MAKALAH TEORI SUMBER DAN LEGITIMASI KEKUASAAN SERTA PEMBATASAN KEKUASAAN
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
TEORI SUMBER DAN LEGITIMASI KEKUASAAN SERTA PEMBATASAN KEKUASAAN
BY: GITA, DKK.
BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pemisahan
kekuasaan dalam arti amterial adalah pemisahan kekuasaan yang di pertahankan
dengan jelas dalam tugas-tugas yudikatif. sedangkan pemisahan menurut formal
adalah pembagian kekuasaan yang tidak dipertahankan secara tidak julas.
Dan legitimasi tidak dapat di pisahkan karena seseorang
dapat memiliki wewenang, dengan terlebih dahulun memiliki legitimasi
(kebebasan) dalam menentukan kebijakan untuk kepentingan lembaga.
Setiap negara haruslah mempunyai kekuasaan yang jelas. Sejak dulu teori-teori yang menggolongkan negara-negara berdasarkan legitimasi kekuasaannya sudah berkembang. Meskipun Indonesia telah menganut sistem pemerintahan yang demokratis, akan tetapi perlu juga dianalisa berdasarkan sejarah-sejarah dan teori-teori yang ada.
2.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Teori Sumber Kekuasaan?
2.
Apa itu legitimasi Kekuasaan?
3.
Teori Pemisahan kekuasaan?
4. Sifat pemisahan Kekuasaan negara?
3.
Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Apa Itu Teori Sumber Kekuasaan
2.
Untuk Mengetahui Apa Itu Legitimasi Kekuasaan
3.
Untuk Mengetahui Apa Itu Pemisahan Kekuasaan
4. Untuk Mengetahui Apa Itu Sifat Pemisahan Kekuasaan Negara
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori Sumber Kekuasaan
Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aqunias, dan Marsilius.
Sementara menurut teori hukum alam, kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat seperti itu dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang di pelopori oleh Johannes Althusius yang mengatakan kekuasaan itu bersal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada di rakyat tersebut tidak lagi di anggap dari tuhan melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini di serahkan kepada seseorang, yang di sebut raja, untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada raja tersebut, dalam teori hukum alam terdapat perbedaan pendapat. Menurut J. J. Rousseuau yang menyatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Mekanisme penyerahan tersebut dimulain dari masing- masing orang pada masyarakat sebagai satu kesatuan, kemudian melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Penyerahan kekuasaan di sini sifatnya brtingkat.[1]
Sedangkan menurut
Thomas Hobbes, yang juga aliran teori hukum alam, penyerahan kekuasaan tersebut
dari masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja melalui perjanjian
masyarakat. Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui masyarakat dahulu
baru diserahkan kepada raja.
a.
Alasan Seseorang/ Sekelompok Orang Memiliki Kekuasaan
Sumber Kekuasaan Ada beberapa cara mengapa seseorang atau sekelompok orang memiliki kekuasaan.
1. Legitimate Power Legitimate berarti penangkatan, jadi legitimate power adalah perolehan kekuasaan melalui pengangkatan.
2. Coersive Power Perolehan kekuasaan melalui kekerasan, bahkan mungkin bersifat perebutan atau perampasan bersenjata yang sudah tentu diluar jalur konstitusional atau biasa disebut dengan kudeta.
3. Expert Power Perolehan kekuasaan melalui keahlian seseorang, maksudnya pihak yang mengambil kekuasaan memang memiliki keahlian untuk memangku jabatan tersebut.
4. Reward Power Perolehan kekuasaan melalui suatu pemberian atau karena karena berbagai pemberian. Sebagai contoh bagaimana orang-orang kaya dapat memerintah orang-orang miskin untuk bekerja dengan patuh. Orang-orang yang melakukan pekerjaan tersebut hanya karena mengharapkan dan butuh sejumlah uang pembayaran (gaji).
5. Reverent Power Perolehan kekuasaan melalui daya tarik seseorang. Walaupun daya tarik tidak menjadi faktor utama mengapa seseorang ditentukan menjadi kepala kemudian menguasai keadaan, namun daya tarik seperti postur tubuh, wajah, penampilan dan pakaian yang parlente dalam mementukan dalam mengambil perhatian orang lain, dalam usaha menjadi kepala.
B. Legitimasi Kekuasaan
Legitimasi kekuasaan sebelum kita membahas apa itu legitimasi kekuasaan ada baiknya kita memahami apa yang di maksud dengan kekuasaan. Konsep kekuasaan menurut Max Weber dalam Frans Magnis-Suseno bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan itu”. Tetapi kekuasaan yang di persoalkan disini adalah kekuasaan negara. Kekuasaan adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang. Maka kekuasaan negara itu disebut “otoritas” atau “wewenang”. Menurut Miriam budiardjo dalam Frans Magnis-Susano otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak untuk menuntut ketaatan, jadi berhak untuk memberikan perintah. Terhadap wewenang itu muncul pertanyaan tentang apa yang menjadi dasarnya. Itulah pertanyaan tentang legitimasi atau keabsahan kekuasaan. Terhadap setiap wewenang dapat di persoalkan apakah wewenang itu absah atau tidak, apakah mempunya dasar atau tidak.
Konsep legitimasi berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap wewenang. Artinya apakah masyarakat itu menerima dan mengakui hak moral pemimpin untuk membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat masyarakat maka kewenangan itu dikategorikan sebagai berlegitimasi, maksudnya legitimasi merupakan penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap hak moral pemimpin untuk memerintah, membuat dan melaksanakan keputusan politik. secara etimologi legitimasi berasal dari bahasa latin “lex” yang berarti hukum. Kata legitimasi identik dengan munculnya kata-kata seperti legalitas, legal dan legitim. Jadi secara sederhan legitimasi adalah kesesuain suatu tindakan perbuatan dengan hukum yang berlaku, atau peraturan yang ada, baik peraturan hukum formal, etis, adat istiadat maupun hukum kemasyarakatan yang sudah lama tercipta secara sah.
Objek dan tipe suatu sistem politik dapat lestari apabila sistem politik secara keseluruhan mendapatkan keseluruhan mendapatkan dukungan, seperti penerimaan dan pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi diperlukan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi juga untuk unsur-unsur sistem politik yang ada. Yang menjadi obyek legitimasi bukan hanya pemerintah, tetapi juga unsur-unsur lain dalam sistem politik. Jadi legitimasi dalam arti luas adalah dukungan masyarakat terhadap sistem politik sedangkan dalam arti sempit legitimasi merupakan dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang berwenang. Menurut Easton dalam Ramlan Subakti terdapat tiga objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tidak hanya berlangsung secara terus menerus, tetapi mampu pula mentransformasikan tuntutan menjadi kebijakan umum. Ketiga obyek legitimasi itu meliputi: komunitas politik, rezim dan pemerintahan. Sementara Andrain menyebutkan lima objek dalam sistem politik yang memerlukan legitimasi agar suatu sistem politik tetap berlangsung dan fungsional. Kelima obyek legitimasi itu meliputi: masyarakat politik, hukum, lembaga politik, pemimpin politik dan kebijakan. [2]
Legitimasi subyek kekuasaan Legitimasi ini mempertanyakan apa yang menjadi dasar wewenang seseorang atau sekompok orang untuk membuat undang-undang dan peraturan bagi masyarakat dan untuk memegang kekuasaan negara. Pada prinsipnya terdapat tiga macam legitimasi subyek kekuasaan:
a. Legitimasi religius Legitimasi
yang mendasarkan hak untuk memerintah faktor-faktor yang adiduniawi, jadi bukan
pada kehendak rakyat atau pada suatu kecakapan empiris khususnya penguasa.
b. Legitimasi eliter Legitimasi yang mendasarkan hak untuk memerintah pada kecakapan khusus suatu golongan untuk memerintah. Paham legitimasi ini berdasarkan anggapan bahwa untuk memerintah masyarakat diperlukan kualifikasi khusus yang tidak dimiliki oleh seluruh rakyat. Legitimasi eliter dibagi menjadi empat macam yakni
1.
legitimasi aristoktratis
secara tradisional satu golongan, kasta atau kelas dalam
masyarakat dianggap lebih unggul dari masyarakat lain dalam kemampuan untuk
memimpin, biasanya juga dalam kepandaian untuk berperang. Maka golongan itu
dengan sendirinya dianggap berhak untuk memimpin rakyat secara politis.
2. legtimasi ideologis modern
legitimasi ini mengandaikan adanya suatu idiologis negara yang mengikat seluruh masyarakat. Dengan demikian para pengembangan idiologi itu memiliki privilesi kebenaran dan kekuasaan. Mereka tahu bagaimana seharusnya kehidupan masyarakat diatur dan berdasarkan monopoli pengetahuan itu mereka menganggap diri berhak untuk menentukannya.
3. legitimasi teknoratis atau pemerintahan oleh para ahli
berdasarkan argumentasi bahwa materi pemerintahan masyarakat dizaman modern ini sedemikian canggih.
C. Teori Pemisahan Kekuasaan
Ajaran pembagian kekuasaan negara semakin mendapatkan tempat
dalam praktek penyelenggaraan negara, dengan berbagai variasi dan dinamika yang
menyertainya. Ketiga kekuasaan (eksekutif, judikatif, dan legislatif) secara
ideal melakukan sinergi sehingga akan menciptakan pemerintahan yang demokratis
dan equal. Akan kurang tepat ketika kita memandang konsep trias politika
sebagai konsep pemisahan kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan penafsiran yang berbahaya ketika
masing-masing cabang kekuasan merasa mandiri dan dapat berubah menjadi
superioritas antar lembaga. Pada akhirnya akan menciptakan absolutisme baru di
tiap lembaga.[3]
1.Teori Pembagian Kekuasaan
Teori pembagian kekuasaan yang oleh
Immanuel Kant disebut sebagai dokrin “Trias politika,” dikemukakan oleh
Montesquieu dalam bukunya L’esprit des lio. Dasar pemikiran doktrin trias politika
sudah pernah dikemukakan oleh Aris toteles dan kemudian juga pernah
dikembangkan oleh Jhon Locke. Dengan begitu ajaran ini bukan ajaran yang baru
bagi Montesquieu. Secara garis besar ajaran Montesquieu sebagai berikut.
a)
terciptanya
masyarakat yang bebas. Keinginan seperti ini muncul karena Montesquieu hidup
dalam kondisi sosial dan politik yang tertekan di bawah kekuasaan raja Lodewijk
XIV yang memerintah secara absolud.
b)
jalan untuk mencapai masyarakat yang bebas
adalah pemisahan antara kekuasaan legislatif denga kekuasaan exekutif. Montesquieu
tidak membenarkan jika ke-dua fungsi berada di satu orang atau badan karena
dikhawatirkan aan melaksanakan pemerintahan tirani.
c)
kekuasaan
yudisial harus dipisah dengan fungsi legislatif. Hal ini dimaksudkan agar hakim
dapat bertindak secara bebas dalam memeriksa dan memutuskan perkara.
Ketiga kekuasaan tersebut, menurut
montesquieu, harus terpisah satu sama lain, mulai dari fungsi maupun mengenai
alat perlengkapannya.)
2.
Pembagian kekuasaan
Pembagian kekuasaan (division of power) adalah pemisahan kekuasaan secara formal yaitu pemisahan kekuasaan yang mana tiap bagiannya tidak dibatasi pemisahannya secara tegas (masih memungkinkan fungsi bersama). Sedangkan pemisahan kekuasaan (separation of power) adalah pemisahan kekuasaan secara materiil, yaitu bagian-bagian yang dipisahkan secara jelas
D. Sipat Kekuasaan negara
Dalam kenyataan terlihat bahwa negara mempunyai yang
sifatnya lain daripada kekuasaan yang dimiliki oleh organisasi yang terdapat
dalam masyarakat, seperti perkumpulan, :perkumpulan olah raga, musik dan
lain-lain.
Kelainan sifat daripada kekuasaan negara ini tampak dalam
kekuasaannya untuk menangkap, menahan, mengadili serta kemudian memasukkan
orang kedalam penjara, kekuasaan negara untuk dengan kekerasan menyelesaikan
suatu pemberontakan, kekuasaan negara untuk mengadakan milisi dan lain lain.
Berhubung dengan adanya kekuasaan yang luar biasa itu
timbul pertanyaan : mengapa negara mempunyai kekuasaan yang luar biasa itu,
sedangkan perkumpulan bisa tidak ? pertanyaan ini di jawab oleh Max Weber dalam
bukunya “Wirschaft und Gesellschaft”, menyatakan bahawa hal itu di sebababkan
karena negara itu mempunyai “ monopolie van het physiekegweld “ (monopoli dalam
menggunakan kekuasaan fisik). Ada beberapa sifat dari teori teokrasi!
a.
Bersifat langsung
Kekuasaan
dikembalikan pada raja dan tuhan atau
setidak tidaknya kepada raja sebagai”anak” dari tuhan (umpamanya tennoheika
jepang sebelum kalah perang dunia II).
b.
Bersifat tak langsung
Kekuasaan dikembalikan kepada tuhan secara tidang langsung yaitu melalui raja dengan seizin tuhan, seperti ratu belanda yang memakai sebutan” bij de gratie gods (raja atas perkenaan tuhan).[5]
BAB III
Kesimpulan
Asal atau sumber kekuasaan adalah dari tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengaha, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aqunias, dan Marsilius. Dan kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apapun dasar kemampuan itu. Dan kekuasaan berada di tangan rakyat dan dijalankan oleh presiden. Legitimasi ialah pengakuan dari rakyat.
DAFTAR FUSTAKA
http://repositori.alauddin.ac.id. Dikutip pada tanggal 30 september 2021
http://repositori.unmuhjember.ac.id. Di kutip Pada tanggal 30 September 2021
Ghoffar, Abdul Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2009)
Kansil,
Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sinar
Grafika 1994)
[1] Abdul
Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 Dengan Delapan
Negara Maju, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2009), hlm. 9.
[2] http://repositori.alauddin.ac.id.
Dikutip pada tanggal 30 september 2021
[3] Ibit., 11
[4]
http://repositori.unmuhjember.ac.id. Di kutip Pada tanggal 30 September 2021
[5] Kansil, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Sinar
Grafika 1994), hlm, 85-86
Komentar
Posting Komentar