MAKALAH HADIST TATA PERGAULAN
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
MAKALAH TATA PERGAULAN
By: Rahma
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagian umat Islam, kita tentu mengetahui dengan baik bahwa
Allah SWT telah menetapkan batas-batas dalam pergaulan. Yang mana
dalam pergaulan terkadang manusia tidak lepas dari kesalahan, dosa, dan
kekhilafan. Untuk itu perlu rujukannya dalam bertingkah laku. Rujukan tersebut
diantaranya adalah hadits-hadits sabda Rasulullah SAW, karena risalah pertama
yang disampaikan kepada umat Islam adalah tentang akhlak. Hendaknya dalam
kehidupan sehari-hari kita mengikuti petunjuk-petunjuk yang telah disampaikan
pada kita secara jelas. Agar dalam pergaulan sehari-hari, kita tidak
melampaui batas yang telah ditetapkan, maka kita harus dapat memahami
sabda-sabda Rasulullah tersebut.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa hanya pergaulan
bebas dan semacamnya hampir-hampir tidak memiliki rem atau batasan, kaum muda
saat ini berbuat sekehendak hatinya. Begitu pula halnya kebiasaan
nongkrong atau duduk dipinggir jalan hampir jadi tradisi serta hubungan
silaturrahmi pun jarang dilakukan.
Pengetahuan
tentang tata pergaulan adalah salah satu hal yang penting diketahui untuk
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, kepada sesama manusia umumnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana tata pergaulan?
2. Jelaskan tentang larangan
berdua-duaan tanpa mahram?
3. Jelaskan tentang Sopan santun duduk
di pinggir jalan ?
4. Jelaskan bagaimana cara menyebar
luaskan salam ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Pergaulan
Pergaulan adalah
salah satu cara seseorang untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Bergaul dengan
orang lain menjadi satu kebutuhan yang sangat mendasar, bahkan bisa dikatakan
wajib bagi setiap manusia yang “masih hidup” di dunia ini untuk mewujudkan
ukhwah Islamiyah.
Allah menciptakan kita dengan segala
perbedaannya sebagai wujud keagungan dan kekuasaan-Nya. Maka dari itu,
janganlah perbedaan menjadi penghalang kita untuk bergaul atau bersosialisasi
dengan lingkungan sekitar kita. . Tak ada yang dapat membedakan kita dengan
orang lain, kecuali karena ketakwaannya kepada Allah swt.[1]
2. Pandangan Islam Mengenai Pergaulan
Manusia
diharuskan untuk memelihara dua bentuk hubungan yaitu hubungan dengan Allah
(habluminallah) dan hubungan sesama manusia (habluminannas). Agama islam
menyeru dan mengajak kaum muslimin melakukan pergaulan diantara kaum muslimin.
Karena dengan pergaulan, kita dapat saling berhubungan mengadakan pendekatan
satu sama lain, bisa saling tunjang menunjang dan saling isi mengisi dalam
kebutuhan. Juga dengan pergaulan kita dapat mencapai sesuatu yang berguna untuk
kemaslahatan masyarakat yang adil dan makmur, dalam membina masyarakat yang
berakhlakul karimah. Kemaslahatan masyarakat yang dilandasi dengan akhlakul
karimah tidak akan terwujud kecuali dengan kebaikan pergaulan antara mereka.
Dalam kaitannya
dengan pergaulan, agama menetapkan rambu-rambu yang dapat memelihara umatnya
agar tidak terjerumus ke dalam lembah perzinaan. Larangan bagi yang bukan
mahram untuk berduaan, apalagi di tempat yang di duga dapat mengundang lahirnya
pelanggaran agama, merupakan salah satu contoh dari rambu pembatas itu. [2]
Akhlak Pergaulan
yang baik ialah melaksanakan pergaulan menurut norma-norma kemasyarakatan yang
tidak bertentangan dengan Hukum syara’, serta memenuhi segala hak yang berhak
mendapatkannya masing-masing menurut kadarnya.
Kita di galakan
untuk saling mengenali antara satu sama lain dan ini amat bertepatan dengan
firman Allah swt dalam surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi “wahai umat
manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan,
dan kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa bersuku pula, supaya kamu saling
kenal-mengenal.
A. Larangan
Berduaan Tanpa Mahram
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ
عَنْهُمَا، سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ
يَقُولُ: «لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ,
وَلَا تُسَافِرُ اَلْمَرْأَةُ إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ» فَقَامَ رَجُلٌ، فَقَالَ:
يَا رَسُولَ اَللَّهِ، إِنَّ اِمْرَأَتِي خَرَجَتْ حَاجَّةً، وَإِنِّي
اِكْتُتِبْتُ فِي غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: «اِنْطَلِقْ، فَحُجَّ مَعَ
اِمْرَأَتِكَ». ﴿مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ﴾
Artinya:
Ibnu Abbas ‘anhu, ia berkata: Saya mendengar Nabi şallaLlāhu ‘alaihi wasallam
berkhutbah seraya bersabda: “Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berduaan
dengan seorang wanita kecuali wanita itu disertai mahramnya. Dan seorang wanita
juga tidak boleh bepergian sendirian, kecuali ditemani oleh mahramnya.”
Tiba-tiba berdirilah seorang laki-laki dan bertanya, “Ya, Rasulullah,
sesungguhnya isteriku hendak menunaikan ibadah haji, sedangkan aku telah
ditugaskan pergi berperang ke sana dan ke situ; bagaimana ini?” Rasulullah
şallaLlāhu ‘alaihi wasallam pun menjawab: “Tunaikanlah ibadah haji bersama
isterimu.” (Şaĥīĥ Muslim )[3]
1.
Penjelasan Hadits
Larangan
tersebut, antara lain dimaksudkan sebagai batasan dalam pergaulan antara lawan
jenis demi menghindari fitnah. Dalam kenyataannya, di negara-negara yang
menganut pergaulan bebas, norma-norma hukum dan kesopanan merupakan salah satu
pembeda antara manusia dengan binatang seakan-akan hilang. Hal ini karena
kesenangan dan kebebasan dijadikan sebagai rujukan utama. Akibatnya, perzinahan
sudah bukan hal yang aneh, tetapi sudah biasa terjadi, bahkan di tempat-tempat
umum sekalipun. Kalau demikian adanya, apa bedanya antara manusia dengan
binatang ?
Oleh karena itu,
larangan Islam, tidak semata-mata untuk membatasi pergaulan, tetapi lebih dari
itu yaitu, untuk menyelamatkan peradaban manusia. Berduaan dengan lawan jenis
merupakan salah satu langkah awal terhadap terjadinya fitnah. Dengan demikian,
larangan perbuatan tersebut, sebenarnya sebagai langkah preventif (bersifat
mencegah) agar tidak melanggar norma-norma hukum yang telah ditetapkan oleh
agama dan yang telah disepakati masyarakat.
Adapun larangan
kedua, tentang wanita yang bepergian tanpa mahram, terjadi perbedaan pendapat
di antara para ulama. Ada yang menyatakan bahwa larangan tersebut sifatnya
mutlak. Dengan demikian, perjalanan apa saja, baik yang dekat maupun yang jauh,
harus disertai mahram. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan tersebut adalah
perjalanan jauh yang memerlukan waktu minimal dua hari. Ada pula yang
berpendapat bahwa larangan tersebut ditujukan bagi wanita yang masih muda-muda
saja, sedangkan bagi wanita yang sudah tua diperbolehkan, dan masih banyak
pendapat lainnya.
Sebenarnya,
kalau dikaji secara mendalam, larangan wanita mengadakan safar (perjalanan)
adalah sangat kondisional. Seandainya wanita tersebut dapat menjaga diri dan
meyakini tidak akan terjadi apa-apa. Serta merasa bahwa ia akan merepotkan
mahramnya setiap kali akan pergi. Maka perjalanannya dibolehkan. Misalnya pergi
untuk kuliah, kantor dan lain-lain. Namun demikian, lebih baik ditemani oleh
mahramnya, kalau tidak merepotkan dan menganggunya.
Dengan demikian,
yang menjadi standar adalah kemaslahatan dan keamanan. Begitu pula pergi haji,
kalau diperkirakan akan aman, apalagi pada saat ini telah ada petugas
pembimbing haji yang akan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kelancaran
para jamaah haji, maka seorang wanita yang pergi haji tidak disertai mahramnya
diperbolehkan kalau memang dia sudah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan
ibadah haji.
B.
Sopan santun duduk di pinggir jalan
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
لَنَا بُدٌّ مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا
الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّهُ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى
وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
Artinya:Dari
Abu Said Al Khudri RA dari Nabi Muhammad SAW, bahwasanya beliau bersabda,
"Janganlah kamu duduk-duduk dijalan!" Para sahabat bertanya, "Ya
Rasulullah, kami tidak mendapatkan tempat lain pengganti dari tempat
duduk-duduk kami. Bukankah kami hanya berbincang-bincang saja di sana?"
Rasulullah SAW menjawab, "Kalau kalian masih ingin duduk-duduk di sana,
maka berikanlah hak jalan.' Para sahabat bertanya, "Apakah hak jalan itu
ya Rasulullah?" Rasulullah SAW menjawab, "Memelihara pandangan mata,
mencegah kejahatan, menjawab salam, dan amr ma'ruf nahi munkar (memerintah
kebaikan dan mencegah kemungkaran)." {Muslim }[4]
1.
Penjelasan Hadits
Rasulullah SAW
melarang duduk di pinggir jalan, baik di tempat duduk yang khusus, seperti
diatas kursi, di bawah pohon, dan lain-lain. Sebenarnya larangan tersebut bukan
berarti larangan pada tempat duduknya, yakni bahwa membuat tempat duduk di
pinggir jalan itu haram. Terbukti ketika para sahabat merasa keberatan dan
berargumen bahwa hanya itulah tempat mereka mengobrol. Rasulullah SAW. pun
membolehkannya dengan syarat mereka harus memenuhi hak jalan, yaitu berikut
ini.
a.
Menjaga Pandangan Mata
Menjaga
pandangan merupakan suatu keharusan begi setiap muslim atau muslimat, sesuai
dengan perintah Allah SWT. Dalam
al-Qur'an :
قُل
لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا۟ مِنْ أَبْصَٰرِهِمْ وَيَحْفَظُوا۟ فُرُوجَهُمْ ۚ
ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا يَصْنَعُو
Artinya
: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".(Q.S.An-nur
ayat 30)
Hal itu tidak
mungkin dapat dihindari bagi mereka yang sedang duduk dipinggir jalan. Ini
karena akan banyak sekali orang yang lewat, dari berbagai usia dan berbagai
tipe. Maka bagi para lelaki jangalah memandang dengan sengaja kepada para
wanita yang bukan muhrim dengan pandanagan syahwat. Begitu pula, tidak boleh
memandang dengan pandangan sinis atau iri kepada siapa saja yang lewat.
Pandangan seperti tidak hanya akan melanggar aturan Islam. Tetapi akan
menimbulkan kecurigaan, persengketaan dan kemarahan dari orang yang
dipandangnya, apalagi begi mereka yang mudah tersinggung. Oleh karena itu,
mereka yang sedang duduk dipinggir harus betul-betul menjaga pandangannya.
b. Tidak Menyakiti
Tidak boleh
menyakiti orang-orang yang lewat, dengan lisan, tangan, kaki, dan lain-lain.
Dengan lisan misalnya mengata-ngatai atau membicarakannya, dengan tangan
misalnya melempar dengan batu-batu kesil atau benda apa saja yang akan
menyebabkan orang lewat sakit dan tersinggung, tidak memercikkan air, dan
lain-lain yang akan menyakiti orang yang lewat atau menyinggung perasaannya.
c.
Menjawab Salam
Menjawab salam
hukumnya adalah wajib meskipun mengucapkan- nya sunnat. Oleh karena itu, jika
ada yang mengucapkan salam ketika duduk dijalan, hukum menjawabnya adalah
wajib.
d.
Memerintahkan kepada Kebaikan dan Melarang kepada Kemungkaran.
Apabila sedang
duduk di jalan kemudian melihat ada orang yang berjalan dengan sombong atau
sambil mabuk atau memakai kendaraan dengan ngebut, dan lain-lain, diwajibkan
menegurnya atau memberinya nasihat dengan cara yang bijak. Jika tidak mampu,
karena kurang memiliki kekuatan untuk itu, doakanlah dalam hati supaya orang
tersebut menyadari kekeliruan dan kesombongannya.
Dari penjelasan
hadits tersebut memang di benarkan bahwa tidak bolek duduk-duduk di pinggir
jalan, sebab dapat menggagu orang yang lewat. Dan larang tersebut dimaksutkan
tidak boleh membuat tempat duduk di pinggir jalan. Serta dibolekan duduk-duduk
asalkan sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh Rasulullah.
C.
Menyebar luaskan salam
عَنْ سَيَّارٍ قَالَ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ
ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَحَدَّثَ
ثَابِتٌ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي مَعَ أَنَسٍ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ
عَلَيْهِمْ وَحَدَّثَ أَنَسٌ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ
Artinya:
Dari Sayyar, dia berkata, "Saya pernah berjalan bersama Tsabit Al Bunani
melewati anak-anak seraya mengucapkan salam kepada mereka." Tsabit
berkata, bahwasanya ia pernah berjalan bersama Anas melewati anak-anak dan Anas
pun mengucapkan salam kepada anak-anak. Anas berkata bahwasanya ia pernah
berjalan bersama Rasulullah SAW melewati anak-anak, kemudian beliau mengucapkan
salam kepada mereka." {Muslim }
1.
Penjelasan Hadits
Salam merupakan
salah satu identitas seorang muslim untuk saling mendoakan antara sesama muslim
setiap kali bertemu. Mengucapkan salam menurut kesepakatan ulama, hukumnya
adalah sunat mu’akkad. Firman Allah SWT di dalam Al-Quran:
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ
بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَا ۗ اِنَّ اللّٰهَ
كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا
Artinya:
“Apabila ada orang memberi hormat (salam) kepada kamu,balaslah hormat
(salamnya) itu dengan cara yang lebih baik, atau balas penghormatan itu (serupa
dengan penghormatannya). Sesungguhnya Tuhan itu menghitung segala
sesuatu.(Q.S.An-Nisa- 86)
Mengucapkan
salam tidak hanya disunnahkan ketika berjumpa dengan orang yang dikenal sahaja,
tetapi juga ketika bertemu dengan orang yang tidak dikenali,orang yang di dalam
kenderaan kepada yang berjalankaki, orang yang berjalan kepada yang duduk,
kelompok yang sedikit kepada yang ramai.
Bagi
permasalahan menjawab salam bagi orang bukan Islam, para ulama berpakat bahawa
menjawab salam Ahli Kitab dengan lafaz “wa’alikum”, jika sekiranya Ahli Kitab
tersebut memberi salam “al-samu’alaikum” atau ragu dengan apa yang dia katakan.
Manakala Ibnu Hajar menyatakan bahawa menjawab salam dzimmi adalah fardhu
kerana ayat menjawab salam itu berisi perintah menjawab salam secara umum.
Manakala tentang lafaz “assalamu’alaikum”, Ibn Qayyim berkata “menurut
dalil-dalil dan kaidah-kaidah syariat, jawaban kepadanya adalah “wa ‘alaika
al-salam” kerana ia termasuk sikap yang adil dan Allah juga memerintahkan perbuatan
yang baik.
BAB II
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan
tersebut dapat disimpulkan bahwasanya:
1.Larangan berduaan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram dan belum resmi menikah.
2.Larangan bepergian kecuali dengan
mahramnya.
3.Kemudian larangan duduk dipinggir
jalan, disini Rasulullah SAW, membolehkan dengan syarat harus memenuhi hak
jalan antara lain :
a. Menjaga pandangan mata
b.Menjawab salam
c. Memerintahkan kepada kebaikan dan
melarang kepada kemungkaran.
4.Salam, merupakan salah satu identitas
seorang muslim untuk saling mendoakan antar sesama muslim setiap kali bertemu.
DAFTAR
PUSTAKA
http://id. shvoong.
com/humanities/1775913-etika-pergaulan-menurut-islam/
Muhammad Quraish Shihab, Secercah Cahaya
Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007)
Nashiruddin
Al-Albani Muhammad. Shahih sunan ibnu majah, Jakarta, Ebook C reator, 2008 hal.
1991 no. 2467
Nashiruddin Al-Albani Muhammad.
Shahih sunan ibnu majah, Jakarta, Ebook C reator, 2008 hal. 1425 no. 20
[2]
Muhammad
Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi Hidup Bersama Al-Qur’an, (Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2007)
[3]
Nashiruddin
Al-Albani Muhammad. Shahih sunan ibnu majah, Jakarta, Ebook C reator, 2008 hal.
1991 no. 2467
[4]
Nashiruddin Al-Albani Muhammad. Shahih sunan ibnu majah,
Jakarta, Ebook C reator, 2008 hal. 1425 no. 20
Komentar
Posting Komentar