PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN FALSAFI
TENTANG DAKWAH ISLAM
By. Mahasiswa BKI-2
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang masalah
Awalnya filsafat disebut
sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab
filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau
segala hal, baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan
segala problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan
zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai
disiplin ilmu baru dengan masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan
telah berubah fungsi dan perannya.
Dewasa ini, peran dan fungsi filsafat
mengalami perkembangan dalam posisi approach(pendekatan). Filsafat,
dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal, dan radikal, yang
mengupas sesuatu secara mendalam ternyata sangat relevan dengan problematika
hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat kembali antara berbagai
macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain. Dengan demikian,
dengan menggunakan analisa filsafat, berbagai macam ilmu yang berkembang sekarang
ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat
dan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.
Filsafat pendidikan telah mengalami perubahan
dan kemajuan yang cukup besar.Dulu filosof sebagai penguasa tunggal berwenang
dalam merumuskan suatu filsafat tentang pendidikan yang sistematis sebagaimana
idealisme, realisme, dan pragmatisme untuk menyimpulkan prinsip-prinsip umum
filosofis tentang tujuan pendidikan. Namun sekarang hal itu tidak dapat dilakukan
secara sepihak, sebab telah terdapat keragaman keahlian yang dimiliki
masyarakat, ini berarti harus ada koherensi antara filosof dan perkembangan
pemikiran dan kebutuhan masyarakat.
B. Rumusan masalah
1.
Bagaimana perkembangan pemikiran falsafi dalam dakwah
islam?
2.
Seperti apa
kebebasan berpikir dan berbuat?
3.
Apa batas antara kepercayaan dan perbuatan?
4.
Bagaimana perbedaan antara kebenaran akal dan wahyu?
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Dakwah Islam
1. Periode
Nubuat
Kegiatan
dakwah pertama dari para Nabi dan tujuan mereka yang terbesar di setiap zaman
dalam setiap lingkungan adalah menegakan keyakinan Tauhid dan beribadah hanya
kepada-Nya yang menjadi tugas fitra kemanusiaan sebagai khalifah Allah dimuka
bumi.Dan disampaikan pulapesan utama tentang perjalanan hidup manusia,
yaitu al-mabda (asal kehadiran manusia), al-wasath (keberadaan
manusia dialam kesadaran duniawi), al-ma’ad (tempat kembali mempertanggungjawabkan
tugas fitri kemanusiaan).
Adapun tugas-tugas kenabian dapat disimpulkan dalam tiga
perkara.Pertama, seruan untuk beriman kepada Allah Swt dan ke-Esaan-Nya.Kedua,
iman kepada hari akhir dan balasan terhadap amal-amal pada hari itu.Ketiga,
penjelasan hukum-hukum yang di dalamnya terdapat kebaikan dan kebahagiaan
manusia di dunia dan akhirat.
Berkenaan dengan misi para Nabi dipusatkan dan diarahkan
kepada pemberantasan berhala di masa-masa mereka, yang tercermin dalam bentuk
penyembahan patung-patung, berhala-berhala dan orang-orang suci, baik orang
yang masih hidup maupun sudah mati.
Seandainya akal manusia bertindak sendirian dalam
memahami kebenaran-kebenaran ini, maka tidak akan dapat menjangkaunya,
khususnya dalam perkara-perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal
manusia dan pengetahuan, tanpa wahyu yang disampaikan Allah Swt kepada Nabi-Nabi.
Para filosof Yunani dan lainnya telah berusaha
mempelajari ke-Tuhanan, maka mereka pun mengemukakan pendapat-pendapat yang
saling bertentangan sebagaimana para ulama di zaman ini berbeda pendapat dalam
menafsirkan ke-Tuhanan.Sementara para Nabi datang membawa kepastian dalam
penafsiran dan penentuan kekuatan Ilahi dengan pendapat yang menentramkan hati.
Dari 25 Nabi yang disebutkan dalam Al-Quran ada yang
diberi al-Kitab, Shuhuf(lembaran wahyu), dan Hikmah.Secara
eksplisit Nabi yang diberi hikmah selain al-kitab adalah Nabi Daud
a.s, Sulaeman a.s, Isa a.s dan nabi Muhammad Saw.selain para Nabi, ada seorang
hamba Allah Swt yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an oleh Allah Swt
diberi hikmah, yaitu Luqman. Dan
nama Luqman ini menjadi nama salah satu Surah dalam Mushhaf Al-Qur’an yaitu
surah Luqman Surah ke 31. Dan dari Surah Luqman inilah dapat dibangun secara
spesifik struktur filsafat dakwah.
Luqman
al-Hakim hidup sezaman dengan Nabi Daud a.s yang juga diberi hikmah oleh Allah Swt.
Luqman ini adalah bapak filsafat selain Nabi, sebagai filosof pertama Yunani,
yaitu Empedockles berguru kepada Luqman kemudian menyusul Pytagoras murid
Empedockles, setelah itu secara berturut-turut menyusul Socrates, Plato, dan
Aristoteles. Kelima filosof ini hidup dalam rentangan kurun waktu antara Nabi Daud
a.s hingga sebelum Nabi Isa a.s. dan salah seorang murid Aristoteles adalah
Alexander (Iskandar Zulkarnaen), ia belajar hikmah kepada Aristoteles selama 20
tahun.
Maka jalur pemikiran hikmah (kefilsafatan) para filosof
yang bukan Nabi yaitu Luqman dan generasi yang berikutnya, maka menisbahkannya
pemikiran filosofis itu kepada Hermes, dan rentangan waktu antara Hermes hingga
awal hijrah Nabi terakhir adalah kurang lebih 3725 tahun (perhitungan
menurut Abu Ma’syar).
2. Periode
al-Khulafa al-Rasyidun
Estapeta
aktivitas dakwah dalam tataran teoritis dan praktis, sepeninggal rasul terakhir
Muhammad Saw dilanjutkan oleh pelanjutnya, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun (para
pelanjut yang memperoleh dan melaksanakan Islam hingga bimbingan
kehidupan).Pemikiran dakwah yang berkembang pada periode ini adalah metode naql dan aql secara seimbang orientasi utama pengembangan dakwah berupa futuhat yaitu konsolidasi dan ekspansi
Islam di semenanjung Arabia dan sekitarnya.Produk pemikiran dan aktivitas
dakwah al-Khulafa al-Rasyidun ini disebut atsar shahabat, yang memuat khazanah
Islam. Merek adalah Abu Bakar (632-634 M), Umar Ibn Khathab (634-644 M), Usman
Ibn Affan (644-655 M), dan Ali Ibn Abi Thalib (656-661 M).
Perlu
diketahui, bahwa futuhat adalah
proses menghadirkan dan mendatangkan Islam ke daerah-daerah yang dituju dengan
tidak memaksa rakyat (mad’u) untuk merubah
agamanya, mereka menerima dan memeluk Islam bukan karena paksaan tetapi atas
dasar pilihan dan kebebasan kehendaknya setelah mempertimbangkan secara
obyektif-proposional terlebih dahulu.
Adapun
hikmah praktis telah diperoleh para al-Khulafa al-Rasyidun melalui prilaku,
banyak mengamalkan ilmu dengan jujur dan ikhlas, istiqamah, pengalaman dan
kemahiran, strategi yang bijak, dan memahami sendi-sendi dakwah, mereka
memandang penting penggunaan akal dalam kehidupan, misalnya, berikut ini
sebagai contoh pandangan khalifah Ali r.a dalam syair: “bila Tuhan
menyempurnakan akal seseorang, sempurnalah akhlak dan kepakaran orang itu”.
Pemberian
Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akalnya, karena tidak ada
kebaikan yang sebaik akal.Dengan akal, seorang pemuda dapat hidup eksis di
tengah manusia, karena ilmu dan pengamatannya senantiasa rasional.
