MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHULAFAH RASYIDIN

MAKALAH PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHULAFAH RASYIDIN

By: Sartika, Dkk.


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

           Kepemimpinan sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat, kepemimpinan merupakan kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama bawahannya untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melakukan prilaku yang positif. Kepemimpinan bertujuan agar setiap kegiatan yang dilaksanakan mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Tujuan kepemimpinan lebih merupakan kerangka ideal yang akan memberikan pedoman bagi setiap kegiatan pemimpin, sekaligus menjadi tujuan yang harus dicapai. Untuk memungkinkan tercapainya tujuan, seorang pemimpin harus melakukan fungsi kepemimpinan seperti menentukan tujuan, menjelaskan,melaksanakan, memilih cara yang tepat, memberikan serta mendorong anggotanya untuk bekerja dan bertanggung jawab. Jika tanggung jawab memenuhi hati seseorang maka hal itu akan mengusir kejenuhan, kekosongan,dan meningkatkan semangat. Ia lalu segera bergerak menjalankan tugasnya, mengalahkan kelemahan, dan melampaui dirinya menuju kemulyaan.     

            Pada saat kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. memiliki kualitas maksimun kepemimpinan seperti sifat perhatian, teguh hati, efesien, berani, tak takut menghadapi konsekuensi suatu tindakan, mampu melihat ke depan, mampu menghadapi kritik, mengakui kemampuan orang lain, teliti dalam masalah pribadinya, keras dalam masalah prinsip, memandang penting orang lain , memajukan bakat intelektual, emosional, dan praktis mereka , tidak meminta ketaatan buta, rendah hati, bermartabat dan sangat memperhatikan pengelola sumber daya manusia.

B.  Rumusan Masalah

1.  Bagaimana kepemimpinan quraisy berdasarkan hadis ?

2.  Bagaimana cara agar menjadi seorang pemimpin yang baik ?

3.  Mengapa seseorang itu di larang meminta jabatan ?

C.  Tujuan Penulisan

1.      Agar mengetahui bagaimana penduduk quraisy memimpin.

2.      Agar mengetahui bagaimana cara memimpin dengan baik.

3.      Agar mengetahu larangan dalam meminta jabatan.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Hadis-Hadis Tentang Kepemimpinana Quraisy

           Hadis kepemimpinan Quraisy ditemukan di sembilan kitab hadis, bahkan di antaranya diriwayatkan oleh al-Bukhārī, sebagai perawi hadis yang paling selektif, ketat dan dan mempunyai standar tinggi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Dengan demikian, kualitas hadis pemimpin Quraisy secara umum bisa dikatakan sebagai Shahih.

           Semantik adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signifikansi atau maknanya, dalam bahasa C.S Morris, semantik adalah ilmu untuk membaca makna dari sebuah tanda. Semantik merupakan salah satu dari tiga dimensi analisa Semiotika, maka dalam kontek Struktural Semiotika, semantik adalah bagian dari Semiotika, Semiotika didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure sebagai ilmu yang mengkaji tentang tanda sebagai bagian kehidupan sosial, menurutnya semiotika sangat bergantung kepada aturan main atau kode sosial yang berlaku dalam lingkungan masyarakat, sehingga tanda dapat dimaknai secara kolektif.

            Penggunaan semantik dalam pembacaan hadis Quraisy harus didasarkan kepada pemahaman yang komprehensif mengenai elemen-elemen dasar semiotika yaitu tanda. Keberadaan tanda tidak dapat terlepas dari konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sistem nilai yang dianut pada masa tersebut dan dimana tanda tersebut berada. Kata Quraisy yang diucapkan Nabi Saw. dalam matan hadis tentu juga disertai oleh aspek-aspek di atas yang telah disebutkan, maka penelitian ini menjadikan kata Quraisy sebagai tanda dan juga teks yang akan dikembangkan maknanya menjadi makna konotasi dan segala aspek yang menyertai akan menjadi bahan analisa dalam pemaknaan hadis tersebut.[1]

 

Hadis kepemimpinen quroisy

           Artinya : aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kepemimpinan ini berada di Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka, selain Allah menelungkupkannya dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka menegakkan agama.” Untuk memahami hadis di atas, ada beberapa hal yang harus di bahas. Pertama yang harus dipertimbangkan adalah faktor geo-politis. Hadis ini tentu tidak bisa digeneralisir untuk seluruh pemerintahan yang ada di negara-negara Islam atau yang mayoritas penduduknya agama Islam. Karena memang tidak mungkin misalnya orang Indonesia mengangkat orang Quraisy untuk memimpin negara. Salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka. Bagaimana kondisi alamnya, politiknya, ekonominya, budayanya dan agamanya.

           Dalam konteks Keindonesiaan maka kriteria penting yang harus dimiliki oleh calon pemimpin Nusantara berdasarkan hadis kepemimpinan Quraisy adalah:

1.      Keluhuran tata sosial - Pemimpin Indonesia harus mempunyai sikap yang amanah, amanah dalam memegang janji, amanah terhadap tugas yang dipikul serta harus mempunyai jiwa solidaritas yang kuat terhadap masyarakat, karena pemimpin adalah seorang yang diberi amanah untuk mencapai kemaslahatan bersama dunia dan ahirat.

2.    Dominan dan berpengaruh - Sama halnya dengan dengan suku Quraisy, pemimpin Indonesia harus mempunyai karakter yang dominan dan berpengaruh, ada beberapa faktor yang dibutuhkan dalam poin ini yaitu: disokong oleh kekuatan politik yang kuat dan ekonomi yang mapan, mempunyai banyak pendukung, tegas, berwibawa serta cerdas, hal ini diharuskan agar bisa memberikan perlindungan dan melerai konflik serta perpecahan. Mengingat Indonesia secara keseluruhan adalah negara kepulauan, mempunyai kurang lebih 742 bahasa dan 1340 suku, spesifikasi pemimpin yang disimbolkan dengan Suku Quraisy oleh Nabi Saw akan sangat dibutuhkan.

 

B.     Hadis Tentang Pemimpin Harus Orang Yang Terbaik

           Menjadi seorang pemimpin bukan tugas yang ringan. Pemimpin harus menjadi sosok yang mengayomi dan melayani rakyatnya. Selain di dunia, pertanggungjawaban seorang pemimpin juga akan diminta di akhirat.

            Pemimpin dalam Islam Sejak awal kemunculan Islam Rasulullah sudah mencontohkan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Beliau adalah pemimpin yang mampu menyelesaikan segala macam berdasarkan musyawarah demi tercapainya kemaslahatan. Islam mengajarkan bahwa tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan perintah Allah dan menjalankan sunnah rasul. Dikutip dari buku Kepemimpinan Pendidikan Dalam Perspektif Hadis oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.A. dkk, ada empat sebutan yang disematkan kepada pemimpin dalam ajaran Islam, yaitu khalifah (alkhalifat), imam (al-imam), amir (al-amir), dan rain.

Hadist-hadist tentang Pemimpin

            Bagi umat Islam yang sedang mendapat amanah untuk menjadi pemimpin, sudah seyogyanya mereka menjadi pemimpin yang adil, jujur, amanah, dan berpihak kepada rakyat. Allah menjanjikan pahala yang melimpah jika seorang pemimpin menerapkan hal-hal tersebut.

            Untuk lebih jelasnya, berikut hadist-hadist tentang pemimpin yang baik, dikutip dari buku Kepemimpinan dalam Perspektif Islam oleh Ari Prasetyo.

1.    Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab seorang pemimpin

     Ibnu umar r.a berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang istri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tangggung jawab dan tugasnya.

            Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memlihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin akan ditanya (diminta pertangggung jawab) dari hal yang dipimpinnya." (HR Bukhari dan Muslim)

            Pada dasarnya, hadist di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Dalam hadist ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-sekurangnya terhadap diri sendiri.

2.    Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat

Diriwayatkan Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: "Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka neraka tempatnya."

            Dari hadits ini dapat disimpulkan seorang pemimpin harus selalu menjaga kejujuran. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah, namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama.

3.    Pemimpin harus bersikap amanah, Seorang pemimpin harus memiliki sifat amanah. Kepemimpinan pada dasarnya sebuah amanah yang harus diemban sebaik mungkin. Ini dijelaskan Rasulullah dalam hadist Riwayat Muslim.

            "Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (Riwayat Muslim).

 

C.    Hadis Tentang Larangan Meminta Jabatan

           Terhormat dan disegani adalah keinginan banyak orang. Keduanya sangat identik dengan penguasa. Mungkin karena faktor ini, sehingga banyak orang berlomba dan melakukan berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan, tanpa peduli dengan banyaknya pengorbanan materi yang harus dikeluarkan bahkan ada yang nekat melanggar norma agama, dengan melakukan ritual tertentu di kuburan atau tempat-tempat yang dianggap keramat. Terjebak dalam perbuatan bid’ah atau syirik, demi meraih kursi jabatan. Tidakkah mereka khawatir akan beban berat yang akan mereka pikul di dunia ini? Yang lebih berat lagi adalah pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Terlebih meminta jabatan itu sendiri adalah hal terlarang dalam Islam.

           Jika meminta suatu jabatan saja sudah terlarang, lalu bagaimana dengan orang-orang yang berusaha meraih suatu jabatan dengan cara-cara yang melanggar norma-norma agama. Semoga Allah Swt memelihara kita dan seluruh kaum Muslimin dari jebakan-jebakan syaitan yang terus berusaha menyeret manusia dalam berbagai perbuatan maksiat.

           Marilah kita perhatikan penjelasan tentang hadits “Larangan Meminta Jabatan” tulisan al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dibawah ini:

 

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ

 

           Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah yang lebih baik (darinya)”.

Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Ialah:

           Larangan meminta jabatan, Jika larangan Nabi Saw. yang mulia ini tidak dilanggar, maka akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin yaitu pejabat itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat. Karena dia akan selalu mendapat pertolongan dari Rabbul ‘alamin dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk pertolongan dari Allah Azza wa Jalla itu bermacam-macam, misalnya:

1.    Beban yang berat menjadi terasa ringan.

2.    Hal yang sulit menjadi mudah.

3.    Kesempitan akan menjadi lapang.

           Teguran, koreksi dan perbaikan dari kesalahan yang dia lakukan, sehingga dia tetap berada di jalan yang benar dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, baik sebagai pemimpin tertinggi, wakil, sebagai menteri, sebagai gubernur dan seterusnya. Namun, apabila larangan Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dilanggar, pasti akan menimbulkan bahaya dan beban yang sangat besar bagi pemimpin dan yang dipimpin.

Perhatikanlah! Sesungguhnya sabda yang agung ini keluar dari mata air nabawiyyah yang merupakan salah satu asas kepemimpinan dan kerakyatan, yang semuanya berujung kepada kemashlahatan bersama. Al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah ketika mensyarahkan (menjelaskan) hadits ini dalam kitab beliau Fat-hul Bâri’, Syarah Shahîh al-Bukhâri di bagian Kitâbul Ahkâm, bab ke-5 dan 6 (no: 7146 dan 7147), beliau mengatakan bahwa zhahir hadits ini bertentangan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud dari jalan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfû’:

 

مَنْ طَلَبَ قَضَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ عَدْلُهُ جَوْرَهُ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جَوْرُهُ عَدْلَهُ فَلَهُ النَّارُ

 

           Barangsiapa meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai dia memperoleh jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barangsiapa kecurangannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka baginya adalah neraka.[2]

           Kemudian al-hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mencoba untuk menjama’ (memadukan) di antara kedua hadits di atas yakni hadits Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahuanhu dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan mengatakan, “Tidak mesti orang yang meminta jabatan sampai kemudian berhasil meraihnya tidak bisa berlaku adil dengan sebab dia meminta jabatan…”

           Menjama’ (memadukan) adalah salah satu cara untuk menyelesaikan (permasalahan yang muncul) di antara dua buah hadits yang zahirnya seakan-akan bertentangan dengan syarat keduanya hadits shahih. Sehubungan dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu yang zahirnya membolehkan meminta jabatan telah dicoba untuk dijama’ dengan hadits Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu anhu yang zhahirnya melarang meminta jabatan, apakah keduanya telah sohih atau salah satunya dha’if?

Kenyataannya sanad dari Abu Hurairah dha’îf.

Sanadnya demikian:

 

حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الْعَنْبَرِى حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ يُوْنُسَ حَدَّثَنَا مُلاَزِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنِى مُوْسَى بْنُ نَجْدَةَ عَنْ جَدِّهِ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ أَبُوْ كَثِيْرٍ قَالَ حَدَّثَنِى أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- قَالَ

          

           Berkata Imam Abu Dawud, “Telah menceritakan kepada kami al-Abbâs al ‘Anbariy (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yûnus (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepada kami Mulâzim bin ‘Amr (dia berkata), ‘Telah menceritakan kepadaku Musa bin Najdah dari kakeknya yaitu Yazid bin Abdurrahman yaitu Abu Katsir, dia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersaba.

           Sanad hadits ini dha’îf karena Musa bin Najdah al-Hanafiy adalah seorang rawi yang majhûl sebagaimana dikatakan sendiri oleh al-hâfizh di kitab Taqrîb-nya. Karena hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ini dha’îf, maka tidak mungkin bisa dijama’ (dipadukan) dengan hadits Samurah yang sangat shahih. Walillahil hamd.

           Adalagi hadits yang semakna dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari jalan Anas bin Mâlik yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan lain-lain tetapi juga dha’if sebagaimana telah diterangkan oleh al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah. Berdasarkan uraian di atas, maka hadits Samurah di atas tetap dalam keumuman dan kemutlakkannya tentang larangan meminta jabatan.

Imam Tidak Mengangkat Orang yang Meminta Jabatan

 

عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ مِنْ قَوْمِي، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ، فَقَالَ: إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ، وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْه

 

           Dari Abu Musa Radhiyallahu anhu dia berkata, “Saya masuk menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama dengan dua orang dari kaumku, lalu salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Jadikanlah (angkatlah) kami sebagai amir (pejabat) wahai Rasulullâh!” Kemudian yang seorang lagi juga meminta hal yang sama. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang tamak terhadap jabatan itu”

Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Adalah:

           Bahwa yang mengangkat seorang sebagai pejabat adalah pemimpin tertinggi atau orang yang diizinkan dan diwakilkan oleh pemimpin tertinggi. Bukan orang banyak atau masyarakat yang beramai-ramai memilih pemimpin. Bahwa pemimpin tidak mengangkat orang seseorang yang meminta jabatan dan tamak akan jabatan dan kekuasaan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Hadis kepemimpinen quroisy

           Artinya : aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kepemimpinan ini berada di Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka, selain Allah menelungkupkannya dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka menegakkan agama.”                       Dalam konteks Keindonesiaan maka kriteria penting yang harus dimiliki oleh calon pemimpin Nusantara berdasarkan hadis kepemimpinan Quraisy adalah:

1        .Keluhuran tata sosial - Pemimpin Indonesia harus mempunyai sikap yang amanah, amanah dalam memegang janji, amanah terhadap tugas yang dipikul serta harus mempunyai jiwa solidaritas yang kuat terhadap masyarakat, karena pemimpin adalah seorang yang diberi amanah untuk mencapai kemaslahatan bersama dunia dan ahirat

2        Dominan dan berpengaruh - Sama halnya dengan dengan suku Quraisy, pemimpin Indonesia harus mempunyai karakter yang dominan dan berpengaruh, ada beberapa faktor yang dibutuhkan dalam poin ini yaitu: disokong oleh kekuatan politik yang kuat dan ekonomi yang mapan, mempunyai banyak pendukung, tegas, berwibawa serta cerdas, hal ini diharuskan agar bisa memberikan perlindungan dan melerai konflik serta perpecahan. Mengingat Indonesia secara keseluruhan adalah negara kepulauan, mempunyai kurang lebih 742 bahasa dan 1340 suku, spesifikasi pemimpin yang disimbolkan dengan Suku Quraisy oleh Nabi Saw akan sangat dibutuhkan.

, berikut hadist-hadist tentang pemimpin yang baik, dikutip dari buku Kepemimpinan dalam Perspektif Islam oleh Ari Prasetyo.

1        Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab seorang pemimpin

2        Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat

Diriwayatkan Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: "Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka neraka tempatnya."

 

3        Pemimpin harus bersikap amanah, Seorang pemimpin harus memiliki sifat amanah. Kepemimpinan pada dasarnya sebuah amanah yang harus diemban sebaik mungkin. Ini dijelaskan Rasulullah dalam hadist Riwayat Muslim.

"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (Riwayat Muslim).

            Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah yang lebih baik (darinya)”.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Hadi, KH. Hasyim Asy„ari Sehimpun Cerita Cinta dan Karya Maha Guru Ulama Nusantara, Yogyakarta:, Diva Press, 2018.

 Amin, Syamsul Munir, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.

 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.

Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Matahari, 2012), hlm. 299.

 

https://almanhaj.or.id/4144-larangan-meminta-jabatan.html

 



                [1] Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika, (Bandung: Matahari, 2012), hlm. 299- 301.

                [2] https://almanhaj.or.id/4144-larangan-meminta-jabatan.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL