BAB I
PENDAHULUAN
Masa sebelum Islam, khususnya kawasan
jazirah Arab, disebut masa jahiliyah. Julukan semacam ini terlahir
disebabkan oleh terbelakangnya moral masyarakat Arab khususnya Arab pedalaman
(badui) yang hidup menyatu dengan padang pasir dan area tanah yang gersang. Mereka
pada umumnya hidup berkabilah dan nomaden. Bangsa Arab sebelum lahirnya Islam dikenal sebagai bangsa yang sudah
memiliki kemajuan ekonomi. Makkah pada waktu itu merupakan kota dagang bertaraf
internasional. Hal ini diuntungkan oleh posisinya yang sangat strategis karena
terletak di persimpangan jalan penghubung jalur perdagangan dan jaringan bisnis
dari Yaman ke Syiria.
Secara umum, bangsa arab pra Islam
terbagi dalam dua kelompok besar; Bangsa ‘Aribah dan Bangsa Muta’aribah. Bangsa
‘Aribah mendiami wilayah Yaman dan terdiri dari beberapa kabilah. Mereka adala
keturunan ari Qahthan yang dalam kitab Taurat disebut Yaqzan. Selama ratusan
tahun lamanya, Bangsa ‘Aribah pernah berjaya yang melahirkan kebudayaan dan
peradaban tinggi di zamannya. Bangsa ‘Aribah sudah mampu mengolah pertanian
mereka dengan sistem irigasi, disamping ahli dalam seni ukir, ahli dalam ilmu
nujum, memiliki angkatan perang yang tangguh, dan mengadakan hubungan perniagaan
dengan negara-negara tetangga.
Sedangkan Bangsa Muta’aribah adalah
keturunan dari Nabi Ismail as. Mereka mendiami kawasan Hijaz, yakni sebelah
utara dari daerah yang didiami Bangsa ‘Aribah. Mereka dinamakan Bangsa
Muta’aribah kaena nenek moyang mereka yang pertama, Nabi Ismail as. tidak berbahasa
asli arab, melainkan berbahasa Ibrani dan Suryani. Menurut catatan sejarah,
kedatangan Nabi Ismail ke Arab berawal ketika beliau bersama ibunya, Siti
Hajar, dibawa oleh bapaknya, Nabi Ibrahim as. ke Mekah lalu menetap di sana.
Nabi Ismail dan Siti Hajar berbaur bersama penduduk setempat, yakni kabilah
Jurhum.
Dari kabilah Jurhum inilah Nabi Ismail menenal bahasa Arab, dan setelah dewasa
menikah dengan salah seorang gadis keturunan kabilah tersebut. Dari pernikahan
itu, Nabi Ismail dikaruniai dua belas orang anak yang di kemudian hari menjadi
cikal-bakal keturunan Quraisy.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kebudayaan
Arab Pra Islam
Wahyu yang diturunkan Allah Swt pada hakekatnya membawa tiga
misi reformatif, yakni teologis, ritual dan sosial. Reformasi teologis ditujukan
untuk menegaskan kembali ajaran iman yang benar menurut al-Qur’an, yaitu
tauhid. Reformasi ritual ditujukan untuk mengajak manusia agar mewujudkan iman
secara benar dalam penyembahan yang benar pula, karena orang bisa memiliki
keyakinan yang benar, tetapi tidk tahu bagaimana mengekspresikan kebenaran itu.
Reformasi sosial ditujukan untuk mengembalikan kehidupan manusia pada hakekat
kemanusiaan. Pada bagian ini, digambarkan situasi masyarakat Arab menjelang
lahirnya islam, dengan penekanan khusus pada aspek politik, ekonomi,
sosial,agama dan sastra. Dengan mengkaji aspek-aspek itu maka akan jelas bahwa
Islam lahir dalam suasana politik yang didominasi oleh dua kekuatan raksasa,
Sasania (Persia) di Timur dan Bizantium (Romawi) di Barat.
1. Politik
Sebagaimana dikemukakan diatas bahwa
Arab pra-Islam didominasi oleh dua kerajaan besar, yaitu Bizantium dan Persia.
Dua kerajaan tersebut selalu bertikai memperebutkan daerah kekuasaan. Dari
sekian daerah kekuasaan yang ada, hanya Hijaz yang tidak dijajah oleh kedua
kerajaan besar tersebut. Karena Hijaz merupakan daerah tandus yang terbentang
seperti rintangan, bagian dari jazirah Arab, terletak diantara dataran tinggi
Nejd dan daerah pantai Tihamah. Disini terdapat tiga kota utama, yaitu Taif,
dan dua kota bersaudaraan Mekkah dan Madinah. Penduduknya terdiri dari bangsa
Arab dan bangsa Yahudi. Bangsa Arab hanya bisa loyal ke
kabilahnya. Oleh karena itu, mereka tidak akan tunduk ke sebuah kekuatan
politik di luar kabilahnya yang menjadikan mereka tidak mengenal konsep negara,
serta para pemimpinnya (amir) yang menjalankan politik “non-blok”. Dengan sikap politiknya yang seperti ini,
justru negara-negara asing menaruh hormat terhadap bangsa Arab saat itu.
Hubungan seperti itu dicatat dalam sejarah, misalnya perjanjian perdagangan
yang dibuat amir Mekkah dengan penguasa Yaman, Yamamah, Tamin, Ghassaniah,
Hirah, Syam (Suriah), dan Ethopia. Selain pusat pemerintahan di kota-kota, mereka
juga tersebar dalam pemerintahan lokal di gurun-gurun pasir.
Isi perjanjian itu menyatakan bahwa
perdagangan yang dilakukan di Mekkah harus mengindahkan ketertiban pelaksanaan
ibadah, terutama pada bulan-bulan haram, yakni 4 bulan dari tanggal 10 Dzulhijjah
sampai 10 Rabi’ul Akhir. Perjanjian itu juga menyebabkan bahwa para amir Mekkah
tidak boleh mencampuradukkan persoalan politik yang timbul akibat persaingan
negara disekitar Arab. Disebutkan juga bahwa sebagai imbalan dari perhatian
terhadap ketentuan itu, para pedagang Mekkah, diberikan kebebasan mengimpor
komoditas dari Afrika, Yaman, India, dan China. Ketika itu keadaan masyarakat
sangat rapuh. Antar suku saling berperang hanya karena persoalan kecil. Perang
antara Bani Bakar dan Bani Taghlib, yang berlangsung selama 40 tahun, terjadi
akibat persoalan sepele, yaitu saling mengejek dalam ajang pacuan kuda Dahis
(jantan) dan kuda Ghabra (betina). Demikian pula perang Bu’ath
yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj. Pertikaian itu terjadi dibawah
pengaruh Romawi Timur Byzantium yang sangat membenci orang-orang Yahudi, karena
mereka yakin bahwa kaum Yahudi lah yang telah menyiksa dan menyalib Isa
al-Masih. Setelah lelah berperang mereka mengundang Nabi Muhammad untuk datang
ke Yathrib sebagai pendamai dintara mereka.
Dengan demikian, jelas bahwa Arab
pra-Islam menjalankan politik non-blok yang tidak memihak kepada salah satu
kekuatan raksasa (Persia-Bizantium), sehingga sistem perdagangan mereka lancar
dan tidak mengalami kendala. Disamping itu, berkaitan dengan pemilihan pemimpin
atau kepala suku, sebenarnya bangsa Arab sudah memiliki nilai-nilai demokratis
yang ditandai dengan dipraktikannya Syura (musyawarah) dalam pemilihan
pemimpin. Mereka memilih pemimpin yang adil, bijaksana, dan menekankan
senioritas serta pengalaman berdasarkan kesepakatan bersama. Menurut Husaini
paling tidak seorang pemimpin harus berumur minimal 40 tahun. Pada saat itu
masyarakat Arab telah memiliki dua lembaga permusyawaratn yaitu, al-Mala’ (DPR)
dan Nadi al-Qaum (MPR).
2. Ekonomi
Sebagian
besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang
terkenal subur dan bahwa ia terletak di daerah strategis sebagai lalu lintas
perdagangan. Ia terletak di tengah-tengah dunia dan jalur-jalur perdagangan
dunia. Oleh karena itu, perdagangan merupakan andalan bagi kehidupan
perekonomian bagi mayoritas negara-negara di daerah-daerah ini. Perekonomian
orang Arab pra-Islam yang sangat bergantung pada perdagangan daripada
peternakan apalagi pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang
tangguh. Mereka juga sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk
bepergian jauh ke negeri-negeri tetangga. Selain itu, Mekkah juga yang
terletak di dalam lembah yang dikelilingi oleh bukit-bukit barisan yang hampir
menutupinya, memiliki sejarah panjang sebagai pusat agama (penyembahan berhala)
Mekkah tempat letaknya Ka’bah Baitullah selalu didatangi oleh berbagai suku
dari berbagai penjuru Jazirah Arab sekali dalam setahun pada bulan-bulan suci
untuk haji. Kehadiran pengunjung ini mmberikan keuntungan ekonomi bagi penduduk
yang mereka peroleh dari pengunjung tersebut. Mekkah sebagai pusat perdagangan
menjadi kota transit perdagangan Timur-Barat. Jalan kelur masuk dari dan ke
Mekkah melalui tiga jalur, yaitu sebelah selatan menuju Yaman, sebelah utara
menuju Yastrib, Palestina dan Suria, dan sebelah barat menuju Laut Merah dan
Jeddah.
200 tahun sebelum kenabian Muhammad (610 M), masyarakat Arab
sudah mengenal peralatan pertanian semi-modern seperti alat bajak, cangkul,
garu dan tongkat kayu untuk menanam. Penggunaan hewan ternak seperti unta,
keledai, dan sapi jantan sebagai penarik bajak dan garu serta pembawa tempat
air juga sudah dikenal. Mereka telah mampu membuat bendungan raksasa yang
dinamakan al-Ma’arib. Mereka juga telah mengenal teknik penyilangan
pohon tertentu untuk mendapat bibit unggul. Ada tiga sistem yang dipakai
pemilik ladang atau sawah untuk mengelola pertanian mereka. Pertama, sistem
sewa menyewa dengan emas atau logam, gandum, dll sebagai alat pembayarannya.
Kedua, sistem bagi hasil produk, misalnya separuh untuk pemilik dan separuh
untuk penggarap, dengan bibit dan ongkos dari pemilik. Ketiga, sistem pandego,
seluruh modal datang dari pemilik, sementara pengairan, pemupukan dan
perawatannya oleh penggarap.
Masyaraka Arab juga telah lama mengenal perdagangan bukan
saja dengan sesama Arab, tetapi juga dengan non-Arab. Kemajuan perdagangan
bangsa Arab pra-Islam dimungkinkan karena pertanian yang telah maju. Kemajuan
itu ditandai adanya kegiatan ekspor impor yang mereka lakukan. Para pedagang
Arab selatan dan Yaman pada 200 tahun menjelang Islam datang, telah mengadakan
transaksi dengan India (Asia Selatan sekarang), negeri pantai Afrika, sejumlah
negeri Teluk Persia, Asia Tengah, dan sekitarnya. Komoditas ekspor Arab selatan
dan Yaman adalah dupa, kemenyan, kayu gaharu, minyak wangi, kulit binatang,
buah kismis, dan anggur. Sedangkan yang mereka impor dari Afrika adalah kayu,
bulu burung unta, logam, badak, dari Hindia adalah gading, sutra, pakaian dan
pedang, rempah-rempah dan dari Persia adalah intan. Para pedagang menjual
komoditas itu kepada konglomerat, pejabat, tentara dan keluarga penguasa ,
karena komoditas tersebut mahal. Mereka membayar dengan koin yang terbuat dari
perak, emas atau logam.
3. Sosial
Secara garis besar, kondisi sosial masyarakat Arab waktu
dahulu bisa dikatakan merosot dan lemah (jahiliyah), kebodohan dan kegelapan
mewarnai segala aspek kehidupan, kurafat tidak bisa lepas, manusia hidup
layaknya binatang, wanita diperlakukan seperti benda mati dan
diperjualbelikan. Sebelum Islam lahir, penghuni Jazirah Arab dikenal
dengan istilah masyarakat Jahiliyah. Disebut Jahiliyah karena masyarakat belum
mengenal agama Islam sebagai tauhid yang mengajarkan norma kemanusiaan. Dengan
kata lain, mereka hidup dalam “kegelapan” dan memiliki moral yang rendah,
karena belum turun wahyu yang mengajarkan kebenaran.
Secara geografis, Arab bertanah tandus, berdebu, berpasir,
dan berbatu. Hal ini sangat mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang
Arab yang mungkin terkesan keras, walaupun itu tidak semuanya. Seorang kepala
suku adalah orang yang mempunyai muru’ah (kejantanan, kesempurnaan
perilaku). Ia bertanggungjawab penuh atas segala yang terjadi pada anggota
sukunya, bermurah hati, menjamu tamu, baik yang resmi menjadi utusan dari suku
lain atau tamu biasa, yang datang dari kampungnya, dan menolong orang lain yang
membutuhkan bantuannya, bahkan sekalipun musuh bebuyutan yang datang untuk
bertamu tetap dijamu dan dihormati. Strategi perang mereka terdiri dari lima
pasukan inti, yang disebut al-Khamis, terdiri dari lima sayap, yaitu:
a. al-Muqaddam, yakni pasukan pembawa bendera.
b. al-Maimanah, sayap kanan.
c. al-Maisarah, sayap kiri.
d. al-Saqoya, yakni pasukan pembawa obat-obatan
dan makanan, dan sukarelawan untuk menyiapkan makanan, memperbaiki senjata, dan
merawat pasukan yang cidera dan sakit.
e. al-Qalb, yaitu pasukan inti yang berada
ditengah-tengah pasukan, dipimpin langsung oleh panglima perang atau kepala
suku.
Seorang kepala suku juga mempunyai hak untuk ditaati seluruh
anggota. Bila terdapat salah satu anggota suku yang melanggar peraturan, maka
kepala suku berhak mengusirnya dari suku yang dipimpinnya. Fatanisme kesukuan
mereka juga sangat kuat. Namun demikian, kesenjangan perekonomian di antara
mereka sangat mencolok. Apabila panglima perang kalah atau para pedagang
bangkrut dan tidak dapat mengembalikan modal, mereka diusir dan diisolasi ke
gurun pasir dengan tanpa perbekalan makanan hingga akhirnya mereka meninggal
dunia. Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur
hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau
ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa
menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji,
buruk, dan menjijikkan. Dalam masyarakat Arab, para wanita
dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam
pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima
orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap
lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori
keturunan.
Setelah Islam datang, Islam memberikan pengaruh yang sangat
berarti mengenai tata sosial yang baik dan berperikemanusiaan. Walaupun kondisi
sosial Arab tidak semuanya jelek, namun banyak hal yang diperbaiki Islam yang
berkaitan dengan tata kehidupan sosial. Islam mengarahkan dan memberikan world
view (pandangan dunia) yang luas kepada masyarakat Arab tentang arti
kemanusiaan, kesamaan, keberagaman, dan penghargaan terhadap gender.
4. Sastra
Karya sastra Arab pra-Islam (sastra jahiliyah) adalah cermin
langsung bagi keseluruhan kehidupan bangsa Arab pra-Islam tersebut, mulai dari
hal-hal yang pribadi sampai persoalan masyarakat umum, baik yang masih murni
maupun yang telah dipengaruhi oleh bangsa asing, seperti Persia, Yunani, India,
dan Romawi. Bahasa dan kandungan syair Arab jahiliyah sangat sederhana, padat,
jujur, dan lugas. Namun demikian, emosi dan rasa bahasa serta nilai sastranya
tetap tinggi, karena imajinasi dan simbol yang dipakai sangat baik dan mengenai
sasaran. Meskipun demikian, ada beberapa syair Arab jahiliyah yang sangat
remang-remang atau sangat imajiner dan simbolis. Syair seperti ini digubah
dengan sangat padat dan sering menggunakan simbol yang samar, sehingga sulit
dicerna oleh kalangan umum. Kalangan yang mampu mengapresiasi syair imajiner
sangat tertentu dan biasanya memiliki pengetahuan sejarah dan latar belakang
sang penyair.
Sejarah sastra Arab mencatat banyak penyair-penyair mu’allaqat,
di antaranya adalah tujuh orang yaitu terkenal dengan sebutan al-Sab’
al-Mu’allaqat (seven suspended poems). Mereka adalah Ibn al-Qais bin Haris
al-Kindi (500-540), Zuhair bin Abi Sulma al-Muzani (530-627), al-Nabigah
al-Zubiani (sekitar 604), Labid bin Rabi’ah al-Amiri (560-661), Tarafah bin
Abdul Bakri (543-569), Antarah bin Syaddad al-Absi (525-615), dan al-Haris bin
Hillizah al-Bakri (W. sekitar 580). Sementara itu karya sastra dalam bentuk
puisi juga banyak terdapat di kalangan bangsa Arab yang disebut dengan Diwan
al-Arab (Public Registration of the Arab). Ketika Islam datang, pemeluknya
juga dikenal dengan kemahirannya dalam membuat syair dan puisi. Islam tidak
begitu saja melahirkan kemampuan syair, tapi ia merupakan hasil interaksi yang
berkesinambungan, sehingga menghasilkan sebuah hasil karya syair dan puisi yang
lebih bernilai serta mengandung unsur spiritual teologis dan kemanusiaan yang
amat jelas.
5. Agama
Sebelum Islam lahir, di Jazirah Arab telah berkembang jenis
agama, baik agama asli maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah lain,
seperti Yahudi dan Nasrani. Namun demikian, data sejarah menunjukkan bahwa di
Mekah, kedua agama tersebut tidak meninggalkan pengaruh yang cukup berarti.
Masyarakat Arab mempercayai Paganisme, yakni penyembahan tehadap berhala. Masyarakat
Arab sesungguhnya telah memiliki bentuk kepercayaan asli yang bersifat
sederhana, sesederhana kehidupan mereka. Kepercayaan itu merupakan gabungan
antara nenek moyang, vetieisme (kepercayaan yang diwujudkan dalam bentuk
penyembahan terhadap benda seperti batu dan kayu), toteisme (pengkultusan
terhadap hewan atau tumbuh-tubuhan yang dianggap suci), dan animisme
(kepercayaan terhadap roh baik dan jahat yang berpengaruh dalam kehidupan
manusia. Namun demikian, tidak sedikit dikalangan mereka yang menganut ajaran Hanif
dari Nabi Ibrahim, seperti paman Nabi, yaitu Abu Thalib. Meskipun bangsa
Arab sebelumnya pernah jaya baik secara politik, ekonomi, dan budaya, namun
mereka memiliki kerendahan moral, sehingga kelompok penganut ajaran Hanif
menantikan seorang pemimpin besar yang akan membawa mereka keluar dari
keterpurukan moral dan akhlaq.
Kemudian Islam datang untuk membawa dan mengarahkan bangsa
Arab untuk memiliki keimanan yang proporsional kepada Sang Pencipta.
Kepercayaan mereka yang pada mulanya terarahkan pada benda-benda hasil karya
tangan manusia dan beberapa jenis makhluk lainnya, kemudian Islam meluruskan
keimanan dan aqidah mereka secara proporsional yang tidak bisa disamakan dengan
semua jenis makhluk di dunia. Di sinilah elan vital Islam dalam
memberikan pemahaman yang benar tentang arti tauhid, sehingga hal itu kemudian
menjadi ruh dan semangat kaum muslim untuk mewujudkan dirinya sebagai umat yang
terbaik, rahmat bagi sekalian alam.
B. Sistem Politik Dan Kemasyarakatan
1. Sistem Poitik
Bangsa Arab sebelum islam, hidup
bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain
kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional.
Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu
ialah pertalian darah. Rasa ashabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada
mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya
maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan
mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.
Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini
mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah
sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan
fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan
menghadang musuh dari luar kabilah. Kedudukan pemimpin kabilah ditengah
kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat
atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia
mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin
dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian
ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin
kabilah itu murka.
Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang
terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan
hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan
kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi
kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin
terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih
dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa
mengadakan perlawanan sedikitpun.
2. Sistem Kemasyarakatan
Bila ditinjau dari segi daerah tempat tinggal, bangsa Arab
yang yang wilayahnya terdiri dari padang pasir dan stepa, dapat dibedakan
menjadi dua kelompok besar, yakni penduuduk pedalaman (Badui/A’rabi) dan
penduduk perkotaan. Penduduk pedalaman tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
Mereka adalah kaum Nomad yang hidup bepindah-pindah dari satu kawasan satu ke
kawasan lain bersama binatang ternak mereka untuk mencari sumber mata air dan
padang rumput yang subur (oase). Kaum Badui ini hidup dari beterak kambing dan
memerah susu sebagai konsumsi sehari-hari. Sedangkan penduduk perkotaan sudah
memiliki tempat tinggal permanen di beberapa kota kecil secara terpisah-pisah.
Mereka sudah memiliki beragam keterampilan seperti berdagang, bercocok tanam,
atau beternak.
Baik penduduk perkotaan maupun pedalaman, mereka semua hidup berkabilah-kabilah
atau bersuku-suku sesuai garis keturunan (klan) masing-masing. Oleh karena itu,
seringkali terjadi perselisihan antar kabilah yang biasanya berakhir dengan peperangan
dan pertumpahan darah.
C. Sistem Kepercayaan Dan Kebudayaan
1. Sistem Kepercayaan
Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas
mengikuti dakwah Nabi Isma’il as., yaitu menyeru kepada agama Allah,
mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya. Waktu terus bergulir sekian lama, hingga
banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada
mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari
agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia
tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek
terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan
hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani. Kemudian
Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam
menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang
sambil membawa Hubal dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak
penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun
banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas
Ka’bah dan penduduk tanah suci.
Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka
ditempat-tempat tertentu, seperti:
a. Manat, mereka tempatkan di Musyallal
ditepi laut merah dekat Qudaid
b. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.
c. Uzza, mereka tempatkan di Wady
Nakhlah.
Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala
yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena
terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya
berada pada agama Ibrahim.
2. Sistem Kebudayaan
Sejak sebelum kedatangan Islam, Bangsa Arab dikenal memiliki
kebudayaan non-materiil yang dilestarikan secara turun-temurun. Dikalangan
mereka banyak para pujangga, penyair, penutur cerita prosa, atau penunggang
kuda yang tangkas. Kelebihan-kelebihan seperti itu menjadi syarat mutlak
diraihnya status sosial, baik di kabilahnya sendiri maupun di hadapan kabilah
lain. Sementara kedudukan sastra dalam masyarakat Arab sudah seperti ajaran
agama. Mereka memposisikan syair-syair laksana kalam hikmah yang harus diikuti
dan ditaati, dan penyairnya diposisikan layaknya nabi yang memiliki ajaran
hikmah tingkat tinggi. Cara Bangsa Arab menerima syair biasanya dengan
mengundang para penyair ke berbagai acara, baik acara keluarga maupun acara
kolosal. Sejak sebelum kedatangan Islam, di kalangan Bangsa Arab terdapat
nama-nama penyair yang sangat populer dan mempunyai posisi sangat terhormat.
Mereka antara lain adalah Imri’ al-Qais, Nabighah al-Dzibyani, Zuhair bin Abi
Salma, dan al-A’sya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kebudayaan Arab pra-Islam telah dibahas diatas tentang
aspek politik, ekonomi, sosial, agama dan sastra. Pada aspek politik bahwa Arab
pra-Islam menjalankan politik non-blok yang tidak memihak kepada salah satu
kekuatan raksasa (Persia-Bizantium), sehingga sistem perdagangan mereka lancar
dan tidak mengalami kendala. Sedangkan dari sisi perekonomian, orang Arab
pra-Islam sangat bergantung pada perdagangan daripada peternakan apalagi
pertanian. Mereka dikenal sebagai pengembara dan pedagang tangguh. Mereka juga
sudah mengetahui jalan-jalan yang bisa dilalui untuk bepergian jauh ke
negeri-negeri tetangga.
Secara geografis, Arab bertanah tandus, berdebu, berpasir,
dan berbatu. Hal ini sangat mempengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang
Arab yang mungkin terkesan keras, walaupun itu tidak semuanya. Karya sastra
Arab pra-Islam (sastra jahiliyah) adalah cermin langsung bagi keseluruhan
kehidupan bangsa Arab pra-Islam tersebut, mulai dari hal-hal yang pribadi
sampai persoalan masyarakat umum, baik yang masih murni maupun yang telah
dipengaruhi oleh bangsa asing. Selain itu sebelum Islam lahir, di Jazirah Arab
telah berkembang jenis agama, baik agama asli maupun agama yang berasal dari
pengaruh wilayah lain, seperti Yahudi dan Nasrani. Dunia
politik Arab pra Islam lebih didominasi oleh model kesukuan. Dari dominasi
model kesukuan ini, terbentuknya Negara kesatuan serta adanya tatanan politik
yang benar agaknya sedikit terhalangi.Sementara jika ditinjau dari sisi
keagamaan, mayoritas bangsa Arab sebelum Islam menganut kepercayaan yang
menyembah berhala atau patung atau benda-benda lain yang dianggap mempunyai
kekuatan ghaib, seperti batu, pohon kayu, binatang dan sebagainya. Oleh karena
itu, dikalangan mereka terdapat beberapa nama tuhan yang disembah seperti Uzza,
Mana, Lata dan Hubal.
Daftar Pustaka
Aden
Wijaya, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania
Press, 2007), h. 6-7.
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam
Piagma Madinah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 26.
Yatim
Badri, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2008)
Su’ud Abu. Islamologi, Sejarah Ajaran,
dan Peranannya Dalam Peradaban Umat Manusia. (Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta 2003).
Aden Wijaya, Pemikiran dan
Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), h. 6-7.
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagma Madinah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), h. 26.
<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>
Komentar
Posting Komentar