3. Periode
Tabi’in
Bicara
tentang tabi’in.Tabi’in adalah mereka yang hidup sesudah generasi sahabat Nabi.Mereka
adalah orang-orang yang mampu bersikap bijak dalam menyalurkan kewajiban
dakwahnya. Tokoh pemikir dakwah (Rijal al-Dakwah) pada
periode ini diantaranya adalah Said bin Musayab, Hasan bin Yaser al-Bashri,
Umar bin Abd al-Aziz dan Abu Hanifah. Umar bin Abd al-Aziz adalah seorang
khalifah pada zaman Daulah Bani Umayah.
Adapun
hikmah praktis yang dikembangkan oleh keempat tokoh pada periode ini adalah
memulai dengan memperbaiki diri sendiri, memperbaiki keluarga, memperbaiki
umat, mengembangkan dakwah dengan surat, menanamkan perasaan takut kepada Allah
Swt, berpegang teguh pada agama Allah Swt, dan memperhatikan umat non muslimin.
Pada
zaman ini, metode pemikiran dakwah lebih banyak menggunakan penalaran metode Muhaditsin,
yang lebih banyak berorientasi pada naql
ketimbang ‘aqlsebagaimana digunakan
dalam penalaran metode Mutakalimin.
4. Periode
Tabi al-Tabi’in
Sebutan
Tabii al-tabiin adalah ditujukan bagi generasi yang hidup setelah tabiin yang
mendapat nilai keutamaan. Tokoh utama pada periode ini yang tergolong rijal
al-dakwah Imam bin Anas, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal. Periode a dan
dapat dikategorikan pula sebagai periode Salaf, dan setelah periode salaf
disebut periode Khalaf.Kajiannya lebih berorientasi pada syariat sebagai pesan
dakwah.
Adapun
hikmah praktis yang dikembangkan pada periode ini tidak jauh berbeda dengan
hikmah praktis (2) bagian (a) yang telah dikemukakan.Namun dapat ditambahkan
bahwa rijal al-dakwah pada periode ini menonjolkan sikap dan perilaku hikmah,
yaitu berpikir sebelum menjawab dalam berdialog, menolak sesuatu secara bijak
dan bertindak tegas dalam hal kebenaran.Sedangkan hikmah teoritis yang
dikembangkan pada periode tabii-al tabiin adalah metode penalaran mutakalimin
dengan tidak mengabaikan metode penalaran muhaditsin.
5. Pasca
Periode Tabi’I al-Tabi’in
Pada
periode ini dapat dikategorikan sebagai periode khalaf, suatu periode dengan
300 tahun setelah zaman nubuwah.Hikmah teoritis dan hikmah praktis dikembangkan
dengan metode penalaran yang pernah berkembang sebelumnya dengan ditandai
munculnya berbagai corak pemikiran di dalam berbagai bidang kajian keislaman
sebagai hasil dari akumulasi interaksi antarbudaya dalam perjalanan aktivitas
dakwah sebagai aktualisasi dari hikmah (pemikiran filosofis dakwah).
Dalam tataran hikmah teoritis dari segi metodologi pada
periode khalaf ini dapat digolongkan kepada: Pertama, kelompok pengguna
penalaran Isyraqi (Iluminasionisme) pendukung metode yang
dikembangkan oleh Plato dengan tidak mengabaikan metode naql. Kedua, kelompok pengguna penalaran Masya’i (Peripatetisisme) pendukung metode yang
dikembangkan oleh Aristoteles dengan tidak mengabaikan metode naql. Rijal al-dakwah pendukung metode
sebagaimana disebutkan diatas adalah kelompok Mu’tazilah, Asyariyah dan
Syi’ah. Mereka telah mengkaji tentang konsep teologi sebagai pesan dakwah,
konsep manusia dan konsep alam.
