MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH PERJANJIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

 

PERJANJIAN DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

By: Dian, Sinto

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

       Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam rangka pergaulan hidup di masyarakat. Kepentingan manusia dalam masyarakat begitu luas,mulai dari kepentingan pribadi hingga masyarakat dengan Negara. Untuk itu pergolongan hukum privat mengatur kepentingan individu atau pribadi, seperti hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perjanjian yang terdapat dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata merupakan hukum yang bersifat khusus dalam melakukan perjanjian dan perbuatan hukum yg bersifat ekonomis atau perbuatan  hukum yg dapat dinilai  dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum.

       Dalam kegiatan ekonomi terdapat upaya untuk mendapatkan keuntungan atau laba,namun harus berdasarkan peraturan dan norma yang terdapat dalam undang-undang yang berlaku maupun hukum yang berlaku. Dengan adanya hubungan hukum maka terjadi pertalian hubungan subjek hukum dengan objek hukum (hubungan hak kebendaan). Dalam hukum perjanjian didalamnya terdapat dua azas yaitu azas konsensualitas dan kebebasan berkontrak.

       Di Indonesia berbagai peraturan undang-undang dibuat oleh pemerintah Indonesia telah menggantikan sebagian kitab undang-undang hukum perdata dan kitab undang-undang hukum dagang. Namun untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia maka ke dua kitab undang-undang itu masih digunakan sampai ada peraturan perundang-undangan yang baru untuk menggantinya.

 

B.RUMUSAN MASALAH

1.apa yg dimaksud definisi dan dasar hukum perjanjian?

2. apa saja konsep rukun dan syarat perjanjian?

3. bagaimana teori kuasa dalam kontrak perjanjian?

C.TUJUAN MASALAH

1. Untuk bisa menjelaskan dan memahami definisi dan dasar hukum perjanjian.

2. Untuk mengetahui konsep (rukun dan syarat) perjanjian.

3. Untuk mengetahui tentang teori kuasa dalam kontrak /perjanjian.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.DEFINISI DAN DASAR HUKUM PERJANJIAN

            Perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan.secara umum,perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan jenis perikatan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia. Perikatan yang bersumber dari perjanjian ini dalam bahasa belanda disebut sebagai overeenkomst. Perihal pengertian perjanjian sendiri dijelaskan dalam pasal 1313 kitab undang-undang hukum perdata sebagai “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

            Para ahli hukum perdata dalam perkembangan nya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat didalam ketentuan pasal 1313 kitab undang-undang hukum perdata tidaklah lengkap dan juga terlalu luas. Dikatakan tidak lengkap karena rumusan nya dapat mencakup hal-hal diluar ranah keberlakuan buku III kitab undang-undang hukum perdata, contohnya mengenai janji kawin,janjikawin seyogianya merupakan perbuatan dalam lapangan hukum keluarga yang menimbulkan perjanjian juga,namun istimewa sifatnya karena dikuasai oleh ketentuan-ketentuan tersendiri, sehingga aturan dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata secara langsung tidak berlaku terhadapnya.

            Setiawan dalam bukunya juga mengungkapkan kesepahamannya terhadap definisi perjanjian dalam kitab undang-undang hukum perdata yang tidak lengkap sekaligus terlalu luas. Beliau menyebutkan bahwa dengan dipergunakannya kata “perbuatan” dalam definisi perjanjian, maka akan tercakup pula perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Karenanya, perlu diadakan perbaikan mengenai definisi perjanjian tersebut, yaitu:

a.       Bahwa perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan menimmbulkan akibat hukum, dan

b.      Perlu ditumbuhkannya perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam pasal 1313”.

Ketentuan umum mengenai perjanjian telah diatur dalam bab II kitab undang-undang hukum perdata, sedangkan ketentuan khusus terhadapnya diatur dalam bab V sampai dengan bab XVIII dengan tambahan pada bab VII A. mengingat perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan, maka ketentuan-ketentuan umum mengenai terjadinya dan hapusnya perikatan sebagaimana yang diatur dalam bab I dan bab IV kitab undang-undang hukum perdata, pun bertalian dengan perikatan yang lahir karena perjanjian.

Pada umumnya, perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, sehingga perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis. Pembuatan perjanjian secara tertulis ini sering kali dilakukan agar dapat menjadi alat bukti apabila nantinya terjadi suatu perselisihan. Meski begitu, ada beberapa jenis perjanjian tertentu yang memang oleh undang-undang ditentukan harus dibuat dalam bentuk tertullis, misalnya, perjanjian kerja waktu tertentu yang harus dibuat secara tertulis. Bentuk tertulis dalam perjanjian semacam ini tidaklah semata-mata sebagai alat pembuktian, namun juga merupakan syarat mutlak untuk adanya (bestaanwaarde) perjanjian tersebut.

Perjanjian melahirkan perikatan, yang kemudian menciptakan kewajiban pada pihak yang kemudian menciptakan kewajiban pada pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut. Konsekuensi logisnya, kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian akan memberikan hak pada kreditur dalam perjanjian tersebut menuntut pelaksaan prestasi dalam perikatan yang lahir tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh pihak dalam perjanjian yang telah disepakati oleh pihak dalam perjanjian merupakan pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.

Karenanya, perjanjian selalu merupakan perbuatan bersegi dua atau jamak, ketika satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya, sehingga untuk itu diperlukan sata sepakat dari para pihak. Namun, perlu diperhatikan bahwa perjanjian sebagaimana yang didefinisikan dalam pasal 1313 kitab undang- undang hukum perdata hanyalah mencakup perjanjian-perjanjian yang menimbulkan perikatan atau disebut sebagai perjanjian obligator, maka ketentuan dalam bab II buku III kitab undang-undang hukum perdata tidaklah berlaku.”[1]

B.     KONSEP RUKUN DAN SYARAT PERJANJIAN

Di kalangan para fukaha terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan rukun sebuah perjanjian, perikatan atau akad. Didasarkan pada definisi yang sampaikan yaitu sesuatu yang adanya sesuatu yang lainnya tergantung kepadanya meskipun ia bukan bagian dari hakikatnya. Namun semua perbedaan yang ada hanya istilah yang pada akhirnya tidak berpengaruh pada substansinya. Jadi rukun perjanjian adalah segala sesuatu yang mengungkapkan kesepakatan dua keinginan atau menggantikan posisinya baik berupa perbuatan, isyarat atau tulisan. Untuk unsur bagian lainnya misalnya obyek diakadkan dan dua pihak yang berakad merupakan keharusan sebuah perjanjian yang mesti ada untuk membentuk sebuah akad. Sebab adanya ijab dan qabul menghendaki adanya dua pihak yang melakukan perjanjian atau akad. Menurut jumhur fuqaha rukun akad antara lain: 1). Aqid, Orang yang berakad atau melakukan perjanjian, 2). Ma’qud alaih, obyek benda yang diakadkan, 3). Maudhu al-aqad, tujuan melakukan perjanjian atau akad, 4). Shighat al-Aqad, yaitu ijab dan qabul dari perjanjian.

1.       Rukun Perjanjian

 Rukun perjanjian adalah sighat aqad, yang terdiri dari ijab dan qabul, yaitu suatu cara bagaimana rukun-rukun akad tersebut dinyatakan dan menunjuk kepada kehendak kedua belah pihak. Adapun syarat-syarat sighat akad ini adalah:

1. Harus Jelas atau Terang Pengertiannya Yaitu lafaz yang dipakai dalam ijab dan qabul harus jelas maksud dan tujuannya menurut kebiasaan (‘urf) yang berlaku. Dengan demikian pada saat pelaksanaan atau penerapan perjanjian masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau yang mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interpretasi yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu.

2. Harus Ada Kesesuaian (Tawaffuq) Maksudnya adalah harus ada kesesuaian (tawaffuq) antara ijab dan qabul dalam semua segi perjanjian, untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak yang melakukan perjanjian di kemudian hari.

2. Syarat Perjanjian

Pada umumnya syarat akad ada delapan macam, yaitu:tamyiz, berbilang, persatuan ijab dan qabul (kesepakatan), kesatuan majelis akad, obyek akad dapat diserahkan, obyek akad tertentu atau dapat ditentukan, obyek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki (mutaqawwim dan mamluk), tujuan tidak bertentangan dengan syariat. Menurut pendapat jumhur ulama fiqih pada dasarnya pihak-pihak yang berakad memiliki kebebasan untuk menentukan syarat-syarat tersendiri dalam suatu akad. Senada yang disampaikan mazhab Hanafi dan Syafi’i sekalipun pihak-pihak yang berakad mempunyai kebebasan dalam menentukan syarat, tetapi kebebasan itu mempunyai batas-batas atau keterbatasan, selama syarat itu tidak bertentangan dengan hakikat itu sendiri. Syarat-syarat umum itu sebagai berikut:

1. Kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian (akad) harus cakap bentindak (ahli).

2. Obyek akad dapat menerima hukum.

3. Perjanjian atau akad itu diizinkan oleh syara’ yang dilakukan orang mempunyai hak melakukan.

4. Obyeknya bukan akad yang dilarang oleh syara’.

5. Perjanjian yang dapat mengandung faedah

6.Ijab tidak sah jika akad tersebut dibatalkan sebelum adanya Qabul.[2]


 C.    TEORI KUASA DALAM KONTRAK PERJANJIAN

Dalam  Kitab  Undang Undang  Hukum  Perdata  (selanjutnya  disebut KUHPer),   perjanjian   diatur   dalam   Buku   III   Bab   II   Pasal   1313   yang berbunyi:“suatu perjanjian  adalah suatu  perbuatan  dengan  mana  satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ”Secara  etimologis  peranjian  yang  dalam  bahasa  Arab diistlahkan dengan mu’ahadah  ittifa’,  akad atau   kontrak  dapat   diartikan   bahwa perjanjian  atau  persetujuan  adalah  suatu  perbuatan  dimana  seseorang atau   lebih   mengikatkan   dirinya   terhadap   seseorang   lain   atau  lebih. Sedangkan   menurut   WJS. Poerwadarminta  sebagaimana   dikutip   oleh Cairuman  Pasaribu  dan Suhrawardi K.  Lubis,  perjanjian  adalah  sebuah persetujuan  (tertulis  atau  dengan  lisan)  yang  dibuat  oleh  dua  pihak  atau lebih  yang  mana  berjanji  akan  menaati  apa  yang tersebut  di  persetujuan itu.

Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro sebagaimana dikutip oleh A.A  Gde   Agung   Brahmanta,   Ibrahim   R,   dan   Imade   Sarjana, Peranjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak dalam  mana  satu  pihak  berjanji  atau  dianggap  berjanji  untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.

Berdalih  dari  pendapat  di  atas,  Ahmadi  Miru  berargumen  bahwa dalam bahasa  Arab ada  dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian atau kontrak,  yaitu  kata akad (al’aqdu)   dan  kata ‘ahd (al-ahdu),  al-Qur’an memakai  kata  pertama  dalam  arti  perikatan  atau  perjanjian,  sedangkan kata   yang   kedua   berarti   masa,   pesan,   penyempurna,   dan   janji   atau perjanjian.Hal  ini  senafas  dengan  pendapat  Abdul Ghofur  Anshori  yang mengemukakan   bahwa   istilah akaddapat   disamakan   dengan   istilah perikatan,  sedangkan  kata al-ahdu dapat  dikatakan  sama  dengan  istilah perjanjian.

Dari  beberapa  pendapat  di  atas,  dapat  ditarik  benang  merah  bahwa perjanjian  adalah  suatu  perbuatan  kesepakatan  antara  seseorang  atau beberapa  orang  dengan  seseorang  atau  beberapa  orang  lainnya  untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.

Berbicara   mengenai   perjanjian,   tentunya   tidak   akan   lepas   dari subject   dan   object   dari   pada   pelaku   perjanjian itu   sendiri.   Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-Azas Hukum Perjanjian mengemukakan bahwa  dalam  tiap-tiap  perjanjian  ada  dua  macam  subject,  yaitu  seorang manusia atau suatu badan hukum yang mendapat beban kewajiban untuk sesuatu  dan  seorang  manusia  atau  suatu  badan  hukum  yang  mendapat hak atas pelaksanaan kewajiban itu.

Lebih  lanjut  Wirjono  menjelaskan  mengenai  object  perjanjian  yang merupakan  kebalikan  dari  pada  subject  perjanjian  itu sendiri.  Dalam  hal ini,  object  dalam  perhubungan  hukum  perihal  perjanjian  ialah  hal  yang diwajibkan  kepada  pihak  berwajib  dan  hal  terhadap  mana  pihak  berhak mempunyai    hak Artinya, objek perjanjian    merupakan    hal    yang diperjanjikan  oleh  para  subject perjanjian.   Yaitu   dapat  berupa  benda ataupun sebuah status.

Mengenai  perjanjian  yang  berubungan  dengan  suatu  benda  sebagai obectnya,  dapat  dimisalkan  dalam  hal  jual-beli,  sewa-menyewa,  tukar-menukar, gadai-menggadai, pinjam-meminjam, pemberian hadiah dan lain sebaginya, maka object dari berbagai perjanjian sebagaimana dimaksud di atas  lebih  terang  terwujudnya  yaitu  suatu  benda  yang  bersangkutan. Sedangkan  mengenai  contoh  dari  pada  perjanjian  yang  objectnya  bukan sebuah  benda  dapat  dimisalkan  seperti  pemeliharaan  anak,  perjanjian perburuhan dan lain sebagainya.

Selain  itu,  terdapat  pula  asas-asas  dalam  suatu  perjanjian.  Asas-asas yang  termuat  dalam  hukum  Perdata  Barat  sebagaimana  tertuang  dalam KUHPer    meliputi    asas    kebebasan    berkontrak (freedom    of    contract principle),  asas kepribadian  (Privity  of  Contract), dan asas i’tikad baik(Good Faith Principle). Sedangkan asas-asas perjanjian dalam hukum Islam meliputi  asas  kebebasan  (Al-hurriyah),  asas  persamaan  atau  kesetaraan (Al-MuSAWah),  asas  keadilan  (Al-‘Adalah),  asas  kerelaan  (Al-Ridha),  asas kebenaran dan kejujuran (As-Sidiq), dan asas tertulis (Al-Kitabah).

Dalam   sistem   hukum   di   Indonesia,   perjanjian   diatur   dalam   tiga sistem  hukum  yang  berlaku  di  Indonesia.  Yaitu  Hukum  Adat,  Hukum Perdata   Barat   (KUHPer),   dan   Hukum   Islam.Prinsip   utama   hukum perjanjian    menurut    KUHPer    adalah    prinsip    kebebasan    berkontrak (freedom  of  Contract  Principle).  Hal  ini  didasarkan  pada  ketentuan  Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHPer.

Selain  itu,  terdapat  pula  prinsip  yang  menyatakan  bahwa  segala perjanjian  yang  dibuat  secara  sah  mengikat  seperti  undang-undang  bagi pihak-pihak    yang    mengadakannya    (Pacta    sunt    servanda),    hal    ini didasarkan pada Pasal 1338 KUHPer. Mengenai keabsahan dari perjanjian sebagaimana  tertuang  dalam  ketentuan  Pasal  1320  KUHPer  yang  intinya menyebutkan  bahwa  untuk  sahnya  suatu  perjanjian  diperlukan  adanya kesepakatan  di  antara  para  pihak,  adanya  kecakapan  bertindak  secara hukum, adanya obyek tertentu, dan sebab/kausa yang halal.

Selain  hukum  Perdata  Barat,  terdapat  pula  hukum  Indonesia  asli yang  dalam  prakteknya  masih  berlaku  dan  masih  ditaati  oleh  masyarakat pribumi. Hukum ini dikenal dengan hukum adat. Namun, mengingat secara faktual  masyarakat  Indonesia  mayoritas  beragama  Islam,  maka  berlaku pula  hukum  Islam  yang  menyangkut  hal  ibadah  dan  muamalat.  Dengan demikian  sangat  penting  bagi  kita  untuk  mengetahui  bagaimana  konsep perjanjian yang diatur dalam syariat Islam.[3]

 

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

definisi perjanjian dalam kitab undang-undang hukum perdata yang tidak lengkap sekaligus terlalu luas. Beliau menyebutkan bahwa dengan dipergunakannya kata “perbuatan” dalam definisi perjanjian, maka akan tercakup pula perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Dari  beberapa  pendapat  di  atas,  dapat  ditarik  benang  merah  bahwa perjanjian  adalah  suatu  perbuatan  kesepakatan  antara  seseorang  atau beberapa  orang  dengan  seseorang  atau  beberapa  orang  lainnya  untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.

Dalam   sistem   hukum   di   Indonesia,   perjanjian   diatur   dalam   tiga sistem  hukum  yang  berlaku  di  Indonesia.  Yaitu  Hukum  Adat,  Hukum Perdata   Barat   (KUHPer),   dan   Hukum   Islam.Prinsip   utama   hukum perjanjian    menurut    KUHPer    adalah    prinsip    kebebasan    berkontrak (freedom  of  Contract  Principle).  Hal  ini  didasarkan  pada  ketentuan  Pasal 1338 Jo Pasal 1320 KUHP.


B.     KRITIK DAN SARAN

            kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran  supaya makalah ini nantinya dapat menjadi lebih baik lagi. Demikianlah, apabila ada terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Semoga makalah ini dapat bermamfaat. Terima kasih.

 

DAFTAR PUSTAKA

Jalil, Abdul HUKUM PERJANJIAN ISLAM (KAJIAN TEORI DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA),jurnal studi keislaman,  Volume 6, Nomor 2,( Desember, 2020)

Izzati risfa, Nabiyla S.H.,LL.M. PENYALAHGUNAAN KEADAAAN DALAM PERJANJIAN KERJA (Yogyakarta; anggota IKAPI,2021)

 

Wahyu faizal, Bhismoadi Tri Konsep Hukum Perjanjian di Indonesia (The Concept of Legal Agreement in Indonesia), jurnal hukum dan keadilan, Volume 1, Nomor 2, (September, 2017)



[1] Nabiyla risfa izzati, S.H.,LL.M. PENYALAHGUNAAN KEADAAAN DALAM PERJANJIAN KERJA (Yogyakarta; anggota IKAPI,2021),hlm 19-22.

[2] Abdul jalil, HUKUM PERJANJIAN ISLAM (KAJIAN TEORI DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA),jurnal studi keislaman,  Volume 6, Nomor 2,( Desember, 2020),217-219.

[3] Bhismoadi Tri Wahyu Faizal, Konsep Hukum Perjanjian di Indonesia (The Concept of Legal Agreement in Indonesia), jurnal hukum dan keadilan, Volume 1, Nomor 2, (September, 2017)112-115.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN