Makalah Multidisiplin, Interdisiplin dan Transdisiplin
By. kademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
MULTIDISIPLIN, INTERDISIPLIN DAN TRANSDISIPLIN
Ilmu Pengetahuan dan Riset pada Perguruan Tinggi Masa Depan*
[Diterbitkan dalam Mayling Oey-Gardiner dkk.
(Eds), Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan
Pendidikan Tinggi Indonesia, Jakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia (AIPI), 2017, h, 53-89.
Teaching dan research university
Pertumbuhan dan pengembangan
pendidikan di tingkat perguruan tinggi terus berjalan cepat seiring dengan perkembangan
pengalaman manusia menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang
dihadapinya di muka bumi. Apa yang sekarang disebut dengan Universitas Kelas Dunia (World
Class University), juga Universitas Riset (Research University) menjadi topik pembicaraan hangat di lingkungan
sivitas akademika perguruan tinggi, pemerintah dan masyarakat pemerhati
pendidikan. Media cetak dan media sosial seringkali menampilkan peringkat universitas dunia
yang dibuat oleh Times Higher Education World University, Academic
Ranking of World Universities (ARWU), Higher
Education Evaluation and Accreditation Council of Taiwan (HEEACT), Webometrics dan masih banyak yang lain.
Peringkatan ini turut mendorong sivitas
akademika untuk berkaca diri melihat prestasi yang diraih oleh universitas
masing-masing. Apa yang membedakan perguruan tinggi tingkat nasional atau lokal
yang selama ini berjalan dengan perguruan tinggi kelas regional Asia
dan kelas dunia terus
menjadi bahan perbincangan hangat di kalangan sivitas akademika di perguruan
tinggi. Dalam dua dasa warsa terakhir, banyak penelitian dilakukan dan buku
diterbitkan mengulas perkembangan pengelolaan pendidikan di perguruan tinggi
khususnya yang terkait dengan fenomena apa yang disebut dengan Universitas
Riset dan Universitas Kelas Dunia.
Perkembangan dan pengembangan
dunia perguruan
tinggi sekarang tidak bisa dilepaskan dari fenomena munculnya Universitas Kelas
Dunia dan Universitas Riset. Ada yang menyebutnya sebagai “generasi
ketiga” dari sejarah panjang evolusi perkembangan perguruan tinggi di dunia. Tujuan,
peran, metode, produk lulusan, orientasi, bahasa, organisasi dan tata kelola
universitas generasi ketiga berbeda dari
tujuan, peran, metode, produk lulusan,
orientasi, bahasa, organisasi dan tata kelola universitas generasi pertama dan
kedua. Dari segi metode misalnya, generasi pertama universitas lebih
bercorak skolastik dan generasi kedua bercorak modern namun menggunakan pendekatan
perkuliahan, pembelajaran serta riset yang masih bercorak monodisiplin,
sedangkan generasi ketiga bercorak
modern, namun menggunakan pendekatan yang interdisiplin.
Ciri dari:
|
|
Generasi
pertama universitas
|
Generasi
kedua universitas
|
Generasi
ketiga universitas
|
Tujuan
|
Pendidikan
|
Pendidikan dan riset
|
Pendidikan dan riset plus tahu-bagaimana memanfaatkannya
|
Peran
|
Mempertahan kebenaran
|
Menemukan alam
|
Menciptakan nilai
|
Metode
|
Skolastik
|
Ilmu modern, monodisipliner
|
Ilmu modern, interdisipliner
|
Produk
|
Tenaga ahli/profesional
|
Tenaga ahli /profesional plus
ilmuan
|
Tenaga ahli /profesional dan ilmuan
plus wirausahawan
|
Orientasi
Bahasa
Organisasi
|
Universal
Latin
Bangsa,
fakultas,
colleges
|
Nasional
Bahasa national
Fakultas
|
Global
Inggris
Institut pada tingkat universitas
|
Managemen
|
Chancellor/rektor/dekan
|
(Paruh -waktu)
Akademisi
|
Tenaga ahli
Manager
|
Table
1: Ciri pokok 3 generasi perguruan tinggi
Ciri dari:
|
Generasi kedua universitas
|
Generasi ketiga universitas
|
1. Dua
tujuan: riset dan pendidikan. Tidak ada minat untuk memanfaatkan ilmu yang ditemukan.
|
1. Pemanfaatan ilmu adalah bisnis
utamanya dan ini menjadi tujuan ketiga.
|
2.
Beroperasi pada pasar lokal. Universitas lain hanya dilihat sebagai kawan
biasa/kolega.
|
2. Beroperasi pada pasar internasional.
Persaingan pasar.
|
3.
Lembaga yang berdiri sendiri tanpa ada hubungan resmi dengan lembaga lain.
|
3. Universitas terbuka, bekerjasama dengan banyak partner.
|
4. Riset bersifat
monodisiplin dan peran yang menonjol
ada di fakultas.
|
4. Riset bersifat transdisiplin dan peran yang menonjol ada pada institut (pusat studi) pada tingkat universitas.
|
5.
Utamanya pendidikan diperuntukkan untuk elit;
untuk mahasiswa yang benar-benar siap.
|
5. Pengorganisasiannya bercorak multikultural; kalangan biasa dan elit.
|
6.
Universitas nasional.
|
6. Universitas kosmopolitan
|
7.
Peran penting pemerintah dalam pendanaan; intervensi negara sangat kuat.
|
7. Pendanaan, tidak ada peran langsung dari pemerintah. Tidak ada
intervensi negara.
|
Table
2: Ciri pokok generasi kedua dan ketiga
[2GU dan 3GU]
Di atas itu semua, istilah yang belakangan
lebih populer di lingkungan pengelola perguruan tinggi, setidaknya dalam teori,
adalah apa yang disebut sebagai Universitas
Penelitian/Riset (Research University), yang berbeda corak visi dan
misinya dari universitas yang fokusnya hanya pengajaran (Teaching University).
Jika dibaca dari banyak literatur,
Universitas Kelas Dunia memang tidak bisa dipisahkan keberadaannya dari
kualitas dan kuantitas Riset yang
dilakukannya. Sudah barang tentu ini membutuhkan cara berpikir dan managemen
tata kelola perguruan tinggi yang lebih menonjolkan persaingan (competitiveness)
dalam rekruitmen tenaga pengajar, guru besar ternama di dunia, calon mahasiswa
dari berbagai penjuru dunia, bea siswa yang memadai dan begitu seterusnya.
Selain itu, diskusi tentang
perkembangan perguruan tinggi era kontemporer juga tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
lebih lanjut dari apa yang disebut sebagai Liberal Arts Education
yang berupaya keras untuk mendekatkan kembali, mengintegrasikan atau mengkaithubungkan
secara instrinsik dan sistemik antara sains, ilmu sosial dan humaniora, antara
keterampilan berpikir ilmiah (scientific skills) dan pemikiran kemanusiaan (humanistic
thought). Istilah semakna
dengan Liberal Arts Education adalah
“General Education”.
Salah satu dari sekian banyak elemen menonjol
yang mendiskripsikan munculnya World Class University maupun Research
University adalah digunakannya pendekatan pembelajaran, perkuliahan, riset
dan pengabdian kepada masyarakat (community outreach) yang baru, yang
lebih bercorak multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin. Digunakan atau
tidaknya pendekatan ini, baik dalam berpikir, pendidikan dan pembelajaran, lebih-lebih dalam riset akan
mewarnai perkembangan lebih lanjut universitas kelas dunia di masa yang akan
datang, tidak terkecuali perguruan tinggi di Indonesia dalam menyongsong tahun
2030 dan 2045.
Riset multidisiplin, interdisiplin
dan transdisiplin.
Dalam kehidupan dunia yang ditandai
dengan arus perubahan yang sangat cepat dalam segala bidang, dibarengi
ketidakpastian yang tidak terelakkan serta semakin terinterkoneksikannya
jaringan keilmuan, kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan agama antar
bangsa-bangsa dunia di muka bumi, manusia memerlukan bantuan ilmu pengetahuan
yang dapat menyumbangkan pemecahan masalah yang dihadapi dan melekat
kuat dalam kehidupan manusia di muka
planet bumi.
Permasalahan kompleks yang selalu
melekat kuat dalam kehidupan manusia memerlukan paling tidak penerapan riset ilmu
pengetahuan dan bahkan model pembelajaran yang bercorak transdisiplin. Istilah
yang seolah baru ini sesungguhnya telah memiliki fundasi yang
sangat kuat dalam masyarakat ilmuan. Dalam bahasa yang sederhana, penelitian
transdisiplin menghasilkan, menyatukan dan mengatur lalu lintas jaringan berbagai
kelompok peneliti, pengguna ilmu pengetahuan, pemerintah, masyarakat sipil, sektor
swasta dan industri untuk mempromosikan kemasalahatan dan kebaikan bersama (common
good) yang terkait dengan permasalahan tertentu yang sedang dihadapi umat
manusia.
Penelitian/Riset transdisiplin atau
interdisiplin bukannya bertentangan atau berlawanan dengan pendekatan
disipliner yang biasa berlaku selama ini, melainkan melengkapi, saling memberi
- menerima dalam proses produksi ilmu pengetahuan. Penelitian transdisiplin
dapat dianggap sebagai perluasan dan pengembangan lebih lanjut dari penelitian interdisiplin. Menurut Tress et
al, Penelitian transdisiplin merupakan gabungan
dan keterpaduan antara penelitian interdisiplin dengan pendekatan
partisipatoris, yakni para peneliti akademis bekerjasama dengan para peserta
penelitian dari kalangan non akademik untuk meneliti permasalahan tertentu
untuk mencapai tujuan bersama dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sedangkan menurut Akademi Ilmu
Pengetahuan Amerika Serikat, penelitian interdisiplin adalah ”cara atau model
penelitian yang mampu menyatupadukan atau mengintegrasikan informasi, data,
teknik, alat-alat, perspektif, konsep dan atau teori dari dua atau lebih
disiplin ilmu atau sekumpulan pengetahuan
spesialis untuk memajukan pemahaman fundamental atau untuk memecahkan
permasalahan tertentu yang pemecahannya berada di luar wilayah jangkauan satu disiplin
tertentu atau wilayah praktek penelitian tertentu” (US National Academy of
Scinces, 2004). Perbedaan antara penelitian interdisiplin dan transdisiplin
adalah bahwasanya penelitian transdisiplin dapat memberi arah evolusi pengembangan
dari berbagai disiplin ilmu dan produk yang dihasilkan akan jauh lebih besar,
lebih mencakup, dari pada hanya sekedar menjumlahkan
bagian-bagian kecil, dan hasil penelitian transdisiplin biasanya melampaui
proses dan hasil yang dilalui dan di produksi oleh ilmu pengetahuan biasa.
Lebih dari itu, penelitian
transdisiplin melibatkan berbagai pendekatan (approaches) yang mampu
memecah kebekuan dan kejenuhan disiplin ilmu yang berdiri sendiri-sendiri dan mampu
melunakkan batas-batas kaku antar berbagai disiplin ilmu. Pemikiran dan
penelitian yang bercorak transdisiplin melibatkan pengetahuan yang dihasilkan dengan cara mengkombinasikan
beberapa elemen dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pengetahuan yang
non-disipliner, atau dari pemangku kepentingan yang relevan dan kemudian menciptakan
ilmu pengetahuan baru yang lebih komprehensif dan sintesis yang menjangkau
banyak bidang. Dengan cara
seperti itu, isu-isu yang kompleks sekalipun dapat dibicarakan secara tepat dan
lebih memuaskan dalam ruang intelektual baru, mampu mencegah keterpecahbelahan atau
dikhotomi ilmu pengetahuan yang ekstrem, serta dapat mempromosikan inovasi dan
penyuburan silang ilmu pengetahuan.
Pemikiran dan penelitian multidisiplin
terjadi jika subjek penelitian dikaji dan didekati dari berbagai sudut pandang,
menggunakan perspektif dari berbagai disiplin yang berbeda. Berbagai disiplin
yang berbeda dapat hidup berdampingan
dalam konteks yang khusus, namun masih tetap mempertahankan batas-batas
disiplin dan metode yang dimilikinya. Pendekatan multidisiplin tidak ingin
campur tangan dan melibatkan diri terlalu jauh dalam pembentukan integrasi ilmu
baru, dan disinilah letak perbedaan antara penelitian yang bercorak inter
dan transdisiplin. Sekedar sebagai contoh bagaimana menjaga
kebersihan lingkungan. Ternyata masalah kebersihan yang antara lain adanya
penumpukan sampah di berbagai kota di tanah air perlu melibatkan pendekatan
yang bercorak transdisiplin. Tidak hanya
sains (teknologi pengelolaaan sampah; daur ulang, kompos), tetapi juga budaya
masyarakat dan perundang-undangan, hukum, perda (humanities), juga
ilmu-ilmu sosial (kelembagaan, organisasi, pendanaan). Semua elemen tersebut
harus berjalan secara sinergis, simultan, tidak terpotong-potong antara satu
dan lainnya.
Pendekatan transdisiplin: ilmu-ilmu
kealaman dan
ilmu-ilmu sosial.
Know-how creation and exploitation
|
Pemecahan
masalah (problem solving), Inovasi, kreativitas, invensi, imaginasi, transformasi,
pemanfaatan perkembangan teknologi,
kewirausahaan (enterpreunership), keterbukaan dalam berpikir adalah ide
dasar dan filosofi yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan transdisiplin.
Keterbukaan dalam berpikir yang dibentuk oleh pengalaman nyata (concrete
experience) dalam berhadapan dengan ramah dan ganasnya alam semesta
(perubahan iklim, bencana alam, air bersih, kebersihan lingkungan), kebutuhan
untuk meringankan beban hidup manusia hidup di muka bumi (pakaian, makanan, tempat tinggal, energi yang
terbarukan, transportasi), dan mengatasi peliknya masalah ekonomi, sosial-kemasyarakatan
dan sosial-keagamaan (kemiskinan, pendidikan, kesehatan, radikalisme, terrorisme,
narkoba, kekerasan seksual, korupsi, kolusi dan nepotisme, etika dan hukum) adalah visi
dan tujuan utama pendekatan pembelajaran dan riset yang bercorak transdisiplin.
Pegembangan pada level teknis
(Technical
development)
|
(Kewirausahaan)
(Entrepreneurship)
|
Tahu-Bagaimana menciptakan Ilmu pengetahuan dan memanfaatkannya nyapengetahuan dan
mema
|
Figure: Mata rantai berharga antara ide dan inovasi innovation
|
Pembelajaran dan penelitian yang
bercorak transdisiplin tidak harus terbatas hanya dalam upaya mengkombinasikan ilmu
pengetahuan (sciences) dan teknologi (technology). E.O. Wilson
memperkenalkan kembali istilah ‘consilience’, kesatuan ilmu pengetahuan
(the unity of knowledge), mengumpulkan secara bersama-sama (bringing
together) ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin. Menurutnya, istilah ini
(conscilience):
“roots in the ancient Greek concept of an
intrinsic orderliness that govern our cosmos, inherently comprehensible by
logical process, a vision at odds with mystical views in many cultures that
surrounded the Hellenes. The rational view was recovered during the high Middle
Ages, separated from theology during the Renaissance and found its apogee in
the Age of Enlightenment. Then, with the rise of modern sciences, the sense of
unity gradually was lost in the increasing fragmentation and specialisation of
knowldege in the last two centuries. The converse of conscilience in this way
was Reductionism”.
Konsep menyatukan kembali ilmu
pengetahuan (conscilience) berakar dari konsep Yunani Kuno tentang adanya
hukum keteraturan alam yang intrinsik, mengatur
seluruh kosmos, alam semesta kita. Hukum keteraturan alam ini dapat dipahami
secara inheren oleh proses logika manusia, sebuah pemahaman yang bertentangan
dengan pandangan mistis yang dianut oleh berbagai budaya yang mengitari
orang-orang Hellenis-Yunani saat itu. Pandangan rasional telah ditemukan
kembali selama akhir era abad tengah, dipisahkan dari teologi selama era Renaissance
dan memperoleh puncaknya pada abad Pencerahan (Enlightenment).
Kemudian, dengan munculnya ilmu-ilmu moderen, pemahaman akan menyatunya ilmu
pengetahuan telah hilang dengan semakin bertambahnya fragmentasi dan
spesialisasi ilmu dalam dua abad terakhir. Pernyataan yang berseberangan dengan konsep conscilience adalah Reductionism.
Dari prinsip Conscilience ini,
Wilson berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada garis pembatas yang tegas
antara ilmu-ilmu pasti (exact sciences) di satu sisi, dan ilmu-ilmu humaniora (humanities) di sisi lain.
Psikologi kognitif dan antropologi biologis menunjukkan akan semakin menyatu (conscilience) dengan biologi. Pemahaman konsep conscilience
seperti itu akan membuka jalan ke depan untuk memahami sifat dasar manusia
secara lebih baik dan benar. Pemahaman sifat dasar manusia secara intuitif merupakan
inti dari seni kreatif, juga merupakan bangunan dasar ilmu-ilmu sosial. “Memahami
sifat dasar manusia secara objektif, mempelajarinya secara ilmiah, memahaminya
dalam seluruh manifestasinya akan memenuhi impian era enlightenment”.
Masih menurut Wilson, universitas yang berjalan sekarang ini bersifat Reductionism,
yaitu terlalu kecil dan sempit perspektifnya dalam melihat dan menganalisis
suatu masalah. Sebagai contoh, bidang
seni (Arts) seperti seni arsitektur dan disign industri dapat diterima
di universitas teknologi, meskipun kita tidak menganggapnya sebagai ilmiah (scientific).
Universitas masa depan akan lebih
bercorak sintesis atau lebih tepat disebut conscilience – antara
berpikir reduksionistik (proses berpikir sempit- perspektif terbatas) dan berpikir
kreatif (proses berpikir yang kaya perpektif dan alternatif) akan dihidupkan kembali dan diperbaiki.
Kedepan permasalahan yang sangat sulit dan membingungkan menuntut digunakannya
pemecahan masalah secara interdisipliner dan transdisipliner. Persoalan sulit seperti
itu akan dipecahkan oleh sekelompok mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu
secara bersama-sama. Mahasiswa-mahasiswa ini, bersama-sama dengan ahli-ahli
dari kalangan industri akan bekerja sama secara lebih radikal.
Tidak dapat diingkari memang bahwa keterampilan
teknis (technical skills) adalah perwujudan kecerdasan dan kepandaian manusia yang mengagumkan untuk membantu
mengurangi beban dan kesulitan yang dihadapi dalam menjalankan kehidupannya. Namun
kepandaian dan kecerdasan teknis seperti itu tidak dapat dihargai sedemikian
rupa tanpa mengikut-sertakan, apalagi sampai mengabaikan peran humaniora, seperti umumnya anggapan
orang sekarang ini. Keilmuan teknik (engineering) tidaklah lebih baik
dari pada sejarah seni (art history) dan begitu pula sebaliknya. Masyarakat memerlukan keduanya, bahkan
seringkali kombinasi keduanya. Gambaran di era digital sekarang sebagai berikut. Ketika
mengumumkan edisi baru iPad, Steve Jobs
menjelaskan “adalah dalam DNA Apple itu sendiri yang menjelaskan bahwa hanya
dengan teknologi saja tidaklah cukup. Teknologi yang dikawinkan dengan liberal
arts, teknologi yang dikawinkan dengan humaniora lah yang mengantarkan kita dapat
memperoleh hasil yang membuat hati kita puas”.
Kata kunci “perkawinan” ini penting. Perkawinan ini
bukanlah semata-mata hanya persoalan menambahkan begitu saja disain ke dalam
teknologi. Cermati apa yang terjadi pada Facebook. Mark Zuckerberg, sebagaimana
dituturkan oleh Fareed Zakaria, dulunya
adalah mahasiswa classical liberal arts, yaitu bidang studi yang
mengutamakan pembelajaran yang luas, integratif dan bebas. Bukan pembelajaran
yang bercorak spesialis-vokasional. Namun dia senang dan sangat tertarik pada
komputer. Dia mempelajari sejarah dan
filsafat Yunani Kuno ketika masih sekolah menengah atas dan kemudian mengambil major
psikologi ketika kuliah pada level strata 1 (undergraduate). Pemahaman
yang sangat penting dan jarang diketahui umum adalah bahwasanya yang membuat
Facebook menjadi perusahaan raksasa di bidang teknologi informasi seperti saat
sekarang ini adalah hal-hal sangat terkait dengan psikologi, selain dengan
teknologi.
Dalam wawancara dan di berbagai perbincangan,
Zuckerberg seringkali menunjukkan bahwa
sebelum Facebook dibuat, banyak orang menutupi identitasnya di Internet. Boleh
dikata, Internet adalah dunia tanpa nama dan asal-usul, dunia tanpa diketahui
identitasnya seseorang (anonymity).
Sedangkan pandangan Facebook sebaliknya. Kita dapat menciptakan budaya dimana
seseorang dapat menunjukkan identitasnya secara jelas, masyarakat secara suka rela dapat menunjukkan
diri mereka di hadapan teman-temannya, dan langkah ini akan menjadi program besar
yang bercorak transformatif. Sudah barang tentu, Zuckerberg memahami komputer sangat
mendalam dan mampu menggunakan code-code tertentu untuk meletakkan ide-idenya
dalam praktik, namun pemahamannya tentang pentingnya psikologi kejiwaan manusia
adalah kunci keberhasilannya. Mengikuti
kata-katanya sendiri, bahwasanya dalam Facebook “porsi psikologi dan
sosiologi sama banyak dan sama kuatnya dengan teknologi”.
Terpisahnya secara radikal antara
sains dan teknologi di satu sisi dan sosial-humaniora di sisi lain dan implikasinya
dalam kehidupan sosial-politik-keagamaan di era global sangat digelisahkan oleh
para pengamat studi agama dan keislaman karena akan berakibat kepada stabilitas dan
instabilitas
keamanan dan perdamaian dunia. Hal in lebih perlu dicermati dengan
sungguh-sungguh bagaimana disign perguruan tinggi di masa depan. Setidaknya Khaled Aboe El-Fadl mengungkapkan
sebagai berikut:
“... To become truely modernized
according to the puritans, means to regress back in time and recreate the
golden age of Islam. This however, does not mean that they want to abolish
technology and scientific advancement. Rather their program is deceptively
simple. Muslim should learn the technology and science invented by the West,
but in order to resist western culture. Muslims should not seek to study the
social sciences of humanities. This is the reason that a large number of
puritants come to the west to study, but invariably focus their studies on
the physical sciences including computer science and entirely ignore the social
sciences and humanities. Armed with
modern science and technology, puritans believe that they will be better
positioned to recreate the golden age of Islam by creating a society modelled
after the prophet’s city-state in Madina and Mecca.”
Menjadi orang modern yang sebenarnya menurut kaum puritan adalah kembali
ke belakang dari segi waktu dan menciptakan kembali abad keemasan Islam. Namun
demikian, ini bukan berarti bahwa mereka ingin menghapus teknologi dan kemajuan
ilmu pengetahuan. Program mereka ini, dengan cara mengaburkan persoalan yang sesungguhnya sedang dihadapi, adalah sederhana.
Manusia Muslim hendaknya mempelajari teknologi dan ilmu pengetahuan yang
ditemukan oleh Barat, namun untuk tujuan menentang budaya barat. Orang
Muslim tidak perlu mempelajari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Itulah
sebabnya maka banyak kaum puritan datang ke Barat untuk belajar, tetapi mereka
selalu hanya memfokuskan studi pada ilmu-ilmu pisika, termasuk ilmu komputer
dan seluruhnya tidak menganggap penting ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dibekali
dengan ilmu-ilmu moderen dan teknologi, puritan percaya bahwasanya mereka akan memiliki posisi yang
lebih baik untuk menciptakan kembali jaman keemasan Islam dengan cara membangun
masyarakat Islam seperti negara-kota yang dibangun era kenabian di Madinah dan Makkah.
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan perguruan
tinggi di Indonesia memang unik. Selain ada kementrian riset-teknologi dan
pendidikan tinggi (kemenristekdikti) – dulu disebut kementrian pendidikan dan
kebudayaan - yang menaungi seluruh perguruan tinggi umum, negeri dan swasta,
juga ada kementrian agama yang menaungi perguruan tinggi agama, negeri dan
swasta, di tanah air. Sekolah Tinggi Agama Islam (STAIN), Institut Agama Islam (IAIN) dan
sejak tahun 1998 beberapa IAIN bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri
(UIN). Selain Islam juga ada perguruan tinggi Kristen (STAKN), dan Hindu (IHDN).
Jumlah mahasiswa di perguruan tinggi agama tidak kurang dari 800.000 mahasiswa.
Merancang masa depan perguruan tinggi di Indonesia 2030/2045, tidak bisa tidak juga
perlu melibatkan perguruan tinggi agama. Lebih-lebih, selama ini tidak banyak
perguruan tinggi di Indonesia, baik yang ada dibawah kementrian riset dan
teknologi dan pendidikan tinggi
(kemenristekdikti) maupun kementrian agama, yang secara terencana mendiskusikan
hubungan antara agama dan sains.
Persoalan globalisasi tidak hanya
berhenti pada wilayah ekonomi dan industri (WTO; MEA), tetapi juga budaya,
sosial dan agama. Universitas riset pada era global seperti sekarang ini,
menurut Altbach dan Salmi, pada dasarnya adalah institusi riset berbasis
ekonomi ilmu pengetahuan (knowledge-based economy). Institusi atau
lembaga ini harus memberikan porsi yang tepat pada perenungan, kritik, dan
pemikiran tentang budaya, agama, kemasyarakatan dan bahkan norma-norma. Jiwa
universitas riset terbuka terhadap ide-ide dan bersedia melawan ke-ortodok-an
dalam segala hal.
Tema-tema studi dan penelitian baru
dalam studi kemanusiaan seperti hak asasi manusia, demokrasi, negara-bangsa,
gender mainstreaming, hak-hak wanita dan anak (KPAI), demografi dan
keluarga berencana, semakin dekatnya hubungan antar umat beragama (a greater
interfaith interaction), perlunya hubungan yang harmonis antara Muslim dan
non-Muslim, kekerasan atas nama agama, radikalisme, terrorism, multiculturalism,
perdamaian, kemiskinan, kesehatan yang baik, mengatasi perubahan iklim dan bencana
alam dan begitu seterusnya juga menjadi kajian penting yang tidak
terpisahkan di perguruan tinggi keagamaan dan perguruan tinggi umum dalam
mempersiapkan kualitas alumni masuk dalam kehidupan masyarakat luas dan sekaligus
mempersiapkan kehadiran generasi pemimpin baru di masa yang akan datang.
Dalam menghadapi isu-isu global dunia
kontemporer yang antara lain telah
disebut diatas apakah perguruan tinggi di tanah air telah siap meramunya dalam
proses pembelajaran dan perkuliahan dan lebih-lebih penelitian? Ada kritik dari
pengamat sosial-budaya dari antropologi, menjelaskan bahwa pendidikan di
Indonesia belum menghasilkan lulusan yang memuaskan bahkan mengantarkan lulusannya
ke wilayah kehidupan moral yang paradoks. Paradoks karena terfragmentasinya
proses pendidikan dan pembelajaran di tanah air selama ini. Dijelaskan sebagai
berikut:
“Melalui kurikulum sekolah, SD sampai
perkuliahan, orang Indonesia dibesarkan dalam label yang mengharuskannya
membedakan persoalan politik, sosial, budaya dan agama, ekonomi, penegakan HAM,
dan sejarah sebagai hal yang berdiri sendiri-sendiri. Maka siswa/mahasiswa/dosen
tidak terbiasa membangun analisis dari berbagai sudut yang berbeda untuk
mencapai kesimpulan besar. Politik Orde Baru melahirkan
manusia-manusia tipikal paradoksal: religious dan patuh dalam berbelanja,
konsumtif dalam simbol-simbol agama dan toleran terhadap kekerasan dalam
penegakan moral. Namun juga lunak dan ragu dalam korupsi, ketidakadilan serta
pelanggaran HAM di depan matanya.”
Tidak hanya itu. Dalam skala
global-dunia Islam, diperoleh catatan serupa.
Pengamat studi Islam dari Amerika Serikat, berasal dari Palestina, mencatat
bahwa studi syari’ah atau fikih yang menjadi inti subjek dalam studi keislaman belum
mengenal dengan baik, untuk tidak menyebutnya tidak mengenal filsafat dan ilmu
sosial:
“ ... The core of the field revolves around
Shari’ah and Fiqh studies that have been, very often, empitied of any critical
or political content or relevance to the present situation. A clear-cut distinction
has been made between the “theological” and the “political” or the
“theological” and the “social,” with the
former being understood as rites, symbols, and historical texts only.
Furthermore, the perspective of the social science or critical philosophy
is regretably absent. The field of modern Shari’ah studies in the Muslim world
has remained closed off to the most advanced human contributions in critical
philosophy and social sciences.”
Inti bidang studi yang mengelilingi
studi Shari’ah dan Fikih dari dahulu sampai sekarang sering kali kosong dari
muatan kajian politik atau studi kritis atau yang relevan dengan keadaan
sekarang ini. Garis batas yang tegas telah dibuat antara “teologi” dan
“politik” atau antara “teologi” dan “sosial”. Teologi hanya dipahami sebagai
ritus-ritus peribadatan, simbol-simbol dan teks-teks sejarah belaka. Lebih dari
itu, sangat disayangkan bahwasanya perspektif ilmu sosial dan filsafat
kritis sama sekali tidak ada disitu.
Bidang Shari’ah moderen di dunia Muslim masih tetap tertutup untuk
menerima masukan dan sumbangan dari filsafat kritis dan ilmu sosial yang paling
mutakhir.
Dari dua kutipan tersebut dapat
dibaca bahwa dalam kaca mata Ian G. Barbour, memang ada 4 (empat) corak
hubungan antara agama dan sains, yaitu, Konflik,
Independen, Dialog dan Integrasi,
Hubungan agama dan ilmu pengetahuan di dunia Muslim umumnya dan Indonesia
khususnya masih bercorak Independen [dengan simbol keterpisahan administrasi
pengelolaan perguruan tinggi pada kementrian riset dan teknologi dan pendidikan
tinggi di satu pihak dan kementrian agama di pihak lain], untuk
tidak menyebutnya masih dalam level Konflik.
Corak hubungan ini, dalam era World Class University (WCU) yang berbasis
pada research (Research University) perlu secara bertahap
ditingkatkan menjadi Dialog dan Integrasi. Banyak ilmuan Muslim dan juga ilmuan
Barat kontemporer yang telah mengingatkan perlunya peningkatan hubungan
tersebut agar budaya agama dan budaya sains
dapat berdialog secara positif-konstruktif dalam upaya memecahkan persoalan kemanusiaan. Artinya
peradaban manusia dalam era global seperti saat sekarang ini menginginkan
peradaban ilmu, sosial, budaya dan peradaban agama saling bertegur sapa dan
berdialog secara intens, dan bukannya saling menghindar dan menjauh.
Jasser Auda, mewakili generasi baru sarjana Muslim era
kontemporer, menggarisbawahi perlunya
dilakukan riset yang serius dan perlunya pandangan keagamaan yang
kompeten (competent worldview] untuk
memecahkan permasalahan sosial keagamaan yang semakin hari semakin pelik. Ia
jelas-jelas menghendaki adanya corak hubungan baru, yang lebih integratif dan
transdisipliner antara agama dan sains sekarang ini dan lebih-lebih yang akan
datang.
“... The second impact of the
proposed condition of a ‘competent worldview’ is ‘opening’ the system of
Islamic law to advances in natural and social sciences. Judgments about
some status quo or ‘reality’ can no longer be claimed without proper research
that is based on sound and ‘competent’ physical or social sciences
methodology. We have seen how issues related to legal capacity, such as
‘the sign of death,’ ‘maximum pregnancy period,’ ‘age of differentiation,’ or
‘age of puberty,’ were traditionally judged
based on ‘asking people.’ Since ‘methods of scientific
investigation’ are part of one’s worldview,’ ... I would say that
‘asking the people’ cannot be claimed today without some statistical proof! This
takes us to the realm of science (natural and social), and defines a mechanism
of interaction between Islamic Law and the other branches of knowledge.”
Akibat kedua dari persyaratan yang
diusulkan dari poin ‘pandangan dunia
yang kompeten’ adalah ‘membuka’ sistem berpikir Hukum Islam terhadap
kemajuan ilmu pengetahuan alam dan ilmu-ilmu sosial. Keputusan yang diambil
tentang keadaan yang masih berlaku sekarang dan ‘kenyataan’ tidak lagi dapat diklaim begitu saja tanpa melalui penelitian yang
memadai, yaitu penelitian yang berlandaskan metodologi ilmu-ilmu pisika atau
ilmu-ilmu sosial yang kompeten-akurat. Kita telah melihat bagaimana isu-isu
yang terkait dengan hukum, seperti ‘tanda-tanda kematian,’ periode maksimum
kehamilan,’ ‘penentuan batas umur akil-baligh,’ atau ‘umur pubertas,’ yang pada
era terdahulu, secara tradisional,
diambil kesimpulan hukumnya hanya berdasar pada ‘bertanya kepada orang.’
Karena ‘metode penelitian ilmiah’ adalah bagian dari pandangan dunia
seseorang,’ ..., maka saya akan katakan bahwasanya ‘bertanya kepada orang’
tidak dapat lagi dipedomani tanpa bukti statistik! Ini semua membawa kita
kepada wilayah ilmu pengetahuan (ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial), dan
sekaligus menentukan bagaimana mekanisme interaksi atau hubungan antara Hukum
Islam dan cabang-cabang ilmu yang lain.
Pendapat yang sama disampaikan
Ebrahim Moosa: “Having raised the question of international relations,
politics, and economics, that does not mean that scholars of religion must
become economists or political scientists. However, the study of religion will
suffer if its insights do not take cognizance of how the discourses of
politics, economics, and culture impact on the performance of religion and vice
verse.”
Setelah mengangkat permasalahan
hubungan internasional, politik dan ekonomi, itu bukan berarti bahwa para ahli
atau sarjana agama harus menjadi ahli ekonomi atau ilmuwan politik. Namun
demikian, studi agama akan sungguh menderita jika pandangan-pandangannya tidak
memperhitungkan bagaimana pembahasan dan diskusi tentang politik, ekonomi dan
budaya berpengaruh terhadap penampilan agama dan begitu sebaliknya.
Jika memang begitu gambaran hubungan agama dan ilmu pengetahuan selama
ini berjalan, yang terasa sangat kaku,
rigid, sempit, saling menutup diri dan beraroma konflik, lalu bagaimana
gambaran hubungan antara keduanya pada era berkembangnya perguruan tinggi kelas
dunia dan universitas riset khususnya?
Kata kunci transdisiplin: semipermeable,
intersubjective testability dan creative imagination.
Seperti sekilas dijelaskan di
atas bahwasanya hubungan yang bercorak Konflik atau Independensi tidak lah
nyaman untuk menjalani kehidupan yang
semakin kompleks. Tugas peneliti (research university) dan pendidik (teaching
university) di
lingkungan perguruan tinggi, terlebih di
lingkungan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) adalah menyiapkan para calon pemikir,
pemimpin, teknokrat, birokrat, politisi, peneliti handal yang nyaman dalam menghadapi
berbagai ketidakpastian, kesulitan, kebingungan dan mampu mengatasi dan
mengaturnya dengan jitu melalui berbagai cara. Banyak lobang-lobang yang
menjebak, penuh resiko, jika pilihan hubungan antara agama dan ilmu adalah
Konflik atau Independen. Idealnya hubungan antara keduanya adalah Dialog dan
jauh lebih baik jika dapat berbentuk Integrasi. Secara teoritik, dengan
mengambil inspirasi dari Ian G. Barbour dan Holmes Rolston, III, ada 3 kata
kunci yang menggambarkan hubungan agama dan ilmu yang bercorak Dialogis dan
Integratif, yaitu Semipermeable, Intersubjective Testability dan Creative
Imagination.
Pertama, Semipermeable.
Konsep ini berasal dari keilmuan biologi. Kaidah ‘Yang dapat menyesuaikan
diri lah yang paling dapat bertahan’ (Survival for the fittest) adalah
yang paling menonjol. Hubungan antara ilmu pengetahuan yang berbasis pada
“kausalitas” (Causality) dan agama yang berbasis pada “makna” (Meaning)
adalah bercorak semipermeable, yakni, antara keduanya saling
menembus. (The conflicts between scientific and religious interpretations
arise because the boundary between causality and meaning is semipermeable).
Hubungan antara ilmu dan agama, begitu
juga hubungan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dan humaiora
tidaklah dibatasi oleh tembok tebal yang tidak memungkinkan untuk
berkomunikasi, tersekat dan terpisah sedemikian ketat dan rigidnya. Hubungan
antara keduanya saling menembus, saling merembes. Saling menembus secara
sebagian, dan bukannya secara bebas dan total. Masih tampak garis batas
demarkasi antar bidang disiplin ilmu, namun ilmuan, dosen dan
peneliti antar
berbagai disiplin tersebut saling membuka diri untuk berkomunikasi, saling
menerima masukan dan saling mengambil inspirasi dari disiplin di luar
bidangnya. Hubungan saling menembus ini dapat bercorak klarifikatif,
komplementatif, afirmatif, korektif, verifikatif, transformatif dan bahkan
inspiratif.
Masing-masing
disiplin ilmu masih tetap dapat menjaga identitas dan eksistensinya
sendiri-sendiri, tetapi selalu terbuka ruang untuk berdialog, berkomunikasi dan berdiskusi dengan disiplin
ilmu lain. Tidak hanya dapat berdiskusi antar rumpun disiplin ilmu kealaman
secara internal, namun juga mampu dan bersedia untuk berdiskusi dan
menerima masukan dari keilmuan external, seperti dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Ilmu-ilmu agama atau yang lebih populer disebut dengan ‘Ulum al-din
tidak terkecuali disini. Ia juga tidak dapat berdiri sendiri, terpisah,
terisolasi – seperti yang selama ini berlangsung - dari hubungan dan kontak dengan keilmuan lain
di luar dirinya. Ia harus terbuka dan membuka diri serta bersedia berdialog,
berkomunikasi, menerima masukan, kritik dan bersinergi dengan keilmuan alam,
keilmuan sosial dan humaniora.
Disini,
konsep linearitas bidang ilmu, lebih-lebih dalam ilmu-ilmu keagamaan, – meskipun dapat dibenarkan jika ditinjau dari
administrasi birokrasi keilmuan program studi di tingkat fakultas, tapi pada
era Universitas Kelas Dunia dan era Universitas Riset, pandangan keilmuan (scientific worldview) yang
rigid seperti itu dipertanyakan kemampuannya untuk memecahkan masalah oleh masyarakat
luas dan kalangan ilmuan itu sendiri. Holmes Rolston, III menegaskan bahwa studi
agama yang dipisahkan atau diceraikan dari ilmu pengetahuan sekarang akan tidak
mampu menghasilkan keturunan yang baik untuk generasi berikutnya. Spesialisasi
yang berlebihan (overspecialization) adalah jalan yang hampir pasti ke
arah kematian dan bahkan kepunahan. Agama memang perlu menjaga integritas dan
kemampuan menyesuaikan diri secara otonom. Namun, agama tidak dapat bertahan
hidup tanpa mampu menyesuaikan dengan lingkungan intelektual yang mengitarinya.
Kedua,
Intersubjective testability (Keterujian intersubjektif). Rambu-rambu
kedua yang menandai hubungan antara ilmu
dan agama, juga antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang
bercorak dialogis dan integratif adalah Intersubjective subjectivity.
Istilah tersebut datang dari Ian G. Barbour dalam konteks pembahasan tentang
cara kerja sains kealaman dan humanities, namun dalam tulisan ini akan saya kembangkan
dengan menggunakan ilustrasi yang diambil dari pendekatan fenomenologi agama.
Menurut Barbour, baik Objek maupun Subjek, masing-masing berperan besar dalam
kegiatan keilmuan. Data tidak dapat dikatakan terlepas sama sekali dari
penglihatan pengamat (The data are not “independent of the observer”),
karena situasi di lapangan selalu diintervensi oleh ilmuan sebagai experimental
agent itu sendiri. Oleh karenanya, concepts bukanlah diberikan
begitu saja oleh alam, namun dibangun atau dikonstruk oleh ilmuan sebagai
pemikir yang kreatif (creative thinker). Oleh karenanya, pemahaman
tentang apa yang disebut dengan objektif harus disempurnakan menjadi intersubjective
testability, yakni ketika semua komunitas keilmuan ikut bersama-sama
berpartisipasi menguji tingkat kebenaran penafsiran dan pemaknaan data yang
diperoleh peneliti dan ilmuan dari
lapangan.
Dalam
dunia logika ilmu pengetahuan sekarang, khususnya yang terkait dengan bahasan
ilmu dan agama, dikenal istilah subjektif, objektif dan berikutnya intersubjektif.
Dalam studi agama, khususnya kajian penomenologi agama - lewat bantuan
penelitian antropologi melalui grounded research (etnografi) -
para peneliti (observer; researchers) dapat mencatat apa yang ditemui
dalam kehidupan sehari-hari di lapangan hal-hal yang dapat dideskripsikan
secara objektif. Para peneliti antropologi agama menemukan dan mencatat dengan
cermat bahwa apa yang disebut agama
antara lain meliputi unsur-unsur dasar sebagai berikut : 1) doktrin (believe
certain things), 2) ritual (perform certain activities), 3)
kepemimpinan (invest authority in certain personalities), 4) nass/teks
kitab suci (hallow certain texts), 5) sejarah (tell various stories),
6) moralitas (legitimate morality) dan bisa ditambah 7) Alat-alat (tools).
Ketujuh unsur ini pada umumnya ada secara objektif dalam masyarakat
pengikut kepercayaan dan agama di manapun mereka berada. Namun, para pengamat, researchers dan ilmuan
(subjek) lah yang mengkonstruk dan mencatat adanya unsur-unsur dasar (fundamental
structure) dalam agama tersebut.
Namun,
ketika ke tujuh unsur dasar dalam agama, yang menurut penglihatan para pengamat
(researchers; religious scholars) bersifat objektif-universal tersebut
- karena dapat ditemui di berbagai tempat, ada dimana-mana - telah dimiliki,
diinterpretasikan, dipahami, dipraktikkan dan dijalankan oleh orang per orang,
kelompok per kelompok dalam konteks budaya dan bahasa tertentu (community of
believers), maka secara pelan tapi pasti, apa yang dianggap objektif oleh
para pengamat tadi akan berubah menjadi subjektif menurut tafsiran,
pemahaman dan pengalaman para pengikut ajaran agama masing-masing. Community
of believers ini seringkali sulit sekali memahami sisi objektifitas dari
keberagamaan manusia, karena kepentingan-kepentingan memang selalu melekat
dalam dunia subjek dan para pelaku di lapangan.
Pergeseran
dari objektivitas-peneliti ke subjektifitas-pelaku, setidaknya, dapat ditandai
ketika apa yang diyakini, dipahami, ditafsirkan dan dijalani oleh orang per
orang, kelompok per kelompok dan golongan per golongan atau masyarakat tertentu
dianggap dan dipercayai sebagai sesuatu yang tidak dapat dipersalahkan, tidak dapat
diganggu-gugat, tidak dapat diperdebatkan sama sekali (non-falsifiable)
dan tidak dapat diperbandingkan dengan yang lain (incommensurable).
Ketika terjadi proses sosiologis seperti itu, maka apa yang dulunya tampak
objektif oleh para pengamat, researchers, scholars telah bergeser ke wilayah subjektif oleh para
pelaku dan penganut agama-agama dan kepercayaan yang ada di lapangan.
Disini
letaknya tikungan tajam, dimana orang apalagi kelompok seringkali kehilangan kompas dan petunjuk arah
perjalanan ke depan. Jika para pengamat, peneliti, ilmuan dan sarjana agama (religious
scholars) melihat kepelbagaian dan kemajemukan interpretasi dalam
agama-agama (baik secara eksternal antar pengikut agama-agama dan secara
internal, dalam lingkungan dalam agama itu sendiri) sebagai suatu hal
yang secara sosiologis wajar belaka dan kemudian para pengamat dan ilmuan
berusaha mencari “esensi” dari kepelbagaian dalam keberagaman (Essences and
Manifestations), maka sebaliknya bagi para pelaku dan aktor agama dan
kepercayaan di lapangan (believers dan confessionalist). Bagi
para believers, apa yang dipercayai dan diyakininya adalah yang paling
benar dan tidak dapat dipertanyakan, apalagi dipersalahkan oleh kelompok lain
yang berbeda (Non-falsifiable).
Letak
tikungan tajam dan krusialnya disini. Menurut pandangan keilmuan (scholarly
perspective), di tengah kepelbagaian dan kebhinnekaan agama secara
sosiologis (Manifestations), maka yang perlu dicari adalah “Essences”
(Hakekat dan Ma’rifat dalam bahasa Tasawwuf/Sufismnya) dari
berbagai agama yang berbeda-beda tersebut, sedang menurut pola pikir agama-fiqhiyyah
(Islamic/Christian/Buddhist perspective, atau agama dan kepercyaan yang lain), maka hanya agama
dan kepercayaannya yang dimiliki oleh diri dan kelompoknya (Manifestations;fiqhiyyah-sosiologis)
sajalah yang paling benar (Non-falsifiable). Implikasi dan konsekwensi
dari dua model berpikir ini sudah dapat diperkirakan. Indonesia dan dunia
agama-agama di manapun berada menghadapi persoalan dan permasalahan pelik yang
sama seperti itu. Ketegangan (Tension) selalu ada antar kedua corak
berpikir tersebut. Para pimpinan agama dan pimpinan masyarakat dan politik dari
lapis atas sampai bawah perlu memperoleh bekal keilmuan melalui riset lapangan yang
lebih dari cukup untuk dapat mengelola dan menjembatani perbedaan penafsiran
dan ketegangan tersebut.
Dengan
begitu, apakah agama dan kehidupan beragama bersifat objektif atau subjektif?
Jawaban atas pertanyaan ini sangat menentukan bagaimana corak kehidupan
beragama dalam masyarakat multietnis, multibahasa, multireliji, multiras dan multikultural
seperti di Indonesia.
Penelitian agama dan pemahaman agama memang unik, sui generis. Tidak
dapat disamakan begitu saja dengan penelitian di bidang sains kealaman dan juga
sains sosial. Karena dalam agama ada unsur yang hampir sama sekali tidak dapat
ditinggalkan, yaitu “involvement” (keterlibatan penuh) dan “unreserved
commitment” (komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar).
Oleh karenanya, penelitian dan pemahaman agama selalu bercorak objective-cum-subjective
dan atau objective-cum-subjective. Dalam agama ada unsur
objektifitas, namun dalam waktu yang bersamaan selalu lekat di dalamnya unsur
subjektifitas. Begitupun sebaliknya, agama pada hakekatnya adalah
bercorak subjektif (Fideistic subjectivism), namun
akan segera menjadi absurd, jika seseorang dan lebih-lebih jika
sekelompok orang agamawan yang terhimpun dalam mazhab, sekte, denominasi dan
organisasi, jatuh pada fanatisme buta
dan menolak koleganya yang lain yang menafsirkan, menganut dan mempercayai
kepercayaan dan agama yang berbeda. Untuk menghindari keterjebakan
subjektifitas yang akut, maka para agamawan perlu mengenal secara ilmiah adanya
unsur-unsur objektif (Scientific objectivism) yang ada dalam
agama-agama. Dengan begitu, ketegangan yang ada dalam wilayah subjektifitas
yang akut (a dire subjectivism) dapat diredakan dengan pencerahan
keilmuan (enlightenment) lewat pengenalan wilayah objektif dalam
agama-agama lewat penelitian empiris. Wilayah objektif dan subjektif dalam
studi agama tidak dapat dipisahkan.
Setelah
mengenal pergumulan antara dunia objektif dan dunia subjektif dalam studi agama, yang dapat
diformulasikan menjadi objective-cum-subjective dan atau subjective-cum-objective,
maka kluster berpikir berikutnya, yaitu “intersubjektif” akan lebih mudah
dipahami. Intersubjektif adalah posisi mental keilmuan (scientific
mentality) yang dapat mendialogkan dengan cerdas antara dunia objektif dan
subjektif dalam diri seorang ilmuan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan,
baik dalam dunia sains, agama, maupun budaya. Intersubjektif tidak hanya dalam
wilayah agama, tetapi juga pada dunia keilmuan pada umumnya. Communtiy of
researchers selalu bekerja dalam bingkai intersubjective testability.
Kehidupan begitu sangat kompleks untuk dapat diselesaikan dan dipecahkan hanya
dengan satu bidang disiplin ilmu. Overspecialization dan linearitas
bidang ilmu menjadi bahan perbincangan dan perdebatan sekarang. Kolaborasi
antara berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan untuk memecahkan berbagai macam
kompleksitas kehidupan. Masukan dan kritik dari berbagai disiplin (multidiscipline)
dan lintas disiplin ilmu (transdiscipline) menjadi sangat dinantikan
untuk dapat memahami kompleksitas kehidupan dunia multikultural dengan lebih
baik. Linearitas bidang ilmu yang dipahami secara ad hoc akan
mempersempit wawasan keilmuan seseorang, jika berhadapan dengan isi-isu
keilmuan yang berada di luar jangkauan bidang keilmuan yang menjadi bidang
keahlian spesialisasinya.
Ketiga, Creative
imagination (Imaginasi kreatif). Meskipun logika berpikir
induktif dan deduktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu
dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayang dalam uraian tersebut umumnya
meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan itu sendiri dalam kerja ilmu
pengetahuan. Memang ada logika untuk menguji teori tetapi tidak ada logika
untuk menciptakan teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan
yang orisinal.
Umumnya
para ilmuan bercita-cita dalam karir akademisnya untuk dapat menemukan teori
baru. Mahasiswa program doktor pun selalu dihimbau oleh promotornya untuk
menyuguhkan temuan baru sebagai sumbangsih
pengembangan ilmu pengetahuan (contribution to knowledge).
Bagaimana teori baru itu muncul? Teori
baru seringkali muncul dari keberanian seorang ilmuan dan peneliti untuk
mengkombinasikan berbagai ide-ide yang telah ada sebelumnya, namun ide-ide
tersebut terisolasi dari yang satu dan lainnya. Inilah inti dari cara
berpikir dan penelitian yang bercorak transdisiplin. Menurut Koesler dan Ghiselin,
bahwa imajinasi kreatif baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam dunia sastra seringkali dikaitkan dengan
upaya untuk memperjumpakan dua konsep framework yang berbeda. Ia
mensintesakan dua hal yang berbeda dan kemudian membentuk keutuhan baru,
menyusun kembali unsur-unsur yang lama ke dalam adonan konfigurasi yang fresh,
yang baru. Bahkan seringkali teori baru muncul dari upaya yang sungguh-sungguh
untuk menghubungkan dua hal yang sebenarnya tidak berhubungan sama sekali.
Newton menghubungkan dua fakta yang sama-sama dikenal secara luas, yaitu
jatuhnya buah apel dan gerak edar atau rotasi bulan. Sedang Darwin melihat
adanya analogi antara tekanan
pertumbuhan penduduk dan daya tahan hidup species binatang. Ada
paralelitas antara kreativitas dalam bidang ilmu pengetahuan (scientist)
dan seni (artist). Campbell, sebagaimana dikutip Ian G. Barbour, menulis sebagai berikut:
“For
it has been admitted that though discovery of laws depends ultimately not on
the fixed rules but on the imagination of highly gifted individuals, this
imaginative and personal element is much more prominent in the development of
theories; the neglect of theories leads directly to the neglect of the
imaginative and personal element in science. It leads to an
utterly false contrast between “materialistic” science and the “humanistic”
studies of literature, history and art. ... What I want to impress on the
reader is how purely personal was Newton’s idea. His theory of universal
gravitation, suggested to him by the trivial fall of an apple, was a product of
his individual mind, just as much as the Fifth Symphony (said to have been
suggested by another trivial incident, the knocking at a door) was a product of
Beethoven’s.”
Bagaimana
jika uraian tersebut dihubungkan dengan kondisi pemikiran dan praktik
pendidikan dalam masyarakat perguruan tinggi di Indonesia kontemporer? Adalah
waktunya sekarang untuk mulai berani berpikir ulang tentang pemikiran dan
praktik kependidikan, khususnya pendidikan
di perguruan tinggi, dengan memandang
perlunya menggunakan imajinasi kreatif dalam proses pembelajaran, perkuliahan
dan riset. Tidak terkungkung oleh tirai besi monodisiplin yang kaku. Dalam
konteks pendidikan agama, ilmu-ilmu keagamaan Islam era sekarang, sebutlah
sebagai contoh seperti fikih, ibadah, kalam/aqidah/tauhid, tafsir, hadis,
tarikh, akhlak, tidak boleh lagi steril dari perjumpaan, persinggungan dan
pergumulannya dengan disiplin keilmuan lain di luar dirinya. Pendidikan
keagamaan secara umum dan keislaman secara khusus tidak dapat lagi disampaikan
kepada peserta didik dalam keterisolasiannya dan ketertutupannya dari masukan dari disiplin ilmu-ilmu lain dan
begitu juga sebaliknya. Guru dan dosen perlu berpikir kreatif dan
memiliki imajinasi kreatif, berani mengkaitkan, mendialogkan uraian dalam satu
bidang ilmu agama dalam kaitan, diskusi dan perjumpaannya dengan disiplin
keilmuan dan tradisi lain. Apabila
langkah ini tidak dilakukan, maka perkuliahan di perguruan tinggi, lambat laun akan terancam kehilangan relevansi
dengan permasalahan kehidupan sekitar yang sudah barang tentu semakin hari
semakin kompleks.
Figure: Ilustrasi
Integrasi-Keilmuan (agama) bercorak multidisiplin-transdisiplin
|
Kasus-kasus
pelanggaran etika dan hukum (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), tindakan kekerasan
atas nama agama (radikalisme, terorisme), hubungan tidak harmonis intern dan
antar umat beragama (multikulturalisme), keringnya publikasi ilmiah secara
internasional- sebagai manifestasi buah tindakan praksis keilmuan dalam
kehidupan sehari-hari -, mencerminkan tiadanya creative imagination yang
mampu menghubungkan dan mendialogkan antara ilmu-ilmu kealaman dan keilmuan
sosial-humaniora, dan juga antara keilmuan agama dan keilmuan sosial, humaniora
dan alam. Tidak dapat berdialog dan terintegrasikannya keilmuan agama Kalam/Aqidah/Tauhid
(‘Ulumu al-din) dengan pengalaman dan
keilmuan baru dalam mengelola tatanan kehidupan berbangsa-bernegara dalam
bingkai konstitusi negara modern (the
idea of constitution) menjadikan kasus di Sampang-Syiah dan kasus-kasus
lain seperti Cikeusik-Ahmadiyah, belakangan antara Sunni dan Syi’iy, dan
hubungan antar pemeluk agama-agama di berbagai daerah di tanah air menjadi
tidak atau kurang harmonis, mudah retak (fragile), sehingga mudah
disulut dan dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan dari luar daerah setempat,
apapun motif dan asal usul peristiwa itu
semula terjadi.
Tidak adanya proses intersubjective
testability antara dua bidang ilmu atau lebih (multi dan transdisciplinary
approach) menjadikan pemahaman dan penafsiran agama – yang umumnya hanya
mendasarkan dan mengikuti nass-nass atau teks-teks keagamaan yang telah
tersedia - menjadi terisolasi dari kehidupan sekitar – baik dalam arti lokal,
regional, nasional maupun global-internasional - sehingga mudah terasa obsolete
atau outdated (tidak relevan; krisis relevansi; kadaluwarsa) dan
bahkan dapat menimbulkan korban sosial yang sesungguhnya tidak perlu. Kehidupan
dan keilmuan agama terjebak dalam mindset lama yang tertutup dan tidak
mampu berdialog secara jujur dan terbuka dengan disiplin dan pengalaman
keilmuan lain. Kriteria
semipermeable dalam format integrasi-interkoneksi keilmuan tidak jalan
sama sekali sehingga untuk era
multikultural lebih banyak menimbulkan masalah dari pada manfaat.
Penutup.
Harus
jelas visi dan misi perguruan tinggi Indonesia menuju tahun 2030 dan 2045, jika
memang hendak meraih peringkat Universitas Kelas Dunia dan Universitas Riset
dalam kaliber dunia. Terobosan-terobosan perlu dilakukan oleh pemerintah,
perguruan tinggi dan dunia pelaku industri untuk meraih mimpi tersebut. Agenda
apa yang harus dilakukan menuju tahun 2030 dan program konkrit apa yang perlu
dikerjakan menuju tahun 2045. Tanpa upaya ekstra keras, sinergis dan rancangan urutan
waktu yang jelas, perguruan tinggi Indonesia akan terus berada di buritan
peradaban keilmuan.
Kata
kunci Liberal Arts Education dalam arti yang luas atau menggunakan istilah General Education yang mampu
secara sinergis-kolaboratif-terpadu mengkombinasikan pendidikan keterampilan
yang handal (skill-based education) dan kajian-kajian sains, sosial dan
humaniora dalam bingkai pendidikan
multikultural adalah salah satu cirinya. Penelitian dan pembelajaran berbasis
multidisplin, interdisiplin dan bahkan transdisiplin adalah prasyarat lain yang
tidak dapat ditawar-tawar. Tata kelola dan manajemen prodi, pembagian antara
mata kuliah pokok dan mata kuliah pilihan perlu ditinjau ulang. Lalu lintas
antara mata kuliah akademik, professional dan vokasional perlu didisign ulang
sesuai prinsip-prinsip pendekatan transdisipliner.
Mengingat permasalahan yang dihadapi
umat manusia semakin hari semakin kompleks, maka hasil penelitian yang inovatif
sangat diharapkan oleh masyarakat. Karenanya menjelaskan kepada pencinta ilmu,
khususnya dosen dan mahasiswa bahwa penguasaan berbagai metode dan cara
berpikir (a variety of modes of
thinking) jauh lebih penting dari pada hanya menguasai satu metode berpikir
saja. Menjelaskan bagaimana ilmuan eksperimental melakukan penelitian,
bagaimana pentingnya statistik untuk ilmu sosial dan kebijakan publik tidak
dapat dinomor duakan. Penekanan yang kuat perlu diberikan kepada mahasiswa
bahwa metode ilmiah jauh lebih penting dari pada fakta ilmiah. Dengan begitu,
dimanapun nantinya mahasiswa berada mereka akan tahu bagaimana berpikir ilmiah
tersebut dijalankan. Menguatnya Scientific literacy bergandengan dengan
cultural, social dan religious literacy akan menguatkan pilar kewargaan,
kebangsaan dan kemanusiaan sebagai bagian tidak terpisahkan dari masyarakat dunia.
Penelitian dikembangkan dengan
semangat kolaboratif dan terintegrasi dengan berbagai disiplin keilmuan. Riset
tidak lagi dilakukan secara monodisiplin. Riset dikembangkan secara
interdisiplin, multidisiplin bahkan transdisiplin. Kepala yang berbeda-beda,
dengan pengetahuan dan perspektif yang berbeda-beda pula, ketika bersatu
memikirkan dan memecahkan satu isu penting yang aktual di masyarakat akan
berubah menjadi kekuatan yang dahsyat; kekuatan integrasi dan interkoneksi. Artinya,
kerja bersama (teamwork) antar
disiplin ilmu sangat dipentingkan sekarang ini. Ilmuan tidak jamannya lagi bersikap arrogan (blik) dan egosentris.
Managemen teamwork adalah keterampilan baru yang sangat diperlukan saat
sekarang ini. Koordinasi antar departemen, kementrian dan lembaga adalah barang
paling mahal di negeri ini lantaran tidak biasanya melakukan kerjasama antar
berbagai pendekatan dan disiplin keilmuan dalam pemecahan masalah ketika masih
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.
Pendekatan inter, multi dan
transdisiplin memastikan permasalahan dapat didekati secara komprehensif
sehingga solusi lebih jitu dan handal dapat diupayakan oleh siapa pun yang
berkepentingan, baik pemerintah, dunia industri, dunia swasta maupun masyarakat
luas pengguna jasa ilmu pengetahuan. Triple Helix, kerjasama segitiga, antara pemerintah, perguruan tinggi
dan dunia industri sangat dinantikan oleh masyarakat luas untuk menyongsong
hadirnya peradaban keilmuan di tanah air menuju peringkat universitas kelas dunia dan universitas riset
bergengsi di dunia pada tahun 2045.
Komentar
Posting Komentar