MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

Makalah Multidisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin


Makalah Multidisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin
By. kademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)






MULTIDISIPLIN, INTERDISIPLIN DAN TRANSDISIPLIN
Ilmu Pengetahuan dan Riset  pada Perguruan Tinggi Masa Depan*
[Diterbitkan dalam Mayling Oey-Gardiner dkk. (Eds),  Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia, Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), 2017, h, 53-89.


Teaching dan research university
Pertumbuhan dan pengembangan pendidikan di tingkat perguruan tinggi terus berjalan cepat seiring dengan perkembangan pengalaman manusia menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang dihadapinya di muka bumi. Apa yang sekarang  disebut dengan Universitas Kelas Dunia (World Class University), juga Universitas Riset (Research University)  menjadi topik pembicaraan hangat di lingkungan sivitas akademika perguruan tinggi, pemerintah dan masyarakat pemerhati pendidikan. Media cetak dan media sosial  seringkali menampilkan peringkat universitas dunia yang dibuat oleh Times Higher Education World University, Academic Ranking of World Universities (ARWU), Higher Education Evaluation and Accreditation Council of Taiwan (HEEACT), Webometrics dan masih banyak yang lain.
Peringkatan ini turut mendorong sivitas akademika untuk berkaca diri melihat prestasi yang diraih oleh universitas masing-masing. Apa yang membedakan perguruan tinggi tingkat nasional atau lokal yang selama ini berjalan dengan perguruan tinggi kelas regional Asia dan kelas dunia terus menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan sivitas akademika di perguruan tinggi. Dalam dua dasa warsa terakhir, banyak penelitian dilakukan dan buku diterbitkan mengulas perkembangan pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi khususnya yang terkait dengan fenomena apa yang disebut dengan Universitas Riset dan Universitas Kelas Dunia.[1]
Perkembangan dan pengembangan dunia perguruan tinggi sekarang tidak bisa  dilepaskan dari fenomena  munculnya Universitas Kelas Dunia dan Universitas Riset. Ada yang menyebutnya sebagai “generasi ketiga” dari sejarah panjang evolusi perkembangan perguruan tinggi di dunia. Tujuan, peran, metode, produk lulusan, orientasi, bahasa, organisasi dan tata kelola universitas generasi ketiga  berbeda dari  tujuan, peran, metode, produk lulusan, orientasi, bahasa, organisasi dan tata kelola universitas generasi pertama dan kedua. Dari segi metode misalnya, generasi pertama universitas lebih bercorak skolastik dan generasi kedua bercorak modern namun menggunakan pendekatan perkuliahan, pembelajaran serta riset yang masih bercorak monodisiplin, sedangkan  generasi ketiga bercorak modern, namun menggunakan pendekatan yang  interdisiplin.[2]
 Ciri dari:

Generasi pertama universitas
Generasi kedua universitas
Generasi ketiga universitas
Tujuan
Pendidikan
Pendidikan dan riset
Pendidikan dan riset plus tahu-bagaimana memanfaatkannya
Peran
Mempertahan kebenaran
Menemukan alam
Menciptakan nilai
Metode
Skolastik
Ilmu modern, monodisipliner
Ilmu modern, interdisipliner
Produk
Tenaga ahli/profesional
Tenaga ahli /profesional  plus ilmuan
Tenaga ahli /profesional dan ilmuan  plus wirausahawan
Orientasi
Bahasa
Organisasi
Universal
Latin
Bangsa,
fakultas,
colleges
Nasional
Bahasa national
Fakultas
Global
Inggris
Institut pada tingkat universitas
Managemen     
Chancellor/rektor/dekan
(Paruh -waktu)
Akademisi
Tenaga ahli
Manager

Table 1: Ciri pokok 3 generasi perguruan tinggi

Ciri dari:
Generasi kedua universitas
Generasi ketiga  universitas
1. Dua tujuan: riset dan pendidikan. Tidak ada minat untuk  memanfaatkan ilmu yang ditemukan.
1. Pemanfaatan ilmu adalah  bisnis utamanya  dan ini menjadi  tujuan ketiga.
2. Beroperasi pada pasar lokal. Universitas lain hanya dilihat sebagai kawan biasa/kolega.
2. Beroperasi pada pasar internasional.
Persaingan pasar.
3. Lembaga yang berdiri sendiri tanpa ada hubungan resmi dengan lembaga lain.
3. Universitas terbuka, bekerjasama dengan banyak partner.
4. Riset  bersifat monodisiplin dan peran yang menonjol  ada di fakultas.
4. Riset bersifat transdisiplin  dan peran yang menonjol ada pada  institut (pusat studi) pada  tingkat universitas.
5. Utamanya pendidikan diperuntukkan untuk elit;  untuk mahasiswa yang benar-benar siap.
5. Pengorganisasiannya bercorak multikultural; kalangan biasa dan elit.
6. Universitas nasional.
6. Universitas kosmopolitan
7. Peran penting pemerintah dalam pendanaan; intervensi negara sangat kuat.
7. Pendanaan, tidak ada peran langsung dari pemerintah. Tidak ada intervensi negara.
Table 2: Ciri pokok generasi  kedua dan ketiga [2GU dan 3GU]
Di atas itu semua, istilah yang belakangan lebih populer di lingkungan pengelola perguruan tinggi, setidaknya dalam teori,  adalah apa yang disebut sebagai Universitas Penelitian/Riset (Research University), yang berbeda corak visi dan misinya dari universitas yang fokusnya hanya pengajaran (Teaching University). Jika dibaca dari banyak literatur,  Universitas Kelas Dunia memang tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari kualitas dan kuantitas Riset  yang dilakukannya. Sudah barang tentu ini membutuhkan cara berpikir dan managemen tata kelola perguruan tinggi yang lebih menonjolkan persaingan (competitiveness) dalam rekruitmen tenaga pengajar, guru besar ternama di dunia, calon mahasiswa dari berbagai penjuru dunia, bea siswa yang memadai dan begitu seterusnya.
Selain itu, diskusi tentang perkembangan perguruan tinggi era kontemporer juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan lebih lanjut dari apa yang disebut sebagai Liberal Arts Education yang berupaya keras untuk mendekatkan kembali, mengintegrasikan atau mengkaithubungkan secara instrinsik dan sistemik antara sains, ilmu sosial dan humaniora, antara keterampilan berpikir ilmiah (scientific skills)  dan pemikiran kemanusiaan (humanistic thought).[3] Istilah  semakna  dengan Liberal Arts Education adalah  “General Education”.[4]
Salah satu dari sekian banyak elemen menonjol yang mendiskripsikan munculnya World Class University maupun Research University adalah digunakannya pendekatan pembelajaran, perkuliahan, riset dan pengabdian kepada masyarakat (community outreach) yang baru, yang lebih bercorak multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin. Digunakan atau tidaknya pendekatan ini, baik dalam berpikir, pendidikan dan  pembelajaran, lebih-lebih dalam riset akan mewarnai perkembangan lebih lanjut universitas kelas dunia di masa yang akan datang, tidak terkecuali perguruan tinggi di Indonesia dalam menyongsong tahun 2030 dan 2045.
Riset multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin.
Dalam kehidupan dunia yang ditandai dengan arus perubahan yang sangat cepat dalam segala bidang, dibarengi ketidakpastian yang tidak terelakkan serta semakin terinterkoneksikannya jaringan keilmuan, kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan agama antar bangsa-bangsa dunia di muka bumi, manusia memerlukan bantuan ilmu pengetahuan yang dapat menyumbangkan pemecahan masalah yang dihadapi dan melekat kuat  dalam kehidupan manusia di muka planet bumi.
Permasalahan kompleks yang selalu melekat kuat dalam kehidupan manusia memerlukan paling tidak penerapan riset ilmu pengetahuan dan bahkan model pembelajaran yang bercorak transdisiplin. Istilah yang seolah baru ini   sesungguhnya telah memiliki fundasi yang sangat kuat dalam masyarakat ilmuan. Dalam bahasa yang sederhana, penelitian transdisiplin menghasilkan, menyatukan dan mengatur lalu lintas jaringan berbagai kelompok peneliti, pengguna ilmu pengetahuan, pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta dan industri untuk mempromosikan kemasalahatan dan kebaikan bersama (common good) yang terkait dengan permasalahan tertentu yang sedang dihadapi umat manusia.
Penelitian/Riset transdisiplin atau interdisiplin bukannya bertentangan atau berlawanan dengan pendekatan disipliner yang biasa berlaku selama ini, melainkan melengkapi, saling memberi - menerima dalam proses produksi ilmu pengetahuan. Penelitian transdisiplin dapat dianggap sebagai perluasan dan pengembangan lebih lanjut dari penelitian interdisiplin.[5]  Menurut Tress et al, Penelitian transdisiplin merupakan gabungan dan keterpaduan antara penelitian interdisiplin dengan pendekatan partisipatoris, yakni para peneliti akademis bekerjasama dengan para peserta penelitian dari kalangan non akademik untuk meneliti permasalahan tertentu untuk mencapai tujuan bersama dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.[6]
Sedangkan menurut Akademi Ilmu Pengetahuan Amerika Serikat, penelitian interdisiplin adalah ”cara atau model penelitian yang mampu menyatupadukan atau mengintegrasikan informasi, data, teknik, alat-alat, perspektif, konsep dan atau teori dari dua atau lebih disiplin ilmu atau  sekumpulan pengetahuan spesialis untuk memajukan pemahaman fundamental atau untuk memecahkan permasalahan tertentu yang pemecahannya berada di luar wilayah jangkauan satu disiplin tertentu atau wilayah praktek penelitian tertentu” (US National Academy of Scinces, 2004). Perbedaan antara penelitian interdisiplin dan transdisiplin adalah bahwasanya penelitian transdisiplin dapat memberi arah evolusi pengembangan dari berbagai disiplin ilmu dan produk yang dihasilkan akan jauh lebih besar, lebih mencakup,  dari pada hanya sekedar menjumlahkan bagian-bagian kecil, dan hasil penelitian transdisiplin biasanya melampaui proses dan hasil  yang dilalui dan di  produksi oleh ilmu pengetahuan biasa.[7]
Lebih dari itu, penelitian transdisiplin melibatkan berbagai pendekatan (approaches) yang mampu memecah kebekuan dan kejenuhan disiplin ilmu yang berdiri sendiri-sendiri dan mampu melunakkan batas-batas kaku antar berbagai disiplin ilmu. Pemikiran dan penelitian yang bercorak transdisiplin  melibatkan pengetahuan  yang dihasilkan dengan cara mengkombinasikan beberapa elemen dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pengetahuan yang non-disipliner, atau dari pemangku kepentingan yang relevan dan kemudian menciptakan ilmu pengetahuan baru yang lebih komprehensif dan sintesis yang menjangkau banyak bidang.[8]  Dengan cara seperti itu, isu-isu yang kompleks sekalipun dapat dibicarakan secara tepat dan lebih memuaskan dalam ruang intelektual baru, mampu mencegah keterpecahbelahan atau dikhotomi ilmu pengetahuan yang ekstrem,  serta dapat mempromosikan inovasi dan penyuburan silang  ilmu pengetahuan.
Pemikiran dan penelitian multidisiplin terjadi jika subjek penelitian dikaji dan didekati dari berbagai sudut pandang, menggunakan perspektif dari berbagai disiplin yang berbeda. Berbagai disiplin yang berbeda dapat  hidup berdampingan dalam konteks yang khusus, namun masih tetap mempertahankan batas-batas disiplin dan metode yang dimilikinya. Pendekatan multidisiplin tidak ingin campur tangan dan melibatkan diri terlalu jauh dalam pembentukan integrasi ilmu baru, dan disinilah letak perbedaan antara penelitian yang bercorak inter dan transdisiplin.[9]  Sekedar sebagai contoh bagaimana menjaga kebersihan lingkungan. Ternyata masalah kebersihan yang antara lain adanya penumpukan sampah di berbagai kota di tanah air perlu melibatkan pendekatan yang bercorak transdisiplin.  Tidak hanya sains (teknologi pengelolaaan sampah; daur ulang, kompos), tetapi juga budaya masyarakat dan perundang-undangan, hukum, perda (humanities), juga ilmu-ilmu sosial (kelembagaan, organisasi, pendanaan). Semua elemen tersebut harus berjalan secara sinergis, simultan, tidak terpotong-potong antara satu dan lainnya.


Pendekatan transdisiplin: ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu sosial.
Know-how creation and exploitation
Pemecahan masalah (problem solving), Inovasi, kreativitas, invensi, imaginasi, transformasi, pemanfaatan perkembangan  teknologi, kewirausahaan (enterpreunership), keterbukaan dalam berpikir adalah ide dasar dan filosofi yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan transdisiplin.[10] Keterbukaan dalam berpikir yang dibentuk oleh pengalaman nyata (concrete experience) dalam berhadapan dengan ramah dan ganasnya alam semesta (perubahan iklim, bencana alam, air bersih, kebersihan lingkungan), kebutuhan untuk meringankan beban hidup manusia hidup  di muka bumi (pakaian,  makanan, tempat tinggal, energi yang terbarukan, transportasi), dan mengatasi peliknya masalah ekonomi, sosial-kemasyarakatan dan sosial-keagamaan (kemiskinan, pendidikan, kesehatan, radikalisme, terrorisme, narkoba, kekerasan seksual, korupsi, kolusi dan nepotisme, etika dan hukum) adalah visi dan tujuan utama pendekatan pembelajaran dan riset yang bercorak transdisiplin.
Ide
Pegembangan pada level teknis
(Technical development)
Penemuan
(Invention)
(Kewirausahaan)
(Entrepreneurship)
Inovasi
(Innovation)
+

+
Tahu-Bagaimana menciptakan Ilmu pengetahuan  dan memanfaatkannya nyapengetahuan dan mema

 







           
Figure: Mata rantai berharga antara  ide dan inovasi innovation
 


Pembelajaran dan penelitian yang bercorak transdisiplin tidak harus terbatas hanya dalam upaya mengkombinasikan ilmu pengetahuan (sciences) dan teknologi (technology). E.O. Wilson memperkenalkan kembali istilah ‘consilience’, kesatuan ilmu pengetahuan (the unity of knowledge), mengumpulkan secara bersama-sama (bringing together) ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Menurutnya, istilah ini (conscilience):
 “roots in the ancient Greek concept of an intrinsic orderliness that govern our cosmos, inherently comprehensible by logical process, a vision at odds with mystical views in many cultures that surrounded the Hellenes. The rational view was recovered during the high Middle Ages, separated from theology during the Renaissance and found its apogee in the Age of Enlightenment. Then, with the rise of modern sciences, the sense of unity gradually was lost in the increasing fragmentation and specialisation of knowldege in the last two centuries. The converse of conscilience in this way was Reductionism”.[11]
Konsep menyatukan kembali ilmu pengetahuan (conscilience) berakar dari konsep Yunani Kuno tentang adanya hukum  keteraturan alam yang intrinsik, mengatur seluruh kosmos, alam semesta kita. Hukum keteraturan alam ini dapat dipahami secara inheren oleh proses logika manusia, sebuah pemahaman yang bertentangan dengan pandangan mistis yang dianut oleh berbagai budaya yang mengitari orang-orang Hellenis-Yunani saat itu. Pandangan rasional telah ditemukan kembali selama akhir era abad tengah, dipisahkan dari teologi selama era Renaissance dan memperoleh puncaknya pada abad Pencerahan (Enlightenment). Kemudian, dengan munculnya ilmu-ilmu moderen, pemahaman akan menyatunya ilmu pengetahuan telah hilang dengan semakin bertambahnya fragmentasi dan spesialisasi ilmu dalam dua abad terakhir. Pernyataan yang berseberangan  dengan konsep conscilience adalah Reductionism.
Dari prinsip Conscilience ini, Wilson berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada garis pembatas yang tegas antara ilmu-ilmu pasti (exact sciences) di satu sisi, dan ilmu-ilmu humaniora  (humanities) di sisi lain. Psikologi kognitif dan antropologi biologis menunjukkan akan semakin menyatu (conscilience)  dengan biologi. Pemahaman konsep conscilience seperti itu akan membuka jalan ke depan untuk memahami sifat dasar manusia secara lebih baik dan benar. Pemahaman sifat dasar manusia secara intuitif merupakan inti dari seni kreatif, juga merupakan bangunan dasar ilmu-ilmu sosial. “Memahami sifat dasar manusia secara objektif, mempelajarinya secara ilmiah, memahaminya dalam seluruh manifestasinya akan memenuhi impian era enlightenment”.
Masih menurut Wilson, universitas  yang berjalan sekarang ini bersifat Reductionism, yaitu terlalu kecil dan sempit perspektifnya dalam melihat dan menganalisis suatu masalah. Sebagai contoh,  bidang seni (Arts) seperti seni arsitektur dan disign industri dapat diterima di universitas teknologi, meskipun kita tidak menganggapnya sebagai ilmiah (scientific). Universitas masa depan  akan lebih bercorak sintesis atau lebih tepat disebut conscilience – antara berpikir reduksionistik (proses berpikir sempit- perspektif terbatas) dan berpikir kreatif (proses berpikir yang kaya perpektif dan alternatif)  akan dihidupkan kembali dan diperbaiki. Kedepan permasalahan yang sangat sulit dan membingungkan menuntut digunakannya pemecahan masalah secara interdisipliner dan transdisipliner. Persoalan sulit seperti itu akan dipecahkan oleh sekelompok mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu secara bersama-sama. Mahasiswa-mahasiswa ini, bersama-sama dengan ahli-ahli dari kalangan industri akan bekerja sama secara lebih radikal.
Tidak dapat diingkari memang bahwa keterampilan teknis (technical skills) adalah perwujudan kecerdasan dan kepandaian  manusia yang mengagumkan untuk membantu mengurangi beban dan kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan kehidupannya. Namun kepandaian dan kecerdasan teknis seperti itu tidak dapat dihargai sedemikian rupa tanpa mengikut-sertakan, apalagi sampai  mengabaikan peran humaniora, seperti umumnya anggapan orang sekarang ini. Keilmuan teknik (engineering) tidaklah lebih baik dari pada sejarah seni (art history) dan begitu pula sebaliknya.  Masyarakat memerlukan keduanya, bahkan seringkali kombinasi keduanya. Gambaran di era digital sekarang sebagai berikut. Ketika mengumumkan edisi baru  iPad, Steve Jobs menjelaskan “adalah dalam DNA Apple itu sendiri yang menjelaskan bahwa hanya dengan teknologi saja tidaklah cukup. Teknologi yang dikawinkan dengan liberal arts, teknologi yang dikawinkan dengan humaniora lah yang mengantarkan kita dapat memperoleh hasil yang membuat hati kita puas”.[12]
Kata kunci  “perkawinan” ini penting. Perkawinan ini bukanlah semata-mata hanya persoalan menambahkan begitu saja disain ke dalam teknologi. Cermati apa yang terjadi pada Facebook. Mark Zuckerberg, sebagaimana dituturkan oleh Fareed Zakaria,  dulunya adalah mahasiswa classical liberal arts, yaitu bidang studi yang mengutamakan pembelajaran yang luas, integratif dan bebas. Bukan pembelajaran yang bercorak spesialis-vokasional. Namun dia senang dan sangat tertarik pada komputer.  Dia mempelajari sejarah dan filsafat Yunani Kuno ketika masih sekolah menengah atas dan kemudian mengambil major psikologi ketika kuliah pada level strata 1 (undergraduate). Pemahaman yang sangat penting dan jarang diketahui umum adalah bahwasanya yang membuat Facebook menjadi perusahaan raksasa di bidang teknologi informasi seperti saat sekarang ini adalah hal-hal sangat terkait dengan psikologi, selain dengan teknologi.  
Dalam  wawancara dan di berbagai perbincangan, Zuckerberg  seringkali menunjukkan bahwa sebelum Facebook dibuat, banyak orang menutupi identitasnya di Internet. Boleh dikata, Internet adalah dunia tanpa nama dan asal-usul, dunia tanpa diketahui identitasnya  seseorang (anonymity). Sedangkan pandangan Facebook sebaliknya. Kita dapat menciptakan budaya dimana seseorang dapat menunjukkan identitasnya secara jelas,  masyarakat secara suka rela dapat menunjukkan diri mereka di hadapan teman-temannya, dan langkah ini akan menjadi program besar yang bercorak transformatif. Sudah barang tentu, Zuckerberg memahami komputer sangat mendalam dan mampu menggunakan code-code tertentu untuk meletakkan ide-idenya dalam praktik, namun pemahamannya tentang pentingnya psikologi kejiwaan manusia adalah kunci keberhasilannya.  Mengikuti kata-katanya sendiri, bahwasanya dalam Facebook “porsi psikologi dan sosiologi sama banyak dan sama kuatnya dengan teknologi”.[13]
Terpisahnya secara radikal antara sains dan teknologi di satu sisi dan sosial-humaniora di sisi lain dan implikasinya dalam kehidupan sosial-politik-keagamaan di era global sangat digelisahkan oleh para pengamat studi agama dan keislaman karena akan berakibat kepada stabilitas dan instabilitas keamanan dan perdamaian dunia. Hal in lebih perlu dicermati dengan sungguh-sungguh bagaimana disign perguruan tinggi di masa depan.  Setidaknya Khaled Aboe El-Fadl mengungkapkan sebagai berikut:
“... To become truely modernized according to the puritans, means to regress back in time and recreate the golden age of Islam. This however, does not mean that they want to abolish technology and scientific advancement. Rather their program is deceptively simple. Muslim should learn the technology and science invented by the West, but in order to resist western culture. Muslims should not seek to study the social sciences of humanities. This is the reason that a large number of puritants come to the west to study, but invariably focus their studies on the physical sciences including computer science and entirely ignore the social sciences and humanities.  Armed with modern science and technology, puritans believe that they will be better positioned to recreate the golden age of Islam by creating a society modelled after the prophet’s city-state in Madina and Mecca.”[14]
Menjadi orang modern yang sebenarnya menurut kaum puritan adalah kembali ke belakang dari segi waktu dan menciptakan kembali abad keemasan Islam. Namun demikian, ini bukan berarti bahwa mereka ingin menghapus teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Program mereka ini, dengan cara mengaburkan persoalan yang sesungguhnya sedang dihadapi, adalah sederhana. Manusia Muslim hendaknya mempelajari teknologi dan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh Barat, namun untuk tujuan menentang budaya barat. Orang Muslim tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Itulah sebabnya maka banyak kaum puritan datang ke Barat untuk belajar, tetapi mereka selalu hanya memfokuskan studi pada ilmu-ilmu pisika, termasuk ilmu komputer dan seluruhnya tidak menganggap penting ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dibekali dengan ilmu-ilmu moderen dan teknologi, puritan percaya  bahwasanya mereka akan memiliki posisi yang lebih baik untuk menciptakan kembali jaman keemasan Islam dengan cara membangun masyarakat Islam seperti negara-kota yang dibangun  era kenabian di Madinah dan Makkah.   

Pendekatan transdisiplin: sains, sosial dan agama.

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan perguruan tinggi di Indonesia memang unik. Selain ada kementrian riset-teknologi dan pendidikan tinggi (kemenristekdikti) – dulu disebut kementrian pendidikan dan kebudayaan - yang menaungi seluruh perguruan tinggi umum, negeri dan swasta, juga ada kementrian agama yang menaungi perguruan tinggi agama, negeri dan swasta, di tanah air. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN), Institut Agama Islam (IAIN) dan sejak tahun 1998 beberapa IAIN bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Selain Islam juga ada perguruan tinggi Kristen (STAKN), dan Hindu (IHDN). Jumlah mahasiswa di perguruan tinggi agama tidak kurang dari 800.000 mahasiswa.[15] Merancang masa depan perguruan tinggi di Indonesia 2030/2045, tidak bisa tidak juga perlu melibatkan perguruan tinggi agama. Lebih-lebih, selama ini tidak banyak perguruan tinggi di Indonesia, baik yang ada dibawah kementrian riset dan teknologi dan pendidikan tinggi  (kemenristekdikti) maupun kementrian agama, yang secara terencana mendiskusikan hubungan antara agama dan sains.
Persoalan globalisasi tidak hanya berhenti pada wilayah ekonomi dan industri (WTO; MEA), tetapi juga budaya, sosial dan agama. Universitas riset pada era global seperti sekarang ini, menurut Altbach dan Salmi, pada dasarnya adalah institusi riset berbasis ekonomi ilmu pengetahuan (knowledge-based economy). Institusi atau lembaga ini harus memberikan porsi yang tepat pada perenungan, kritik, dan pemikiran tentang budaya, agama, kemasyarakatan dan bahkan norma-norma. Jiwa universitas riset terbuka terhadap ide-ide dan bersedia melawan ke-ortodok-an dalam segala hal.[16]  
Tema-tema studi dan penelitian baru dalam studi kemanusiaan seperti hak asasi manusia, demokrasi, negara-bangsa, gender mainstreaming, hak-hak wanita dan anak (KPAI), demografi dan keluarga berencana, semakin dekatnya hubungan antar umat beragama (a greater interfaith interaction), perlunya hubungan yang harmonis antara Muslim dan non-Muslim, kekerasan atas nama agama, radikalisme, terrorism, multiculturalism, perdamaian, kemiskinan, kesehatan yang baik, mengatasi perubahan iklim dan bencana alam dan begitu seterusnya juga menjadi kajian penting yang tidak terpisahkan di perguruan tinggi keagamaan dan perguruan tinggi umum dalam mempersiapkan kualitas alumni masuk dalam kehidupan masyarakat luas dan sekaligus mempersiapkan kehadiran generasi pemimpin baru di masa yang akan datang.
Dalam menghadapi isu-isu global dunia kontemporer yang antara lain  telah disebut diatas apakah perguruan tinggi di tanah air telah siap meramunya dalam proses pembelajaran dan perkuliahan dan lebih-lebih penelitian? Ada kritik dari pengamat sosial-budaya dari antropologi, menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia belum menghasilkan lulusan yang memuaskan bahkan mengantarkan lulusannya ke wilayah kehidupan moral yang paradoks. Paradoks karena terfragmentasinya proses pendidikan dan pembelajaran di tanah air selama ini. Dijelaskan sebagai berikut:
“Melalui kurikulum sekolah, SD sampai perkuliahan, orang Indonesia dibesarkan dalam label yang mengharuskannya membedakan persoalan politik, sosial, budaya dan agama, ekonomi, penegakan HAM, dan sejarah sebagai hal yang berdiri sendiri-sendiri. Maka siswa/mahasiswa/dosen tidak terbiasa membangun analisis dari berbagai sudut yang berbeda untuk mencapai kesimpulan besar. Politik Orde Baru melahirkan manusia-manusia tipikal paradoksal: religious dan patuh dalam berbelanja, konsumtif dalam simbol-simbol agama dan toleran terhadap kekerasan dalam penegakan moral. Namun juga lunak dan ragu dalam korupsi, ketidakadilan serta pelanggaran HAM di depan matanya.”[17]
Tidak hanya itu. Dalam skala global-dunia Islam, diperoleh  catatan serupa. Pengamat studi Islam dari Amerika Serikat, berasal dari Palestina, mencatat bahwa studi syari’ah atau fikih yang menjadi inti subjek dalam studi keislaman belum mengenal dengan baik, untuk tidak menyebutnya tidak mengenal filsafat dan ilmu sosial:
 “ ... The core of the field revolves around Shari’ah and Fiqh studies that have been, very often, empitied of any critical or political content or relevance to the present situation. A clear-cut distinction has been made between the “theological” and the “political” or the “theological” and the “social,”  with the former being understood as rites, symbols, and historical texts only. Furthermore, the perspective of the social science or critical philosophy is regretably absent. The field of modern Shari’ah studies in the Muslim world has remained closed off to the most advanced human contributions in critical philosophy and social sciences.”[18]
Inti bidang studi yang mengelilingi studi Shari’ah dan Fikih dari dahulu sampai sekarang sering kali kosong dari muatan kajian politik atau studi kritis atau yang relevan dengan keadaan sekarang ini. Garis batas yang tegas telah dibuat antara “teologi” dan “politik” atau antara “teologi” dan “sosial”. Teologi hanya dipahami sebagai ritus-ritus peribadatan, simbol-simbol dan teks-teks sejarah belaka. Lebih dari itu, sangat disayangkan bahwasanya perspektif ilmu sosial dan filsafat kritis sama sekali tidak ada disitu.  Bidang Shari’ah moderen di dunia Muslim masih tetap tertutup untuk menerima masukan dan sumbangan dari filsafat kritis dan ilmu sosial yang paling mutakhir.
Dari dua kutipan tersebut dapat dibaca bahwa dalam kaca mata  Ian  G. Barbour, memang ada 4 (empat) corak hubungan  antara agama dan sains, yaitu, Konflik, Independen, Dialog dan Integrasi,[19] Hubungan agama dan ilmu pengetahuan di dunia Muslim umumnya dan Indonesia khususnya masih bercorak Independen [dengan simbol keterpisahan administrasi pengelolaan perguruan tinggi pada kementrian riset dan teknologi dan pendidikan tinggi  di satu pihak  dan kementrian agama di pihak lain], untuk tidak menyebutnya masih dalam level Konflik.[20] Corak hubungan ini, dalam era World Class University (WCU) yang berbasis pada research (Research University) perlu secara bertahap ditingkatkan menjadi Dialog dan Integrasi. Banyak ilmuan Muslim dan juga ilmuan Barat kontemporer yang telah mengingatkan perlunya peningkatan hubungan tersebut agar budaya agama  dan budaya sains dapat berdialog secara positif-konstruktif dalam upaya  memecahkan persoalan kemanusiaan. Artinya peradaban manusia dalam era global seperti saat sekarang ini menginginkan peradaban ilmu, sosial, budaya dan peradaban agama saling bertegur sapa dan berdialog secara intens, dan bukannya saling menghindar dan menjauh.      
 Jasser Auda, mewakili generasi baru sarjana Muslim era kontemporer,  menggarisbawahi perlunya dilakukan riset yang serius dan perlunya pandangan keagamaan yang kompeten  (competent worldview] untuk memecahkan permasalahan sosial keagamaan yang semakin hari semakin pelik. Ia jelas-jelas menghendaki adanya corak hubungan baru, yang lebih integratif dan transdisipliner antara agama dan sains sekarang ini dan lebih-lebih yang akan datang.
“... The second impact of the proposed condition of a ‘competent worldview’ is ‘opening’ the system of Islamic law to advances in natural and social sciences. Judgments about some status quo or ‘reality’ can no longer be claimed without proper research that is based on sound and ‘competent’ physical or social sciences methodology. We have seen how issues related to legal capacity, such as ‘the sign of death,’ ‘maximum pregnancy period,’ ‘age of differentiation,’ or ‘age of puberty,’ were traditionally judged  based on ‘asking people.’ Since ‘methods of scientific investigation’ are part of one’s worldview,’ ... I would say that ‘asking the people’ cannot be claimed today without some statistical proof! This takes us to the realm of science (natural and social), and defines a mechanism of interaction between Islamic Law and the other branches of knowledge.”[21]
Akibat kedua dari persyaratan yang diusulkan dari poin  ‘pandangan dunia yang kompeten’ adalah ‘membuka’ sistem berpikir Hukum Islam terhadap kemajuan ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu sosial. Keputusan yang diambil tentang keadaan yang masih berlaku sekarang dan ‘kenyataan’ tidak lagi dapat diklaim  begitu saja tanpa melalui penelitian yang memadai, yaitu penelitian yang berlandaskan metodologi ilmu-ilmu pisika atau ilmu-ilmu sosial yang kompeten-akurat. Kita telah melihat bagaimana isu-isu yang terkait dengan hukum, seperti ‘tanda-tanda kematian,’ periode maksimum kehamilan,’ ‘penentuan batas umur akil-baligh,’ atau ‘umur pubertas,’ yang pada era terdahulu, secara tradisional,  diambil kesimpulan hukumnya hanya berdasar pada ‘bertanya kepada orang.’ Karena ‘metode penelitian ilmiah’ adalah bagian dari pandangan dunia seseorang,’ ..., maka saya akan katakan bahwasanya ‘bertanya kepada orang’ tidak dapat lagi dipedomani tanpa bukti statistik! Ini semua membawa kita kepada wilayah ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial), dan sekaligus menentukan bagaimana mekanisme interaksi atau hubungan antara Hukum Islam dan cabang-cabang ilmu yang lain.
Pendapat yang sama disampaikan Ebrahim Moosa: “Having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must become economists or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice verse.”[22]
Setelah mengangkat permasalahan hubungan internasional, politik dan ekonomi, itu bukan berarti bahwa para ahli atau sarjana agama harus menjadi ahli ekonomi atau ilmuwan politik. Namun demikian, studi agama akan sungguh menderita jika pandangan-pandangannya tidak memperhitungkan bagaimana pembahasan dan diskusi tentang politik, ekonomi dan budaya berpengaruh terhadap penampilan agama dan begitu sebaliknya.
Jika memang begitu gambaran hubungan agama dan ilmu pengetahuan selama ini berjalan,  yang terasa sangat kaku, rigid, sempit, saling menutup diri dan beraroma konflik, lalu bagaimana gambaran hubungan antara keduanya pada era berkembangnya perguruan tinggi kelas dunia dan universitas riset khususnya?
             
Kata kunci transdisiplin: semipermeable, intersubjective testability dan creative imagination.
            Seperti sekilas dijelaskan di atas bahwasanya hubungan yang bercorak Konflik atau Independensi tidak lah nyaman untuk  menjalani kehidupan yang semakin kompleks. Tugas peneliti (research university) dan pendidik (teaching university) di lingkungan perguruan tinggi,  terlebih di lingkungan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) adalah menyiapkan para calon pemikir, pemimpin, teknokrat, birokrat, politisi,  peneliti handal yang nyaman dalam menghadapi berbagai ketidakpastian, kesulitan, kebingungan dan mampu mengatasi dan mengaturnya dengan jitu melalui berbagai cara. Banyak lobang-lobang yang menjebak, penuh resiko, jika pilihan hubungan antara agama dan ilmu adalah Konflik atau Independen. Idealnya hubungan antara keduanya adalah Dialog dan jauh lebih baik jika dapat berbentuk Integrasi. Secara teoritik, dengan mengambil inspirasi dari Ian G. Barbour dan Holmes Rolston, III, ada 3 kata kunci yang menggambarkan hubungan agama dan ilmu yang bercorak Dialogis dan Integratif, yaitu Semipermeable, Intersubjective Testability dan Creative Imagination.
            Pertama, Semipermeable. Konsep ini berasal dari keilmuan biologi. Kaidah ‘Yang dapat menyesuaikan diri lah yang paling dapat bertahan’ (Survival for the fittest) adalah yang paling menonjol. Hubungan antara ilmu pengetahuan yang berbasis pada “kausalitas” (Causality) dan agama yang berbasis pada “makna” (Meaning) adalah bercorak semipermeable, yakni, antara keduanya saling menembus. (The conflicts between scientific and religious interpretations arise because the boundary between causality and meaning is semipermeable).[23] Hubungan antara ilmu dan agama, begitu  juga hubungan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dan humaiora tidaklah dibatasi oleh tembok tebal yang tidak memungkinkan untuk berkomunikasi, tersekat dan terpisah sedemikian ketat dan rigidnya. Hubungan antara keduanya saling menembus, saling merembes. Saling menembus secara sebagian, dan bukannya secara bebas dan total. Masih tampak garis batas demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan, dosen dan peneliti antar berbagai disiplin tersebut saling membuka diri untuk berkomunikasi, saling menerima masukan dan saling mengambil inspirasi dari disiplin di luar bidangnya. Hubungan saling menembus ini dapat bercorak klarifikatif, komplementatif, afirmatif, korektif, verifikatif, transformatif dan bahkan inspiratif.            
            Masing-masing disiplin ilmu masih tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya sendiri-sendiri, tetapi selalu terbuka ruang untuk berdialog,  berkomunikasi dan berdiskusi dengan disiplin ilmu lain. Tidak hanya dapat berdiskusi antar rumpun disiplin ilmu kealaman secara internal, namun juga mampu dan bersedia untuk berdiskusi dan menerima masukan dari keilmuan external, seperti  dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Ilmu-ilmu agama atau yang lebih populer disebut dengan ‘Ulum al-din tidak terkecuali disini. Ia juga tidak dapat berdiri sendiri, terpisah, terisolasi – seperti yang selama ini berlangsung -  dari hubungan dan kontak dengan keilmuan lain di luar dirinya. Ia harus terbuka dan membuka diri serta bersedia berdialog, berkomunikasi, menerima masukan, kritik dan bersinergi dengan keilmuan alam, keilmuan sosial dan humaniora.
            Disini, konsep linearitas bidang ilmu, lebih-lebih dalam ilmu-ilmu keagamaan,  – meskipun dapat dibenarkan jika ditinjau dari administrasi birokrasi keilmuan program studi di tingkat fakultas, tapi pada era Universitas Kelas Dunia dan era Universitas Riset, pandangan  keilmuan (scientific worldview) yang rigid seperti itu dipertanyakan kemampuannya untuk memecahkan masalah oleh masyarakat luas dan kalangan ilmuan itu sendiri.  Holmes Rolston, III menegaskan bahwa studi agama yang dipisahkan atau diceraikan dari ilmu pengetahuan sekarang akan tidak mampu menghasilkan keturunan yang baik untuk generasi berikutnya. Spesialisasi yang berlebihan (overspecialization) adalah jalan yang hampir pasti ke arah kematian dan bahkan kepunahan. Agama memang perlu menjaga integritas dan kemampuan menyesuaikan diri secara otonom. Namun, agama tidak dapat bertahan hidup tanpa mampu menyesuaikan dengan lingkungan intelektual yang mengitarinya.[24]
            Kedua, Intersubjective testability (Keterujian intersubjektif). Rambu-rambu kedua yang menandai hubungan antara  ilmu dan agama, juga antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang bercorak dialogis dan integratif adalah Intersubjective subjectivity. Istilah tersebut datang dari Ian G. Barbour dalam konteks pembahasan tentang cara kerja sains kealaman dan humanities,[25]  namun dalam tulisan ini akan saya kembangkan dengan menggunakan ilustrasi yang diambil dari pendekatan fenomenologi agama. Menurut Barbour, baik Objek maupun Subjek, masing-masing berperan besar dalam kegiatan keilmuan. Data tidak dapat dikatakan terlepas sama sekali dari penglihatan pengamat (The data are not “independent of the observer”), karena situasi di lapangan selalu diintervensi oleh ilmuan sebagai experimental agent itu sendiri. Oleh karenanya, concepts bukanlah diberikan begitu saja oleh alam, namun dibangun atau dikonstruk oleh ilmuan sebagai pemikir yang kreatif (creative thinker). Oleh karenanya, pemahaman tentang apa yang disebut dengan objektif harus disempurnakan menjadi intersubjective testability, yakni ketika semua komunitas keilmuan ikut bersama-sama berpartisipasi menguji tingkat kebenaran penafsiran dan pemaknaan data yang diperoleh  peneliti dan ilmuan dari lapangan.[26]  
            Dalam dunia logika ilmu pengetahuan sekarang, khususnya yang terkait dengan bahasan ilmu dan agama, dikenal istilah subjektif, objektif dan berikutnya intersubjektif.[27] Dalam studi agama, khususnya kajian penomenologi agama - lewat bantuan penelitian antropologi melalui grounded research (etnografi) - para peneliti (observer; researchers) dapat mencatat apa yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari di lapangan hal-hal yang dapat dideskripsikan secara objektif. Para peneliti antropologi agama menemukan dan mencatat dengan cermat bahwa apa yang  disebut agama antara lain meliputi unsur-unsur dasar sebagai berikut : 1) doktrin (believe certain things), 2) ritual (perform certain activities), 3) kepemimpinan (invest authority in certain personalities), 4) nass/teks kitab suci (hallow certain texts), 5) sejarah (tell various stories), 6) moralitas (legitimate morality) dan bisa ditambah 7) Alat-alat (tools).[28] Ketujuh unsur ini pada umumnya ada secara objektif dalam masyarakat pengikut kepercayaan dan agama di manapun mereka berada. Namun, para  pengamat, researchers dan ilmuan (subjek) lah yang mengkonstruk dan mencatat adanya unsur-unsur dasar (fundamental structure) dalam agama  tersebut.
            Namun, ketika ke tujuh unsur dasar dalam agama, yang menurut penglihatan para pengamat (researchers; religious scholars) bersifat objektif-universal tersebut - karena dapat ditemui di berbagai tempat, ada dimana-mana - telah dimiliki, diinterpretasikan, dipahami, dipraktikkan dan dijalankan oleh orang per orang, kelompok per kelompok dalam konteks budaya dan bahasa tertentu (community of believers), maka secara pelan tapi pasti, apa yang dianggap objektif oleh para pengamat tadi akan berubah menjadi subjektif menurut tafsiran, pemahaman dan pengalaman para pengikut ajaran agama masing-masing. Community of believers ini seringkali sulit sekali memahami sisi objektifitas dari keberagamaan manusia, karena kepentingan-kepentingan memang selalu melekat dalam dunia subjek dan para pelaku di lapangan.
            Pergeseran dari objektivitas-peneliti ke subjektifitas-pelaku, setidaknya, dapat ditandai ketika apa yang diyakini, dipahami, ditafsirkan dan dijalani oleh orang per orang, kelompok per kelompok dan golongan per golongan atau masyarakat tertentu dianggap dan dipercayai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat diganggu-gugat, tidak dapat diperdebatkan sama sekali (non-falsifiable) dan tidak dapat diperbandingkan dengan yang lain (incommensurable). Ketika terjadi proses sosiologis seperti itu, maka apa yang dulunya tampak objektif oleh para pengamat, researchers, scholars telah  bergeser ke wilayah subjektif oleh para pelaku dan penganut agama-agama dan kepercayaan yang ada di lapangan.
            Disini letaknya tikungan tajam, dimana orang apalagi kelompok seringkali  kehilangan kompas dan petunjuk arah perjalanan ke depan. Jika para pengamat, peneliti, ilmuan dan sarjana agama (religious scholars) melihat kepelbagaian dan kemajemukan interpretasi dalam agama-agama (baik secara eksternal antar pengikut agama-agama dan secara internal, dalam lingkungan dalam agama itu sendiri) sebagai suatu hal yang secara sosiologis wajar belaka dan kemudian para pengamat dan ilmuan berusaha mencari “esensi” dari kepelbagaian dalam keberagaman (Essences and Manifestations), maka sebaliknya bagi para pelaku dan aktor agama dan kepercayaan di lapangan (believers dan confessionalist). Bagi para believers, apa yang dipercayai dan diyakininya adalah yang paling benar dan tidak dapat dipertanyakan, apalagi dipersalahkan oleh kelompok lain yang berbeda (Non-falsifiable).
            Letak tikungan tajam dan krusialnya disini. Menurut pandangan keilmuan (scholarly perspective), di tengah kepelbagaian dan kebhinnekaan agama secara sosiologis (Manifestations), maka yang perlu dicari adalah “Essences” (Hakekat dan Ma’rifat dalam bahasa Tasawwuf/Sufismnya) dari berbagai agama yang berbeda-beda tersebut, sedang menurut pola pikir agama-fiqhiyyah (Islamic/Christian/Buddhist perspective, atau agama  dan kepercyaan yang lain), maka hanya agama dan kepercayaannya yang dimiliki oleh diri dan kelompoknya (Manifestations;fiqhiyyah-sosiologis) sajalah yang paling benar (Non-falsifiable). Implikasi dan konsekwensi dari dua model berpikir ini sudah dapat diperkirakan. Indonesia dan dunia agama-agama di manapun berada menghadapi persoalan dan permasalahan pelik yang sama seperti itu. Ketegangan (Tension) selalu ada antar kedua corak berpikir tersebut. Para pimpinan agama dan pimpinan masyarakat dan politik dari lapis atas sampai bawah perlu memperoleh bekal keilmuan melalui riset lapangan yang lebih dari cukup untuk dapat mengelola dan menjembatani perbedaan penafsiran dan ketegangan tersebut.          
            Dengan begitu, apakah agama dan kehidupan beragama bersifat objektif atau subjektif? Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan bagaimana corak kehidupan beragama dalam masyarakat multietnis, multibahasa, multireliji, multiras dan multikultural seperti di Indonesia.[29] Penelitian agama dan pemahaman agama memang unik, sui generis. Tidak dapat disamakan begitu saja dengan penelitian di bidang sains kealaman dan juga sains sosial. Karena dalam agama ada unsur yang hampir sama sekali tidak dapat ditinggalkan, yaitu “involvement” (keterlibatan penuh) dan “unreserved commitment” (komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar).[30] Oleh karenanya, penelitian dan pemahaman agama selalu bercorak objective-cum-subjective dan atau objective-cum-subjective. Dalam agama ada unsur objektifitas, namun dalam waktu yang bersamaan selalu lekat di dalamnya unsur subjektifitas. Begitupun sebaliknya, agama pada hakekatnya adalah bercorak subjektif (Fideistic subjectivism),[31] namun akan segera menjadi absurd, jika seseorang dan lebih-lebih jika sekelompok orang agamawan yang terhimpun dalam mazhab, sekte, denominasi dan organisasi,  jatuh pada fanatisme buta dan menolak koleganya yang lain yang menafsirkan, menganut dan mempercayai kepercayaan dan agama yang berbeda. Untuk menghindari keterjebakan subjektifitas yang akut, maka para agamawan perlu mengenal secara ilmiah adanya unsur-unsur objektif (Scientific objectivism) yang ada dalam agama-agama. Dengan begitu, ketegangan yang ada dalam wilayah subjektifitas yang akut (a dire subjectivism) dapat diredakan dengan pencerahan keilmuan (enlightenment) lewat pengenalan wilayah objektif dalam agama-agama lewat penelitian empiris. Wilayah objektif dan subjektif dalam studi agama tidak dapat dipisahkan.
            Setelah mengenal pergumulan antara dunia objektif dan dunia  subjektif dalam studi agama, yang dapat diformulasikan menjadi objective-cum-subjective dan atau subjective-cum-objective, maka kluster berpikir berikutnya, yaitu “intersubjektif” akan lebih mudah dipahami. Intersubjektif adalah posisi mental keilmuan (scientific mentality) yang dapat mendialogkan dengan cerdas antara dunia objektif dan subjektif dalam diri seorang ilmuan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan, baik dalam dunia sains, agama, maupun budaya. Intersubjektif tidak hanya dalam wilayah agama, tetapi juga pada dunia keilmuan pada umumnya. Communtiy of researchers selalu bekerja dalam bingkai intersubjective testability. Kehidupan begitu sangat kompleks untuk dapat diselesaikan dan dipecahkan hanya dengan satu bidang disiplin ilmu. Overspecialization dan linearitas bidang ilmu menjadi bahan perbincangan dan perdebatan sekarang. Kolaborasi antara berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan untuk memecahkan berbagai macam kompleksitas kehidupan. Masukan dan kritik dari berbagai disiplin (multidiscipline) dan lintas disiplin ilmu (transdiscipline) menjadi sangat dinantikan untuk dapat memahami kompleksitas kehidupan dunia multikultural dengan lebih baik. Linearitas bidang ilmu yang dipahami secara ad hoc akan mempersempit wawasan keilmuan seseorang, jika berhadapan dengan isi-isu keilmuan yang berada di luar jangkauan bidang keilmuan yang menjadi bidang keahlian spesialisasinya.
            Ketiga, Creative imagination (Imaginasi kreatif). Meskipun logika berpikir induktif dan deduktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayang dalam uraian tersebut umumnya meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan itu sendiri dalam kerja ilmu pengetahuan. Memang ada logika untuk menguji teori tetapi tidak ada logika untuk menciptakan teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinal.
            Umumnya para ilmuan bercita-cita dalam karir akademisnya untuk dapat menemukan teori baru. Mahasiswa program doktor pun selalu dihimbau oleh promotornya untuk menyuguhkan temuan baru sebagai sumbangsih  pengembangan ilmu pengetahuan (contribution to knowledge). Bagaimana teori baru itu  muncul? Teori baru seringkali muncul dari keberanian seorang ilmuan dan peneliti untuk mengkombinasikan berbagai ide-ide yang telah ada sebelumnya, namun ide-ide tersebut terisolasi dari yang satu dan lainnya. Inilah inti dari cara berpikir dan penelitian yang bercorak transdisiplin. Menurut Koesler dan Ghiselin,[32] bahwa imajinasi kreatif baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam  dunia sastra seringkali dikaitkan dengan upaya untuk memperjumpakan dua konsep framework yang berbeda. Ia mensintesakan dua hal yang berbeda dan kemudian membentuk keutuhan baru, menyusun kembali unsur-unsur yang lama ke dalam adonan konfigurasi yang fresh, yang baru. Bahkan seringkali teori baru muncul dari upaya yang sungguh-sungguh untuk menghubungkan dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali. Newton menghubungkan dua fakta yang sama-sama dikenal secara luas, yaitu jatuhnya buah apel dan gerak edar atau rotasi bulan. Sedang Darwin melihat adanya analogi  antara tekanan pertumbuhan penduduk dan daya tahan hidup species binatang. Ada paralelitas antara kreativitas dalam bidang ilmu pengetahuan (scientist) dan seni (artist). Campbell, sebagaimana dikutip Ian G. Barbour,  menulis sebagai berikut:
            “For it has been admitted that though discovery of laws depends ultimately not on the fixed rules but on the imagination of highly gifted individuals, this imaginative and personal element is much more prominent in the development of theories; the neglect of theories leads directly to the neglect of the imaginative and personal element in science. It leads to an utterly false contrast between “materialistic” science and the “humanistic” studies of literature, history and art. ... What I want to impress on the reader is how purely personal was Newton’s idea. His theory of universal gravitation, suggested to him by the trivial fall of an apple, was a product of his individual mind, just as much as the Fifth Symphony (said to have been suggested by another trivial incident, the knocking at a door) was a product of Beethoven’s.”[33]
            Bagaimana jika uraian tersebut dihubungkan dengan kondisi pemikiran dan praktik pendidikan dalam masyarakat perguruan tinggi di Indonesia kontemporer? Adalah waktunya sekarang untuk mulai berani berpikir ulang tentang pemikiran dan praktik  kependidikan, khususnya pendidikan di perguruan tinggi,  dengan memandang perlunya menggunakan imajinasi kreatif dalam proses pembelajaran, perkuliahan dan riset. Tidak terkungkung oleh tirai besi monodisiplin yang kaku. Dalam konteks pendidikan agama, ilmu-ilmu keagamaan Islam era sekarang, sebutlah sebagai contoh seperti fikih, ibadah, kalam/aqidah/tauhid, tafsir, hadis, tarikh, akhlak, tidak boleh lagi steril dari perjumpaan, persinggungan dan pergumulannya dengan disiplin keilmuan lain di luar dirinya. Pendidikan keagamaan secara umum dan keislaman secara khusus tidak dapat lagi disampaikan kepada peserta didik  dalam  keterisolasiannya dan ketertutupannya  dari masukan dari disiplin ilmu-ilmu lain dan begitu juga sebaliknya. Guru dan dosen perlu berpikir kreatif dan memiliki imajinasi kreatif, berani mengkaitkan, mendialogkan uraian dalam satu bidang ilmu agama dalam kaitan, diskusi dan perjumpaannya dengan disiplin keilmuan  dan tradisi lain. Apabila langkah ini tidak dilakukan, maka  perkuliahan di perguruan tinggi,  lambat laun akan terancam kehilangan relevansi dengan permasalahan kehidupan sekitar yang sudah barang tentu semakin hari semakin kompleks.
Figure: Ilustrasi Integrasi-Keilmuan (agama) bercorak multidisiplin-transdisiplin
            Kasus-kasus pelanggaran etika dan hukum (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), tindakan kekerasan atas nama agama (radikalisme, terorisme), hubungan tidak harmonis intern dan antar umat beragama (multikulturalisme), keringnya publikasi ilmiah secara internasional- sebagai manifestasi buah tindakan praksis keilmuan dalam kehidupan sehari-hari -, mencerminkan tiadanya creative imagination yang mampu menghubungkan dan mendialogkan antara ilmu-ilmu kealaman dan keilmuan sosial-humaniora, dan juga antara keilmuan agama dan keilmuan sosial, humaniora dan alam. Tidak dapat berdialog dan terintegrasikannya keilmuan agama Kalam/Aqidah/Tauhid (Ulumu al-din) dengan pengalaman dan keilmuan baru dalam mengelola tatanan kehidupan berbangsa-bernegara dalam bingkai konstitusi negara modern  (the idea of constitution) menjadikan kasus di Sampang-Syiah dan kasus-kasus lain seperti Cikeusik-Ahmadiyah, belakangan antara Sunni dan Syi’iy, dan hubungan antar pemeluk agama-agama di berbagai daerah di tanah air menjadi tidak atau kurang harmonis, mudah retak (fragile), sehingga mudah disulut dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan dari luar daerah setempat, apapun motif  dan asal usul peristiwa itu semula terjadi.
            Tidak adanya proses intersubjective testability antara dua bidang ilmu atau lebih (multi dan transdisciplinary approach) menjadikan pemahaman dan penafsiran agama – yang umumnya hanya mendasarkan dan mengikuti nass-nass atau teks-teks keagamaan yang telah tersedia - menjadi terisolasi dari kehidupan sekitar – baik dalam arti lokal, regional, nasional maupun global-internasional - sehingga mudah terasa obsolete atau outdated (tidak relevan; krisis relevansi; kadaluwarsa) dan bahkan dapat menimbulkan korban sosial yang sesungguhnya tidak perlu. Kehidupan dan keilmuan agama terjebak dalam mindset lama yang tertutup dan tidak mampu berdialog secara jujur dan terbuka dengan disiplin dan pengalaman keilmuan lain.[34] Kriteria semipermeable dalam format integrasi-interkoneksi keilmuan tidak jalan sama sekali sehingga  untuk era multikultural lebih banyak menimbulkan masalah dari pada manfaat.

Penutup.
            Harus jelas visi dan misi perguruan tinggi Indonesia menuju tahun 2030 dan 2045, jika memang hendak meraih peringkat Universitas Kelas Dunia dan Universitas Riset dalam kaliber dunia. Terobosan-terobosan perlu dilakukan oleh pemerintah, perguruan tinggi dan dunia pelaku industri untuk meraih mimpi tersebut. Agenda apa yang harus dilakukan menuju tahun 2030 dan program konkrit apa yang perlu dikerjakan menuju tahun 2045. Tanpa upaya ekstra keras, sinergis dan rancangan urutan waktu yang jelas, perguruan tinggi Indonesia akan terus berada di buritan peradaban keilmuan.
            Kata kunci Liberal Arts Education dalam arti yang luas atau menggunakan istilah General Education yang mampu secara sinergis-kolaboratif-terpadu mengkombinasikan pendidikan keterampilan yang handal (skill-based education) dan kajian-kajian sains, sosial dan humaniora dalam  bingkai pendidikan multikultural adalah salah satu cirinya. Penelitian dan pembelajaran berbasis multidisplin, interdisiplin dan bahkan transdisiplin adalah prasyarat lain yang tidak dapat ditawar-tawar. Tata kelola dan manajemen prodi, pembagian antara mata kuliah pokok dan mata kuliah pilihan perlu ditinjau ulang. Lalu lintas antara mata kuliah akademik, professional dan vokasional perlu didisign ulang sesuai prinsip-prinsip pendekatan transdisipliner.
            Mengingat permasalahan yang dihadapi umat manusia semakin hari semakin kompleks, maka hasil penelitian yang inovatif sangat diharapkan oleh masyarakat. Karenanya menjelaskan kepada pencinta ilmu, khususnya dosen dan mahasiswa bahwa penguasaan berbagai metode dan cara berpikir  (a variety of modes of thinking) jauh lebih penting dari pada hanya menguasai satu metode berpikir saja. Menjelaskan bagaimana ilmuan eksperimental melakukan penelitian, bagaimana pentingnya statistik untuk ilmu sosial dan kebijakan publik tidak dapat dinomor duakan. Penekanan yang kuat perlu diberikan kepada mahasiswa bahwa metode ilmiah jauh lebih penting dari pada fakta ilmiah. Dengan begitu, dimanapun nantinya mahasiswa berada mereka akan tahu bagaimana berpikir ilmiah tersebut dijalankan. Menguatnya Scientific literacy bergandengan dengan cultural, social dan religious literacy akan menguatkan pilar kewargaan, kebangsaan dan kemanusiaan sebagai bagian tidak terpisahkan dari  masyarakat dunia.
            Penelitian dikembangkan dengan semangat kolaboratif dan terintegrasi dengan berbagai disiplin keilmuan. Riset tidak lagi dilakukan secara monodisiplin. Riset dikembangkan secara interdisiplin, multidisiplin bahkan transdisiplin. Kepala yang berbeda-beda, dengan pengetahuan dan perspektif yang berbeda-beda pula, ketika bersatu memikirkan dan memecahkan satu isu penting yang aktual di masyarakat akan berubah menjadi kekuatan yang dahsyat; kekuatan integrasi dan interkoneksi. Artinya, kerja bersama  (teamwork) antar disiplin ilmu sangat dipentingkan sekarang ini. Ilmuan tidak jamannya lagi  bersikap arrogan (blik) dan egosentris. Managemen teamwork adalah  keterampilan baru yang sangat diperlukan saat sekarang ini. Koordinasi antar departemen, kementrian dan lembaga adalah barang paling mahal di negeri ini lantaran tidak biasanya melakukan kerjasama antar berbagai pendekatan dan disiplin keilmuan dalam pemecahan masalah ketika masih mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.  
            Pendekatan inter, multi dan transdisiplin memastikan permasalahan dapat didekati secara komprehensif sehingga solusi lebih jitu dan handal dapat diupayakan oleh siapa pun yang berkepentingan, baik pemerintah, dunia industri, dunia swasta maupun masyarakat luas pengguna jasa ilmu pengetahuan. Triple Helix, kerjasama  segitiga, antara pemerintah, perguruan tinggi dan dunia industri sangat dinantikan oleh masyarakat luas untuk menyongsong hadirnya peradaban keilmuan di tanah air menuju peringkat  universitas kelas dunia dan universitas riset bergengsi di dunia pada tahun 2045.
























DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, “Religion, Science and Culture: An Integrated, Interconnected Paradigm of Science”, al-Jami’ah,  Vol. 52, Number 1, 2014/1436,  2015.

Altbach, Philip G,  dan Jamil Salmi (Eds.), The Road to Academic Excellence: Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia, Jakarta: Salemba Humanika, 2012.

Auda, Jasser, Maqasid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A Systems Approach,  (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008.

Barbour, Ian G., Issues in Science and Religion (New York: Harper Torchbooks, 1966).

.................., Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama (When science meets religion: Enemies, Strangers or Partners ?, 2000), terjemahan E.R. Muhammad , Bandung: Penerbit Mizan, 2002.

Bracken, Josep A., Subjectivity, Objectivity & Intersubjectivity: A New Paradigm for Religion and Science, Pennsylvania: Templeton Foundation Press, 2009.

Cox, James, L., A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, London: The Continuum International Publishing Group, 2006.

Cronin K, Transdiciplinary research (TDR) and sustainability. Overview report prepared for the Ministry of Research, Science and Technology (MoRST), 2008.   

El-Fadl, Khaled Abou, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, San Francisco: A Devision of Harper Collins Publishers, 2005. 

Guessoum, Nidhal, Islam’s Quantum Question:  Reconciling  Muslim Tradition and Modern Science, London, I.T. Tauris, 2011.

https://college.harvard.edu>academics


Klein J T, “Guiding Questions for integration”, Integration Symposium 2004- Proceeding, Canberra, Australia, Land and Water, 2008.


Markham, Ian,  dan Ibrahim M. Abu-Rabi’ (Eds.), 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences,  Oxford: Oneworld Publications, 2002.

Martin, Richard C. (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson: The University of Arizona Press, 1985.

Moosa, Ebrahim, (Ed. dan Pengantar), Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism  Fazlur Rahman,  Oxford: Oneworld Publications, 2000.

Petts, J, Owens, S. dan Bulkeley, H., “Crossing boundaries: Interdisciplinary in the context of urban environment”, Geoforum, 2008.   

Prirous, Iwan Meulia, “Negara dan Krisis Kebudayaan”, Kompas, 30 Agustus 2014.

Rolston, III, Holmes, Science and Religion: A Critical Survey, New York: Random House, Inc., 1987.

Smart, Ninian, Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World’s Beliefs, London: Fontana Press, 1977.

Stavridou, Ioanna dan  Afonso Ferreira, Multi- Inter- and Trans-disiciplinary research promoted by the European Cooperation in Science and Technology (COST): Lessons and Experiments.

Trees, B. et al,  From Landscape Research to Landscape Planning- aspects of integration, education and application, Wageningen UR Frontis Series 12, 2006.

Unesco, Transdisciplinarity ‘Stimulating Synergies, Integrating Knowledge’, 1998.

www.generaleducation.fas.harvard.edu/icb/ic

Wissema, J.G., Towards the Third Generation University: Managing the University in Transition, Cheltenham, UK dan Northampton, MA, USA,  2009.

Zakaria, Fareed, In Defense of a Liberal Education, New York dan London: W.W. Norton & Company, 2015.             


                     *Tulisan disiapkan untuk penulisan konsep White Paper, kerjasama Komisi Ilmu Sosial (KIS) Aakademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)  dan Knowledge Sector Inisiative (KSI), 2015-2016. Untuk pertemuan Jakarta tanggal 13-15 Mei 2016.

                     [1]Philip G. Altbach dan Jamil Salmi (Eds.), The Road to Academic Excellence: Pendirian Universitas Riset Kelas Dunia, Jakarta: Salemba Humanika, 2012.
                      [2]J.G. Wissema,  Towards the Third Generation University: Managing the University in Transition, Cheltenham, UK dan Northampton, MA, USA,  2009, h. 23, 32.
                      [3]Fareed Zakaria, In Defense of a Liberal Education, New York dan London: W.W. Norton & Company, 2015, h. 82,83, 89. Untuk menghindari kesalahpengertian tentang istilah “liberal” dalam konteks tata nilai masyarakat Indonesia perlu digarisbawahi disini bahwa yang dimaksud dengan Liberal  Education, Liberal Arts Education atau kadang juga disebut Liberal Arts and Sciences  adalah menyatunya pendidikan sains, sosial dan humaniora dalam satu keutuhan, tidak terpisah-pisah antara sains, sosial dan humaniora seperti yang umumnya terjadi. Istilah Liberal disini tidak ada hubungannya sama sekali dengan istilah  conservative dan liberal dalam konteks kontestasi politik, ekonomi, apalagi agama. Pembelajaran Liberal Arts adalah pembelajaran yang mengutamakan keluasan cara pandang, integratif dan bebas.
                   [4]www.generaleducation.fas.harvard.edu/icb/ic  dan  https://college.harvard.ed>academics
               [5]Cronin K, Transdiciplinary research (TDR) and sustainability. Overview report prepared for the Ministry of Research, Science and Technology (MoRST), 2008.  Juga Unesco, Transdisciplinarity ‘Stimulating Synergies, Integrating Knowledge’, 1998.
               [6]Trees, B; Gunther,R. dan Fry, G., “Defining concepts and the process of knowledge production in integrative research”  dalam Trees, B. et al,  From Landscape Research to Landscape Planning- aspects of integration, education and application, Wageningen UR Frontis Series 12, 2006, h. 13-26.
                   [7]Petts, J, Owens, S. dan Bulkeley, H., “Crossing boundaries: Interdisciplinary in the context of urban environment”,  2008, Geoforum, 39:593-601.  Cronin, op.cit.
                   [8]Klein J T, “Guiding Questions for integration”. Integration Symposium 2004- Proceeding, Canberra, Australia, Land and Water, 2008.
               [9]Ioanna Stavridou dan Afonso Ferreira, Multi- Inter- and Trans-disiciplinary research promoted by the European Cooperation in Science and Technology (COST): Lessons and Experiments. Dapat diakses dari https://hal.inria.fr/inria-0051272v1.
                  [10]Bandingkan J. G. Wissema, op.cit., h. 90.
                     [11]Sebagaimana dikutip  J.G. Wissema, op. cit., h. 37.
                    [12]Sebagaimana di kurip Fareed Zakaria, op. cit., h. 82.
                      [13]Fareed Zakaria, op. cit., h. 82-3.   
                      [14]Khaled Abou El-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, San Francisco, A Devision of Harper Collins Publishers, 2005. 
                      [15]
                  [16]Philip G. Altbach dan Jamil Salmi (Ed.),  op. cit, h. 14.
                    [17]Iwan Meulia Prirous, “Negara dan Krisis Kebudayaan”, Kompas, 30 Agustus 2014, h. 6. Cetak hitam dari saya.
                      [18]Ibrahim M. Abu-Rabi’, “A Post-September 11 Critical Assessment of Modern Islamic History”, dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu-Rabi’ (Eds.), 11 September: Religious Perspectives on the Causes and Consequences,  Oxford: Oneworld Publications, 2002, h. 33-4. Cetak hitam dan miring dari saya.
                     [19]Ian G. Barbour,  Issues in Science and reigion, New York: Harper Torchbooks, 1966. Juga bukunya  When Science Meets Religion: Enemies, Stangers, or Partners?, San Francisco: HarperSanFransisco, 2000.
                     [20]Contoh hubungan konfliktual antara agama dan sains dalam konteks Indonesia dapat dibaca dalam M. Amin Abdullah, “Religion, Science and Culture: An Integrated, Interconnected Paradigm of Science”, al-Jami’ah,  Vol. 52, Number 1, 2014/1436,  2015, 176-181.
                     [21]Jasser Auda, Maqasid al-Shariah as Philosphy of Islamic Law: A Systems Approach, Herndon VA, USA: The International Institute of Islamic Thought, 2008, h. 205-6.  Cetak miring dan cetak tebal dari saya.
                    [22]Ebrahim Moosa, “ Introduction”, dalam Ebrahim Moosa (Ed. dan Pengantar), Revival and Reform in Islam: A Study of Islamic Fundamentalism  Fazlur Rahman,  Oxford: Oneworld Publications, 2000, h. 28. Bandingkan dengan Nidhal Guessoum,  Islam’s Quantum Question:   Reconciling  Muslim Tradiditon and Modern Science, London. I.T. Tauris, 2011, h. 343-4 menyatakan bahwa “ ... that religions – and Islam is no exception – cannot afford to adopt a stationary attitude, lest they find themselves clashing with and overrun by modern knowledge, and religious principles appear more and more quaint and obsolete”.
                  [23]Holmes Rolston, III, Science and Religion: A Critical Survey (New York: Random House, Inc., 1987),  h. 1.
                   [24]Holmes Rolston, III, op.cit., h. vii. Rolston memberi sifat kepada teori keilmuan apapun yang merasa cukup dengan dirinya sendiri, tidak bersedia menerima masukan dari pengalaman  dan kritik dari disiplin dan teori keilmuan  lain dengan istilah “blik.” Blik adalah teori yang berkembang secara arogan, terlalu keras dan alot untuk dilunakkan oleh pengalaman (A blik is a theory grown arrogant, too hard to be softened by experience), op. cit., h. 11.
                  [25]Ian G. Barbour, op.cit., h.182-185. Juga karyanya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Juru Bicara Tuhan: Antara Sains dan Agama (When science meets religion: Enemies, Strangers or Partners ?), 2000, , terjemahan E.R. Muhammad, Bandung: Penerbit Mizan, 2002.
                [26]Ian G. Barbour, Ibid. h. 183.
                [27]Joseph A. Bracken, Subjectivity, Objectivity & Intersubjectivity: A New Paradigm for Religion and Science, Pennsylvania: Templeton Foundation Press, 2009.
                [28]James L. Cox, A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences and Subsequent Debates, London: The Continuum International Publishing Group, 2006, h. 236. Bandingkan dengan Ninian Smart, Dimensions of the Sacred: An Anatomy of the World’s Beliefs, London: Fontana Press, 1977.
                     [29]Universitas riset  kelas dunia seperti National University of Singapure (NUS), yang menduduki  peringkat tinggi dunia dalam waktu singkat, ternyata kurikulumnya dibangun diatas dasar fundasi  studi perbandingan (comparative approach) dan pendidikan multikultural (multicultural education). Tidak hanya Plato dan Aristotle yang dipelajari mahasiswa tetapi  pada waktu yang bersamaan juga Conghucu dan Buddha. Tidak hanya Odyssey tetapi juga Ramayana. Universitas riset kelas dunia memang sadar benar  bahwa mereka sedang menyongsong hadirnya dunia masa depan  yang semakin multikultural-mulltireligi. Lebih lanjut Fareed Zakaria,  op.cit. h. 69-70. 
               [30]Ian G. Barbour, Op. cit., h. 218-9.
               [31]Richard C. Martin (Ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucson: The University of Arizona Press, 1985), h. 2
                    [32]Sebagaimana dikutip oleh Ian G. Barbour, Op. cit., h. 143.
                    [33]Ian G. Barbour,op. cit. h. 144. Cetak miring dan  hitam  tambahan dari saya.
               [34] Bandingkan dengan pernyataan Jasser Auda,  sebagai berikut:  “Without incorporating relevant ideas from other disciplines, research in the fundamental theory of Islamic law will remain within the limits of traditional literature and its manuscripts, and Islamic law will continue to be largely ‘outdated’ in its theoretical basis and practical outcomes. The relevance and need for a multidiciplinary approach to the fundamentals of Islamic law is one of the argument of this book.”  Op. cit., h. xxvi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN