MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

Makalah Psikologi, Kematangan Beragama


Makalah Psikologi, Kematangan Beragama
By. Husna, Dkk.


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Berbicara tentang kematangan beragama akan terkait erat dengan kematangan usia manusia. Perkembangan keagamaan seseorang untuk sampai pada tingkat kematangan beragama dibutuhkan proses yang panjang. Proses tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi agama pada diri seseorang atau karena berbarengan dengan kematangan kepribadiannya. Sebagai hasil dari konversi, seringkali seseorang menemukan dirinya mempunyai pemahaman yang baik akan kemantapan keagamaannya hingga ia dewasa atau matang beragama. Demikian halnya dengan  perkembangan kepribadian seseorang, apabila telah sampai pada suatu tingkat kedewasaan, maka akan ditandai dengan kematangan jasmani dan ruhani. Pada saat inilah seseorang sudah memiliki keyakinan dan pendirian yang tetap dan kuat terhadap pandangan hidupatau agama yang harus dipeganginya. Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan rohani disebut istilah kematangan beragama maturity).
Kedewasaan jasmani belum tentu berkembang setara dengan kematangan rohani. Secara normal, memang seseorang yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pula kematangan rohani seperti kematangan berpikir, kematangan kepribadian maupun kematangan emosi. Tetapi perimbangan antara kedewasaan  jasmani dan kematangan rohani ini adakalanya tidak berjalan sejajar. Secara fisik (jasmani) seseornag mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia ternyata belum matang.

B.    Rumusan Masalah
1.     Pengertian kematangan beragama?
2.     Kriteria kematangan beragama?
3.     Manisfestasi kemtangan beragama dalam prilaku keberagamaan?

C.    Tujuan
Adapun tujua makalah ini selain memenuhi tugas psikologi agama, juga agar mahasiswa mampu mengetahui tentang pengertiankematangan beragama serta manifestasinya atau perwujudan dalam prilaku keberagamaan sehari-hari.







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kematangan Beragama
Kematangan beragama yang dimiliki oleh setiap manusia, merupakan perilaku yang baik yang diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan dirasakan oleh orang-orang sekitarnya. Apabila dari anggota masyarakat berperilaku baik, kehidupan pada masyarakat tersebut merupakan mata air yang bersih dan sejuk. Dan dari setiap jiwa akan memancarkan cahaya yang merupakan pandangan yang indah bagi siapa saja yang memandangnya.
Kematangan atau kedewasaan seorang dalam beragama biasanya diperlihatkan dengan kesadaran dan keyakinan yang kuat dan teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan dia memerlukan agama dalam hidupnya. Seseorang yang matang dalam beragama bukan saja memegang teguh pemahaman keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa tanggung jawab.[1]
Jadi, kematangan beragama dapat dipahami sebagai watak keberagamaan yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman hidup seseorang yang terkumpulkan kedalam pola sikap dan perilaku sehari-hari.

B.    Kriteria Kematangan Beragama
Adapun karakteristik dari kematangan beragama, yaitu:
  1. Menerima kebenaran agama berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
  2. Cenderung bersifat realitas, sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan tingkah laku.
  3. Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan.
  4. Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
  5. Bersikap lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas.
  6. Bersikap lebih kritis terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan hati nurani.
  7. Sikap keberagamaan cenderung mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.
  8. Terlihat adanya hubungan antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.[2]
Dalam bukunya The Varieties Of Religious Experience, William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe orang yang sakit jiwa dan tipe orang yang sehat jiwa. Kedua tipe ini menunjukkan perilaku dan sikap keagamaan berbeda[3]

C.    Manifestasi Kematangan Beragama dalam Perilaku Keberagamaan
Dalam pandangan Islam, manusia dilahirkan dengan diberikan potensi keberagamaan (fitrah) . seiring dengan pertumbuhan fisik dan psikis (mental) yang dialami oleh setiap orang fase ke fase, maka perkembangan  tingkat keberagamaanya pun berbeda-beda. Selain itu, perbedaan keberagamaan dalam beragama juga berawal dari perbedaan kedudukan dan derajat mempengaruhi pula kehidupan sosial, ekonomi, dan politik mereka.
Dalam manifestasinya perilaku keberagamaan diukur dari aspek aqidah, ibadah dan akhlaknya. Tetapi, karena aqidah merupakan hal yang bersifat abstrak dan penelusurannya sangat sulit melalui indra, maka pengukuran tingkat keberagamaan seseorang dapat ditelusuri melalui rutinitas pelaksanaan ibadahnya dan penampilannya melalui akhlaknya.
  1. Manifestasi kematangan beragama secara individu
a.      Agama sebagai sumber nilai dalam menjaga kesusilaan
Ajaran dalam agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia. Nilainilai inilah yang dijadikan sebagai acuan dan sekaligus sebagai petunjuk bagi manusia. Firman Allah yang artinya “kitab (Al-Qur’an) tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Qs. Al-Baqarah: 2)
Agama menjadi kerangka acuan dalam berfikir, bersikap, dan berperilaku agar sejalan dengan keyakinan yang dianutnya. McQuire memposisikan sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi individu dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan pembenaran dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Individu yang tumbuh menjadi dewasa selalu memerlukan suatu sistem nilai sebagai tuntutan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya.
b.     Agama sebagai sarana untuk mengatasi frustasi
Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai dari kebutuhan fisik seperti; makanan, ketenteraman, istrirahat, dan seksual, sampai kebutuhan psikis seperti; keamanan batin, ketenteraman batin, persahabatan, penghargaan, dan kasih sayang. Pengamatan psikologis menunjukkan bahwa keadaan frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku keagamaan. Orang yang mengalami frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan untuk mengatasi frustasinya.
c.      Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama adalah bahwa agama dianut sebagai sarana untuk mengatasinya, fokusnya pada ketakutan yang tidak ada objek. Kita sering menemukan ketika seseorang medapatkan musibah maka ibadahnya semakin meningkat karena meminta kepada Allah SWT supaya masalah yang dihadapinya tetap selesai. Fungsi agama adalah untuk menemukan jalan keluar atau ketenangan dalam menghadapi masalah tersebut.
d.     Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan
Agama mampu memberi jawaban atas kesadaran intelektual kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan psikologi, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah alam semesta ini. Manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dalam kehidupan tanpa agama, yaitu dari mana manusia datang, apa tujuan manusia hidup di dunia,  dan mengapa manusia ada dan ke mana manusia kembalinya setelah mati.[4]
  2. Manifestasi kematangan beragama secara kelompok (bermasyarakat)
a.      Berfungsi edukatif
Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyeluruh dan melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan yang baik menurut ajaran agama masing-masing.

b.     Berfungsi penyelamat
Keselamatan yang meliputi bidang secara luas adalah keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan akhirat. Agama mengajarkan para penganutnya untuk mengenal terhadap sesuatu bersifat sakral yang disebut supranatural.
c.      Berfungsi sebagai perdamaian
Seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai kedamaian batin melalui tuntutan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang yang bersalah telah menebus dosanya melalui taubat, pensucian jiwa, atau pun penebusan dosa.
d.     Berfungsi sebagai sosial control
Ajaran agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma-norma dalam kehidupan, sehingga dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas, baik secara individu maupun secara kelompok, karena:
1)     Secara instansi, agama merupakan norma yang harus dipatuhi oleh para pengikutnya.
2)     Secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang bersifat profetis (kenabian).
e.      Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama secara psikologis akan merasa memiliki  kesamaan dalam satu-kesatuan pada iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan menimbulkan rasa solidaritas dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa persaudaraan yang kokoh. Rasa persaudaraan (solidaritas) itu bahkan dapat mengalahkan rasa kebangsaan.[5]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kematangan atau kedewasaan seorang dalam beragama biasanya diperlihatkan dengan kesadaran dan keyakinan yang kuat dan teguh karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan dia memerlukan agama dalam hidupnya. Seseorang yang matang dalam beragama bukan saja memegang teguh pemahaman keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Dan begitu juga kriteria kematangan beragama diantaranya: Bersikap positif terhadap ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman keagamaan, Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup, Bersikap lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas. Dalam manifestasinya perilaku keberagamaan diukur dari aspek aqidah, ibadah dan akhlaknya. Tetapi, karena aqidah merupakan hal yang bersifat abstrak dan penelusurannya sangat sulit melalui indra, maka pengukuran tingkat keberagamaan seseorang dapat ditelusuri melalui rutinitas pelaksanaan ibadahnya dan penampilannya melalui akhlaknya.











DAFTAR PUSTAKA

Sururin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Jalaludin, Psikologi Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Mar’atus Sholihah, “Kedewasaan Beragama Pada Anak Usia Dasar,” Jurnal Falasifa, Volume 6, No. 1, Maret 2018.
 Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Radar Jaya, 2007.






[1] Sururin, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), hlm. 90-91.
[2] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 107-108.
[3] Jalaludin, Psikologi Agama,… hal. 127.
[4] Mar’atus Sholihah, “Kedewasaan Beragama Pada Anak Usia Dasar,” Jurnal Falasifa, Volume 6, No. 1, Maret 2018, hlm. 103-104.
[5] Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Radar Jaya, 2007), hlm. 227-233.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN