MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH TENTANG AKAD

 MAKALAH TENTANG AKAD

By: Hannum


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akad atau perjanjian dalam kehidupan bermasyarakat ini menduduki posisi yang sangat penting. Karena akad  merupakan salah satu dasar dari sekian banyak aktivitas keseharian manusia. Melalui akad berbagai kegiatan bisnis dan usaha manusia dapat dijalankan dengan baik. kebutuhan dan kepentingannya. Karena akad itulah yang membatasi hubungan antara kedua belah pihak yang terlibat dalam usaha tersebut dan akan mengikat hubungan itu dimasa sekarang maupun masa yang akan datang.

Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat akad, maka semakin kecil konflik dan pertentangan antara kedua belah pihak di masa yang akan datang. Akad menurut Ahmad Azhar Basyir adalah suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan oleh syara’ yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.

 

B. Rumusan Masalah

1.Apa pengertian akad ?

2.Apa saja yang termasuk kedalam rukun suatu akad ?

3.Apa saja syarat umum suatu akad ?

4.Apa yang menyebabkan suatu akad itu berakhir ?

  

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akad

Akad sengaja dibahasa dalam bab tersendiri,karena akad (transaksi) boleh dikatakan terjadi dalam setiap kegiatan yang ada hubungannya dengan muamalah. Akad (perikatan,perjanjian dan pemufakatan). Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan dalam menerima ikatan),sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Demikian dijelaskan dalam ensiklopedi hukum islam. [1]

Semua perikatan ( transaksi ) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syariat dan idak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain,transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh seseorang. Mustafa az-Zarqa[2] menyatakan, bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu:

a.tindakan berupa perbuatan

b.tindakan berupa perkataan

Tindakan beupa perkataan terbagi menjadi dua, yaitu :

a.tindakan yang bersifat akad

b.tindakan yang tidak bersifat akad

Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi, bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi lagi menjadi dua, yaitu:

a. ada mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya, atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah, dan talak. Akad semacam ini tidak memerlukan kabul, sekalipun tindakan seperti ini, oleh sebagian ulama fiqih termasuk akad. Ulama mazhab Hanafi mengatakan bahwa tindakan seperti ini hanya mengikat pihak yang melakukan ijab.

b. Tidak ada mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau menggugurkan suatu hak, tetapi perkataannya memunculkan suatu tindakan hukum, seperti hal gugatan yang diajukan kepada hakim dan pengakuan seseorang didepan hakim. Tindakan semacam ini berakibat timbul sesuatu ikatan secara hukum, tetapi sifat nya tidak mengikat. Oleh sebab itu ulam fiqih menetapkan, bahwa tindakan semacam ini tidak dapat dikatakan akad, karna tindakan tersebut tidakmengikat siapapun. Kehendak atau keinginan pihak-pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karna itu, untuk mrnyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu pernyataan. Pernyataan itulah yang disebut ijab dan kabul. Pelaku ( pihak ) pertama disebu mujib dan pelaku ( pihak ) kedua disebut qaabil.

Biasanya pernyataan itu dilakukan lebih dahulu oleh pihak pertama,kemudian baru oleh pihak kedua seperti akad nikah. Akan tetapi dalam masalah muamalah,pernyataan itu boleh datang lebih dahulu,umpamanya seperti: “Saya sudah membeli barang ini dengan harga sekian”, lalu penjual mengatakan: “Saya telah menjual barang ini dengan harga sekian”. Dengan demikian telah sah akad antara penjual dan pembeli dengan harga yang telah disepakati. Dalam akad rahn (gadai), umpamanya: pihak penerima jaminan berhak untuk menggadaikan jaminan tersebut sebagai jaminan hutang,dan pihak yang menggadaikan barangnya,berkewajiban untuk melunasi hutangnya. Ijab dan kabul ini dalam istilah fikih disebut sighah al-aqd yang berarti ungkapan atau pernyataan akad.

B. Rukun Akad

Menurut Jumhur (mayoritas) fukaha,rukun akad terdiri dari:

-Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd)

-Pihak-pihak yang berakad

-Obyek Akad

Ulama Mazhab Hanafi berpendapat,bahwa rukun akad hanya satu yaitu sighah al-aqd. Sighah al-aqd merupakan rukun akad yang terpenting,karena melalui akad inilah diketahui maksud setiap pihak yang melakukan akad (transaksi). Sighah al-aqd dinyatakan melalui ijab dan kabul,dengan suatu ketentuan yaitu:

-Tujuan akad itu harus jelas dan dapat dipahami

-Antara ijab dan kabul harus dapat kesesuaian

-Pernyataan ijab dan kabul harus seusai dengan kehendak masing-masing dan tidak boleh ada yang meragukan.[3]

Contoh ijab dan kabul dalam perbuatan adalah seperti yang terjadi di pasar swalayan. Seseorang mengambil barang,sesudah membayar harganya kepada kasir sesuai dengan harga yang tercantum pada barang tersebut. Kehendak pembeli dan penjual sudah terpenuhi. Cara seperti inilah sekarang yang banyak kita temukan dalam dunia dagang pada saat ini. Di dalam fiqih jual beli semacam ini disebut bay’ul mua’thoh (jual-beli dengan saling memberi) ulama mazhab syafi’i dalam qaul qadim (pendapat lama) tidak  membenarkan akad seperti ini,karena ke dua belah pihak harus menyatakan secara jelas mengenai ijab dan kabul itu. Demikian juga Mazhab az-Zahiri dan Syiah tidak membenarkannya.

Ijab dan kabul antara seseorang yang bisu dengan penjual atau pembeli dapat dibenarkan asal saja kedua belah pihak dapat memahami dengan jelas apa yang dilakukan itu. Menurut Mustafa az-Zarqa’ suatu akad dipandang sempurna,apabila telah memenuhi syarat-syarat yang disebutkan diatas. Namun,ada akad-akad yang baru dipandang sempurna,apabila telah dilakukan timbang terima,dan tidak menandai hanya dengan ijab dan kabul saja,yang disebut dengan al-uqud al-‘ainiyyah.

Akad semacam ini ada lima macam yaitu : hibah, pinjam meminjam, barang titipan, perserikatan dalam modal dan jaminan.Menurut ulama fiqih macamakad atau transaksi tersebut harus diserahkan kepada yang berhak dan dikuasai sepenuhnya dan tidak boleh terlepas dari tanggung jawab.

C. Syarat Umum Suatu Akad

Para ulama fiqih menetapkan, ada beberapa syarat umum yang harus dipenuhi dalam suatu akad. Umpamanya : akad jual beli memiliki syarat syarat tersendiri. Demikian juga halnya dengan akad al-Wadi’ah, hibah, ijarah ( sewa menyewa ). Syarat-syarat umum suatu akad adalah :

1.Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum ( mukallaf ). Apabila belum mampu harus dilakukan dengan walinya. Maka dari itu suatu akad yang dilakukan oleh orang yang kurang waras atau anak kecil yang belum muakallaf hukumnya tidak sah.

2.Obyek akad itu, diakui oleh syara’. Obyek akad ini harus memenuhi syarat :

a.bebrbentuk harta

b.dimiliki seseorang

c.bernilai harta menurut syara’

dengan demikian, yang tidak bernilai harta menurut syara’ tidak sah seperti khamar ( minuman keras ).

3.Akad itu dilarang oleh nash syara’. Atas dasar ini seseorang wali, tidak dibenarkan menghibahkan harta anak kecil tersebut. Apabila terjadi akad maka akad itu batal menurut syara’.

4.Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan. Syarat-syarat khusus, contohnya syarat jual beli berbeda dengan syarat sewa menyewa dan gadai.[4]

5.Akad itu bermanfaat. contohnya : seorang suami mengadakan akad dengan istrinya, bahwa suami akan memberi upah kepada istrinya dalam urusan rumah tangga. Akad semacam ini batal, karna seorang istri memang berkewajiban mengurus rumah.

6.Ijab tetap utuh sampai terjadi kabul.

7.Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majlis, yaitu suatu keadaan yang mengambarkan suatu proses transaksi.

8.Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh syara’.

D. Macam-macam akad ( Syirkah )

Menurut ulama fikih, akad dapat dibagi dari berbagai segi. Apabila dilihat dari segi keabsahannya menurut syara’, maka akad dibagi dua yaitu :

1.      Akad sahih, yaitu akad yang telah memenuhi syarat dan rukun. Dengan demikian, segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad itu, berlaku kepada dua belah pihak.

Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, membagi lagi akad sahih ini menjadi dua macam :

a)      Akad yang nafiz ( sempurna untuk dilaksanakan ), yaitu akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.

b)      Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad. Akad tersebut seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil yang menjelang akal balig ( mumayyiz ). Akad itu baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum setelah mendapat izin dari wali anak itu.

Menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali, bahwa jual-beli yang mauquf itu tidak sah. Lebih lanjut lagi, jika dilihat dari sisi mengikat atau tidak jual-beli yang Sahih itu,ulama fikih membaginya kepada dua macam :

a)      Akad yang bersifat mengikat bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak tidak boleh membatalkan akad itu tanpa seizin pihak lain, seperti akad jual-beli dan sewa menyewa

b)      Akad yang tidak bersifat mengikat kedua belah pihak, seperti ariyah ( pinjam meinjam ) wadi’ah (barang titipan)

2.      Akad yang tidak sahih yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya, sehingga akibat hukum tidak berlaku bagi kedua belah pihak yang melakukan akad itu.

Namun menurut ulama Hanafiah mengenai pembagian syirkah[5] adalah sebagai berikut :

1)      Syirkah-amwal mufawadhah ; yaitu penyertaan modal usaha dari masing-masing syarik dengan jumlah modal yang sama.

2)      Syirkah-amwal ‘inan ; yaitu penyertaan modal usaha dari masing-masing syarik dengan jumlah modal yang beda.

3)      Syirkah-‘abdan mufawadhah ; yaitu penyertaan keterampilan dari masing-masing syarik sebagai modal usaha dengan kualitas keterampulan yang sama.

4)      Syirkah-‘abdan ‘inan ; yaitu penyertaan keterampilan dari masing-masing syarik sebagai modal usaha dengan kulaitas keterampilan yang berbeda.

5)      Syirkah-wujuh mufawadhah ; penyertaan kredibilitas usaha atau nama baik/reputasi dari masing-masing syarik sebagai modal usaha dengan kualitas kredibilitas yang sama

6)      Syirkah-wujuh ‘inan ; penyertaan kredibilitas usaha atau nama baik/reputasi dari masing-masing syarik sebagai modal usaha dengan kualitas kredibilitas yang berbeda.

E. Berakhir suatu akad

Ulama fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir, apabila terjadi hal-hal berikut ini[6] :

1)      Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki tenggang waktu.

2)      Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.

3)      Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila:

a.       Akad itu fasid

b.      Berlaku khiyar syarat, khiyar ‘aib

c.       Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad

d.      Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna.

4)      Wafat salah satu pihak yang berakad

 

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Akad ( syirkah ) merupakan salah satu cara terjadinya transaksi jual beli menjadi lebih baik. Dengan cara ini penjual dan pembeli bisa sama-sama menyepakati harga yang sesuai dengan barang tersebut. Maka terjadilah jual beli yang tidak merugikan antara penjual dan pembeli akan tetapi salah satu syarat tidak dilaksanakan maka akan berakhirlah suatu akad tersebut dan dapat mengetahui apa saja macam-macam akad dibidang akad jual beli.

  

 

DAFTAR PUSTAKA

Hasan,M.Ali.2004.Berbagai Macam Transaksi dalam Islam.Jakarta.PT RajaGrafindo Persada.

Hasanudin,H.Maulana.dkk.2012.Perkembangan Akad musyarakah.Jakarta.Prenada Media Grup.



[1] M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal.101.

[2] Ibid.,hal.106.

[3] M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal.104.

[4] M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal.105.

 

[5] H.Maulana Hasanudin, H.Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta : Prenada Media Group, 2012), hal.21

[6] M.Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2004), hal.112.

 

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN