MAKALAH PERJANJIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
PERJANJIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam
rangka pergaulan hidup di masyarakat. Kepentingan manusia dalam masyarakat
begitu luas,mulai dari kepentingan pribadi hingga masyarakat dengan Negara.
Untuk itu pergolongan hukum privat mengatur kepentingan individu atau pribadi,
seperti hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perjanjian yang terdapat dalam
buku III kitab undang-undang hukum perdata merupakan hukum yang bersifat khusus
dalam melakukan perjanjian dan perbuatan hukum yg bersifat ekonomis atau
perbuatan hukum yg dapat dinilai dari harta kekayaan seseorang atau badan
hukum.
Dalam kegiatan
ekonomi terdapat upaya untuk mendapatkan keuntungan atau laba,namun harus
berdasarkan peraturan dan norma yang terdapat dalam undang-undang yang berlaku
maupun hukum yang berlaku. Dengan adanya hubungan hukum maka terjadi pertalian
hubungan subjek hukum dengan objek hukum (hubungan hak kebendaan). Dalam hukum
perjanjian didalamnya terdapat dua azas yaitu azas konsensualitas dan kebebasan
berkontrak.
Di Indonesia
berbagai peraturan undang-undang dibuat oleh pemerintah Indonesia telah
menggantikan sebagian kitab undang-undang hukum perdata dan kitab undang-undang
hukum dagang. Namun untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia maka ke dua
kitab undang-undang itu masih digunakan sampai ada peraturan perundang-undangan
yang baru untuk menggantinya.
B.RUMUSAN MASALAH
1.apa yg
dimaksud definisi dan
dasar hukum perjanjian?
2. apa saja konsep
rukun dan syarat perjanjian?
3. bagaimana teori kuasa dalam kontrak perjanjian?
C.TUJUAN MASALAH
1. Untuk bisa menjelaskan dan
memahami definisi dan dasar hukum perjanjian.
2. Untuk mengetahui konsep
(rukun dan syarat) perjanjian.
3. Untuk mengetahui tentang
teori kuasa dalam kontrak /perjanjian.
BAB II
PEMBAHASAN
A.DEFINISI DAN DASAR HUKUM PERJANJIAN
Perjanjian
merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan.secara umum,perikatan yang lahir
dari perjanjian merupakan jenis perikatan yang paling banyak terjadi dalam
kehidupan manusia. Perikatan yang bersumber dari perjanjian ini dalam bahasa
belanda disebut sebagai overeenkomst.
Perihal pengertian perjanjian sendiri dijelaskan dalam pasal 1313 kitab
undang-undang hukum perdata sebagai “suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Para
ahli hukum perdata dalam perkembangan nya berpendapat bahwa definisi perjanjian
yang terdapat didalam ketentuan pasal 1313 kitab undang-undang hukum perdata
tidaklah lengkap dan juga terlalu luas. Dikatakan tidak lengkap karena rumusan
nya dapat mencakup hal-hal diluar ranah keberlakuan buku III kitab
undang-undang hukum perdata, contohnya mengenai janji kawin,janjikawin
seyogianya merupakan perbuatan dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan
perjanjian juga,namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan
tersendiri, sehingga aturan dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata
secara langsung tidak berlaku terhadapnya.
Setiawan
dalam bukunya juga mengungkapkan kesepahamannya terhadap definisi perjanjian
dalam kitab undang-undang hukum perdata yang tidak lengkap sekaligus terlalu
luas. Beliau menyebutkan bahwa dengan dipergunakannya kata “perbuatan” dalam
definisi perjanjian, maka akan tercakup pula perwakilan sukarela dan perbuatan
melawan hukum. Karenanya, perlu diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian
tersebut, yaitu:
a.
Bahwa perbuatan harus diartikan sebagai
perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan menimmbulkan akibat hukum, dan
b.
Perlu ditumbuhkannya perkataan “atau
saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313”.
Ketentuan umum mengenai perjanjian telah
diatur dalam bab II kitab undang-undang hukum perdata, sedangkan ketentuan
khusus terhadapnya diatur dalam bab V sampai dengan bab XVIII dengan tambahan
pada bab VII A. mengingat perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya
perikatan, maka ketentuan-ketentuan umum mengenai terjadinya dan hapusnya
perikatan sebagaimana yang diatur dalam bab I dan bab IV kitab undang-undang
hukum perdata, pun bertalian dengan perikatan yang lahir karena perjanjian.
Pada umumnya, perjanjian tidak terikat
pada suatu bentuk tertentu, sehingga perjanjian dapat dibuat secara lisan
maupun secara tertulis. Pembuatan perjanjian secara tertulis ini sering kali
dilakukan agar dapat menjadi alat bukti apabila nantinya terjadi suatu
perselisihan. Meski begitu, ada beberapa jenis perjanjian tertentu yang memang
oleh undang-undang ditentukan harus dibuat dalam bentuk tertullis, misalnya,
perjanjian kerja waktu tertentu yang harus dibuat secara tertulis. Bentuk
tertulis dalam perjanjian semacam ini tidaklah semata-mata sebagai alat
pembuktian, namun juga merupakan syarat mutlak untuk adanya (bestaanwaarde) perjanjian tersebut.
Perjanjian melahirkan perikatan, yang
kemudian menciptakan kewajiban pada pihak yang kemudian menciptakan kewajiban
pada pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Konsekuensi logisnya,
kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian akan memberikan hak
pada kreditur dalam perjanjian tersebut menuntut pelaksaan prestasi dalam
perikatan yang lahir tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah
disepakati oleh pihak dalam perjanjian yang telah disepakati oleh pihak dalam
perjanjian merupakan pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian
tersebut.
Karenanya, perjanjian selalu merupakan perbuatan bersegi dua atau jamak, ketika satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya, sehingga untuk itu diperlukan sata sepakat dari para pihak. Namun, perlu diperhatikan bahwa perjanjian sebagaimana yang didefinisikan dalam pasal 1313 kitab undang- undang hukum perdata hanyalah mencakup perjanjian-perjanjian yang menimbulkan perikatan atau disebut sebagai perjanjian obligator, maka ketentuan dalam bab II buku III kitab undang-undang hukum perdata tidaklah berlaku.”[1]
B. KONSEP RUKUN DAN SYARAT PERJANJIAN
Di kalangan para fukaha terdapat
perbedaan pendapat berkaitan dengan rukun sebuah perjanjian, perikatan atau
akad. Didasarkan pada definisi yang sampaikan yaitu sesuatu yang adanya sesuatu
yang lainnya tergantung kepadanya meskipun ia bukan bagian dari hakikatnya.
Namun semua perbedaan yang ada hanya istilah yang pada akhirnya tidak
berpengaruh pada substansinya. Jadi rukun perjanjian adalah segala sesuatu yang
mengungkapkan kesepakatan dua keinginan atau menggantikan posisinya baik berupa
perbuatan, isyarat atau tulisan. Untuk unsur bagian lainnya misalnya obyek
diakadkan dan dua pihak yang berakad merupakan keharusan sebuah perjanjian yang
mesti ada untuk membentuk sebuah akad. Sebab adanya ijab dan qabul menghendaki
adanya dua pihak yang melakukan perjanjian atau akad. Menurut jumhur fuqaha
rukun akad antara lain: 1). Aqid, Orang yang berakad atau melakukan perjanjian,
2). Ma’qud alaih, obyek benda yang diakadkan, 3). Maudhu al-aqad, tujuan
melakukan perjanjian atau akad, 4). Shighat al-Aqad, yaitu ijab dan qabul dari
perjanjian.
1. Rukun Perjanjian
Rukun
perjanjian adalah sighat aqad, yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu suatu
cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut dinyatakan dan menunjuk kepada
kehendak kedua belah pihak. Adapun syarat-syarat sighat akad ini adalah:
1. Harus Jelas atau Terang Pengertiannya
Yaitu lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya
menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku. Dengan demikian pada saat pelaksanaan
atau penerapan perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau
yang mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interpretasi yang
sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat
yang ditimbulkan oleh perjanjian itu.
2. Harus Ada Kesesuaian (Tawaffuq) Maksudnya adalah harus ada
kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan
qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman
di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.
2. Syarat
Perjanjian
Pada umumnya syarat akad ada delapan
macam, yaitu:tamyiz, berbilang, persatuan ijab dan qabul (kesepakatan), kesatuan
majelis akad, obyek akad dapat diserahkan, obyek akad tertentu atau dapat
ditentukan, obyek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan
dimiliki (mutaqawwim dan mamluk), tujuan tidak bertentangan
dengan syariat. Menurut pendapat jumhur ulama fiqih pada dasarnya pihak-pihak
yang berakad memiliki kebebasan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri dalam
suatu akad. Senada yang disampaikan mazhab Hanafi dan Syafi’i sekalipun
pihak-pihak yang berakad mempunyai kebebasan dalam menentukan syarat, tetapi
kebebasan itu mempunyai batas-batas atau keterbatasan, selama syarat itu tidak
bertentangan dengan hakikat itu sendiri. Syarat-syarat umum itu sebagai
berikut:
1. Kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian (akad) harus cakap bentindak (ahli).
2. Obyek akad dapat menerima hukum.
3. Perjanjian atau akad itu diizinkan
oleh syara’ yang dilakukan orang mempunyai hak melakukan.
4. Obyeknya bukan akad yang dilarang
oleh syara’.
5. Perjanjian yang dapat mengandung
faedah
6.Ijab tidak sah jika akad tersebut dibatalkan
sebelum adanya Qabul.[2]
Dalam Kitab Undang Undang
Hukum Perdata (selanjutnya
disebut KUHPer), perjanjian diatur
dalam Buku III
Bab II Pasal
1313 yang berbunyi:“suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih ”Secara
etimologis peranjian yang
dalam bahasa Arab diistlahkan dengan mu’ahadah ittifa’, akad atau
kontrak dapat diartikan
bahwa perjanjian atau persetujuan
adalah suatu perbuatan
dimana seseorang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap
seseorang lain atau
lebih. Sedangkan menurut WJS. Poerwadarminta sebagaimana
dikutip oleh Cairuman Pasaribu
dan Suhrawardi K. Lubis, perjanjian
adalah sebuah persetujuan (tertulis atau
dengan lisan) yang
dibuat oleh dua
pihak atau lebih yang
mana berjanji akan
menaati apa yang tersebut
di persetujuan itu.
Sedangkan
menurut Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh A.A Gde
Agung Brahmanta, Ibrahim
R, dan Imade
Sarjana, Peranjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda
antar dua pihak dalam mana satu
pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.
Berdalih dari
pendapat di atas,
Ahmadi Miru berargumen
bahwa dalam bahasa Arab ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian
atau kontrak, yaitu kata akad (al’aqdu) dan kata ‘ahd (al-ahdu), al-Qur’an memakai kata
pertama dalam arti
perikatan atau perjanjian,
sedangkan kata yang kedua
berarti masa, pesan,
penyempurna, dan janji
atau perjanjian.Hal ini senafas
dengan pendapat Abdul Ghofur
Anshori yang mengemukakan bahwa
istilah akaddapat disamakan
dengan istilah perikatan, sedangkan
kata al-ahdu dapat dikatakan sama
dengan istilah perjanjian.
Dari beberapa
pendapat di atas,
dapat ditarik benang
merah bahwa perjanjian adalah
suatu perbuatan kesepakatan
antara seseorang atau beberapa
orang dengan seseorang
atau beberapa orang
lainnya untuk melakukan sesuatu
perbuatan tertentu.
Berbicara mengenai
perjanjian, tentunya tidak
akan lepas dari subject dan
object dari pada
pelaku perjanjian itu sendiri.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-Azas Hukum Perjanjian
mengemukakan bahwa dalam tiap-tiap
perjanjian ada dua
macam subject, yaitu
seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban
untuk sesuatu dan seorang
manusia atau suatu
badan hukum yang
mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu.
Lebih
lanjut Wirjono menjelaskan
mengenai object perjanjian
yang merupakan kebalikan dari
pada subject perjanjian
itu sendiri. Dalam hal ini,
object dalam perhubungan
hukum perihal perjanjian
ialah hal yang diwajibkan kepada
pihak berwajib dan
hal terhadap mana
pihak berhak mempunyai hak Artinya, objek perjanjian merupakan
hal yang diperjanjikan oleh
para subject perjanjian. Yaitu
dapat berupa benda ataupun sebuah status.
Mengenai
perjanjian yang berubungan
dengan suatu benda
sebagai obectnya, dapat dimisalkan
dalam hal jual-beli,
sewa-menyewa, tukar-menukar,
gadai-menggadai, pinjam-meminjam, pemberian hadiah dan lain sebaginya, maka
object dari berbagai perjanjian sebagaimana dimaksud di atas lebih
terang terwujudnya yaitu
suatu benda yang
bersangkutan. Sedangkan
mengenai contoh dari
pada perjanjian yang
objectnya bukan sebuah benda
dapat dimisalkan seperti
pemeliharaan anak, perjanjian perburuhan dan lain sebagainya.
Selain
itu, terdapat pula
asas-asas dalam suatu
perjanjian. Asas-asas yang termuat
dalam hukum Perdata
Barat sebagaimana tertuang
dalam KUHPer meliputi asas
kebebasan berkontrak (freedom
of contract principle), asas kepribadian (Privity of
Contract), dan asas i’tikad baik(Good Faith Principle). Sedangkan
asas-asas perjanjian dalam hukum Islam meliputi asas
kebebasan (Al-hurriyah), asas persamaan
atau kesetaraan (Al-MuSAWah), asas
keadilan (Al-‘Adalah), asas kerelaan
(Al-Ridha), asas kebenaran dan
kejujuran (As-Sidiq), dan asas
tertulis (Al-Kitabah).
Dalam
sistem hukum di Indonesia, perjanjian
diatur dalam tiga sistem
hukum yang berlaku
di Indonesia. Yaitu
Hukum Adat, Hukum Perdata Barat
(KUHPer), dan Hukum
Islam.Prinsip utama hukum perjanjian menurut
KUHPer adalah prinsip
kebebasan berkontrak (freedom
of Contract Principle). Hal
ini didasarkan pada
ketentuan Pasal 1338 Jo Pasal
1320 KUHPer.
Selain
itu, terdapat pula
prinsip yang menyatakan
bahwa segala perjanjian yang
dibuat secara sah
mengikat seperti undang-undang
bagi pihak-pihak yang mengadakannya (Pacta sunt
servanda), hal ini didasarkan pada Pasal 1338 KUHPer.
Mengenai keabsahan dari perjanjian sebagaimana
tertuang dalam ketentuan
Pasal 1320 KUHPer
yang intinya menyebutkan bahwa
untuk sahnya suatu
perjanjian diperlukan adanya kesepakatan di
antara para pihak,
adanya kecakapan bertindak
secara hukum, adanya obyek tertentu, dan sebab/kausa yang halal.
Selain
hukum Perdata Barat,
terdapat pula hukum
Indonesia asli yang dalam
prakteknya masih berlaku
dan masih ditaati
oleh masyarakat pribumi. Hukum
ini dikenal dengan hukum adat. Namun, mengingat secara faktual masyarakat
Indonesia mayoritas beragama
Islam, maka berlaku pula
hukum Islam yang
menyangkut hal ibadah
dan muamalat. Dengan demikian sangat
penting bagi kita
untuk mengetahui bagaimana
konsep perjanjian yang diatur dalam syariat Islam.[3]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
definisi perjanjian dalam kitab
undang-undang hukum perdata yang tidak lengkap sekaligus terlalu luas. Beliau
menyebutkan bahwa dengan dipergunakannya kata “perbuatan” dalam definisi
perjanjian, maka akan tercakup pula perwakilan sukarela dan perbuatan melawan
hukum. Dari beberapa pendapat
di atas, dapat
ditarik benang merah
bahwa perjanjian adalah suatu
perbuatan kesepakatan antara
seseorang atau beberapa orang
dengan seseorang atau
beberapa orang lainnya
untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.
Dalam sistem hukum di Indonesia, perjanjian diatur dalam tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Yaitu Hukum Adat, Hukum Perdata Barat (KUHPer), dan Hukum Islam.Prinsip utama hukum perjanjian menurut KUHPer adalah prinsip kebebasan berkontrak (freedom of Contract Principle). Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHP.
B. KRITIK DAN SARAN
kami menyadari bahwa makalah ini jauh
dari kata sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
lebih baik lagi. Demikianlah, apabila ada terdapat banyak kesalahan pada
makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat
bermamfaat. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Jalil, Abdul HUKUM
PERJANJIAN ISLAM (KAJIAN TEORI DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA),jurnal
studi keislaman, Volume 6, Nomor 2,(
Desember, 2020)
Izzati
risfa, Nabiyla S.H.,LL.M. PENYALAHGUNAAN
KEADAAAN DALAM PERJANJIAN KERJA (Yogyakarta; anggota IKAPI,2021)
Wahyu
faizal, Bhismoadi Tri Konsep Hukum Perjanjian di Indonesia (The Concept of Legal Agreement in Indonesia), jurnal hukum dan
keadilan, Volume 1, Nomor 2, (September, 2017)
[1] Nabiyla risfa izzati,
S.H.,LL.M. PENYALAHGUNAAN KEADAAAN DALAM
PERJANJIAN KERJA (Yogyakarta; anggota IKAPI,2021),hlm 19-22.
[2] Abdul jalil, HUKUM
PERJANJIAN ISLAM (KAJIAN TEORI DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA),jurnal studi
keislaman, Volume 6, Nomor 2,( Desember,
2020),217-219.
[3] Bhismoadi Tri Wahyu
Faizal, Konsep Hukum Perjanjian
di Indonesia (The Concept of Legal Agreement in Indonesia),
jurnal hukum dan keadilan, Volume 1, Nomor 2, (September, 2017)112-115.
Komentar
Posting Komentar