MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH TEORI SUMBER DAN LEGITIMASI KEKUASAAN SERTA PEMBATASAN KEKUASAAN

 TEORI SUMBER DAN LEGITIMASI KEKUASAAN SERTA PEMBATASAN KEKUASAAN

BY: GITA, DKK.


BAB I

PENDAHULUAN

 

1.        Latar Belakang

Pemisahan kekuasaan dalam arti amterial adalah pemisahan kekuasaan yang di pertahankan dengan jelas dalam tugas-tugas yudikatif. sedangkan pemisahan menurut formal adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tidak julas.

Dan legitimasi tidak dapat di pisahkan karena seseorang dapat memiliki wewenang, dengan terlebih dahulun memiliki legitimasi (kebebasan) dalam menentukan kebijakan untuk kepentingan lembaga.

Setiap negara haruslah mempunyai kekuasaan yang jelas. Sejak dulu teori-teori yang menggolongkan negara-negara berdasarkan legitimasi kekuasaannya sudah berkembang. Meskipun Indonesia telah menganut sistem pemerintahan yang demokratis, akan tetapi perlu juga dianalisa berdasarkan sejarah-sejarah dan teori-teori yang ada.

2.        Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud Teori Sumber Kekuasaan?

2.      Apa itu legitimasi Kekuasaan?

3.      Teori Pemisahan kekuasaan?

4.      Sifat pemisahan Kekuasaan negara?

3.        Tujuan

1.      Untuk Mengetahui Apa Itu Teori Sumber Kekuasaan

2.      Untuk Mengetahui Apa Itu Legitimasi Kekuasaan

3.      Untuk Mengetahui Apa Itu Pemisahan Kekuasaan

4.      Untuk Mengetahui Apa Itu Sifat Pemisahan Kekuasaan Negara

BAB II

PEMBAHASAN

A.     Teori Sumber Kekuasaan

Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aqunias, dan Marsilius.

Sementara menurut teori hukum alam, kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat seperti itu dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang di pelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan kekuasaan itu bersal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada di rakyat tersebut tidak lagi di anggap dari tuhan melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini di serahkan kepada seseorang, yang di sebut raja, untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.

Berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada raja tersebut, dalam teori hukum alam terdapat perbedaan pendapat. Menurut J. J. Rousseuau yang menyatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Mekanisme penyerahan tersebut dimulain dari masing- masing orang pada masyarakat sebagai satu kesatuan, kemudian melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Penyerahan kekuasaan di sini sifatnya brtingkat.[1]

Sedangkan menurut Thomas Hobbes, yang juga aliran teori hukum alam, penyerahan kekuasaan tersebut dari masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja melalui perjanjian masyarakat. Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui masyarakat dahulu baru diserahkan kepada raja.

 

a.       Alasan Seseorang/ Sekelompok Orang Memiliki Kekuasaan

             Sumber Kekuasaan Ada beberapa cara mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan.

1. Legitimate Power Legitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan.

2. Coersive Power Perolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional atau biasa disebut dengan kudeta.

 3. Expert Power Perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut.

4. Reward Power Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena berbagai pemberian. Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).

 5. Reverent Power Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala kemudian menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam mementukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.

B.     Legitimasi Kekuasaan

Legitimasi kekuasaan sebelum kita membahas apa itu legitimasi kekuasaan ada baiknya kita memahami apa yang di maksud dengan kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Max Weber dalam Frans Magnis-Suseno bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang di persoalkan disini adalah kekuasaan negara. Kekuasaan adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara itu disebut “otoritas” atau “wewenang”. Menurut Miriam budiardjo dalam Frans Magnis-Susano otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah. Terhadap wewenang itu muncul pertanyaan  tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap wewenang dapat di persoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunya dasar atau tidak.

 Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap wewenang. Artinya apakah masyarakat itu menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi, maksudnya legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik. secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhan legitimasi adalah kesesuain suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.

Objek dan tipe suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan mendapatkan keseluruhan mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga unsur-unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik sedangkan dalam arti sempit legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Menurut Easton dalam Ramlan Subakti terdapat tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan pemerintahan. Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima obyek legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan. [2]

Legitimasi subyek kekuasaan Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan:

a. Legitimasi religius Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khususnya penguasa.

 

 b. Legitimasi eliter Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi eliter dibagi menjadi empat macam yakni

1.       legitimasi aristoktratis

     secara tradisional satu golongan, kasta atau kelas dalam masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk memimpin, biasanya juga dalam kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu dengan sendirinya dianggap berhak untuk memimpin rakyat secara politis.

2.  legtimasi ideologis modern

legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu memiliki privilesi kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukannya.

 3. legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli

 berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat dizaman modern ini sedemikian canggih. 

C.     Teori Pemisahan Kekuasaan

Ajaran pembagian kekuasaan negara semakin mendapatkan tempat dalam praktek penyelenggaraan negara, dengan berbagai variasi dan dinamika yang menyertainya. Ketiga kekuasaan (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di tiap lembaga.[3]

a. Pemisahan Dan Pembagian Kekuasaan
           Istilah yang digunakan dalam bahasa indonesia sebagai penerjemahan konsep trias politika adalah pemisahan kekuasaan. Namun jika kita melihat pada pelaksanaan trias politika sebagai yang dicitakan ideal oleh Montesquieu di Inggris ternyata tiap-tiap kekuasaan tidak dapat terpisah. Akan lebih tepat jika konsep ini disebut sebagai pembagian kekuasaan. Sebab tak ada kekuasaan yang berdiri sendiri.

1.Teori Pembagian Kekuasaan

Teori pembagian kekuasaan yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai dokrin “Trias politika,” dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya L’esprit des lio. Dasar pemikiran doktrin trias politika sudah pernah dikemukakan oleh Aris toteles dan kemudian juga pernah dikembangkan oleh Jhon Locke. Dengan begitu ajaran ini bukan ajaran yang baru bagi Montesquieu. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai berikut.

a)      terciptanya masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena Montesquieu hidup dalam kondisi sosial dan politik yang tertekan di bawah kekuasaan raja Lodewijk XIV yang memerintah secara absolud.

b)       jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas adalah pemisahan antara kekuasaan legislatif denga kekuasaan exekutif. Montesquieu tidak membenarkan jika ke-dua fungsi berada di satu orang atau badan karena dikhawatirkan aan melaksanakan pemerintahan tirani.

c)      kekuasaan yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini dimaksudkan agar hakim dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutuskan perkara.

Ketiga kekuasaan tersebut, menurut montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai alat perlengkapannya.)

2.      Pembagian kekuasaan

Pembagian kekuasaan  (division of power) adalah pemisahan kekuasaan secara formal yaitu pemisahan kekuasaan yang mana tiap bagiannya tidak dibatasi pemisahannya secara tegas (masih memungkinkan fungsi bersama). Sedangkan pemisahan kekuasaan (separation of power) adalah pemisahan kekuasaan secara materiil, yaitu bagian-bagian yang dipisahkan secara jelas

1.      Teori“TriasPolitika” Montesquieu
Salah satu teori pemisahan kekuasaan dipopulerkan melalui ajaran Trias Politika Montesquieu. Dalam bukunya ”The Spirit of Laws” (1974) Montesquieu memberikan potret atas pemerintahan Inggris. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu:
a. Kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang-undang;
b. Kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan; dan
c. Kekuasaan Yudikatif atau kekuasaan untuk menghakimi.

Tiga poros kekuasaan di atas oleh Immanuel Kant, filsuf yang datang kemudian disebut sebagai Trias Politika. Pada hakikatnya, Trias Politika menghendaki kekuasaan-kekuasaan tersebut sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuatan oleh pihak yang berkuasa.

 

2.      Teori “Catur Praja”
          Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van Vollenhoven Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu:
1. Fungsi regeling (pengaturan)
2. Fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan)
3. Fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan
4.Fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan keamanan[4]

 

D.    Sipat Kekuasaan negara

Dalam kenyataan terlihat bahwa negara mempunyai yang sifatnya lain daripada kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi yang terdapat dalam masyarakat, seperti perkumpulan, :perkumpulan olah raga, musik dan lain-lain.

Kelainan sifat daripada kekuasaan negara ini tampak dalam kekuasaannya untuk menangkap, menahan, mengadili serta kemudian memasukkan orang kedalam penjara, kekuasaan negara untuk dengan kekerasan menyelesaikan suatu pemberontakan, kekuasaan negara untuk mengadakan milisi dan lain lain.

Berhubung dengan adanya kekuasaan yang luar biasa itu timbul pertanyaan : mengapa negara mempunyai kekuasaan yang luar biasa itu, sedangkan perkumpulan bisa tidak ? pertanyaan ini di jawab oleh Max Weber dalam bukunya “Wirschaft und Gesellschaft”, menyatakan bahawa hal itu di sebababkan karena negara itu mempunyai “ monopolie van het physiekegweld “ (monopoli dalam menggunakan kekuasaan fisik). Ada beberapa sifat dari teori teokrasi!

a.               Bersifat langsung

Kekuasaan dikembalikan pada raja dan tuhan  atau setidak tidaknya kepada raja sebagai”anak” dari tuhan (umpamanya tennoheika jepang sebelum kalah perang dunia II).

b.              Bersifat tak langsung

Kekuasaan dikembalikan kepada tuhan secara tidang langsung yaitu melalui raja dengan seizin tuhan, seperti ratu belanda yang memakai sebutan”  bij de gratie gods (raja atas perkenaan tuhan).[5]

BAB III

Kesimpulan

Asal atau sumber kekuasaan adalah dari tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengaha, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aqunias, dan Marsilius. Dan kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan itu. Dan kekuasaan berada di tangan rakyat dan dijalankan oleh presiden. Legitimasi ialah pengakuan dari rakyat.

DAFTAR FUSTAKA 

http://repositori.alauddin.ac.id. Dikutip pada tanggal 30 september 2021

http://repositori.unmuhjember.ac.id. Di kutip Pada tanggal 30 September 2021

Ghoffar, Abdul  Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia  Setelah Perubahan UUD            1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009)

Kansil, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sinar Grafika 1994)

 

 

 

 



[1] Abdul Ghoffar,  Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia  Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009),  hlm. 9.

[2] http://repositori.alauddin.ac.id. Dikutip pada tanggal 30 september 2021

[3] Ibit., 11                                                                                                                                   

[4] http://repositori.unmuhjember.ac.id. Di kutip Pada tanggal 30 September 2021

[5] Kansil, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sinar Grafika 1994), hlm, 85-86


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN