017).vol.XII,No.1
Zein, dan Efendi.Ushul Fiqh.(Jakarta:Kencana,2017)
Al-Jashshash. al-Fushul fi al-Ushul. Kuwait: Wizarah al-Auqaf wa asy-Syu’un al-
Islamiyyah, 1405 H.
Ibrahim, 'Abd al-Wahhab. al-Fikr al-Ushuli. t.tp.: Dar asy-Syarq, t.th.
al-Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. Dhawabith al-Mashlahah fi asy-Syari’ah al-
Islamiyyah. Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, 2001.
al-Razi, Fakhruddin Muhammad bin ‘Amr. al-Mahshul fi ‘Ilm al-Ushul. Riyadh:
Universitas Islam Imam Muhammad bin Sa’ud, 1400 H.
Jamaa, La. “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqasid al-Syarî’ah, Asy-
Syir’ah, Vol. 45, No. II, Juli-Desember 2011.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar