MAKALAH PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHULAFAH RASYIDIN
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
MAKALAH PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KHULAFAH RASYIDIN
By: Sartika, Dkk.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kepemimpinan sangatlah penting dalam
kehidupan masyarakat, kepemimpinan merupakan kemampuan dan keterampilan
seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan untuk mempengaruhi perilaku orang
lain, terutama bawahannya untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga
melakukan prilaku yang positif. Kepemimpinan bertujuan agar setiap kegiatan
yang dilaksanakan mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Tujuan
kepemimpinan lebih merupakan kerangka ideal yang akan memberikan pedoman bagi
setiap kegiatan pemimpin, sekaligus menjadi tujuan yang harus dicapai. Untuk
memungkinkan tercapainya tujuan, seorang pemimpin harus melakukan fungsi
kepemimpinan seperti menentukan tujuan, menjelaskan,melaksanakan, memilih cara
yang tepat, memberikan serta mendorong anggotanya untuk bekerja dan bertanggung
jawab. Jika tanggung jawab memenuhi hati seseorang maka hal itu akan mengusir
kejenuhan, kekosongan,dan meningkatkan semangat. Ia lalu segera bergerak
menjalankan tugasnya, mengalahkan kelemahan, dan melampaui dirinya menuju
kemulyaan.
Pada saat kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.
memiliki kualitas maksimun kepemimpinan seperti sifat perhatian, teguh hati,
efesien, berani, tak takut menghadapi konsekuensi suatu tindakan, mampu melihat
ke depan, mampu menghadapi kritik, mengakui kemampuan orang lain, teliti dalam
masalah pribadinya, keras dalam masalah prinsip, memandang penting orang lain ,
memajukan bakat intelektual, emosional, dan praktis mereka , tidak meminta
ketaatan buta, rendah hati, bermartabat dan sangat memperhatikan pengelola
sumber daya manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kepemimpinan
quraisy berdasarkan hadis ?
2. Bagaimana cara agar menjadi
seorang pemimpin yang baik ?
3. Mengapa seseorang itu di
larang meminta jabatan ?
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui bagaimana penduduk
quraisy memimpin.
2. Agar mengetahui bagaimana cara memimpin
dengan baik.
3. Agar mengetahu larangan dalam meminta
jabatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis-Hadis Tentang Kepemimpinana Quraisy
Hadis
kepemimpinan Quraisy ditemukan di sembilan kitab hadis, bahkan di antaranya
diriwayatkan oleh al-Bukhārī, sebagai perawi hadis yang paling selektif, ketat
dan dan mempunyai standar tinggi dalam meriwayatkan sebuah hadis. Dengan
demikian, kualitas hadis pemimpin Quraisy secara umum bisa dikatakan sebagai
Shahih.
Semantik
adalah studi mengenai relasi antara tanda dan signifikansi atau maknanya, dalam
bahasa C.S Morris, semantik adalah ilmu untuk membaca makna dari sebuah tanda.
Semantik merupakan salah satu dari tiga dimensi analisa Semiotika, maka dalam
kontek Struktural Semiotika, semantik adalah bagian dari Semiotika, Semiotika
didefinisikan oleh Ferdinand de Saussure sebagai ilmu yang mengkaji tentang
tanda sebagai bagian kehidupan sosial, menurutnya semiotika sangat bergantung
kepada aturan main atau kode sosial yang berlaku dalam lingkungan masyarakat,
sehingga tanda dapat dimaknai secara kolektif.
Penggunaan semantik dalam pembacaan hadis
Quraisy harus didasarkan kepada pemahaman yang komprehensif mengenai
elemen-elemen dasar semiotika yaitu tanda. Keberadaan tanda tidak dapat
terlepas dari konteks sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sistem nilai yang
dianut pada masa tersebut dan dimana tanda tersebut berada. Kata Quraisy yang
diucapkan Nabi Saw. dalam matan hadis tentu juga disertai oleh aspek-aspek di
atas yang telah disebutkan, maka penelitian ini menjadikan kata Quraisy sebagai
tanda dan juga teks yang akan dikembangkan maknanya menjadi makna konotasi dan
segala aspek yang menyertai akan menjadi bahan analisa dalam pemaknaan hadis
tersebut.[1]
Hadis kepemimpinen quroisy
Artinya
: aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kepemimpinan ini berada di
Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka, selain Allah menelungkupkannya
dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka menegakkan agama.” Untuk memahami
hadis di atas, ada beberapa hal yang harus di bahas. Pertama yang harus
dipertimbangkan adalah faktor geo-politis. Hadis ini tentu tidak bisa
digeneralisir untuk seluruh pemerintahan yang ada di negara-negara Islam atau
yang mayoritas penduduknya agama Islam. Karena memang tidak mungkin misalnya
orang Indonesia mengangkat orang Quraisy untuk memimpin negara. Salah satu
penyebabnya adalah ketidaktahuan mereka. Bagaimana kondisi alamnya, politiknya,
ekonominya, budayanya dan agamanya.
Dalam
konteks Keindonesiaan maka kriteria penting yang harus dimiliki oleh calon
pemimpin Nusantara berdasarkan hadis kepemimpinan Quraisy adalah:
1.
Keluhuran tata sosial - Pemimpin
Indonesia harus mempunyai sikap yang amanah, amanah dalam memegang janji, amanah
terhadap tugas yang dipikul serta harus mempunyai jiwa solidaritas yang kuat
terhadap masyarakat, karena pemimpin adalah seorang yang diberi amanah untuk
mencapai kemaslahatan bersama dunia dan ahirat.
2. Dominan
dan berpengaruh - Sama halnya dengan dengan suku Quraisy, pemimpin Indonesia
harus mempunyai karakter yang dominan dan berpengaruh, ada beberapa faktor yang
dibutuhkan dalam poin ini yaitu: disokong oleh kekuatan politik yang kuat dan
ekonomi yang mapan, mempunyai banyak pendukung, tegas, berwibawa serta cerdas,
hal ini diharuskan agar bisa memberikan perlindungan dan melerai konflik serta
perpecahan. Mengingat Indonesia secara keseluruhan adalah negara kepulauan,
mempunyai kurang lebih 742 bahasa dan 1340 suku, spesifikasi pemimpin yang
disimbolkan dengan Suku Quraisy oleh Nabi Saw akan sangat dibutuhkan.
B. Hadis Tentang Pemimpin Harus Orang Yang
Terbaik
Menjadi seorang pemimpin bukan tugas yang ringan. Pemimpin
harus menjadi sosok yang mengayomi dan melayani rakyatnya. Selain di dunia, pertanggungjawaban
seorang pemimpin juga akan diminta di akhirat.
Pemimpin dalam
Islam Sejak awal kemunculan Islam Rasulullah sudah
mencontohkan bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Beliau adalah
pemimpin yang mampu menyelesaikan segala macam berdasarkan musyawarah demi
tercapainya kemaslahatan. Islam
mengajarkan bahwa tujuan dan tugas utama pemimpin adalah untuk melaksanakan
perintah Allah dan menjalankan sunnah rasul. Dikutip dari buku Kepemimpinan
Pendidikan Dalam Perspektif Hadis oleh Prof. Dr. H. Samsul Nizar, M.A. dkk, ada empat sebutan yang disematkan kepada
pemimpin dalam ajaran Islam, yaitu khalifah (alkhalifat), imam (al-imam), amir (al-amir), dan rain.
Hadist-hadist tentang Pemimpin
Bagi umat Islam yang sedang mendapat amanah untuk menjadi
pemimpin, sudah seyogyanya mereka menjadi pemimpin yang adil, jujur, amanah,
dan berpihak kepada rakyat. Allah menjanjikan pahala yang melimpah jika seorang
pemimpin menerapkan hal-hal tersebut.
Untuk lebih
jelasnya, berikut hadist-hadist tentang pemimpin yang baik, dikutip dari buku Kepemimpinan dalam Perspektif Islam oleh Ari Prasetyo.
1. Kesejahteraan rakyat adalah tanggung
jawab seorang pemimpin
Ibnu umar r.a berkata: saya telah mendengar Rasulullah SAW
bersabda: "Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggung
jawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya
perihal keluarga yang dipimpinnya, seorang istri yang memelihara rumah tangga
suaminya akan ditanya perihal tangggung jawab dan tugasnya.
Bahkan seorang
pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memlihara barang milik majikannya
juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin akan
ditanya (diminta pertangggung jawab) dari hal yang dipimpinnya." (HR Bukhari dan Muslim)
Pada dasarnya,
hadist di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam Islam. Dalam hadist
ini dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggung
jawab. Semua orang yang hidup di muka bumi ini
disebut sebagai pemimpin. Karenanya, sebagai pemimpin mereka semua memikul
tanggung jawab, sekurang-sekurangnya terhadap diri sendiri.
2.
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
Diriwayatkan Ahmad, Rasulullah SAW bersabda: "Siapapun pemimpin yang menipu rakyatnya, maka neraka
tempatnya."
Dari hadits ini
dapat disimpulkan seorang pemimpin harus selalu menjaga kejujuran. Tanpa
kejujuran, kepemimpinan ibarat bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah,
namun di dalamnya rapuh dan tak bisa bertahan lama.
3. Pemimpin harus bersikap amanah, Seorang pemimpin harus memiliki sifat amanah. Kepemimpinan pada
dasarnya sebuah amanah yang harus diemban sebaik mungkin. Ini dijelaskan
Rasulullah dalam hadist Riwayat Muslim.
"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di
hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang
melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai
pemimpin." (Riwayat Muslim).
C.
Hadis
Tentang Larangan Meminta Jabatan
Terhormat
dan disegani adalah keinginan banyak orang. Keduanya sangat identik dengan
penguasa. Mungkin karena faktor ini, sehingga banyak orang berlomba dan
melakukan berbagai macam cara untuk meraih kekuasaan, tanpa peduli dengan
banyaknya pengorbanan materi yang harus dikeluarkan bahkan ada yang nekat
melanggar norma agama, dengan melakukan ritual tertentu di kuburan atau
tempat-tempat yang dianggap keramat. Terjebak dalam perbuatan bid’ah atau
syirik, demi meraih kursi jabatan. Tidakkah mereka khawatir akan beban berat
yang akan mereka pikul di dunia ini? Yang lebih berat lagi adalah
pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. Terlebih meminta jabatan itu sendiri
adalah hal terlarang dalam Islam.
Jika
meminta suatu jabatan saja sudah terlarang, lalu bagaimana dengan orang-orang
yang berusaha meraih suatu jabatan dengan cara-cara yang melanggar norma-norma
agama. Semoga Allah Swt memelihara kita dan seluruh kaum Muslimin dari
jebakan-jebakan syaitan yang terus berusaha menyeret manusia dalam berbagai perbuatan
maksiat.
Marilah
kita perhatikan penjelasan tentang hadits “Larangan Meminta Jabatan” tulisan
al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dibawah ini:
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِيْ
رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا
تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ
إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا
حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ
يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Dari
Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta
jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab
permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa
pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan
permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam
melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah
kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan
sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah
yang lebih baik (darinya)”.
Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Ialah:
Larangan
meminta jabatan, Jika larangan Nabi Saw. yang mulia ini tidak dilanggar, maka
akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin yaitu
pejabat itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat. Karena dia akan selalu
mendapat pertolongan dari Rabbul ‘alamin dalam melaksanakan tugasnya. Bentuk
pertolongan dari Allah Azza wa Jalla itu bermacam-macam, misalnya:
1.
Beban yang berat menjadi terasa ringan.
2.
Hal yang sulit menjadi mudah.
3.
Kesempitan akan menjadi lapang.
Teguran,
koreksi dan perbaikan dari kesalahan yang dia lakukan, sehingga dia tetap
berada di jalan yang benar dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin, baik
sebagai pemimpin tertinggi, wakil, sebagai menteri, sebagai gubernur dan
seterusnya. Namun, apabila larangan Nabi yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ini dilanggar, pasti akan menimbulkan bahaya dan beban yang sangat besar
bagi pemimpin dan yang dipimpin.
Perhatikanlah! Sesungguhnya sabda yang agung ini
keluar dari mata air nabawiyyah yang merupakan salah satu asas kepemimpinan dan
kerakyatan, yang semuanya berujung kepada kemashlahatan bersama. Al-Hâfizh Ibnu
Hajar rahimahullah ketika mensyarahkan (menjelaskan) hadits ini dalam kitab
beliau Fat-hul Bâri’, Syarah Shahîh al-Bukhâri di bagian Kitâbul Ahkâm, bab
ke-5 dan 6 (no: 7146 dan 7147), beliau mengatakan bahwa zhahir hadits ini
bertentangan dengan hadits yang dikeluarkan oleh Abu Dâwud dari jalan Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu secara marfû’:
مَنْ
طَلَبَ قَضَاءَ الْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى يَنَالَهُ ثُمَّ غَلَبَ عَدْلُهُ جَوْرَهُ
فَلَهُ الْجَنَّةُ وَمَنْ غَلَبَ جَوْرُهُ عَدْلَهُ فَلَهُ النَّارُ
Barangsiapa
meminta menjadi qadhi (hakim) bagi kaum Muslimin sampai dia memperoleh
jabatannya itu, kemudian keadilannya (dalam memutuskan hukum) mengalahkan
kecurangannya, maka baginya adalah surga. Dan barangsiapa kecurangannya (dalam
memutuskan hukum) mengalahkan keadilannya, maka baginya adalah neraka.[2]
Kemudian
al-hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah mencoba untuk menjama’ (memadukan) di antara
kedua hadits di atas yakni hadits Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahuanhu
dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan mengatakan, “Tidak mesti
orang yang meminta jabatan sampai kemudian berhasil meraihnya tidak bisa
berlaku adil dengan sebab dia meminta jabatan…”
Menjama’
(memadukan) adalah salah satu cara untuk menyelesaikan (permasalahan yang
muncul) di antara dua buah hadits yang zahirnya seakan-akan bertentangan dengan
syarat keduanya hadits shahih. Sehubungan dengan hadits Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu yang zahirnya membolehkan meminta jabatan telah dicoba untuk
dijama’ dengan hadits Abdurrahman bin Samurah Radhiyallahu anhu yang zhahirnya
melarang meminta jabatan, apakah keduanya telah sohih atau salah satunya
dha’if?
Kenyataannya sanad dari Abu Hurairah dha’îf.
Sanadnya demikian:
حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ الْعَنْبَرِى حَدَّثَنَا عُمَرُ
بْنُ يُوْنُسَ حَدَّثَنَا مُلاَزِمُ بْنُ عَمْرٍو حَدَّثَنِى مُوْسَى بْنُ نَجْدَةَ
عَنْ جَدِّهِ يَزِيْدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَهُوَ أَبُوْ كَثِيْرٍ قَالَ
حَدَّثَنِى أَبُوْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-
قَالَ
Berkata
Imam Abu Dawud, “Telah menceritakan kepada kami al-Abbâs al ‘Anbariy (dia berkata),
‘Telah menceritakan kepada kami Umar bin Yûnus (dia berkata), ‘Telah
menceritakan kepada kami Mulâzim bin ‘Amr (dia berkata), ‘Telah menceritakan
kepadaku Musa bin Najdah dari kakeknya yaitu Yazid bin Abdurrahman yaitu Abu
Katsir, dia berkata, ‘Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah Radhiyallahu
anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersaba.
Sanad
hadits ini dha’îf karena Musa bin Najdah al-Hanafiy adalah seorang rawi yang
majhûl sebagaimana dikatakan sendiri oleh al-hâfizh di kitab Taqrîb-nya. Karena
hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ini dha’îf, maka tidak mungkin bisa
dijama’ (dipadukan) dengan hadits Samurah yang sangat shahih. Walillahil hamd.
Adalagi
hadits yang semakna dengan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari jalan Anas
bin Mâlik yang telah dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan Ibnu Mâjah dan
lain-lain tetapi juga dha’if sebagaimana telah diterangkan oleh al-hafizh Ibnu
Hajar rahimahullah. Berdasarkan uraian di atas, maka hadits Samurah di atas
tetap dalam keumuman dan kemutlakkannya tentang larangan meminta jabatan.
Imam Tidak Mengangkat Orang yang Meminta Jabatan
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ:
دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلاَنِ
مِنْ قَوْمِي، فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: أَمِّرْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ،
وَقَالَ الآخَرُ مِثْلَهُ، فَقَالَ: إِنَّا لاَ نُوَلِّي هَذَا مَنْ سَأَلَهُ،
وَلاَ مَنْ حَرَصَ عَلَيْه
Dari
Abu Musa Radhiyallahu anhu dia berkata, “Saya masuk menemui Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersama dengan dua orang dari kaumku, lalu salah seorang dari
kedua orang itu berkata, “Jadikanlah (angkatlah) kami sebagai amir (pejabat)
wahai Rasulullâh!” Kemudian yang seorang lagi juga meminta hal yang sama. Maka
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kami tidak akan
mengangkat sebagai pejabat orang yang memintanya dan tidak juga orang yang
tamak terhadap jabatan itu”
Diantara Fiqih Dari Hadits Yang Mulia Ini Adalah:
Bahwa
yang mengangkat seorang sebagai pejabat adalah pemimpin tertinggi atau orang
yang diizinkan dan diwakilkan oleh pemimpin tertinggi. Bukan orang banyak atau
masyarakat yang beramai-ramai memilih pemimpin. Bahwa pemimpin tidak mengangkat
orang seseorang yang meminta jabatan dan tamak akan jabatan dan kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis kepemimpinen quroisy
Artinya
: aku mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya kepemimpinan ini berada di
Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka, selain Allah menelungkupkannya
dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka menegakkan agama.” Dalam
konteks Keindonesiaan maka kriteria penting yang harus dimiliki oleh calon
pemimpin Nusantara berdasarkan hadis kepemimpinan Quraisy adalah:
1
.Keluhuran tata sosial - Pemimpin
Indonesia harus mempunyai sikap yang amanah, amanah dalam memegang janji,
amanah terhadap tugas yang dipikul serta harus mempunyai jiwa solidaritas yang
kuat terhadap masyarakat, karena pemimpin adalah seorang yang diberi amanah
untuk mencapai kemaslahatan bersama dunia dan ahirat
2
Dominan dan berpengaruh - Sama halnya
dengan dengan suku Quraisy, pemimpin Indonesia harus mempunyai karakter yang
dominan dan berpengaruh, ada beberapa faktor yang dibutuhkan dalam poin ini
yaitu: disokong oleh kekuatan politik yang kuat dan ekonomi yang mapan,
mempunyai banyak pendukung, tegas, berwibawa serta cerdas, hal ini diharuskan
agar bisa memberikan perlindungan dan melerai konflik serta perpecahan.
Mengingat Indonesia secara keseluruhan adalah negara kepulauan, mempunyai
kurang lebih 742 bahasa dan 1340 suku, spesifikasi pemimpin yang disimbolkan
dengan Suku Quraisy oleh Nabi Saw akan sangat dibutuhkan.
, berikut hadist-hadist tentang pemimpin yang baik, dikutip dari
buku Kepemimpinan dalam Perspektif Islam oleh Ari Prasetyo.
1
Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab seorang pemimpin
2
Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
Diriwayatkan Ahmad, Rasulullah SAW
bersabda: "Siapapun pemimpin
yang menipu rakyatnya, maka neraka tempatnya."
3
Pemimpin
harus bersikap amanah, Seorang pemimpin harus memiliki sifat amanah. Kepemimpinan pada
dasarnya sebuah amanah yang harus diemban sebaik mungkin. Ini dijelaskan
Rasulullah dalam hadist Riwayat Muslim.
"Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di
hari kiamat akan mengakibatkan kerugian
dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta
dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin." (Riwayat Muslim).
Dari Abdurrahman bin
Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda
kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan!
Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab
permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa
pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan
permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam
melaksanakan jabatan itu. Dan apabila kamu bersumpah dengan satu sumpah
kemudian kamu melihat selainnya lebih baik darinya (dan kamu ingin membatalkan
sumpahmu), maka bayarlah kaffârah (tebusan) dari sumpahmu itu dan kerjakanlah
yang lebih baik (darinya)”.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Hadi, KH. Hasyim Asy„ari Sehimpun Cerita Cinta dan Karya Maha Guru Ulama
Nusantara, Yogyakarta:, Diva Press, 2018.
Amin, Syamsul Munir, Sayyid Ulama Hijaz:
Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta, 1993.
Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika,
(Bandung: Matahari, 2012), hlm. 299.
https://almanhaj.or.id/4144-larangan-meminta-jabatan.html
Komentar
Posting Komentar