MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM IBNU TAMIYAH

 MAKALAH

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI  ISLAM IBNU TAMIYAH

BY: CITRA, DKK.


BAB I

             PENDAHULUAN

Latar belakang masalah Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan masalah ekonomi yang mana melibatkan hubungan antar manusia dengan manusia lainnya, hubungan itu harus didasarkan pada norma-norma agama islam yang mengatur segala aspek kehidupan termasuk yang berkaitan dengan masalah mu’amalah. Dalam konteks, usaha mengembangkan sistem ekonomi islam, kita mencoba melihat sebuah konsep pemikiran yang sangat brilian pada waktu itu, sebagai inspirasi dan petunjuk. Untuk itu penulis mencoba menyampaikan pokok-pokok pikiran dari salah satu ulama yaitu: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang berkaitan dengan masalah ekonomi, meskipun jarak antara kita dan lahirnya beliau sangat jauh. Ia hidup pada akhir abad ke 7 dan awal abad ke 8 hijriah, dia memiliki ilmu pengetahuan yang sangat dalam tentang ajaran islam. Islam masa kini membutuhkan pandangan ekonomi yang jernih tentang apa yang diharapkan dan bagaimana sesuatu itu bisa dilakukan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan kebebasan dalam berusaha dan hak milik, yang dibatasi oleh hukum moral dan diawasi oleh negara yang adil dan mampu menegakkan hukum syari’at. Seluruh kegiatan ekonomi dibolehkan, kecuali yang secara tegas dilarang oleh syari’at.

  

BAB II

     PEMBAHASAN

A.     RIWAYAT HIDUP

Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya adalah Ahmad Taqi al-Din Abu al-‘Abbas bin Syinab ad-Din Abdul al-halim bin Abdul as-Salim bin ‘Abdi Allah.Beliau lahir pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awal tahun 661 H atau bertepatan dengan 22 Januari 1262 M di Harran dekat Damaskus. Dia menggantikan posisi ayahnya sebagai guru dan khatib di masjid-masjid sekaligus mengawali karirnya yang controversial dalam kehidupan masyarakat. Ia termasuk seorang yang populer, tajam perasaannya, berpikir dan bersikap bebas, setia kepada kebenaran, piawi dalam berpidato, penuh keberanian dan ketekunan, lebih dari itu ia mempunyai semua persyaratan yang mengantarkan kepada pribadi yang luar biasa.[1]

Ibnu Taimiyah lahir dari kalangan keluarga terhormat dan disegani pada zamannya. Keluarga yang tergolong sangat terpelajar dan islami. Ayahnya Syihab al-Din ‘Abd halim bin Abd al-‘Alam (627-682 H) adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di masjid Agung Damaskus. Ia bertindak sebagai khatib dan imam besar di masjid tersebut serta sekaligus sebagai guru dalam mata pelajaran tafsir dan hadits as-Sukhariyah, salah satu lembaga pendidikan Islam yang bermazhabkan Hambali, sangat maju dan bermutu waktu itu. Ibnu Taimiyah termasuk salah seorang pelajar lembaga pendidikan tersebut.[2]

Kakek Ibnu Taimiyah terkenal alim, yang bernama Syekh Majd al-Din Abi Barakah ‘Abd al-Salim bin ‘Abd Allah (590-652 H), ia adalah seorang mufassir, muhaddits, ushuli fiqih, nahwi dan musharmif. Sedangkan paman ibnu Taimiyah dari pihak bapak al-Khatb fakhr al-Din, adalah seorang cendikiawan muslim populer dan pengarang yang produktif pada zamannya. Dan adik laki-laki Ibnu Taimiyah juga termasuk ahli dalam ilmu waris, ilmu pasti (al-riyadiyyah) dan ilmu hadits.[3]

Ibnu Taimiyah sendiri sejak kecil sudah menunjukkan ciri-ciri dan sikap-sikap positif untuk tumbuh menjadi alim besar. Seperti digambarkan oleh Dr.Muhammad Amin:

“Ibnu Taimiyah sendiri sejak kecil dikenal sebagai anak yang mempunyai kecenderungan otak luar biasa, tinggi kemampuan dan kemauan dalam studi, tekun dan cermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin beramal shaleh, rela berkorban dan sikap berjuang untuk jalan kebenaran”.


B.     PEMIKIRAN EKONOMI

Ibnu Taimiyah membahas pemikiran ekonomi dalam dua buku, yaitu: al-Hisbah fi al-Islam (Lembaga Hisbah dalam Islam) dan al-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’iyah (Hukum Publik dan Privat dalam Islam). Dalam buku pertama, ia banyak membahas tentang pasar dan intervensi pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Dalam buku kedua, ia membahas pendapatan dan pembiayaan publik.

 

1.      Harga Yang Adil, Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga

a.      Mekanisme Harga Yang Adil

Mekanisme harga adalah proses yang berjalan atas dasar gaya tarik menarik antara konsumen dan produsen baik dari pasar output (barang) ataupun input (faktor-faktor produksi). Adapun harga diartikan sebagai sejumlah uang yang menyatakan nilai tukar suatu unit benda tertentu.[4]

Ada dua tema yang sering kali ditemukan dalam pembahasan Ibnu Taimiyah tentang masalah harga, yakni kompensasi yang setara/adil (‘iwad al-mitsl) dan harga yang setara/adil (tsaman al-mitsl). Dia berkata; “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan itulah esensi dari keadilan (nafs al-‘adl)”[5]

‘Iwad al-mitsl adalah penggantian sepadan yang merupakan nilai harga yang setara dari sebuah benda menurut adat kebiasaan. Kompensasi yang setara tanpa ada tambahan dan pengurangan, disinilah esensi dari keadilan. Sedang tsaman al-mitsl adalah nilai harga dimana orang-orang menjual barangnya dapat diterima secara umum sebagai hal yang sepadan dengan barang yang dijual itu ataupun barang-barang yang sejenis lainnya di tempat dan waktu tertentu.

Keadilan yang dikehendaki oleh Ibnu Taimiyah berhubungan dengan prinsip la dharar yakni tidak melukai dan tidak merugikan orang lain. Maka dengan berbuat adil akan mencegah terjadinya kezaliman. Konsep Ibnu Taimiyah tentang kompensasi yang adil dan harga yang adil, memiliki dasar pengertian yang berbeda.[6]

Dalam mendefinisikan “kompensasi yang setara”, Ibnu Taimiyah berkata: “yang dimaksud kesetaraan adalah kuantitas dari objek khusus dalam penggunaan secara umum (‘urf). Itu juga berkait dengan nilai dasar (rate / si’r) dan kebiasaan”. Lebih dari itu ia menambahkan: “evaluasi yang benar terhadap kompensasi yang adil didasarkan atas analogi dan taksiran dari barang tersebut dengan barang lain yang setara (ekuvalen)”. Inilah benar-benar adil dan benar-benar diterima dalam penggunaannya.[7]

Permasalahan kompensasi yang adil, muncul ketika membongkar masalah moral dan kewajiban hukum (berkaitan dengan kepemilikan barang). Adapun prinsip-prinsip itu berkaitan dengan kasus-kasus berikut:[8]

a.       Ketika seseorang bertanggung jawab terhadap luka atau rusaknya orang lain, terhadap hak milik (amwal), keperawanan dan keuntungan (manafi)

b.      Ketika seseorang mempunyai kewajiban membayar kembali barang atau profit yang setara atau membayar ganti rugi atas terlukanya salah satu bagian dari anggota tubuhnya

c.       Ketika seseorang dipertanyakan telah membuat kontrak tidak sah ataupun kontrak yang sah pada peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan maupun hak milik.

Jadi yang melatarbelakangi adanya konsep kompensasi yang adil tersebut disebabkan oleh adanya praktek ketidakadilan yang terjadi pada masa itu, dimana kesetaraan terhadap ganti rugi tidak diberlakukan sebagaimana mestinya, maka dengan melihat kondisi tersebut, Ibnu Taimiyah memberikan perbedaan yang signfikan antara kompensasi yang adil dengan harga yang adil. Dan agaknya, konsep kompensasi yang adil ini merupakan sebuah pedoman bagi masyarakat dan para hakim dalam melaksanakan tugasnya di pengadilan.

Ibu Taimiyah membedakan antara soal legal-etik dengan aspek ekonomi dari harga yang adil. Ia menggunakan istilah kompensasi yang setara ketika menelaah dari sisi legal etik dan harga yang setara ketika meninjau dari aspek ekonomi. Sebuah konsep yang dilatar belakangi oleh hukum dan moral, maka Ibnu Taimiyah mengemukakan konsep kompensasi yang setara berdasarkan aturan moral yang sangat tinggi.[9]

Kompensasi yang adil muncul dari adat kebiasaan dalam hal menilai harga suatu benda. Sedangkan harga yang adil timbul karena adanya aktivitas permintaan dan penawaran terhadap nilai harga benda. Adapun persamaannya, sama-sama memakai konsep keadilan, yang mana harus didasarkan pada kesepakatan dan persetujuan antara kedua belah pihak dengan tidak adanya unsur merugikan pihak lain.

 

b.      Mekanisme Pasar

Pasar dalam pengertian ilmu ekonomi adalah pertemuan antara permintaan dan penawaran. Dalam pengertian ini, pasar bersifat interaktif, bukan fisik. Adapun mekanisme pasar adalah proser penentuan tingkat harga berdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Pertemuan antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) dinamakan equilibrium price (harga seimbang).[10]

Ibnu Taimiyah juga memiliki pandangan tentang pasar bebas, dimana suatu harga dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Ia mengatakan;

“naik turunnya harga tak selalu berkait dengan penguasaan (zulm) yang dilakukan oleh seseorang. Sesekali alasannya adalah karena adanya kekurangan dalam produksi atau penurunan impor dari barang-barang yang diminta. Jadi, jika kebutuhan terhadap jumlah barang meningkat, sementara kemampuan menyediakannya menurun, harga dengan sendirinya akan naik. Disisi lain, jika kemampuan penyediaan barang meningkat dan permintaan menurun, harga akan turun. Kelangkaan dan kelimpahan tak mesti diakibatkan oleh perbuatan seseorang. Bisa saja berkaitan dengan sebab yang tidak melibatkan ketidakadilan. Atau sesekali bisa juga disebabkan oleh ketidakadilan. Maha besar Allah, yang menciptakan kemauan pada hati manusia”.[11]

Dari pernyatan diatas terdapat indikasi kenaikan harga yang terjadi disebabkan oleh perbuatan ketidakadilan atau zulm para penjual. Perbuatan ini disebut manipulasi yang mendorong terjadinya ketidak sempurnaan pasar. Tetapi pernyataan ini tidak bisa disamakan dalam segala kondisi, karena bisa saja alasan naik dan turunnya harga disebabkan oleh kekuatan pasar. Tampaknya ada kebiasaan yang terjadi di zaman Ibnu Taimiyah, kenaikan harga terjadi akibat ketidakadilan atau malpraktek dari para penjual, sehingga kata yang digunakan adalah zulm, yang berarti pelanggaran hukum atau ketidakadilan.

Ibnu Taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi lokal dan import barang-barang yang diminta (ma yukhlaq aw yujlab min dzalik al-mal al-matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap barang tertentu, ia mengguanakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. Perubahan dalam supply digambarkannya sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang disebabkan oleh dua faktor, yakni produksi lokal dan impor.[12]

 Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas menunjuk pada apa yang kita kenal sekarang sebagai perubahan fungsi penawaran dan permintaan, yakni ketika terjadi peningkatan permintaan pada harga yang sama dan penurunan pada harga yang sama atau sebaliknya, penurunan permintaan pada harga yang sama dan pertambahan persediaan pada harga yang sama. Apabila terjadi penurunan persediaan disertai dengan kenaikan permintaan, harga-harga dipastikan akan mengalami kenaikan, dan begitu pula sebaliknya.[13]

Namun demikian, kedua perubahan tersebut tidak selamanya beriringan. Ketika permintaan meningkat sementara persediaan tetap, harga-harga akan mengalami kenaikan. Ibnu Taimiyah menjelaskan,

“Apabila orang-orang menjual barang dagangannya dengan cara yang dapat diterima secara umum tanpa disertai dengan kezaliman dan harga-harga mengalami kenaikan sebagai konsekuensi dari penurunan jumlah barang (qillah al-syai), atau peningkatan jumlah penduduk (katsrah al-khalaq), hal ini disebabkan oleh Allah SWT”.[14]  

Pernyataan Ibnu Taimiyah di atas tampaknya menggambarkan perubahan secara terpisah. Penurunan barang dengan kata lain adalah jatuhya penawaran. Sedangkan meningkatnya penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan, karena itu bisa dikatakan sebagai naiknya permintaan. Naiknya harga karena jatuhnya supply atau naiknya permintaan, dalam kasus itu dikarakteristikkan karena Allah SWT, mengindikasikan bahwa mekanisme pasar itu merupakan kondisi alamiah.

Ibnu Taimiyah memberikan penjelasan yang rinci tentang beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan dan konsekuensinya. Berikut faktor-faktor tersebut:[15]

a.       Permintaan masyarakat (al-ragabah) yang sangat bervariasi (people’s desire) terhadap barang. Faktor ini tergantung pada jumlah barang yang tersedia (al-matlub). Suatu barang akan semakin disukai jika jumlahnya relatif kecil (scarce) daripada yang banyak jumlahnya.

b.      Tergantung kepada jumlah orang yang membutuhkan barang (demander/consumer/tullab). Semakin banyak jumlah peminatnya, semakin tinggi nilai suatu barang.

c.       Harga juga dipengaruhi oleh kuat lemahnya kebutuhan terhadap suatu barang, selain juga besar dan kecilnya permintaan. Jika kebutuhan terhadap suatu barang kuat dan berjumlah besar, maka harga akan naik lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika kebutuhannya lemah dan sedikit.

d.      Harga juga akan bervariasi menurut kualitas pembeli barang tersebut (al-mu’awid). Jika pembeli merupakan orang kaya dan terpercaya (kredibel) dalam membayar kewajibannya, maka kemungkinan ia akan memperoleh tingkat harga yang lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak kredibel (suka menunda kewajiban atau mengingkarinya).

e.       Tingkat harga juga dipengaruhi oleh jenis uang yang digunakan sebagai alat pembayaran. Jika menggunakan jenis mata uang yang umum dipakai, maka kemungkinan harga relatif lebih rendah jika dibandingakan dengan menggunakan mata uang yang tidak umum atau kurang diterima secara luas.

f.        Hal di atas dapat terjadi karena tujuan dari suatu transaksi haruslah menguntungkan penjual dan pembeli. Jika pembeli memiliki kemampuan untuk membayar dan dapat memenuhi semua janjinya, maka transaksi akan lebih mudah atau lancar dibandingkan dengan jika pembeli tidak memiliki kemampuan membayar dan mengingkari janjinya. Tingkat kemampuan dan kredibilitas pembeli berbeda-beda. Hal ini berlaku bagi pembeli maupun penjualnya, penyewa dan yang menyewakan, dan siapa pun juga. Obyek dari suatu transaksi terkadang (secara fisik) nyata atau juga tidak nyata. Tingkat harga barang yang lebih nyata (secara fisik) akan lebih rendah dibandingkan dengan yang tidak nyata. Hal yang sama dapat diterapkan untuk pembeli yang kadang-kadang dapat membayar karena memiliki uang, tetapi kadang-kadang mereka tidak memiliki uang cash dan ingin meminjam. Harga pada kasus yang pertama kemungkinan lebih rendah daripada yang kedua.

g.       Kasus yang sama dapat diterapkan pada orang yang menyewakan suatu barang. Kemungkinan ia berada pada posisi sedemikian rupa, sehingga penyewa dapat memperoleh manfaat dengan tanpa tambahan biaya apapun. Akan tetapi, kadang-kadang penyewa tidak dapat memperoleh manfaat ini jika tanpa tambahan biaya, seperti yang terjadi di desa yang dikuasai penindas atau oleh perampok, atau di suatu tempat diganggu oleh binatang-binatang pemangsa. Sebenarnya, harga sewa tanah seperti itu tidaklah sama dengan harga tanah yang tidak membutuhkan biaya-biaya tambahan ini.[16]

 

c.       Regulasi Harga

Regulasi harga adalah pengaturan terhadap harga barang-barang yang dilakukan oleh pemerintah. Regulasi ini bertujuan untuk memelihara kejujuran dan kemungkinan penduduk biasa memenuhi kebutuhan pokoknya.[17]

Ibnu Taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan harga yang dilakukan pada saat kenaikan harga-harga terjadi akibat persaingan pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikan demand (peningkatan jumlah penduduk).[18]

a.       Pasar yang Tidak Sempurna

Pada kondisi terjadinya ketidak sempurnaan pasar[19] , Ibnu Taimiyah merekomendasikan penetapan harga oleh pemerintah. Misalnya dalam kasus dimana komoditas kebutuhan pokok yang harganya naik akibat adanya manipulasi atau perubahan harga yang disebabkan oleh dorongan-dorongan monopoli. Maka dalam keadaan seperti inilah, pemerintah harus menetapkan harga yang adil bagi penjual dan pembeli.[20]

Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus ini penguasa harus menetapkan harga (qimah al mitsl) terhadap transaksi antara penjual dan pembeli. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya dalam menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.[21]

Walaupun menentang keras praktik monopoli, Ibnu Taimiyah mempersilakan orang-orang membeli barang- barang dari pelaku monopoli, karena jika hal ini dilarang, masyarakat akan bertambah menderita. Salah satu cara yang efektif menurut Ibnu Taimiyah adalah penetapan harga oleh pemerintah.[22]

Ibnu Taimiyah menentang peraturan yang berlebihan ketika kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif, dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna. Ibnu Taymiyah merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang normal, padahal orang- orang membutuhkan barang ini, maka penjual diharuskan untuk menjualnya pada tingkat ekuivalen. Secara kebetulan, konsep ini bersinonimdengan apa yang disebut harga adil. Lebih jauh, bila ada elemen-elemen monopoli (khususnya dalam pasar bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya), maka pemerintah harus turun tangan melarang kekuatan monopoli.[23]

b.      Musyawarah untuk Menetapkan Harga

Otoritas pemerintah dalam melakukan pengawasan harga harus dirundingkan terlebih dahulu dengan penduduk yang berkepentingan. Tentang ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan sebuah metode yang diajukan pendahulunya, Ibnu Habib, bahwa pemerintah harus menyelenggarakan musyawarah dengan para tokoh perwakilan dan pasar. Yang lain juga diterima hadir, karenanya mereka harus diperiksa keterangannya. Setelah melakukan perundingan dan penyelidikan tentang transaksi jual beli, pemerintah harus secara persuasif menawarkan ketetapan harga yang didukung oleh para peserta musyawarah, juga penduduk semuanya. Jadi keseluruhannya harus sepakat dengan hal itu.[24]

Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan:

“Imam (penguasa) harus menyelenggarakan musawarah dengan para tokoh yang merupakan wakil dari para pelaku pasar (wujuh ahl suq). Anggota masyarakat lainnya juga dipperkenankan menghadiri musyawarah tersebut sehingga dapat membuktikan pernyataan mereka. Setelah melakukan musyawarah dan penyelidikan terhadap transaksi jual beli mereka, pemerintah harus meyakinkan mereka pada suatu tingkat harga yang dapat membantu mereka dan masyarakat luas, hingga mereka menyetujuinya. Harga tersebut tidak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka”.[25]

 Jadi jelas agaknya, bahwa pemikiran Ibnu Taimiyah sangat memperhatikan keadaan pasar, bagaimana sikap pemerintah dalam mengawasi harga yang beredar dipasaran, penyelidikan, maupun menetapkan harga. Dalam kondisi ketidak sempuranaan pasar, maka pemerintah dianjurkan untuk mengadakan pengawasan terhadap harga yang beredar. Namun syarat dan ketentuan juga dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, bahwa dalam mengadakan pengawasan, penyelidikan, maupun penetapan harga, harus dilakukan dengan musyawarah, dan seluruh oknum yang terkait harus menyepakati dari hasil musyawarah tersebut.

Dalam kitabnya al-hisbah, penetapan harga diperlukan untuk mencegah manusia menjual makanan dan barang lainnya hanya kepada kelompok tertentu dengan harga yang ditetapkan sesuai keinginan mereka. Oleh karena itu, regulasi harga (fixed price policy) sangat mempermudah usaha mikro dalam menghadapi menipulasi pasar yang umumnya dilakukan oleh pengusaha besar. Kebijakan ini sering digunakan oleh pemerintah untuk melindungi sektor usaha mikro dari kehancuran.[26]

 

2.      Uang dan Kebijakan Moneter

a.      Karakteristik dan Fungsi Uang

Secara khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagian pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda, Ia menyatakan:

“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur milai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui: dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri”.[27]

 Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas yaitu:[28]

1)      Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan.Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam.

2)      Komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp.100.000,00 yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama.

3)      Komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa.

Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.[29]

Berdasarkan pandangan tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalih fungsikan uang dari tujuan yang sebenarnya.[30]  Jika uang harus ditukar dengan uang, maka pertukaran tersebut harus lengkap (taqabud) dan tanpa ada jeda (hulul). Jika dua orang saling bertukar uang, yang salah satu di antara mereka membayar dengan kontan sementara yang lain berjanji akan membayarnya nanti, maka orang pertama tidak dapat menggunakan uang yang dijanjikan dalam transaksi tersebut sampai ia benar-benar dibayar. Hal ini menyebabkan orang pertama kehilangan kesempatan menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Itulah alasan Ibnu Taimiyah ketika menentang jual beli uang.[31]

 

b.      Pencetakan Uang Sebagai Alat Tukar Resmi

Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksitransaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut:[32]

“Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka”.

Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat- sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut.

 

c.       Mata Uang Yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang Yang Baik

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia mengambarkan hal ini sebagai berikut :

“Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsiknya mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulakan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur”.[33]

Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang akan terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama disbanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran nilai mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.[34]

Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan.

Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi, akibatnya peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil.[35]

 

BAB III

          PENUTUP

A.     Kesimpulan

Ibnu Taimiyah merupakan salah satu ulama yang banyak memberikan pemikiran dalam bidang ekonomi. Hal ini dilatarbelakangi karena pada saat Ibnu Taimiyah hidup, ia berada dalam situasi sosio-ekonomi yang kurang stabil karena keadaan politik yang sedang bergejolak, dimana banyak terjadi kebijakan pemerintah yang kurang menghiraukan aspek kemaslahatan umat. Di antara kebijakan tersebut adalah pencetakan mata uang yang mempunyai nilai bahan dasar yang melebihi dari harga mata uang tersebut, sehingga banyak masyarakat yang menjadikan uang untuk dilebur dan dijual batangan. Pencetakan uang juga tidak melihat kebutuhan masyarakat terhadap uang tersebut sebagai alat transaksi, dan banyak praktik jual beli uang yang menurut Ibnu Taimiyah mengandung unsur spekulasi yang mendekati judi.

Dalam melihat pasar, ia mengakui bahwa mekanisme harga dan mekanisme pasar pada dasarnya adalah sunnatullah, yaitu terjadi di luar setting seseorang atau pemerintah, bahkan pemerintah tidak berhak menetapkan kebijakan harga dalam mekanisme pasar yang terjadi secara alami. Hanya ketika terjadi pasar yang tidak sempurna, dimana permintaan terlalu tinggi sedang supplai barang terbatas, pemerintah melarang prakik monopoli dan menimbun kebutuhan yang diperlukan masyarakat, terutama kebutuhan hidup yang pokok bagi masyarakat. Dalam kasus ini, pemerintah berwenang menggunakan kebijakannya untuk menstabilkan harga dengan jalan musyawarah oleh semua pihak, baik para penjual dan pembeli serta aktivis “pasar”.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Pustaka Asatruss, 2005,    Cet. 1

Azwar Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja      Grafindo   Persada, 2006, Ed. 3

Chamid, Nur, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka        Pelajar, 2010, Cet. 1

Gibb, H. R. dan J. H. Kramers, “Ibnu Taimiyah”, dalam Shorter Encyclopaedia of   Islam, Standford J. Shaw dan William R. Polk, ed., Leiden: E. J. Brill, 1961

Islahi, Abdul Azim, Economic Concepts of Ibnu Taimiyah, London: Islamic    Foundation, 1988

L. Stoddard, Dunia Baru Islam, terj. Tudjimah dkk., Jakarta: Panitia Penerbit Dunia       Baru Islam, 1966

Misanan, Munrokhim, dkk., Text Book Ekonomi Islam, Yogyakarta: Direktorat          Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan         Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII)

Taimiyah, Ibnu. MajmuFatawa Syaikh al-Islam. Riyadh: Matabi’ al-Riyadh, 1963

---------------- al-Hisbah fi al-Islam. Kairo: Dar al Sha’b, 1976



[1]Kahlid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam: Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintah. Terjemah Masrohi, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995) hal. 20         

[2]Muhammad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyyah dalam Bidang Fiqih Islam, (Jakarta: INS, 1991) Seri INS 9. hal. 7-8

[3]Ibid. hal. 11

[4]Euis Amalia,  Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005), Cet.1,, hal. 167

[5]Ibnu Taimiyah, Majmu’ , Op. Cit., Vol. 29, hal. 521

[6]Ibid., hal. 520

[7]Loc.Cit.

[8]Umarudin, M, Ibnu Taimiyah: Pemikiran dan Pembaharuan dalam Buku Mihrajan Ibnu Taimiyah, hal. 725-726., lihat juga dalam, Nur Chamid, Op.cit., hal. 233

[9]Ibnu Taimiyah, Majmu’ , Loc.Cit., Vol. 29, hal. 521

[10]Nur Chamid, Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. 1., hal. 230

[11]Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, (Riyadh: Matabi’ al-Riyadh, 1963), Vol. 8 hal. 583

[12]Adiwarman Azwar Karin, Sejarah Pemikira...Op.Cit., hal. 364-365

[13]Ibid., hal,366

[14]Ibnu Taimiyah, al-Hisbah fi al-Islam (Kairo: Dar al Sha’b, 1976), hal. 24

[15]Ibnu Taimiyah, Majmu’ ,Op.Cit., Vol. 29, hal. 523-525

[16]Munrokhim Misana dkk., Text Book Ekonomi Islam, (Yogyakarta:Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia DPbS BI & Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII, 2007), hal. 155-156

[17]Adiwarman Azwar Karim, Op.cit., hal. 172

[18]Ibid., hal. 368

[19]Ibnu Taimiyah, al-Hisbah. Op.Cit., hal. 25-26

[20]Nur Chamid, Op.cit., hal. 236

[21]Ibnu Taimiyah, al-Hisbah. Loc.Cit., hal. 26

[22]Ibnu Taimiyah, Majmu’ , Op.Cit., Vol. 29, hal. 240

[23]Munrokhim Misanan dkk, Op.cit., hal. 161

[24]Ibid., hal. 165, lihat juga dalam, Euis Amalia, Op.cit., hal. 175

[25]Ibnu Taimiyah, al-Hisbah. Op.Cit., hal. 41

[26]Euis Amalia, Ibid., hal. 175-176

[27]Ibnu Taimiyah, Majmu’ , Op.Cit., Vol. 29, hal. 472

[28]Nur Chamid, Op.cit., hal. 239

[29]Ibid., hal. 239-240

[30]Ibid., hal. 373-374

[31]Abdul Azim Islahi, Op.cit., hal. 140-141

[32]Nur Chamid, Op.cit., hal. 240

[33]Ibnu Taimiyah, Majmu’, Op.Cit., Vol. 29, hal.469

[34]Loc.Cit., hal. 376

[35]Nur Chamid, Op.cit., hal.244-245

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL