MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FALSAFI TENTANG DAKWAH ISLAM

                            PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FALSAFI
                                    TENTANG DAKWAH ISLAM
                                                  By. Mahasiswa BKI-2


PENDAHULUAN
  A.    Latar belakang masalah
Awalnya filsafat disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau segala hal, baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan perannya.
Dewasa ini, peran dan fungsi filsafat mengalami perkembangan dalam posisi approach(pendekatan). Filsafat, dengan cara kerjanya yang bersifat sistematis, universal, dan radikal, yang mengupas sesuatu secara mendalam ternyata sangat relevan dengan problematika hidup dan kehidupan manusia serta mampu menjadi perekat kembali antara berbagai macam disiplin ilmu yang terpisah kaitannya satu sama lain. Dengan demikian, dengan menggunakan analisa filsafat, berbagai macam ilmu yang berkembang sekarang ini, akan menemukan kembali relevansinya dengan hidup dan kehidupan masyarakat dan lebih mampu lagi meningkatkan fungsinya bagi kesejahteraan hidup manusia.
Filsafat pendidikan telah mengalami perubahan dan kemajuan yang cukup besar.Dulu filosof sebagai penguasa tunggal berwenang dalam merumuskan suatu filsafat tentang pendidikan yang sistematis sebagaimana idealisme, realisme, dan pragmatisme untuk menyimpulkan prinsip-prinsip umum filosofis tentang tujuan pendidikan. Namun sekarang hal itu tidak dapat dilakukan secara sepihak, sebab telah terdapat keragaman keahlian yang dimiliki masyarakat, ini berarti harus ada koherensi antara filosof dan perkembangan pemikiran dan kebutuhan masyarakat.

  B.    Rumusan masalah
1.     Bagaimana perkembangan pemikiran falsafi dalam dakwah islam?
2.     Seperti apa  kebebasan berpikir dan berbuat?
3.     Apa batas antara kepercayaan dan perbuatan?
4.     Bagaimana perbedaan antara kebenaran akal dan wahyu?


PEMBAHASAN
   A.    Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Dakwah Islam
1.     Periode Nubuat
Kegiatan dakwah pertama dari para Nabi dan tujuan mereka yang terbesar di setiap zaman dalam setiap lingkungan adalah menegakan keyakinan Tauhid dan beribadah hanya kepada-Nya yang menjadi tugas fitra kemanusiaan sebagai khalifah Allah dimuka bumi.Dan disampaikan pulapesan utama tentang perjalanan hidup manusia, yaitu al-mabda (asal kehadiran manusia), al-wasath (keberadaan manusia dialam kesadaran duniawi), al-ma’ad (tempat kembali mempertanggungjawabkan tugas fitri kemanusiaan).
Adapun tugas-tugas kenabian dapat disimpulkan dalam tiga perkara.Pertama, seruan untuk beriman kepada Allah Swt dan ke-Esaan-Nya.Kedua, iman kepada hari akhir dan balasan terhadap amal-amal pada hari itu.Ketiga, penjelasan hukum-hukum yang di dalamnya terdapat kebaikan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Berkenaan dengan misi para Nabi dipusatkan dan diarahkan kepada pemberantasan berhala di masa-masa mereka, yang tercermin dalam bentuk penyembahan patung-patung, berhala-berhala dan orang-orang suci, baik orang yang masih hidup maupun sudah mati.
Seandainya akal manusia bertindak sendirian dalam memahami kebenaran-kebenaran ini, maka tidak akan dapat menjangkaunya, khususnya dalam perkara-perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia dan pengetahuan, tanpa wahyu yang disampaikan Allah Swt kepada Nabi-Nabi.
Para filosof Yunani dan lainnya telah berusaha mempelajari ke-Tuhanan, maka mereka pun mengemukakan pendapat-pendapat yang saling bertentangan sebagaimana para ulama di zaman ini berbeda pendapat dalam menafsirkan ke-Tuhanan.Sementara para Nabi datang membawa kepastian dalam penafsiran dan penentuan kekuatan Ilahi dengan pendapat yang menentramkan hati.
Dari 25 Nabi yang disebutkan dalam Al-Quran ada yang diberi al-KitabShuhuf(lembaran wahyu), dan Hikmah.Secara eksplisit Nabi yang diberi hikmah selain al-kitab adalah Nabi Daud a.s, Sulaeman a.s, Isa a.s dan nabi Muhammad Saw.selain para Nabi, ada seorang hamba Allah Swt yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an oleh Allah Swt diberi hikmah, yaitu Luqman. Dan nama Luqman ini menjadi nama salah satu Surah dalam Mushhaf Al-Qur’an yaitu surah Luqman Surah ke 31. Dan dari Surah Luqman inilah dapat dibangun secara spesifik struktur filsafat dakwah.[1]
Luqman al-Hakim hidup sezaman dengan Nabi Daud a.s yang juga diberi hikmah oleh Allah Swt. Luqman ini adalah bapak filsafat selain Nabi, sebagai filosof pertama Yunani, yaitu Empedockles berguru kepada Luqman kemudian menyusul Pytagoras murid Empedockles, setelah itu secara berturut-turut menyusul Socrates, Plato, dan Aristoteles. Kelima filosof ini hidup dalam rentangan kurun waktu antara Nabi Daud a.s hingga sebelum Nabi Isa a.s. dan salah seorang murid Aristoteles adalah Alexander (Iskandar Zulkarnaen), ia belajar hikmah kepada Aristoteles selama 20 tahun.
Maka jalur pemikiran hikmah (kefilsafatan) para filosof yang bukan Nabi yaitu Luqman dan generasi yang berikutnya, maka menisbahkannya pemikiran filosofis itu kepada Hermes, dan rentangan waktu antara Hermes hingga awal hijrah Nabi terakhir adalah  kurang lebih 3725 tahun (perhitungan menurut Abu Ma’syar).
                                        