Dari kalangan sufi yang menggunakan metode Irfan,
pemikiran mereka lebih menekankan pada kontek dakwah Nafsyiyah (Internalisasi ajaran
Islam pda tingkat intra individu), antar pribadi dan kelompok di atas dasar
cinta kepada Tuhan dengan tidak mengabaikan dasar syariat yang lebih mengatur
aspek perilaku lahiriyah.
6. Periode
Modern
Periode
modern merupakan era kebangkitan Islam yang ditandai adanya tokoh pejuang Islam
berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power terhadap penjajahan Barat yang menguasai dunia
Islam.Pada era ini diawal gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin
Al-Afgani, Muhammad Abduh, Abd al-Wahab dan para pendukungnya sejak tahun 1801
M hingga sekarang.
7. Aktivitas
Pemikiran Dakwah Sebagai Aktivitas Kebudayaan dan Peradaban Islam
Dalam
hal ini, penelusuran, pelacakan, dan pengkajian perkembangan pemikiran dakwah
dapat pula dipandang sebagai aktivitas kebudayan dan peradaban Islam dengan
menggunakan alur berpikir kesejarahan.Dengan demikian, maka perkembangannya
dapat distrukturkan ke dalam periodesasi.
Periode
klasik merupakan masa kemajuan Islam I, yaitu pada tahun 650-1000 masehi.Pada
tahun 1000-1250 masehi merupakan masa disintegrasi.Pada periode berikutnya,
yaitu periode pertenganhan merupakan masa kemunduran I (125-1500 M).yang
selanjutnya adalah periode modern, yaitu pada tahun 1800 sampai sekarang. Pada
tiga periode ini, pada hakekatnya kegiatan pemikiran dan aktivitas dakwah
berlangsung, sebab jika kegiatan dakwah itu berhenti, maka akan berhenti pula
perkembangan kehidupan umat Islam di alam jagat raya ini.
B.
Kebebasan Berpikir dan Berbuat
Dalam kaitannya dengan keperluan kajian akhlak, tampaknya
pendapat yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan yang akan
dilakukannya sendiri. Sementara golongan yang menyatakan bahwa manusia tidak
memiliki kebebesan juga akan di bahas di sini dengan menentukannya secara
proporsianal.
Kebebasan sebagaimana
dikemukakam oleh Achmad Charis Zubair adalah terjadinya apabila kemungkinan-kemungkinan
untuk bertindak tidak di batasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada
orang lain.Paham di sebut dijelaskan bebas negative, karena hanya dinyatakan
bebas dari apa, tetapi tidak di tentukan bebas untuk apa. Seseorang di sebut bebas
apabila:
1). Dapat menentukan sendiri
tujuan-tujuan dan apa yang di lakukannya.
2).
Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang ada
baginya.
3).Tidak di paksa atau terikat untuk
membuat sesuatu yang akan di pilihnya sendiri ataupun di cegah dari berbuat apa yang di
pilih sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.
Berpikir sebagai
kegiatan filsafati individual memang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan
komunal atau sosial, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi dari hasil
sebuah pemikiran akan memasuki pada ranah-ranah kehidupan sosial. Dengan
demikian, pertanyaannya adalah mungkinkah manusia berpikir bebas
sebebas-bebasnya atau justru kebebasan itu akan membawa manusia kepada
ketidakbebasan ketika harus dihadapkan dengan hak kebebasan sesama manusia yang
lain dalam ranah kehidupan sosial.
Untuk memudahkan
pembacaan dalam persoalan tersebut dipetakan dalam tiga bilik kategori yaitu
berpikir disertai dengan berbuat, berpikir tidak disertai dengan berbuat dan
berbuat tidak didasari dengan berpikir.Secara ontologis kebebasan berpikir
tidak terikat dengan nilai, tetapi implikasi kebebasan berpikir itu secara
aksiologis ketika ada pada ranah sosial dan mewujud dalam bentuk perbuatan,
maka dibatasi dengan tanggungjawab dan moral.
Dengan kata lain ketika
berpikir disertai dengan berbuat maka tidak bebas nilai dan konsekuensinya akan
ada sanksi ketika tidak sesuai dengan nilai atau norma yang disepakati. Inilah
yang dimaksud dengan "ruang bertemu" antara kebebasan berpikir dan
etika.Namun ketika berpikir tidak disertai dengan berbuat, maka bebas
sebebas-bebasnya dan tidak mempunyai konsekuensi sanksi.
Keterangan-keterangan
di atas dengan jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak
manusia melalui pikirannya.Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang
dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri.Dalam
hubungan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus
ada kemauan atau kehendak itu, dan kemudian barulah terwujud perbuatan.
Dari
al-Asy’ari ini jelaslah bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan
manusia, Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan
manusia.Oleh karena itu dalam teori kasb sebenarnya tidaklah ada perbedaan
antara al Kasb dengan perbuatan involunter dari manusia.Pembuat dalam hal ini
seperti ditegaskan oleh al-Asy’ari sendiri adalah Tuhan; dan selanjutnya dalam
kedua hal itu, manusia hanya merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan
Tuhan. Keterangan al-Asy’ari ini juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat
sebenarnya bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan.
Untuk
memperkuat paham tersebut, kaum mu’tazilah membawa argumen-argumen rasional dan
ayat-ayat Al-Qur’an. Ringkasan argumen-argumen rasional yang dimajukan oleh Abd
al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut: manusia dalam berterima
kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya
kepada manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan
tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang diterimanya manusia
menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau
buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima
kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan
kepada manusia.
Berbeda dengan
kaum mu’tazilah, paham al-Asy’ari berpendapat bahwa bentuk kebebasan manusia
tidak mutlak, bahwa manusia adalah tempat belakunya pembuatan Tuhan,
perbuatan-perbuatan Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia.
Jadi
daya atau kebebasan manusia sangatlah terbatas, sebab untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya manusia sangat tergantung pada kehendak Tuhan.Ini jelas
mengandung arti kehendak manusia atau kebebasan manusia adalah satu dengan
kehendak Tuhan. Dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak
lain dari kehendak Tuhan, kemauan dan kebebasan untuk berbuat adalah perbuatan
Tuhan dan bukan perbuatan manusia.
C.
Batas Antara Kepercayaan dan Perbuatan
Piece menegaskan, believe prernyataan yang tegas mengenai
proposisi yang dinilai benar. Ia merupakan persiapan yang secara sadar dari
seseorang untuk berbuat dengan cara yang pasti. Ia menjelaskan kebiasaan
(habit) akal, lawan dari keraguan. Keyakinan (believe) adalah keyakinandalam
proposisi yang memiliki dua komponen, yaitu subjek dan predikat. Setiap
proposisi yang telah memiliki predikat yang menjelaskan apa yang diyakini dan
memiliki subjek yang menjelaskan apa itu keyakinan.
Perbuatan memiliki
dua arti. Perbuatan berasal dari kata dasar buat. Perbuatan adalah sebuah hononim
karena artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda.
Perbuatan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga perbuatan
dapat menyatakan sesuatu.Perbuatan berarti kelakuan, tingkah laku, perbuatannya
tidak sesuai dengan perkataannya.
D.
Perbedaan Antara Kebenaran Akal dan Wahyu
Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt yang tertulis, yang
didalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan.Pengetahuan diperoleh oleh akal,
dan di dalam Al-Qur’an sendiri akal diberikan penghargaan yang tinggi.Tidak
sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak
berpikir dan mempergunakan akalnya. Kata-kata
yang dipakai dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berpikir, bukan
hanya ‘aqala saja.
Hukum-hukum alam (sunnatullah),
juga digunakan untuk memikirkan hal yang digunakan untuk memikirkan hal-hal
yang konkrit seperti sejarah manusia, abstrak seperti kehidupan diakhirat,
proses menghidupkan orang yang sudah mati. Kata
‘aql tersebut dapat digunakan untuk
memahami berbagai obyek yang real maupun abstrak, dan yang bersifat Empiris
Sensual sampai Empiris Transcendental. ‘Aql mati, kebenaran ibadah, wahyu, dan
lain-lain. Selain dari pada itu terdapat pula dalam Al-Qur’an sebutan-sebutan
yang memberi sifat berpikir bagi seorang muslim, yaitu ulul al-albab(orang berpikir), ulu-al-‘ilm
(orang berilmu), al-absar (orang yang mempunyai pandangan), ulual-nuha (orang bijaksana).
Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti pemberian isyarat,
pembicaraan rahasia, dan menggerakkan hati.Sedangkan menurut istilah wahyu
adalah pemberitahuan yang datangnya dari Allah Swt kepada para Nabi-Nya yang
didalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk kepada jalan yang lurus
dan benar.
Jadi dapat disimpulkan bahwa wahyu secara syara’ yaitupengetahuan yang diberikan
oleh Allah Swt kepada Nabi-Nabinya, secara langsung maupun tidak langsung
dengan perantaraan Malaikat ataupun tidak, dengan suara atau tidak. Tetapi, dia
paham dengan apa yang telah diterimanya. Wahyu itu adalah suatu kebenaran yang
datang dari Allah Swt kepada manusia tertentu.Wahyu itu terjadi karena adanya
komunikasi yang langsung antara Tuhan dan manusia.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat
telah berkembang dan berubah fungsi dari induk ilmu pengetahuan menjadi semacam
pendekatan dan perekat berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang
pesat dan terpisah satu dengan lainnya (interdisciplinary approach), dan
lebih kental lagi bahwa filsafat sebagai alat analisis dalam memecahkan
permasalahan filosofis dari dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia (philosophical
analysis).
Perkembangan
filsafat Islam terbagi dalam periode awal jaman permulaan Islam yang dibawa
Rasul Muhammad saw., dan khulafa al-Rashidin, periode klasik yang dimulai dari
pasca pemerintahan khulafa al-Rashidun sampai awal masa imperialisme Barat,
rentang itu dapat pula dimulai dari awal kekuasaan Bani Ummayyah sampai pada
kemuduran kekuasaan Islam secara politis hingga abad ke-19, dan periode modern
dan perkembangan filsafat Islam yang mencuat dalam sebuah konferensi pendidikan
Islam sedunia.
B. Saran
Pe nulis
menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di
atas.
DAFTAR
PUSTAKA
Syukriadi Sambas, Sembilan
Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah, Bandung: KP HADID, 1999.
Alwisral, Iman
Zaidallah, Strategi Dakwah,
Jakarta: Kalam Mulia, 2005.
Al-Qahthani, Said
Bin Ali, Da’wah Islam Da’wah Bijak, Jakarta: Insani Press, 1994.
Keramas, tantera , Filsafat Ilmu, Surabaya:
Paramita, 2008.
Amrullah, Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan
Sosial, Yogyakarta: PLP2M,
1985.
Faizah.,. Effendi Muchsin, Psikologi Dakwah,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Mohammad Nor Ichwan, Belaja Al-Qur’an, Semarang:
Raisal, 1989.
Harun nasution, akal dan wahyu dalam islam, Jakarta:
UI-Press, 1986
Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal
Pokok-Pokok Filsafat Dakwah, (Bandung: KP HADID, 1999), hal. 31
Alwisral, Iman Zaidallah, Strategi Dakwah, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hal. 34-35
Al-Qahthani, Said Bin Ali, Da’wah
Islam Da’wah Bijak, (Jakarta: Insani Press, 1994),hal. 36-38
Keramas,
Tantera, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Paramita,
2008), hal. 45
Amrullah,
Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 85
Faizah.,.
Effendi Muchsin, Psikologi Dakwah, ( Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), hal. 74
Komentar
Posting Komentar