MAKALAH PENDIDIKAN AKIDAH DALAM WAWASAN PENDIDIKAN ISLAM
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
PENDIDIKAN AKIDAH DALAM WAWASAN PENDIDIKAN ISLAM
By: Ridwan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehadiran agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya
kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama
mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Al-Quran dan Hadits, tampak amat ideal dan agung. Sedangkan akal
pikiran sebagai alat untuk memahami Al-Quran dan Hadits. Ketentuan ini sesuai
dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT. Hal
demikian dinyatakan dalam Al-Quran Surah An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa’: 59). Aqidah sebagai
sistem kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan
sumber dan hakikat keberadaan agama. Sedangkan akhlak sebagai sistem
etikamenggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai agama. Muslim yang baik
adalah muslim yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk
melaksanakan syariat yanghanya ditujukan kepada Allah sehingga tergambar kesalehan
akhlak yang terpuji pada dirinya. Aqidah, syariat dan akhlak dalam Al-Quran
disebut iman dan amal shaleh. Iman 5 menunjukkan makna aqidah, sedangkan amal
shaleh menunjukkan pengertian akhlak.
BAB
II
PENDIDIKAN
AKIDAH DALAM WAWASAN PENDIDIKAN ISLAM
A.
PENGERTIAN
PENDIDIKAN AKIDAH
Pendidikan.
Secara etimologis, kata yang senantiasa dirujuk para ahli adalah tarbiyah untuk
kemudian dijelaskan bahwa ia berasal dari “raba-yarbu” yang berarti bertambah
dan bertumbuh, “rabia-yarba” yaitu menjadi besar, dan “rabba-yarubbu” yang
bermakna memperbaiki, menguasai urusan, menuntut, menjaga dan memelihara. Dari
akar tersebut, pendidikan dipahami sebagai segala sesuatu yang mengalami proses
perubahan ke arah yang lebih baik. Pendidikan juga dapat dikatakan sebagai
–terlepas dari bagaimanapun bentuknya, suatu konsep atau objek yang diamati
atau objek itu sendiri yang mengalami proses perbaikan dalam arti ke arah yang
lebih baik.[1]
Kata tarbiyah
juga berasal dari asli kata “ra-ba-ba”, yang disebutkan hingga 1241 kali. Hal
ini dengan merujuk salah satu nama Allah yaitu “rabbun” yang merupakan
penerjemahan dari Tuhan yang selalu berperan dalam segala hajat manusia. Ia
memberi ilustrasi bahwa ketika seorang pasangan suami-istri mengharapkan Allah
memberi rezeki anak kepada mereka, maka mereka pun berdoa kepada-Nya sebagai
“rabbun” sebagaimana mereka meminta untuk diberkahi rezeki yang halal.
Singkatnya, Rabbun selalu hadir dalam setiap kepentingan manusia.[2]
Pendidikan
adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik
individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang
diharapkan oleh pelaku pendidikan.[3]
Kata “akidah”
berasal dari bahasa arab, yang berarti “ma’uqida ‘alaihi al-qolb wa al-dlomir”,
yakni sesuatu yang ditetapkan diyakini oleh hati dan perasaan (hati nurani);
dan berarti “matadayyana bihi alinsan wa i’tiqoduhu” yakni sesuatu yang
dipegangi dan diyakini(kebenarannya) oleh manusia.[4]
Aqidah dilihat dari segi bahasa berati “ikatan”. Aqidah seseorang, artinya
“ikatan seseorang dengan sesuatu”. Kata aqidah juga berasal dari bahasa Arab
yaitu Aqodaya’qudu-aqidatan.[5] Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu
kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Ada juga ahli yang mendefinisikan
bahwa aqidah ialah kesimpulan pandangan atau kesimpulan ajaran yag diyakini
oleh hati seseorang.[6]
Dengan demikian secara etimologis, akidah adalah kepercayaan atau keyakinan
yang benar menetap dan melekat dihati manusia.
Secara
terminologi menurut Hasan Al-Bana, aqoid bentuk jamak dari aqidah adalah
beberapa perkara wajib yang diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan
ketentraman jiwa, yang menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan
keragu-raguan.[7]
Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jaziry sebagaimana dikutip Yunahar Ilyas
mengatakan ‘aqidah’ adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum
oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu di
Aqidah adalah
dasar, pondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan di
dirikan, harus semakin kokoh pondasi yang kuat. Kalau pondasinya lemah bangunan
itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi.[8]
B.
SUMBER
AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG PENDIDIKAN AKIDAH
Aqidah Islam
adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang hanya dapat
ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran
aqidah Islam adalah al-Quran dan Sunnah. Karena, tidak ada yang lebih tahu
tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu tentang
Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah saw.
Sebenarnya
setiap bayi yang lahir diciptakan Allah subhanahu wata’ala di atas fitrah
keimanan. Berkaitan dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. Al Α’raf: 172 yang
artinya, "Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul
(Engkau Rabb kami), kami menajdi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).”
Q.S. Al-Hasyr
ayat 23-24, Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci,
Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang
Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah
dari apa yang mereka persekutukan.(23). Dialah Allah Yang Menciptakan,
Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih
kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana (24).
Pemikiran kalam
klasik pada umumnya berorientasi pada Allah SWT dan mengabaikan manusia dan
alam. Inilah akar krisis dunia Islam, karena cara berpikir yang demikian akan
membentuk pandangan dunia yang deterministik. Sedangkan dari sisi content
menjadikan hilangnya wacana kemanusiaan.[9]
Dalam ajaran
Islam, akidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan,
aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan
akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa
pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Maka, akidah yang benar
merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal.
Allah SWT berfirman :
فَمَنۡ
كَانَ يَرۡجُوۡالِقَآءَ رَبِّهٖ فَلۡيَـعۡمَلۡ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشۡرِكۡ
بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا
“Maka
barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka
hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah
kepada Tuhannya.”
Landasan pendidikan akidah dari hadits antara
lain sabda Nabi :
ما من مولود الا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه او ينصرانه او
يمجسانه
( رواه البخاري )
Artinya : Tidak
seorang anakpun yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan menetapi fitrah, Maka
kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nashrani, atau
Majusi.(HR. Bukhori).[10]
Agama seyogyanya
ditanamkan ke dalam pribadi anak sejak dini, yakni sejak anak dilahirkan. Anak
mengenal Tuhan melalui orang tuanya. Perkembangan agama anak sangat dipengaruhi
oleh kata-kata, sikap, tindakan, dan perbuatan orang tuanya. Apa saja yang
dikatakan orang tua akan diterima oleh anak. Orang tua bagi anak adalah benar,
berkuasa, pandai, dan menentukan. Oleh sebab itu hubungan antara orang tua dan
anak mempunyai pengaruh signifikan bagi perkembangan agama anak.
Aqidah yang
benar akan membuat jiwa tenteram, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan
kemusyrikan. Selain itu, aqidah juga berpengaruh dalam membentuk sikap dan
perilaku anak. Jika tauhid tertanam dengan kuat, ia akan menjadi sebuah
kekuatan batin yang tangguh. Sehingga melahirkan sikap positif. Optimisme akan
lahir menyingkirkan rasa kekhawatiran dan ketakutan kepada selain Allah. Sikap
yang positif dan perilaku positif akan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang
lain.[11]
C.
PEMIKIRAN TOKOH
PENDIDIKAN ISLAM KLASIK DAN MODERN TENTANG PENDIDIKAN AKIDAH
Al-Qabisi
adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma„arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisi
adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama
lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota Qairawan
Tunisia (wilayah Maghribi, sekarang Maroko, Afrika Utara) pada hari senin bulan
Rajab tahun 324 H-935M.beliau wafat pada tanggal 3 Rabbiul Awal Tahun 403 H.
Bertepan pada tanggal 23 Oktober 1012.
Al-Qabisi
menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh-kembangkan pribadi
anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.Lebih spesifik tujuan
pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta
agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai
dengan nilai-nilai agama yang murni.Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan
dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan dan keahlian
pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.
Ibnu
Sina bernama yang meiliki lengkap Abu Ali Al-Husain bin Abdullah bin Sina Ia
dilahirkanTahun 370 H/ 980 M di Afshana, sebuah kota kecil dekat Bukhara,
sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ketika lahir ayahnya menjabat
Gubernur di salah satu pemukiman Nuh ibnu Mansur (Sekarang wilayah Afganistan).
Ibnu Sina berpendapat bahwa
tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada pengembangan
seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempuma,
yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti."
Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibn
Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseeorang agar dapat hidup di
masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang
dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang
dimilikinya.
Pendidikan yang bersifat jasmani, Ibn
Sina berpendapat tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik. seperti
olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tujuan
pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan adalah menyiapkan tenaga
professional. Dan juga memberikan pendidikan budi pekerti (akhlak) agar ada
kepaduan antara keterampilan dengan budi pekerti.
Secara terminologi, ada
beberapa pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:
1.
Menurut Ngalim Purwanto
pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak
untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[12]
2.
Adapun arti pendidikan menurut
Imam Ghazali yaitu proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai
akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk
pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung
jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga
menjadi manusia sempurna.[13]
3.
Menurut Syed Naquib al-Attas,
pendidikan adalah menanamkan sesuatu ke dalam diri seseorang (Education is a
process of instilling something into human beings).[14]
4.
Suparlan mendefinisikan
pendidikan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, pendidikan
merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan
pematangan diri. Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh
kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan
secara terjadwal dalam pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasar pada tujuan
yang telah ditentukan. Pendidikan dalam arti sempit bukan berarti memotong isi
dan materi pendidikan, melainkan mengorganisasinya dalam bentuk sederhana tanpa
mengurangi kualitas dan hakekat pendidikan.[15]
5.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
latihan; proses, perbuatan, cara mendidik[16].
6.
Sementara bapak pendidikan
Indonesia, Ki Hajar Dewantara merumuskan hakikat pendidikan sebagai usaha sadar
orangtua bagi anak-anaknya dengan maksud untuk menyokong kemajuan hidupnya,
dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan jasmani dan rohani yang ada pada
anak.[17]
D.
TUJUAN, MATERI, METODE, MEDIA, SUMBER BELAJAR DAN
EVALUASI PENDIDIKAN AKIDAH
1.
Tujuan Pendidikan Akidah
Menurut Sayid Sabiq, tujuan
utama aqidah adalah memberikan didikan yang baik dalam menempuh jalan
kehidupan, mensucikan jiwa lalu mengarahkannya ke jurusan yang tertentu untuk
mencapai puncak dari sifat-sifat tinggi dan luhur, dan lebih utama lagi supaya
diusahakan agar sampai pada ma‟rifat tertinggi. [18]
Tujuan pendidikan merupakan
masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh renungan pedagogik.
Dengan demikian tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan
jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya.[19]
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkengembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[20]
2.
Materi pendidikan Akidah
a.
Membangun Etos Kerja dengan
Motivasi Iman, Islam dan Ihsan
Iman merupakan verbalisasi
keyakinan, pernyataan merupakan argumentasi eksplisitnya dan aplikasi praktis
adalah tindakan lahir dari hal yang disebut iman. Mu’tazilah misalnya,
menjadikan iman sebagai sesuatu yang didengar karena ketaatan dan kebahagiaan.
Mereka mengatakan bahwa iman merupakan sebutan dari pembenaran hati, ikrar
lisan, dan tindakan anggota- anggota badan dalam pengertian menjalankan
kewajiban- kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Argumentasi yang menarik
adalah bahwa tindakan wajib adalah agama. Agama adalah Islam dan Islam adalah
iman.[21]
Sehingga dapat dipahami bahwa penghayatan yang ideal terhadap agama Islam
adalah bagaimana seseorang mampu menjadikan integrasi dan interkoneksi antara
iman, Islam dan diaplikasikan secara jujur (ihsan) dalam kehidupan. Sebab ihsan
menuntut adanya motivasi iman dan Islam secara benar dalam diri.
Tindakan-tindakan internal-psikologis (iman dan Islam) manusia merupakan
tindakan-tindakan sistematis ideal, sehingga manusia akan dituntut
pertanggung-jawaban sebagaimana tanggung-jawab atas tindakan-tindakan
eksternal-lahiriah (ihsan). Aplikasi praktis dalam membangun etos kerja dari
kesadaran internal tergantung pada kesadaran manusia, sejauh mana kesadaran
manusia terhadap tautan pertanggungjawaban dan otoritasnya untuk mempresentasikan
tujuan dan orientasi yang melahirkan kemampuan-kemampuan yang tak terhingga
untuk dihadirkan melalui tindakan-tindakan yang diprediksi manusia sebagai
sesuatu yang di luar kebiasaan. Manusia tumbuh dan hidup dalam komunitas sosial
yang membentangkan orientasi-orientasinya dan menghadapinya dengan
orientasi-orientasi baru. Oleh karena itu, tindakantindakan dalam membangun
etos kerja melalui kesadaran internal merupakan pertemuan orientasi-orientasi
dan tujuan-tujuan manusia dengan realitas sosial di mana mereka hidup.
Penghayatan ideal terhadap agama Islam dengan integrasi dan interkoneksi antara
iman, Islam dan diaplikasikan secara jujur (ihsan) dalam kehidupan. Sehingga
indakan-tindakan internal-psikologis (iman dan Islam) diharapkan bisa
melahirkan tindakan-tindakan eksternal-lahiriah (ihsan) yang dapat
dipertanggungjawabkan.
b.
Memahami Fenomena Alam dan
Sosial Melalui Pendekatan Sunnatullah Sebagai Refleksi Pemahaman Aqidah
Pengalaman teologis yang
terjadi di luar Islam telah menciptakan disharmoni antara urusan dunia (sains
dan teknologi) dan akhirat (agama). Factor dominan dalam konteks tersebut
adalah pemahaman tekstual pemuka agama terhadap doktrin. Oleh karena itu
pendekatan kontekstual yang banyak dipakai dalam ilmu Kalam sangat urgen dalam
meminimalisir disharmoni antara kedua hal tersebut. Maka dominasi teologis yang
mewarnai sikap umat Islam harus diimbangi dengan apresiasi dan penguasaan
terhadap ilmu-ilmu dunia (sains dan teknologi). Berbagai pembahasan ilmu Kalam
yang dikembangkan sejak Daulah Abbasiyah menunjukkan apresiasi yang tinggi
terhadap ilmu-ilmu dunia (sains dan teknologi). Kontribusi ilmu Kalam dalam
konteks ini berkaitan dengan keberhasilannya menciptakan suasana dialogis
sebagai wadah utama bagi pengembangan ilmu-ilmu dunia (sains dan teknologi).
Kontribusi penting lainnya dari ilmu Kalam adalah kemampuannya mengantarkan
umat Islam untuk dapat menyikapi secara rasional berbagai fenomena alam dan
sosial melalui pendekatan sunnatullah, sehingga gejala-gejala alam dapat
dipahami secara tepat baik dari kaca mata agama maupun ilmu-ilmu dunia (sains
dan teknologi).[22]
c.
Istiqamah dalam Beriman
Dari Sufyan bin Abdullah
Ats-Tsaqafi RA, dia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW,
'Wahai Rasulullah! Katakanlah kepadaku suatu perkataan tentang Islam yang tidak
akan saya tanyakan kepada seseorang sesudah kamu!" (Disebutkan di dalam
hadits Abu Usamah, ...yang tidak akan saya tanyakan kepada seseorang selainmu).
Beliau menjawab, 'Katakanlah! Saya beriman kepada Allah lalu konsistenlah
(dengan apa yang kamu ucapkan)!'" Penghayatan motivasi ibadah dengan tepat
merupakan kendali yang kokoh bagi terbinanya istiqamah atau kontinyuitas dalam
diri manusia.
Sebagaimana diketahui bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna sebagaimana firman allah SWT, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dalam dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (Q.S. 95: 4-5) Jika malaikat adalah makhluk yang senantiasa taat kepada semua perintah Allah dan sebaliknya, setan adalah makkhluk yang senantiasa mengingkari-Nya. Sedangkan manusia adalah makhluk ideal yang posisinya berada di antara kedua ekstrim tersebut. Oleh sebab itu, manusia memiliki potensi kepatuhan dan ketaatan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, atau justru sebaliknya. Patuh tidaknya manusia terhadap perintah Allah SWT merupakan ujian yang harus dijalani. Allah SWT melengkapi tubuh manusia dengan nafsu. Dengan nafsu manusia bisa berbuat apa saja yang menjadi keinginannya. Manusia dikatakan “berhasil” jika bisa mengendalikan nafsunya. Manusia tidak perlu menjadi malaikat apalagi menjadi setan. Melalui sarana ibadah baik ibadah mahdlah maupun ghairu mahdlah, vertikal ataupun horisontal sebagai manifestasi dari kontinyuitas iman, manusia bisa menjadi makhluk yang sempurna dan memiliki derajat yang tinggi.[23]
3.
Metode Pendidikan Akidah
Metode Pendidikan Akidah
Metode mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah proses pendidikan
Islam. Karena seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan sebagai materi pengajaran
dari pendidik kepada peserta didik adalah melalui sebuah metode. Ada sebuah
adigum yang berbunyi : ال طري قة امه من امل ادة
Bahwa metode itu lebih penting
daripada materi. Merupakan sebuah realita bahwa metode penyampaian yang
komunikatif akan lebih disenangi meskipun materi yang disampaikan biasa-biasa
saja, jika dibandingkan dengan materi yang menarik tetapi metode yang
disampaikan dengan tidak menarik maka materi tersebut tidak dapat diterima
dengan baik pula oleh peserta didik. Sehingga penggunaan metode yang tepat
sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses mendidik. Metode berasal dari
bahasa Greek atau Yunani “metodos” , selanjutnya kata ini terdiri dari dua suku
kata yakni “meta” yang artinya melalui atau melewati dan “hodos” yang memiliki
makna jalan atau cara. Sehingga metode adalah jalan yang dilalui untuk mencapai
tujuan.[24]
Sedangkan menurut Ibnu Taimiah
tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek yaitu: Pertama tercapainya
pendidikan Tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah. Kedua mengetahui ilmu
Allah swt melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya. Ketiga mengetahui
kekuatan Allah melalui pemahaman jens-jenis, kuantitas, dan kreatifitas
makhluknya. Keempat mengetahui apa yang diperbuat Allah. (Sunnah Allah )
tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya. Menurut al-Ghazali, tujuan
umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi yaitu: Pertama insan purna yang
bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua insan purna yang bertujuan
mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[25]
4.
Media Pendidikan Akidah
pembelajaran dengan
memanfaatkan media teknologi informasi akan dapat meningkatkan motivasi peserta
didik dalam pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan minat dalam diri peserta
didik serta dapat dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan pembelajaran
efektif dan efesien36 Perbedaan yang paling mendasar diantaranya: objek
penelitian, waktu dilakukannya penelitian, metodologi penelitian dan teknik
pengumpulan data. Pada dasarnya dari penelitian di atas memiliki tujuan dan
persamaan yakni, sama-sama bertujuan untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran
dan membantu program pendidikan. Sebagai bentuk integrasi perkembangan
teknologi informasi dalam kemajuan pendidikan. Selain itu juga, untuk merubah
paradigm pembelajaran konvensional diberbagai lembaga pendidikan dengan
mengintegrasikan teknologi informasi yang ada. Sehingga memberikan kreativitas,
inovasi, dan wawasan keilmuan para guru dalam mengembangkan materi pembelajaran
yang ingin disampaikan, dengan tujuan agar dalam pembelajaran lebih efektif,
efesien, dan menyenangkan.[26]
5.
Sumber Belajar
Perkembangan Keajaiban dalam Dunia
pendidikan Eric Ashby (1997), seorang pemerhati pendidikan menjelaskan
tahap-tahap perkembangan sumber belajar. Dia membaginya dalam empat tahap
sebagai berikut:
a.
Sumber belajar pra-guru Tahap
ini, sumber belajar utama adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok,
sumber lainnya masih sangat langka. Adapun benda yang digunakan berbentuk
dedaunan, atau kulit pohon dengan bahan simbol dan isyarat verbal sebagai isi
pesannya. Pengetahuan diperoleh lebih banyak dengan cara coba-coba (trial) dan
error sehingga hasilnya pun masih sederhana dan mutlak di bawah kontrol orang
tua atau anggota keluaga. Ciri khas dari tahap ini sifatnya tertutup dan
rahasia.
b.
Lahirnya guru sebagai sumber
belajar utama Pada tahap inilah cikal bakal adanya sekolah. Perubahan terjadi
pada cara pengelolaan, isi ajaran, peran orang, teknik dan lainnya. Jumlahnya
masih terbatas dan dominannya peran guru. Begitu pula mutu pengajaran
tergantung kualitas guru. Adapun kelebihannya guru dihormati dan kedudukannya
tinggi sehingga menentukan keberhasilan pembelajaran. Kelemahannya bahwa jumlah
siswa yang dapat dididik masih terbatas dan tugas guru sangat berat. 3 Abdul
Majid, Perencanaan Pembelajaran.
c.
Sumber belajar bentuk cetak
Tugas guru relatif lebih ringan karena adanya sumber belajar cetak. Siswa dapat
mempelajari sendiri ketika belum paham. Kelemahannya terkadang penulisan buku
belum baik dan isinya sulit dipahami oleh sebagian siswa. Kelebihannya, materi
dapat disebarluaskan secara cepat dan luas. Sumber belajar cetak ini meliputi buku,
majalah, modul, makalah dan lainnya.
d.
Sumber belajar produk
teknologi komunikasi. Sumber ini dikenal dengan istilah audio visual aids yaitu
sumber belajar dari bahan audio (suara), visual (gambar), atau kombinasi dari
keduanya dalam sebuah proses pembelajaran. Istilah lain disebut juga media
pendidikan yang biasanya didesain secara lebih terarah, spesifik dan sesuai
dengan perkembangan siswa. Contoh sumber belajar dalam tahap ini yakni berupa
televisi, CD, radio dan OHP.[27]
6.
Evaluasi Pendidikan Akidah
Pendidikan aqidah merupakan
penanaman aqidah yang harus diberikan kepada anak sejak dini. Karena aqidah
adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang
akan didirikan, harus semakin kokoh fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah
bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi. [28]
Penanaman aqidah ini dimulai dengan mengenalkan kalimat tauhid dari awal
penciptaan manusia serta memberikan suasana religius dalam keluarga. Dengan
dasar aqidah yang tertanam kuat dalam jiwa anak akan melandasi pengetahuan anak
selanjutnya dalam semua aspek kehidupan. Dengan proses membimbing dan
mengarahkan segala potensi yang ada pada anak terutama ketauhidan sehingga akan
menimbulkan kepercayaan dan keyakinan yang tertanam kuat dalam hati sebagai
pegangan dan landasan hidup di dunia. Diharapkan dengan pendidikan aqidah
tersebut seseorang dalam bertingkah laku didasari atas kepercayaan dan
keyakinan. Nashih Ulwan begitu peduli dengan dunia pendidikan khususnya
pendidikan anak ditinjau dari sudut pandang Islam, sehingga ia memberikan
penjelasan bahwa kewajiban pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar
pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa
pertumbuhanya. Sehingga, anak akan terikat dengan Islam, baik aqidah maupun
ibadah, setelah petunjuk dan pendidikan tersebut maka ia (anak) hanya akan
mengenal Islam sebagai agamanya, al-qur‟an sebagai imamnya dan rasulullah saw
sebagai pemimpin dan teladannya.[29]
KESIMPULAN
Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi
orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan
apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Sedangkan Akidah merupakan
perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Ada
juga ahli yang mendefinisikan bahwa aqidah ialah kesimpulan pandangan atau
kesimpulan ajaran yag diyakini oleh hati seseorang.
Dalam ajaran Islam, akidah memiliki kedudukan yang sangat penting.
Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang
lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah
yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Maka,
akidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan
diterimanya suatu amal.
menurut Imam Ghazali yaitu proses memanusiakan manusia sejak masa
kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran
itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri
kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.
Jadi, Pendidikan aqidah merupakan penanaman aqidah yang harus
diberikan kepada anak sejak dini. Karena aqidah adalah dasar, fondasi untuk
mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin
kokoh fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat
ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi.
[1] Irawan,
“Urgensi Tauhid dalam Membangun Epistemologi Islam.”h.109
[2] Sehat Sultoni
Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak (Yogyakarta: Deepublish, 2016)h.3.
[3] Soekidjo
Notoatmodjo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
2003), h.16.
[4] Lowis Ma’luf,
Al-Munjid Fil al-Lughah wa al-Alam, (Beirut-Lebanon: Al Maktabah Al Syarqiyah,
1986), h.519.
[5] 5 Taufik
Yunansyah, Buku Akidah Akhlak Cetakan Pertama, (Jakata: Grafindo Media Pratama,
2006), h.3.
[6] M. hidayat
Ginanjar, Pembelajaran Akidah Akhlak dan Korelasinya dengan Peningkatan Ahlak
Al-Karimah Peserta Didik(Bogor: Jurnal Edukasi Islam Jurnal Pendidikan Islam
Vol. 06 No.12, Juli 2017),. h.7
[7] Ali Abdul
Halim Mahmud, Akhlak Mulia,(Jakarta : Gema Insani, 2004), h.55.
[8] Yunahar Ilyas,
Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Heppy el Rais, 2011), h.8.
[9] Hassan Hanafi,
al-Din wa al-Thawra, (Kairo: Maktabat Madbuli, 1981), 8, h. 18., lihat juga,
Hassan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid, (Beirut: al-Mu’assasa al-Jami’a, 1992),
h.15
[10] Al-Bukhary,
Shahih Bukhary, Kitab al-Jana’iz, no. 1271.
[11] Yusron Asmuni,
h.2
[12] M. Ngalim
Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1995), h.11.
[13] Abidin Ibnu
Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998), h.56
[14] Syed Naquib
al-Attas, The Concept Of Education In Islam (A Framework for an Islamic
Philosophy of Education), (Malaysia: International Institute Of Islamic Thought
and Civilization International Islamic University, 1991), h.13
[15] Suparlan
Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2009), h. 80
[16] Tim Penyusun
Kamus Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 263.
[17] Ngainun Naim
dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media , 2008)h.31
[18] Sayid Sabiq,
Aqidah Islam , h, 19
[19] Achmadi,
Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.90
[20] Undang-undang
Republik Indonesia nomor 2 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidkan Nasional, Bab II
Pasal 3. h.3
[21] Hassan Hanaf
Islamologi I dari Teologi Statis ke Anarkis, (Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 44.
Baca juga, Rrichard c. Martin, dkk, Defenders of Reason in Islam Mu’tazilism
from Medievel school to Modern Symbol, (England: Oxford, 1997), h. 180.
[22] JURNAL
TRANSFORMATIF (Islamic Studies) Volume 1, Nomor 1, April 2017
[23] Syaikh
Muhammad Nashiruddin al-Albani, e-book Mukhtashar Shahih Muslim, Bab I, Kitab
Iman, no. 8.
[24] Armai Arif,
Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Ciputat Pers, Jakarta, 2002,)
h. 39
[25] Abdul Mujib
dan Yusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2006).
h.78-79
[26] Hamdan,
“Aplikasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi”, (Jakarta: Pustikom FSH, 2013), h. 44
[27]
Pamuji.Belajar-pembelajaran-dan-sumber-belajar/ (Jakarta 2010) . hal.12
[28] Yunahar Ilyas,
Kuliah Aqidah Islam, hlm.9-10
[29] Nashih Ulwan,
Pedoman Pendidikan anak Dalam Islam, jilid I, hlm.151
Komentar
Posting Komentar