2.     Periode al-Khulafa al-Rasyidun
Estapeta aktivitas dakwah dalam tataran teoritis dan praktis, sepeninggal rasul terakhir Muhammad Saw dilanjutkan oleh pelanjutnya, yaitu al-Khulafa al-Rasyidun (para pelanjut yang memperoleh dan melaksanakan Islam hingga bimbingan kehidupan).Pemikiran dakwah yang berkembang pada periode ini adalah metode naql dan aql secara seimbang orientasi utama pengembangan dakwah berupa futuhat yaitu konsolidasi dan ekspansi Islam di semenanjung Arabia dan sekitarnya.Produk pemikiran dan aktivitas dakwah al-Khulafa al-Rasyidun ini disebut atsar shahabat, yang memuat khazanah Islam. Merek adalah Abu Bakar (632-634 M), Umar Ibn Khathab (634-644 M), Usman Ibn Affan (644-655 M), dan Ali Ibn Abi Thalib (656-661 M).

Perlu diketahui, bahwa futuhat adalah proses menghadirkan dan mendatangkan Islam ke daerah-daerah yang dituju dengan tidak memaksa rakyat (mad’u) untuk merubah agamanya, mereka menerima dan memeluk Islam bukan karena paksaan tetapi atas dasar pilihan dan kebebasan kehendaknya setelah mempertimbangkan secara obyektif-proposional terlebih dahulu.[2]
Adapun hikmah praktis telah diperoleh para al-Khulafa al-Rasyidun melalui prilaku, banyak mengamalkan ilmu dengan jujur dan ikhlas, istiqamah, pengalaman dan kemahiran, strategi yang bijak, dan memahami sendi-sendi dakwah, mereka memandang penting penggunaan akal dalam kehidupan, misalnya, berikut ini sebagai contoh pandangan khalifah Ali r.a dalam syair: “bila Tuhan menyempurnakan akal seseorang, sempurnalah akhlak dan kepakaran orang itu”.
Pemberian Allah yang paling utama bagi seseorang adalah akalnya, karena tidak ada kebaikan yang sebaik akal.Dengan akal, seorang pemuda dapat hidup eksis di tengah manusia, karena ilmu dan pengamatannya senantiasa rasional.

3.     Periode Tabi’in
Bicara tentang tabi’in.Tabi’in adalah mereka yang hidup sesudah generasi sahabat Nabi.Mereka adalah orang-orang yang mampu bersikap bijak dalam menyalurkan kewajiban dakwahnya. Tokoh pemikir dakwah (Rijal al-Dakwah) pada periode ini diantaranya adalah Said bin Musayab, Hasan bin Yaser al-Bashri, Umar bin Abd al-Aziz dan Abu Hanifah. Umar bin Abd al-Aziz adalah seorang khalifah pada zaman Daulah Bani Umayah.
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan oleh keempat tokoh pada periode ini adalah memulai dengan memperbaiki diri sendiri, memperbaiki keluarga, memperbaiki umat, mengembangkan dakwah dengan surat, menanamkan perasaan takut kepada Allah Swt, berpegang teguh pada agama Allah Swt, dan memperhatikan umat non muslimin.
Pada zaman ini, metode pemikiran dakwah lebih banyak menggunakan penalaran metode Muhaditsin, yang lebih banyak berorientasi pada naql ketimbang ‘aqlsebagaimana digunakan dalam penalaran metode Mutakalimin.
4.     Periode Tabi al-Tabi’in
Sebutan Tabii al-tabiin adalah ditujukan bagi generasi yang hidup setelah tabiin yang mendapat nilai keutamaan. Tokoh utama pada periode ini yang tergolong rijal al-dakwah Imam bin Anas, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal. Periode a dan dapat dikategorikan pula sebagai periode Salaf, dan setelah periode salaf disebut periode Khalaf.Kajiannya lebih berorientasi pada syariat sebagai pesan dakwah.
Adapun hikmah praktis yang dikembangkan pada periode ini tidak jauh berbeda dengan hikmah praktis (2) bagian (a) yang telah dikemukakan.Namun dapat ditambahkan bahwa rijal al-dakwah pada periode ini menonjolkan sikap dan perilaku hikmah, yaitu berpikir sebelum menjawab dalam berdialog, menolak sesuatu secara bijak dan bertindak tegas dalam hal kebenaran.Sedangkan hikmah teoritis yang dikembangkan pada periode tabii-al tabiin adalah metode penalaran mutakalimin dengan tidak mengabaikan metode penalaran muhaditsin.

5.     Pasca Periode Tabi’I al-Tabi’in
Pada periode ini dapat dikategorikan sebagai periode khalaf, suatu periode dengan 300 tahun setelah zaman nubuwah.Hikmah teoritis dan hikmah praktis dikembangkan dengan metode penalaran yang pernah berkembang sebelumnya dengan ditandai munculnya berbagai corak pemikiran di dalam berbagai bidang kajian keislaman sebagai hasil dari akumulasi interaksi antarbudaya dalam perjalanan aktivitas dakwah sebagai aktualisasi dari hikmah (pemikiran filosofis dakwah).[3]
Dalam tataran hikmah teoritis dari segi metodologi pada periode khalaf ini dapat digolongkan kepada: Pertama, kelompok pengguna penalaran Isyraqi (Iluminasionisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Plato dengan tidak mengabaikan metode naql. Kedua, kelompok pengguna penalaran Masya’i (Peripatetisisme) pendukung metode yang dikembangkan oleh Aristoteles dengan tidak mengabaikan metode naql. Rijal al-dakwah pendukung metode sebagaimana disebutkan diatas adalah kelompok Mu’tazilah, Asyariyah dan  Syi’ah. Mereka telah mengkaji tentang konsep teologi sebagai pesan dakwah, konsep manusia dan konsep alam.
Dari kalangan sufi yang menggunakan metode Irfan, pemikiran mereka lebih menekankan pada kontek dakwah Nafsyiyah (Internalisasi ajaran Islam pda tingkat intra individu), antar pribadi dan kelompok di atas dasar cinta kepada Tuhan dengan tidak mengabaikan dasar syariat yang lebih mengatur aspek perilaku lahiriyah.

6.     Periode Modern
Periode modern merupakan era kebangkitan Islam yang ditandai adanya tokoh pejuang Islam berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan balance of power terhadap penjajahan Barat yang menguasai dunia Islam.Pada era ini diawal gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh, Abd al-Wahab dan para pendukungnya sejak tahun 1801 M hingga sekarang.

7.     Aktivitas Pemikiran Dakwah Sebagai Aktivitas Kebudayaan dan Peradaban Islam
Dalam hal ini, penelusuran, pelacakan, dan pengkajian perkembangan pemikiran dakwah dapat pula dipandang sebagai aktivitas kebudayan dan peradaban Islam dengan menggunakan alur berpikir kesejarahan.Dengan demikian, maka perkembangannya dapat distrukturkan ke dalam periodesasi.[4]
Periode klasik merupakan masa kemajuan Islam I, yaitu pada tahun 650-1000 masehi.Pada tahun 1000-1250 masehi merupakan masa disintegrasi.Pada periode berikutnya, yaitu periode pertenganhan merupakan masa kemunduran I (125-1500 M).yang selanjutnya adalah periode modern, yaitu pada tahun 1800 sampai sekarang. Pada tiga periode ini, pada hakekatnya kegiatan pemikiran dan aktivitas dakwah berlangsung, sebab jika kegiatan dakwah itu berhenti, maka akan berhenti pula perkembangan kehidupan umat Islam di alam jagat raya ini.


   B.    Kebebasan Berpikir dan Berbuat
Dalam kaitannya dengan keperluan kajian akhlak, tampaknya pendapat yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan yang akan dilakukannya sendiri. Sementara golongan yang menyatakan bahwa manusia tidak memiliki kebebesan juga akan di bahas di sini dengan menentukannya secara proporsianal.
Kebebasan sebagaimana dikemukakam oleh Achmad Charis Zubair adalah terjadinya apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak di batasi oleh suatu paksaan dari atau keterikatan kepada orang lain.Paham di sebut dijelaskan bebas negative, karena hanya dinyatakan bebas dari apa, tetapi tidak di tentukan bebas untuk apa. Seseorang di sebut bebas apabila:
   1). Dapat menentukan sendiri tujuan-tujuan dan apa yang di lakukannya.
            2). Dapat memilih antara kemungkinan-kemungkinan yang ada baginya.
3).Tidak di paksa atau terikat untuk membuat sesuatu yang akan di pilihnya sendiri     ataupun di cegah dari berbuat apa yang di pilih sendiri, oleh kehendak orang lain, negara atau kekuasaan apapun.
    Berpikir sebagai kegiatan filsafati individual memang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan komunal atau sosial, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa implikasi dari hasil sebuah pemikiran akan memasuki pada ranah-ranah kehidupan sosial. Dengan demikian, pertanyaannya adalah mungkinkah manusia berpikir bebas sebebas-bebasnya atau justru kebebasan itu akan membawa manusia kepada ketidakbebasan ketika harus dihadapkan dengan hak kebebasan sesama manusia yang lain dalam ranah kehidupan sosial.
    Untuk memudahkan pembacaan dalam persoalan tersebut dipetakan dalam tiga bilik kategori yaitu berpikir disertai dengan berbuat, berpikir tidak disertai dengan berbuat dan berbuat tidak didasari dengan berpikir.Secara ontologis kebebasan berpikir tidak terikat dengan nilai, tetapi implikasi kebebasan berpikir itu secara aksiologis ketika ada pada ranah sosial dan mewujud dalam bentuk perbuatan, maka dibatasi dengan tanggungjawab dan moral.
            Dengan kata lain ketika berpikir disertai dengan berbuat maka tidak bebas nilai dan konsekuensinya akan ada sanksi ketika tidak sesuai dengan nilai atau norma yang disepakati. Inilah yang dimaksud dengan "ruang bertemu" antara kebebasan berpikir dan etika.Namun ketika berpikir tidak disertai dengan berbuat, maka bebas sebebas-bebasnya dan tidak mempunyai konsekuensi sanksi.[5]
            Keterangan-keterangan di atas dengan jelas mengatakan bahwa kehendak untuk berbuat adalah kehendak manusia melalui pikirannya.Tetapi selanjutnya tidak jelas apakah daya yang dipakai untuk mewujudkan perbuatan itu adalah pula daya manusia sendiri.Dalam hubungan ini perlu kiranya ditegaskan bahwa untuk terwujudnya perbuatan, harus ada kemauan atau kehendak itu, dan kemudian barulah terwujud perbuatan.
            Dari al-Asy’ari ini jelaslah bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia.Oleh karena itu dalam teori kasb sebenarnya tidaklah ada perbedaan antara al Kasb dengan perbuatan involunter dari manusia.Pembuat dalam hal ini seperti ditegaskan oleh al-Asy’ari sendiri adalah Tuhan; dan selanjutnya dalam kedua hal itu, manusia hanya merupakan tempat berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Keterangan al-Asy’ari ini juga mengandung arti bahwa daya untuk berbuat sebenarnya bukanlah daya manusia, tetapi daya Tuhan.[6]
            Untuk memperkuat paham tersebut, kaum mu’tazilah membawa argumen-argumen rasional dan ayat-ayat Al-Qur’an. Ringkasan argumen-argumen rasional yang dimajukan oleh Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut:  manusia dalam berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima kasihnya kepada manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak  baik yang diterimanya manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan bukan kepada manusia.
            Berbeda dengan kaum mu’tazilah, paham al-Asy’ari berpendapat bahwa bentuk kebebasan manusia tidak mutlak, bahwa manusia adalah tempat belakunya pembuatan Tuhan, perbuatan-perbuatan Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia.[7]
            Jadi daya atau kebebasan manusia sangatlah terbatas, sebab untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya manusia sangat tergantung pada kehendak Tuhan.Ini jelas mengandung arti kehendak manusia atau kebebasan manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan. Dan bahwa kehendak yang ada dalam diri manusia sebenarnya tidak lain dari kehendak Tuhan, kemauan dan kebebasan untuk berbuat adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.

   C.    Batas Antara Kepercayaan dan Perbuatan
Piece menegaskan, believe prernyataan yang tegas mengenai proposisi yang dinilai benar. Ia merupakan persiapan yang secara sadar dari seseorang untuk berbuat dengan cara yang pasti. Ia menjelaskan kebiasaan (habit) akal, lawan dari keraguan. Keyakinan (believe) adalah keyakinandalam proposisi yang memiliki dua komponen, yaitu subjek dan predikat. Setiap proposisi yang telah memiliki predikat yang menjelaskan apa yang diyakini dan memiliki subjek yang menjelaskan apa itu keyakinan.
Perbuatan  memiliki dua arti. Perbuatan berasal dari kata dasar buat. Perbuatan adalah sebuah hononim karena artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya berbeda. Perbuatan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga perbuatan dapat menyatakan sesuatu.Perbuatan berarti kelakuan, tingkah laku, perbuatannya tidak sesuai dengan perkataannya.[8]

   D.    Perbedaan Antara Kebenaran Akal dan Wahyu
Al-Qur’an adalah wahyu Allah Swt yang tertulis, yang didalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan.Pengetahuan diperoleh oleh akal, dan di dalam Al-Qur’an sendiri akal diberikan penghargaan yang tinggi.Tidak sedikit ayat-ayat yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya banyak berpikir dan mempergunakan akalnya. Kata-kata yang dipakai dalam Al-Qur’an untuk menggambarkan perbuatan berpikir, bukan hanya ‘aqala saja.[9]
Hukum-hukum alam (sunnatullah), juga digunakan untuk memikirkan hal yang digunakan untuk memikirkan hal-hal yang konkrit seperti sejarah manusia, abstrak seperti kehidupan diakhirat, proses menghidupkan orang yang sudah mati. Kata ‘aql tersebut dapat digunakan untuk memahami berbagai obyek yang real maupun abstrak, dan yang bersifat Empiris Sensual sampai  Empiris Transcendental. ‘Aql mati, kebenaran ibadah, wahyu, dan lain-lain. Selain dari pada itu terdapat pula dalam Al-Qur’an sebutan-sebutan yang memberi sifat berpikir bagi seorang muslim, yaitu ulul al-albab(orang berpikir), ulu-al-‘ilm (orang berilmu), al-absar (orang yang mempunyai pandangan), ulual-nuha (orang bijaksana).
Menurut bahasa, wahyu mempunyai arti pemberian isyarat, pembicaraan rahasia, dan menggerakkan hati.Sedangkan menurut istilah wahyu adalah pemberitahuan yang datangnya dari Allah Swt kepada para Nabi-Nya yang didalamnya terdapat penjelasan-penjelasan dan petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar.[10]
Jadi dapat disimpulkan bahwa wahyu secara syara’ yaitupengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt kepada Nabi-Nabinya, secara langsung maupun tidak langsung dengan perantaraan Malaikat ataupun tidak, dengan suara atau tidak. Tetapi, dia paham dengan apa yang telah diterimanya. Wahyu itu adalah suatu kebenaran yang datang dari Allah Swt kepada manusia tertentu.Wahyu itu terjadi karena adanya komunikasi yang langsung antara Tuhan dan manusia.






PENUTUP
   A.    Kesimpulan
Filsafat telah berkembang dan berubah fungsi dari induk ilmu pengetahuan menjadi semacam pendekatan dan perekat berbagai macam ilmu pengetahuan yang telah berkembang pesat dan terpisah satu dengan lainnya (interdisciplinary approach), dan lebih kental lagi bahwa filsafat sebagai alat analisis dalam memecahkan permasalahan filosofis dari dunia ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia (philosophical analysis).
Perkembangan filsafat Islam terbagi dalam periode awal jaman permulaan Islam yang dibawa Rasul Muhammad saw., dan khulafa al-Rashidin, periode klasik yang dimulai dari pasca pemerintahan khulafa al-Rashidun sampai awal masa imperialisme Barat, rentang itu dapat pula dimulai dari awal kekuasaan Bani Ummayyah sampai pada kemuduran kekuasaan Islam secara politis hingga abad ke-19, dan periode modern dan perkembangan filsafat Islam yang mencuat dalam sebuah konferensi pendidikan Islam sedunia.

   B.    Saran
Pe nulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas. 







                                                         DAFTAR PUSTAKA         
Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah, Bandung: KP HADID, 1999.
Alwisral, Iman Zaidallah, Strategi Dakwah,  Jakarta: Kalam Mulia, 2005.      
Al-Qahthani, Said Bin Ali,  Da’wah Islam Da’wah Bijak, Jakarta: Insani Press, 1994.
Keramas, tantera , Filsafat Ilmu, Surabaya: Paramita, 2008.    
Amrullah, Ahmad,  Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: PLP2M, 1985.
Faizah.,. Effendi Muchsin,  Psikologi Dakwah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.                                                                                                                          
Mohammad Nor Ichwan, Belaja Al-Qur’an, Semarang: Raisal, 1989.
Harun nasution, akal dan wahyu dalam islam, Jakarta: UI-Press, 1986




[1]Syukriadi Sambas, Sembilan Pasal Pokok-Pokok Filsafat Dakwah, (Bandung: KP HADID, 1999), hal. 31

[2]Ibid., hal. 34
[3]Alwisral, Iman Zaidallah, Strategi Dakwah,  (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hal. 34-35
[4]Al-Qahthani, Said Bin Ali,  Da’wah Islam Da’wah Bijak, (Jakarta: Insani Press, 1994),hal. 36-38
[5]Keramas, Tantera, Filsafat Ilmu, (Surabaya: Paramita, 2008), hal. 45
[7]Amrullah, Ahmad,  Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), hal. 85
[8]Faizah.,. Effendi Muchsin,  Psikologi Dakwah, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 74
[9]Mohammad Nor Ichwan, Belaja Al-Qur’an, (Semarang:Raisal, 1989), hal. 48
[10]Harun nasution, akal dan wahyu dalam islam, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 15

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN