Makalah Psikologi, Kematangan Beragama
By. Husna, Dkk.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Berbicara tentang kematangan
beragama akan terkait erat dengan kematangan usia manusia. Perkembangan
keagamaan seseorang untuk sampai pada tingkat kematangan beragama dibutuhkan
proses yang panjang. Proses tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi
agama pada diri seseorang atau karena berbarengan dengan kematangan
kepribadiannya. Sebagai hasil dari konversi, seringkali seseorang menemukan
dirinya mempunyai pemahaman yang baik akan kemantapan keagamaannya hingga ia
dewasa atau matang beragama. Demikian halnya dengan perkembangan kepribadian seseorang, apabila
telah sampai pada suatu tingkat kedewasaan, maka akan ditandai dengan
kematangan jasmani dan ruhani. Pada saat inilah seseorang sudah memiliki
keyakinan dan pendirian yang tetap dan kuat terhadap pandangan hidupatau agama
yang harus dipeganginya. Manusia mengalami dua macam perkembangan, yaitu
perkembangan jasmani dan perkembangan rohani. Perkembangan jasmani diukur
berdasarkan umur kronologis. Puncak perkembangan jasmani yang dicapai manusia
disebut kedewasaan. Sebaliknya, perkembangan rohani diukur berdasarkan tingkat
kemampuan (abilitas). Pencapaian tingkat abilitas tertentu bagi perkembangan
rohani disebut istilah kematangan beragama maturity).
Kedewasaan jasmani belum tentu
berkembang setara dengan kematangan rohani. Secara normal, memang seseorang
yang sudah mencapai tingkat kedewasaan akan memiliki pula kematangan rohani
seperti kematangan berpikir, kematangan kepribadian maupun kematangan emosi.
Tetapi perimbangan antara kedewasaan
jasmani dan kematangan rohani ini adakalanya tidak berjalan sejajar.
Secara fisik (jasmani) seseornag mungkin sudah dewasa, tetapi secara rohani ia
ternyata belum matang.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian kematangan beragama?
2.
Kriteria kematangan beragama?
3.
Manisfestasi kemtangan beragama dalam prilaku keberagamaan?
C.
Tujuan
Adapun tujua
makalah ini selain memenuhi tugas psikologi agama, juga agar mahasiswa mampu
mengetahui tentang pengertiankematangan beragama serta manifestasinya atau
perwujudan dalam prilaku keberagamaan sehari-hari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kematangan Beragama
Kematangan
beragama yang dimiliki oleh setiap manusia, merupakan perilaku yang baik yang
diperlihatkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan dirasakan oleh orang-orang
sekitarnya. Apabila dari anggota masyarakat berperilaku baik, kehidupan pada
masyarakat tersebut merupakan mata air yang bersih dan sejuk. Dan dari setiap
jiwa akan memancarkan cahaya yang merupakan pandangan yang indah bagi siapa
saja yang memandangnya.
Kematangan
atau kedewasaan seorang dalam beragama biasanya diperlihatkan dengan kesadaran
dan keyakinan yang kuat dan teguh karena menganggap benar akan agama yang
dianutnya dan dia memerlukan agama dalam hidupnya. Seseorang yang matang dalam
beragama bukan saja memegang teguh pemahaman keagamaan yang dianutnya dan
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh tanggung jawab, melainkan
dibarengi dengan pengetahuan keagamaan yang cukup mendalam. Jika kematangan
beragama telah ada pada diri seseorang, segala perbuatan dan tingkah laku
keagamaannya senantiasa dipertimbangkan betul-betul dan dibina atas rasa
tanggung jawab.[1]
Jadi, kematangan
beragama dapat dipahami sebagai watak keberagamaan yang dibentuk melalui
pengalaman-pengalaman hidup seseorang yang terkumpulkan kedalam pola sikap dan
perilaku sehari-hari.
B. Kriteria Kematangan Beragama
Adapun karakteristik dari
kematangan beragama, yaitu:
- Menerima kebenaran agama
berdasarkan pertimbangan pemikiran yang matang, bukan sekedar ikut-ikutan.
- Cenderung bersifat realitas,
sehinggga norma-norma agama lebih banyak diaplikasikan dalam sikap dan
tingkah laku.
- Bersikap positif terhadap
ajaran dan norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan
memperdalam pemahaman keagamaan.
- Tingkat ketaatan beragama
didasarkan atas pertimbangan dan tanggung jawab diri hingga sikap
keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup.
- Bersikap lebih terbuaka dan
wawasan yang lebih luas.
- Bersikap lebih kritis
terhadap materi ajaran agama sehingga kemantapan beragama selain
didasarkan atas pertimbangan pikiran, juga didasarkan atas pertimbangan
hati nurani.
- Sikap keberagamaan cenderung
mengarah kepada tipe-tipe kepribadian masing-masing, sehingga terlihat
adanya pengaruh kepribadian dalam menerima, memahami serta melaksanakan
ajaran agama yang diyakininya.
- Terlihat adanya hubungan
antar sikap keberagamaan dengan kehidupan sosial, sehingga perhatian
terhadap kepentingan organisasi sosial keagamaan sudah berkembang.[2]
Dalam
bukunya The Varieties Of Religious
Experience, William James menilai secara garis besar sikap dan prilaku
keagamaan itu dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe orang yang sakit
jiwa dan tipe orang yang sehat jiwa. Kedua tipe ini menunjukkan perilaku dan
sikap keagamaan berbeda[3]
C. Manifestasi Kematangan Beragama dalam Perilaku
Keberagamaan
Dalam pandangan Islam, manusia dilahirkan dengan
diberikan potensi keberagamaan (fitrah) . seiring dengan pertumbuhan fisik dan
psikis (mental) yang dialami oleh setiap orang fase ke fase, maka
perkembangan tingkat keberagamaanya pun
berbeda-beda. Selain itu, perbedaan keberagamaan dalam beragama juga berawal
dari perbedaan kedudukan dan derajat mempengaruhi pula kehidupan sosial,
ekonomi, dan politik mereka.
Dalam manifestasinya perilaku keberagamaan diukur dari
aspek aqidah, ibadah dan akhlaknya. Tetapi, karena aqidah merupakan hal yang
bersifat abstrak dan penelusurannya sangat sulit melalui indra, maka pengukuran
tingkat keberagamaan seseorang dapat ditelusuri melalui rutinitas pelaksanaan
ibadahnya dan penampilannya melalui akhlaknya.
- Manifestasi kematangan beragama secara individu
a.
Agama sebagai sumber nilai dalam menjaga kesusilaan
Ajaran dalam agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan
manusia. Nilainilai inilah yang dijadikan sebagai acuan dan sekaligus sebagai
petunjuk bagi manusia. Firman Allah yang artinya “kitab (Al-Qur’an) tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa”. (Qs. Al-Baqarah: 2)
Agama menjadi kerangka acuan dalam berfikir, bersikap,
dan berperilaku agar sejalan dengan keyakinan yang dianutnya. McQuire
memposisikan sistem nilai yang berdasarkan agama dapat memberi pedoman bagi
individu dan masyarakat. Sistem nilai tersebut dalam bentuk keabsahan dan
pembenaran dalam kehidupan individu dan masyarakat.
Individu
yang tumbuh menjadi dewasa selalu memerlukan suatu sistem nilai sebagai
tuntutan umum untuk mengarahkan aktivitas dalam masyarakat yang berfungsi
sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya.
b.
Agama sebagai sarana untuk mengatasi frustasi
Manusia mempunyai kebutuhan dalam kehidupan ini, mulai
dari kebutuhan fisik seperti; makanan, ketenteraman, istrirahat, dan seksual, sampai
kebutuhan psikis seperti; keamanan batin, ketenteraman batin, persahabatan,
penghargaan, dan kasih sayang. Pengamatan psikologis menunjukkan bahwa keadaan
frustasi itu dapat menimbulkan tingkah laku keagamaan. Orang yang mengalami
frustasi tidak jarang bertingkah laku religius atau keagamaan untuk mengatasi
frustasinya.
c.
Agama sebagai sarana untuk mengatasi ketakutan
Ketakutan yang dimaksud dalam kaitannya dengan agama
adalah bahwa agama dianut sebagai sarana untuk mengatasinya, fokusnya pada
ketakutan yang tidak ada objek. Kita sering menemukan ketika seseorang
medapatkan musibah maka ibadahnya semakin meningkat karena meminta kepada Allah
SWT supaya masalah yang dihadapinya tetap selesai. Fungsi agama adalah untuk
menemukan jalan keluar atau ketenangan dalam menghadapi masalah tersebut.
d.
Agama sebagai sarana untuk memuaskan keingintahuan
Agama mampu memberi jawaban atas kesadaran intelektual
kognitif, sejauh kesukaran itu diresapi oleh keinginan eksistensial dan
psikologi, yaitu oleh keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam
kehidupan, agar dapat menempatkan diri secara berarti dan bermakna di
tengah-tengah alam semesta ini. Manusia tidak mampu menjawab pertanyaan yang
sangat mendasar dalam kehidupan tanpa agama, yaitu dari mana manusia datang,
apa tujuan manusia hidup di dunia, dan
mengapa manusia ada dan ke mana manusia kembalinya setelah mati.[4]
2. Manifestasi kematangan beragama secara kelompok
(bermasyarakat)
a.
Berfungsi edukatif
Ajaran agama secara yuridis berfungsi menyeluruh dan
melarang. Kedua unsur suruhan dan larangan ini mempunyai latar belakang
mengarahkan bimbingan agar pribadi penganutnya menjadi baik dan terbiasa dengan
yang baik menurut ajaran agama masing-masing.
b.
Berfungsi penyelamat
Keselamatan yang meliputi bidang secara luas adalah
keselamatan yang diajarkan oleh agama. Keselamatan yang diberikan oleh agama
kepada penganutnya adalah keselamatan yang meliputi dua alam yaitu: dunia dan
akhirat. Agama mengajarkan para penganutnya untuk mengenal terhadap sesuatu
bersifat sakral yang disebut supranatural.
c.
Berfungsi sebagai perdamaian
Seseorang yang bersalah atau berdosa dapat mencapai
kedamaian batin melalui tuntutan agama. Rasa berdosa dan rasa bersalah akan
segera menjadi hilang dari batinnya apabila seseorang yang bersalah telah
menebus dosanya melalui taubat, pensucian jiwa, atau pun penebusan dosa.
d.
Berfungsi sebagai sosial control
Ajaran
agama oleh penganutnya dianggap sebagai norma-norma dalam kehidupan, sehingga
dalam hal ini agama dapat berfungsi sebagai pengawas, baik secara individu
maupun secara kelompok, karena:
1)
Secara instansi, agama merupakan norma yang harus
dipatuhi oleh para pengikutnya.
2)
Secara dogmatis (ajaran) mempunyai fungsi kritis yang
bersifat profetis (kenabian).
e.
Berfungsi sebagai pemupuk rasa solidaritas
Para penganut agama secara psikologis akan merasa
memiliki kesamaan dalam satu-kesatuan
pada iman dan kepercayaan. Rasa kesatuan ini akan menimbulkan rasa solidaritas
dalam kelompok maupun perorangan, bahkan kadang-kadang dapat membina rasa
persaudaraan yang kokoh. Rasa persaudaraan (solidaritas) itu bahkan dapat
mengalahkan rasa kebangsaan.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kematangan atau kedewasaan seorang dalam beragama
biasanya diperlihatkan dengan kesadaran dan keyakinan yang kuat dan teguh
karena menganggap benar akan agama yang dianutnya dan dia memerlukan agama
dalam hidupnya. Seseorang yang matang dalam beragama bukan saja memegang teguh
pemahaman keagamaan yang dianutnya dan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari
dengan penuh tanggung jawab, melainkan dibarengi dengan pengetahuan keagamaan
yang cukup mendalam. Dan begitu juga
kriteria kematangan beragama diantaranya: Bersikap positif terhadap ajaran dan
norma-norma agama, dan berusaha untuk mempelajari dan memperdalam pemahaman
keagamaan, Tingkat ketaatan beragama didasarkan atas pertimbangan dan tanggung
jawab diri hingga sikap keberagamaan merupakan realisasi dari sikap hidup, Bersikap
lebih terbuaka dan wawasan yang lebih luas. Dalam
manifestasinya perilaku keberagamaan diukur dari aspek aqidah, ibadah dan
akhlaknya. Tetapi, karena aqidah merupakan hal yang bersifat abstrak dan
penelusurannya sangat sulit melalui indra, maka pengukuran tingkat keberagamaan
seseorang dapat ditelusuri melalui rutinitas pelaksanaan ibadahnya dan
penampilannya melalui akhlaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Sururin, Ilmu Jiwa
Agama, Jakarta: Rajawali Press, 2004.
Jalaludin, Psikologi
Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
Mar’atus Sholihah, “Kedewasaan Beragama Pada Anak Usia
Dasar,” Jurnal Falasifa, Volume 6, No.
1, Maret 2018.
Ramayulis, Psikologi Agama, Jakarta: Radar Jaya,
2007.
Jalaludin, Psikologi Agama,… hal. 127.
Komentar
Posting Komentar