MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH ISLAM KONTEMPORER


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejak masa klasik, dinamika pemikiran dan gerakan islam selalu dipengaruhi oleh konfigurasi politik penguasa. Artinya ada pemikiran dan gerakan menjadi ”mazhab” penguasa dan sebaliknya, ada yang dilarang bahkan dibrangkus dega menjaga “stabilitas”. Mengamati dinamika pemikiran dan gerakan islam di Indonesia sangat menarik karena ada sejumlah paradoks dan gesekan yang cukup tajam terutama pasca reformasi sehingga dengan bergulirya era reformasi membutuhkan pembacaan ulang terhadap pemikiran dan gerakan islam indonesia, karena berbagai pemikiran dan gerakan islam yang pada mulanya terbungkam oleh kekuatan orde baru kembali muncul dan berusaha membangkitkan kembali romantisme masa lalu. Dari sinilah muncul berbagai kekuatan pemikiran dan gerakan islam, baik islam politik maupun islam kultural sehingga membentuk farien yang sangat beragam. Berbagai farian pemikiran dan gerakan keislaman diindonesia sebenarnya bisa ditelusuri akar-akarnya secara jelas sehingga dapat dipetakkan menjadi dua arus peikiran yang sangat dominan yakni literalisme dan liberalisme.
Perkembangan islam di Indonesia memiliki mata rantai yang cukup berliku. Sementara islam di nusantara ini memiliki kompleksitas persoalan, dan dari sini islam hadir dengan membawa wajah tatanan baru dalam masyarakat yang tidak terbentur dengan realitas sosial, budaya, tatanan politik dan tradisi keagamaan.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Apa pengertian Islam Kontemporer ?
2.    Apa Hal-hal yang memepengaruhi islam kontemporer?
3.    Apa aliran islam kontemporer?
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Islam Kontemporer
Pengertian Islam secara  bahasa artinya damai, selamat, tunduk, dan bersih. Kata Islam terbentuk dari tiga huruf, yaitu S (sin), L (lam), M (mim) yang bermakna dasar “selamat” (Salama). Sedangkan Kontemporer artinya dari masa atau waktu ke waktu.[1]
Menurut istilah, islam kontemporer adalah gagasan untuk mengkaji islam sebagai nilai alternatif baik dalam perspektif interprestasi, tekstual maupun kajian kontekstual mengenai kemampuan islam memberikan solusi bari kepada temuan-temuan disemua dimensi kehidupan dari masa lampau hingga sekarang.

B.       Hal-Hal Yang Memepengaruhi Islam Kontemporer
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metodo pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam.
Peta pemikiran Islam kontemporer di Indonesia sesungguhnya tidak terlepas dari perkembangan Islam kontemporer di dunia Islam Umumnya. Hal ini disebabkan karena paraintelektual muslim Indonesia banyak belajar di Negara-negara Islam modern dan juga Negara-negara Barat. Oleh karena itu, pemikiran Islam kontemporer di Indonesia yang dilakukan olehkaum intelektual muslimnya terjadi elaborasi pemikiran antara pemikiran Islam kontemporeryang berasal dari jazirah Arab dan pemikiran Islam kontemporer yang dikembangkan oleh paraIslamolog yang ada di Universitas-universitas di Barat.


 Lukman Hakim, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia; Membaca Masa Depan Gerakan Islam di Indonesia Sebenarnya, perkembangan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia tidak lepas dariupaya mereka dalam menafsirkan kembali Islam (baca: Al-Qur‟ân). Menurut Dawam Rahardjo, kegiatan intelektual di dunia Islam dewasa ini dikuasai oleh sekitar lima tema sentral, yaitu: Pertama, “interpretasi kembali Al-Qur‟an”
Salah satu latar belakang gagasan interpretasikembali Al-Qur‟an adalah keinginan untuk melakukan rekonstruksi terhadap ajaran-ajaran Islamsebagai dasar pembinaan suatu masyarakat modern. Pendekatan yang diambil adalah mencariesensi-esensi ajaran Islam itu sendiri atau menggali nilai-nilai yang paling fundamental. Darititik tolak inilah disusun teori-teori baru atau konsep-konsep baru di berbagai bidang, misalnyatentang masyarakat, negara, ekonomi, pendidikan, sosiologi, lingkungan hidup, bahkan tentang bidang-bidang yang lebih sempit, seperti administrasi. Tokoh-tokohnya di antaranya adalah K.H.Imam Ghozali dari Solo, K.H. Maksum dari Yogya, K.H. Moenawar Cholil sendiri yangmenerbitkan buku berjudul “Kembali kepada Al-Qur‟an dan as-Sunnah”
Pada tahun 1956.Kemudian T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy yang menggagas fiqih baru dan menyusun tafsir (TafsirAl-Bayân dan Tafsir An-Nûr). Tokoh lainnya adalah Buya Hamka (tokoh Muhammadiyah) yangmenulis Tafsir Al-Azhar, dan Ustadz A. Hassan Bandung (tokoh Persis) yang menulis Tafsir Al-Furqan. Tema kedua, adalah “aktualisasi tradisi”.
Tema ini cenderung sebagai reaksi terhadaptema pertama ( Interpretasi Kembali Al-Qur‟ân). Penganjur tema ini bermaksud juga untukmelakukan pembaharuan pemikiran. Tapi menurut tema ini, pembaharuan hendaknya jangandilakukan dengan membuat garis demarkasi dengan Islam sejarah. Pembaharuan bukan harus berarti berimplikasi berputus dengan sejarah, melainkan justru bertolak dari warisan sejarah.
Tokoh terpenting yang mengusung tema “aktualisasi tradisi” di antaranya adalah Mohammad Natsir yang mengungkapkan kembali kebudayaan Islam klasik pada akhir dasawarsa 30-an.Kemudian Nurcholis Madjid yang menghidangkan kembali fragmen-fragmen pemikiran parafilsuf muslim masa lalu. Tema ketiga adalah“Islamisasi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi”.
Gagasan ini awalnya dikembangkan oleh Ismail Raji al-Faruqi yang telah menulis sebuah karyamonumental yang berjudul
The Cultural Atlas of Islam pada tahun 1986. Inti daripada gagasanIslamisasi ini adalah memberikan esensi peradaban Islam modern dengan nilai-nilai tauhid.Gagasan Islamisasi itu sendiri sebenarnya telah dicetuskan secara formal dalam suatu seminarinternasional tahun 1982 di Islamabad, di mana Ismail Raji Al-Faruqi adalah aktorintelektualnya. Gema gerakan Islamisasi ini juga masuk ke Indonesia. Salah satu tokohnyaadalah A.M. Saefuddin yang mencoba mengislamisasikan pemikiran ekonomi. Tema keempat adalah mempunyai kaitan tertentu dengan ide Islamisasi maupun interpretasi kembali Al-Qur'an.Tema ini barangkali hanya terdengar di Idonesia, melalui suara K.H. Abdurrahman Wahid (GusDur), Ketua Dewan Syura PKB dan mantan Ketua PBNU, yaitu tema

C.      Aliran Atau Pemikiran Islam Kontemporer
1.      Metode Berfikir Kaum Salaf
Di dalam memahami ‘aqidah Islam baik dengan berdialog dan berdiskusi banyak ragam metode yang dipakai oleh semua aliran ‘aqidah di dalam Islam, diantaranya aliran Mu’tazillah yang menempuh dengan metode falsafi yang ditiru dari logika Yunani. Dalam penggunaan metode ini mereka juga didampingi oleh Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
Kaum salaf datang menentang penggunaan metode tersebut dan menginginkan agar pengkajian ‘aqidah kembali pada prinsip-prinsip yang dipegang oleh para sahabat dan tabi’in. Mereka mengambil prinsip-prinsip ‘aqidah dan dalil-dalil yang mendasarinya al-Qur’an dan Sunnah, serta melarang ulama untuk mempertanyakan dalil-dalil al-Qur’an.
Ibnu Taimiyah yang merumuskan metode pemahaman ini membagi ulama dalma memahami ‘aqidah Islam ke dalam empat kategori, yaitu:
1.         Para Filosof. Mereka mengatakan bahwa al-Qur’an datang dengan metode instruksional dan premis-premis yang dapat diterima masyarakat. Mereka menegaskan bahwa diri mereka adalah lelompok pakar di bidang argumentasi da keyakinan, sedang metode ‘aqidah adalah argumentasi dan keyakinan.
2.         Para pakar ilmu Kalam, yaitu Mu’tazilah. Mereka mengemukan berbagai kesimpulan yang rasional sebelum mengadakan penalaran terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Mereka berpegang pada dua argumentasi tetapi mendahulukan rasional daripada al-Qur’an. mereka menta’wilkannya sesuai dengan tuntutan akal, sekalipun mereka tidak keluar dari ‘aqidah al-Qur’an.
3.         Ulama yang mengadakan penalaran terhadap ‘aqidah yang terdapat di dalam al-Qur’an untuk diimani, dan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya untuk digunakan. Dalil-dalil itu digunakan bukan karena merupakan dalil yang memberikan petunjuk dan bimbingan yang mengarahkan akal untuk berbagai premis disekitarnya, melainkan karena merupakan sejumlah ayat formatif yang isinya wajib diimani, tanpa menjadikannnya sebagai premis bagi istinbath ‘aqli. Ibnu Taimiyah meletakkan Maturidiyah pada kategori ini, karena Maturidiyah mempergunakan akal untuk memahami ‘aqidah yang terdapat dalam al-Qur’an.
4.         Kelompok yang beriman kepada al-Qur’an, baik ‘aqidah maupun dalilnya, tetapi mempergunakan dalil rasional di samping dalil al-Qur’an itu. Ibnu Taimiyah memasukkan Asy’ariyyah ke dala kategori ini.
Setelah pembagian ini Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa metode Salaf bukanlah salah satu dari empat kategori di atas, karena ‘aqidah dan dalilnya hanya dapat diambil dari nash. Mereka itulah kelompok yang tidak percaya pada akal, sebab akal dapat menyesatkan. Mereka hanya percaya pada nash dan dalil-dalil yang diisyaratkan dari nash, sebab ia merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi. Mereka juga menegaskan bahwa berbagai pola pemikiran rasional itu merupakan hal yang baru dalam Islam yang tidak pernah dikenal secara pasti di kalangan para sahabat dan tabi’in. bila kita mengatakan bahwa metode rasional merupakan kebutuhan primer untuk memahami ‘aqidah Islam, maka konsekuensinya kaum Salaf itu tidak dapat memahami ‘aqidah sesuai dengan yang diharapakan dan tidak dapat menjangkau dalil-dalil nash secara optimal.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa Salaf berpendapat bahwa tidak ada jalan untuk memahami ‘aqidah dan hukum-hukum dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, baik dari segi i’tiqad maupun istidal-nya kecuali dari al-Qur’an dan Sunnah yang menjelaskannnya. Apa yang ditegaskan al-Qur’an dan diterangkan oleh Sunnah harus diterima, tidak boleh tidak boleh ditolak guna menghilangkan keragu-raguan. Akal manusia tidak mempunyai otoritas dalam menta’wilkan al-Qur’an, meng-interpretasikan-nya, atau men-takhrij-nya, kecuali sekedar yang ditunjukkan oleh berbagai susunan kalimat al-Qur’an dan yang terkandung dalam berbagai hadis. Bila sesudah itu akal mempunyai otoritas, maka hal itu hanya berkenaan dengan pembenaran dan kesadaran, menegaskan kedekatan hal yang manqul (tersebut dalam dalil naqli) dengan yang rasional, dan tidak ada pertentangan antara keduanya. Akal hanya menjadi bukti, bukan pemutus. Ia menjadi penegas dan penguat, bukan pembatal atau penolak. Ia menjadi penjelas terhadap dalil-dalil yang terkandung dalam al-Qur’an.
Inilah metode Salaf, yaitu menempatkan akal berjalan di belakang dalil naqli, mendukung dan menguatkannya. Akal tidak berdiri sendiri untuk dipergunakan menjadi dalil, tetapi ia mendekatkan makna-makna nash.
2.      Gerakan Islam Moderat
Saat ini,  Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Islam masuk ke wilayah Nusantara tergolong paling akhir dibandingkan dengan kawasan lainnya seperti Persia, Asia Tengah dan Eropa. Paham keagamaan yang diajarkan dan kemudian dianut oleh mayoritas penduduk adalah ahlus sunnah waljamaah, sebuah paham moderat. Secara harfiyah, ahlu sunnah wal jama’ah adalah penganut sunnah, tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dan kesepakatan para ulama. Watak moderasi (washatiyah) yang dimiliki oleh faham ini baik dalam sistem keyakinan (aqidah), syari’ah maupun praktik akhlak/tasawuf sesuai dengan corak kebudayaan masyarakat Indonesia.
Dinamika perkembangan ahlu sunnah wal jama’ah (Aswaja), awalnya dinilai akomodatif terhadap tradisi lama (local tradition), kemudian berkembang mengikuti trend pemurnian (puritanisme) sehingga corak Islam terlihat semakin murni dari unsur-unsur lokal. Pemurnian ajaran ASWAJA dari anasir lokal dan tradisi lama dimulai dengan apa yang disebut organisasi dan gerakan modernis, yang tetap bersandar pada kaidah berfikir madzhab ahlu sunnah wal jamaah. Kelangsungan dan perubahan pemahaman dan perubahan paham Aswaja berjalan damai, kecuali dalam beberapa kasus seperti pertentangan antara “kaum tua” versus “kaum muda” di awal abad ke XX dan radikalisme serta terorisme di awal abad XXI.
Sejarah Indonesia dimulai sejaknya tumbuhnya kesadaran sebagai bangsa terjajah dan berkeinginan untuk merdeka, bebas dari dominasi bangsa lain. Kesadaran tersebut dimulai sejak kehadiran bangsa-bangsa Barat pada abad 16 yang kemudian mendapat perlawaan dari Kesultanan Samodra Pasai dan Demak di Malaka pada tahun 1511. Perlawanan terhadap Barat terus berlangsung sampai tercapainya kemerdekaan. Sejumlah tokoh perlawanan muncul dari Aceh sampai Sulawesi. Sultan Hasanudin (Sulawesi), Sultan Agung (Mataram), Sultan Ageng Tirtoyoso (Banten), Sultan Badarudin (Palembang), Pangeran Diponegoro (Jawa), Imam Bonjol (Sumatera)  Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Teuku Cik Di Tiro (Aceh). Penderitaan sebagai bangsa terjajah inilah yang melahirkan semangat nasonalisme bagi bangsa Indonesia.[2]
Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan mengalami perubahan strategi, dari perlawanan fisik ke politik. Lagi-lagi umat Islam menjadi pelopornya, peraang digantikan dengan gerakan social, ekonomi dan politik. Dimulai dengan gerakan Sarikat Dagang Islam pada tahun 1905 yang kemudian berubah menjadi gerakan politik, Syarikat Islam (1912).[3]
Gerakan social pendidikan dimulai oleh  Muhammadiyah (1912), dan pada tahun 1926 lahir Nahdhatul Ulama. Organisasi Islam lainnya juga bergerak dalam bidang social dan pendidikan tersebar di berbagai wilayah. Mathla’ul Anwar (Banten,1916), Perikatan Umat Islam (PUI) sebelumnya bernama Persyarikatan Oelama pada tahun 1916. Persatuan Islam (Bandung, 1923), Persatuan Tarbiyah Islamiyah ( Sumatera Barat, 1930), Al Khairat (Palu, Sulawesi, 1930) dan Al Jamaatul Wasliyah  ( Medan, 1930) dan Nahdhatul Wathan (Nusa Tenggara Barat, 1937). Organisasi Islam yang berdiri pada era colonial tersebut sampai sekarang masih berkembang adalah penganut paham washatiyah (moderat) atau yang disebut Ahus Sunnah wal Jama’ah. Organisasi politik satu-satunya, Syarikat Islam memiliki corak radikal, terutama setelah diinfiltrasi oleh kelompok sosialis democrat yang kemudian berkembang menjadi Partai Komunis Indonesia. Setelah diterapkan disiplin partai, kaum komunis dikeluarkan dari Syarikat Islam, gerakan politik umat kembali ke jalan moderat.
3.      Islam  Liberal
Islam liberal mempunyai makna kebebasan Tnpa batas,atau bahkan di setrakan dengan sikap permisif (ibahiyah),yaitu sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas yang pasti.Dengan cara pandang seperti itu, Islam liberal di pandang sebagai ancaman terhadap keberagamaan yang sudah terlembaga.[4]
Dalam Islam persoalan batasan antara mana yang boleh dan yang tidak boleh menempati kedudukan yang sentral.Setiap islam selalu peduli dengan apa yang dia kerjakan, apakah perbuatan itu boleh atau tidak.Inilah yang kemudian melahirkan suatu bidang kajian yang sangat kaya dan meninggalkan ribuan literature yang canggih yaitu bidang Fikih.Setiap pembicaraan tentang hukum selalu saja merujuk kepada Fikih.Ketika muncul diskusi yang ramai tentang hukum islam,maka Fikih menjadi nfokus perhatian,sebab dalam Fikih lah sebagian besar hukum di rumuskan.
Dalam diskusi – diskusi itu,tekanan di berikan kepada “kewajiban”,yaitu kewajiban muslim terhadap Allah, sesame manusia, dan dirinya sendiri.
Islam liberal muncul untuk menyeimbankan neraca antara bahasa kewajiban dn kebebasan / hak ini.Tujuan pokok dari agama adalah mengankat martabat kemanusiaan.Fokus pertama dalam agama adalah manusia itu sendiri, bukan semata-mata Tuhan.Suatu kesalahan besar anggapan bahwa tugas pkok
Manuia adalah menyembah Tuhan.Pandangan ini bersumber dari pemahan yang salah atas ayat “wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liyak’budun”.Dan tidak Aku ciptakan manusia kececuali untuk menyembah-Ku.ayat ini jika di pahami dalam keranka popoler yang cendrung anti-humanistik, yang tidak lain agama itu dalah penundukan manusia.manusia seolah-olah ancaman bagi tuhan  sehingga harus di tundukan.Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno.Pandangan popular yang berkembang di kalangan umat islam mengenai ayat tersebut cendrung kepada suatu citra manusia sebagaui Prometheus.
Prometheus versi islam adalah Prometheus yang kalah oleh kehendak TuhanIni jelas suatu citraan yang tidak sesuai dengan semangat Islam.
Penyembahan adalah sebentuk hubungan antara Allah dan manusia sebagai hubungan “I-it”, “aku dan  dia”.Allah dalam keranka penyembahan semacam itu, telah “di bendakan”. Allah yang di sembah adalah Allah yang di berhalakan, yang di fiksasi dalam gambaran yang tetap seperti “Idol”.Kata libebral dalam “Islam Liberal” tidak ada sankut pautnya dengan ‘kebebasan tanpa batas”[5]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pemikiran Islam kontemporer maksudnya adalah pemikiran Islam yang berkembang pada masa modern (abad 19 masehi) hingga sekarang. Ciri khas pemikirannya adalah bersifat agresif yang berkembang dengan metodo pemikiran baru dalam menafsirkan Al-Qur’an dan peradaban Islam.
Manuia adalah menyembah Tuhan.Pandangan ini bersumber dari pemahan yang salah atas ayat “wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liyak’budun”.Dan tidak Aku ciptakan manusia kececuali untuk menyembah-Ku.ayat ini jika di pahami dalam keranka popoler yang cendrung anti-humanistik, yang tidak lain agama itu dalah penundukan manusia.manusia seolah-olah ancaman bagi tuhan  sehingga harus di tundukan.Pandangan mengenai manusia sebagai Prometheus yang berseteru dengan Tuhan hanyalah ada dalam mitos Yunani kuno.Pandangan popular yang berkembang di kalangan umat islam mengenai ayat tersebut cendrung kepada suatu citra manusia sebagaui Prometheus.



DAFTAR PUSTAKA
Mu’arif. 2005. Muslim Liberal (Membidik Pemikiran Ahmad Wahib). Yogyakarta : Tajidu Press
Syamsuddin Arif. 2008. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta : Gema Insani Pres
Universitas Pendidikan Indonesia:Bandung tahun 2010. Hal. 5-6.
Akhmal. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Palembang IAIN Raden Patah Press.2005).




[1] Syamsuddin Arif.. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Gema Insani Pres Jakarta 2008. Hal. 87
[2] Universitas Pendidikan Indonesia Bandung tahun 2010. Hal. 5-6.
[3] Akhmal. Kapita Selekta Pendidikan Islam (Palembang IAIN Raden Patah Press.2005). Hal. 99
[4] Mu’arif. Muslim Liberal (Membidik Pemikiran Ahmad Wahib). Tajidu Press Yogyakarta 2005. Hal. 56.

<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL