MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH PENDIDIKAN AKIDAH DALAM WAWASAN PENDIDIKAN ‎ISLAM

 PENDIDIKAN AKIDAH  DALAM WAWASAN PENDIDIKAN ISLAM

By: Ridwan


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kehadiran agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-Quran dan Hadits, tampak amat ideal dan agung. Sedangkan akal pikiran sebagai alat untuk memahami Al-Quran dan Hadits. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah SWT. Hal demikian dinyatakan dalam Al-Quran Surah An-Nisa’ ayat 59 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa’: 59). Aqidah sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sedangkan akhlak sebagai sistem etikamenggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai agama. Muslim yang baik adalah muslim yang memiliki aqidah yang lurus dan kuat yang mendorongnya untuk melaksanakan syariat yanghanya ditujukan kepada Allah sehingga tergambar kesalehan akhlak yang terpuji pada dirinya. Aqidah, syariat dan akhlak dalam Al-Quran disebut iman dan amal shaleh. Iman 5 menunjukkan makna aqidah, sedangkan amal shaleh menunjukkan pengertian akhlak.

  

BAB II

PENDIDIKAN AKIDAH DALAM WAWASAN PENDIDIKAN ISLAM 

A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN AKIDAH

Pendidikan. Secara etimologis, kata yang senantiasa dirujuk para ahli adalah tarbiyah untuk kemudian dijelaskan bahwa ia berasal dari “raba-yarbu” yang berarti bertambah dan bertumbuh, “rabia-yarba” yaitu menjadi besar, dan “rabba-yarubbu” yang bermakna memperbaiki, menguasai urusan, menuntut, menjaga dan memelihara. Dari akar tersebut, pendidikan dipahami sebagai segala sesuatu yang mengalami proses perubahan ke arah yang lebih baik. Pendidikan juga dapat dikatakan sebagai –terlepas dari bagaimanapun bentuknya, suatu konsep atau objek yang diamati atau objek itu sendiri yang mengalami proses perbaikan dalam arti ke arah yang lebih baik.[1]

Kata tarbiyah juga berasal dari asli kata “ra-ba-ba”, yang disebutkan hingga 1241 kali. Hal ini dengan merujuk salah satu nama Allah yaitu “rabbun” yang merupakan penerjemahan dari Tuhan yang selalu berperan dalam segala hajat manusia. Ia memberi ilustrasi bahwa ketika seorang pasangan suami-istri mengharapkan Allah memberi rezeki anak kepada mereka, maka mereka pun berdoa kepada-Nya sebagai “rabbun” sebagaimana mereka meminta untuk diberkahi rezeki yang halal. Singkatnya, Rabbun selalu hadir dalam setiap kepentingan manusia.[2]

Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan.[3]

Kata “akidah” berasal dari bahasa arab, yang berarti “ma’uqida ‘alaihi al-qolb wa al-dlomir”, yakni sesuatu yang ditetapkan diyakini oleh hati dan perasaan (hati nurani); dan berarti “matadayyana bihi alinsan wa i’tiqoduhu” yakni sesuatu yang dipegangi dan diyakini(kebenarannya) oleh manusia.[4] Aqidah dilihat dari segi bahasa berati “ikatan”. Aqidah seseorang, artinya “ikatan seseorang dengan sesuatu”. Kata aqidah juga berasal dari bahasa Arab yaitu Aqodaya’qudu-aqidatan.[5]  Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Ada juga ahli yang mendefinisikan bahwa aqidah ialah kesimpulan pandangan atau kesimpulan ajaran yag diyakini oleh hati seseorang.[6] Dengan demikian secara etimologis, akidah adalah kepercayaan atau keyakinan yang benar menetap dan melekat dihati manusia.

Secara terminologi menurut Hasan Al-Bana, aqoid bentuk jamak dari aqidah adalah beberapa perkara wajib yang diyakini kebenarannya oleh hati, mendatangkan ketentraman jiwa, yang menjadi keyakinan yang tidak bercampur sedikitpun dengan keragu-raguan.[7] Sedangkan menurut Abu Bakar Jabir al-Jaziry sebagaimana dikutip Yunahar Ilyas mengatakan ‘aqidah’ adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu, dan fitrah. Kebenaran itu di

Aqidah adalah dasar, pondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan di dirikan, harus semakin kokoh pondasi yang kuat. Kalau pondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi.[8]

 

B.     SUMBER AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG PENDIDIKAN AKIDAH

Aqidah Islam adalah sesuatu yang bersifat tauqifi, artinya suatu ajaran yang hanya dapat ditetapkan dengan adanya dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka, sumber ajaran aqidah Islam adalah al-Quran dan Sunnah. Karena, tidak ada yang lebih tahu tentang Allah kecuali Allah itu sendiri, dan tidak ada yang lebih tahu tentang Allah, setelah Allah sendiri, kecuali Rasulullah saw.

Sebenarnya setiap bayi yang lahir diciptakan Allah subhanahu wata’ala di atas fitrah keimanan. Berkaitan dengan hal ini Allah berfirman dalam QS. Al Α’raf: 172 yang artinya, "Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ‘Bukankah Aku ini Rabb-mu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menajdi saksi.’ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).

Q.S. Al-Hasyr ayat 23-24, Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(23). Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (24).

Pemikiran kalam klasik pada umumnya berorientasi pada Allah SWT dan mengabaikan manusia dan alam. Inilah akar krisis dunia Islam, karena cara berpikir yang demikian akan membentuk pandangan dunia yang deterministik. Sedangkan dari sisi content menjadikan hilangnya wacana kemanusiaan.[9]

Dalam ajaran Islam, akidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Maka, akidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah SWT berfirman :

فَمَنۡ كَانَ يَرۡجُوۡالِقَآءَ رَبِّهٖ فَلۡيَـعۡمَلۡ عَمَلًا صَالِحًـاوَّلَايُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖۤ اَحَدًا

“Maka barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

 Landasan pendidikan akidah dari hadits antara lain sabda Nabi :

 ما من مولود الا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه او ينصرانه او يمجسانه

( رواه البخاري )

Artinya : Tidak seorang anakpun yang dilahirkan kecuali ia dilahirkan menetapi fitrah, Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan dia menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi.(HR. Bukhori).[10]

Agama seyogyanya ditanamkan ke dalam pribadi anak sejak dini, yakni sejak anak dilahirkan. Anak mengenal Tuhan melalui orang tuanya. Perkembangan agama anak sangat dipengaruhi oleh kata-kata, sikap, tindakan, dan perbuatan orang tuanya. Apa saja yang dikatakan orang tua akan diterima oleh anak. Orang tua bagi anak adalah benar, berkuasa, pandai, dan menentukan. Oleh sebab itu hubungan antara orang tua dan anak mempunyai pengaruh signifikan bagi perkembangan agama anak.

Aqidah yang benar akan membuat jiwa tenteram, dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kemusyrikan. Selain itu, aqidah juga berpengaruh dalam membentuk sikap dan perilaku anak. Jika tauhid tertanam dengan kuat, ia akan menjadi sebuah kekuatan batin yang tangguh. Sehingga melahirkan sikap positif. Optimisme akan lahir menyingkirkan rasa kekhawatiran dan ketakutan kepada selain Allah. Sikap yang positif dan perilaku positif akan bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain.[11]

 

C.    PEMIKIRAN TOKOH PENDIDIKAN ISLAM KLASIK DAN MODERN TENTANG PENDIDIKAN AKIDAH

Al-Qabisi adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma„arifi Al-Qairawaniy. Al-Qabisi adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis. Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota Qairawan Tunisia (wilayah Maghribi, sekarang Maroko, Afrika Utara) pada hari senin bulan Rajab tahun 324 H-935M.beliau wafat pada tanggal 3 Rabbiul Awal Tahun 403 H. Bertepan pada tanggal 23 Oktober 1012.

Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh-kembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.Lebih spesifik tujuan pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-nilai agama yang murni.Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan pendidikannya agar anak memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat mendukung kemampuanya mencari nafkah.

            Ibnu Sina bernama yang meiliki lengkap Abu Ali Al-Husain bin Abdullah bin Sina Ia dilahirkanTahun 370 H/ 980 M di Afshana, sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ketika lahir ayahnya menjabat Gubernur di salah satu pemukiman Nuh ibnu Mansur (Sekarang wilayah Afganistan).

            Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti."

Selain itu tujuan pendidikan menurut Ibn Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseeorang agar dapat hidup di masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.

Pendidikan yang bersifat jasmani, Ibn Sina berpendapat tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik. seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tujuan pendidikan yang bersifat keterampilan ditujukan adalah menyiapkan tenaga professional. Dan juga memberikan pendidikan budi pekerti (akhlak) agar ada kepaduan antara keterampilan dengan budi pekerti.

            Secara terminologi, ada beberapa pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya:

1.       Menurut Ngalim Purwanto pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan.[12]

2.       Adapun arti pendidikan menurut Imam Ghazali yaitu proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.[13]

3.       Menurut Syed Naquib al-Attas, pendidikan adalah menanamkan sesuatu ke dalam diri seseorang (Education is a process of instilling something into human beings).[14]

4.       Suparlan mendefinisikan pendidikan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri. Sedangkan dalam arti sempit, pendidikan adalah seluruh kegiatan belajar yang direncanakan, dengan materi terorganisasi, dilaksanakan secara terjadwal dalam pengawasan, dan diberikan evaluasi berdasar pada tujuan yang telah ditentukan. Pendidikan dalam arti sempit bukan berarti memotong isi dan materi pendidikan, melainkan mengorganisasinya dalam bentuk sederhana tanpa mengurangi kualitas dan hakekat pendidikan.[15]

5.        Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik[16].

6.       Sementara bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara merumuskan hakikat pendidikan sebagai usaha sadar orangtua bagi anak-anaknya dengan maksud untuk menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan jasmani dan rohani yang ada pada anak.[17]

D.    TUJUAN, MATERI, METODE, MEDIA, SUMBER BELAJAR DAN EVALUASI PENDIDIKAN AKIDAH

1.    Tujuan Pendidikan Akidah

Menurut Sayid Sabiq, tujuan utama aqidah adalah memberikan didikan yang baik dalam menempuh jalan kehidupan, mensucikan jiwa lalu mengarahkannya ke jurusan yang tertentu untuk mencapai puncak dari sifat-sifat tinggi dan luhur, dan lebih utama lagi supaya diusahakan agar sampai pada ma‟rifat tertinggi. [18]

Tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh renungan pedagogik. Dengan demikian tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya.[19]

 Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkengembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[20]

2.    Materi pendidikan Akidah

a.    Membangun Etos Kerja dengan Motivasi Iman, Islam dan Ihsan

Iman merupakan verbalisasi keyakinan, pernyataan merupakan argumentasi eksplisitnya dan aplikasi praktis adalah tindakan lahir dari hal yang disebut iman. Mu’tazilah misalnya, menjadikan iman sebagai sesuatu yang didengar karena ketaatan dan kebahagiaan. Mereka mengatakan bahwa iman merupakan sebutan dari pembenaran hati, ikrar lisan, dan tindakan anggota- anggota badan dalam pengertian menjalankan kewajiban- kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Argumentasi yang menarik adalah bahwa tindakan wajib adalah agama. Agama adalah Islam dan Islam adalah iman.[21] Sehingga dapat dipahami bahwa penghayatan yang ideal terhadap agama Islam adalah bagaimana seseorang mampu menjadikan integrasi dan interkoneksi antara iman, Islam dan diaplikasikan secara jujur (ihsan) dalam kehidupan. Sebab ihsan menuntut adanya motivasi iman dan Islam secara benar dalam diri. Tindakan-tindakan internal-psikologis (iman dan Islam) manusia merupakan tindakan-tindakan sistematis ideal, sehingga manusia akan dituntut pertanggung-jawaban sebagaimana tanggung-jawab atas tindakan-tindakan eksternal-lahiriah (ihsan). Aplikasi praktis dalam membangun etos kerja dari kesadaran internal tergantung pada kesadaran manusia, sejauh mana kesadaran manusia terhadap tautan pertanggungjawaban dan otoritasnya untuk mempresentasikan tujuan dan orientasi yang melahirkan kemampuan-kemampuan yang tak terhingga untuk dihadirkan melalui tindakan-tindakan yang diprediksi manusia sebagai sesuatu yang di luar kebiasaan. Manusia tumbuh dan hidup dalam komunitas sosial yang membentangkan orientasi-orientasinya dan menghadapinya dengan orientasi-orientasi baru. Oleh karena itu, tindakantindakan dalam membangun etos kerja melalui kesadaran internal merupakan pertemuan orientasi-orientasi dan tujuan-tujuan manusia dengan realitas sosial di mana mereka hidup. Penghayatan ideal terhadap agama Islam dengan integrasi dan interkoneksi antara iman, Islam dan diaplikasikan secara jujur (ihsan) dalam kehidupan. Sehingga indakan-tindakan internal-psikologis (iman dan Islam) diharapkan bisa melahirkan tindakan-tindakan eksternal-lahiriah (ihsan) yang dapat dipertanggungjawabkan.

b.    Memahami Fenomena Alam dan Sosial Melalui Pendekatan Sunnatullah Sebagai Refleksi Pemahaman Aqidah

Pengalaman teologis yang terjadi di luar Islam telah menciptakan disharmoni antara urusan dunia (sains dan teknologi) dan akhirat (agama). Factor dominan dalam konteks tersebut adalah pemahaman tekstual pemuka agama terhadap doktrin. Oleh karena itu pendekatan kontekstual yang banyak dipakai dalam ilmu Kalam sangat urgen dalam meminimalisir disharmoni antara kedua hal tersebut. Maka dominasi teologis yang mewarnai sikap umat Islam harus diimbangi dengan apresiasi dan penguasaan terhadap ilmu-ilmu dunia (sains dan teknologi). Berbagai pembahasan ilmu Kalam yang dikembangkan sejak Daulah Abbasiyah menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap ilmu-ilmu dunia (sains dan teknologi). Kontribusi ilmu Kalam dalam konteks ini berkaitan dengan keberhasilannya menciptakan suasana dialogis sebagai wadah utama bagi pengembangan ilmu-ilmu dunia (sains dan teknologi). Kontribusi penting lainnya dari ilmu Kalam adalah kemampuannya mengantarkan umat Islam untuk dapat menyikapi secara rasional berbagai fenomena alam dan sosial melalui pendekatan sunnatullah, sehingga gejala-gejala alam dapat dipahami secara tepat baik dari kaca mata agama maupun ilmu-ilmu dunia (sains dan teknologi).[22]

c.    Istiqamah dalam Beriman

Dari Sufyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi RA, dia berkata, "Saya pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, 'Wahai Rasulullah! Katakanlah kepadaku suatu perkataan tentang Islam yang tidak akan saya tanyakan kepada seseorang sesudah kamu!" (Disebutkan di dalam hadits Abu Usamah, ...yang tidak akan saya tanyakan kepada seseorang selainmu). Beliau menjawab, 'Katakanlah! Saya beriman kepada Allah lalu konsistenlah (dengan apa yang kamu ucapkan)!'" Penghayatan motivasi ibadah dengan tepat merupakan kendali yang kokoh bagi terbinanya istiqamah atau kontinyuitas dalam diri manusia.

Sebagaimana diketahui bahwa manusia merupakan makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna sebagaimana firman allah SWT, “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dalam dia ke tempat yang serendah-rendahnya. (Q.S. 95: 4-5) Jika malaikat adalah makhluk yang senantiasa taat kepada semua perintah Allah dan sebaliknya, setan adalah makkhluk yang senantiasa mengingkari-Nya. Sedangkan manusia adalah makhluk ideal yang posisinya berada di antara kedua ekstrim tersebut. Oleh sebab itu, manusia memiliki potensi kepatuhan dan ketaatan dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, atau justru sebaliknya. Patuh tidaknya manusia terhadap perintah Allah SWT merupakan ujian yang harus dijalani. Allah SWT melengkapi tubuh manusia dengan nafsu. Dengan nafsu manusia bisa berbuat apa saja yang menjadi keinginannya. Manusia dikatakan “berhasil” jika bisa mengendalikan nafsunya. Manusia tidak perlu menjadi malaikat apalagi menjadi setan. Melalui sarana ibadah baik ibadah mahdlah maupun ghairu mahdlah, vertikal ataupun horisontal sebagai manifestasi dari kontinyuitas iman, manusia bisa menjadi makhluk yang sempurna dan memiliki derajat yang tinggi.[23] 

 

3.      Metode Pendidikan Akidah

Metode Pendidikan Akidah Metode mempunyai peran yang sangat penting dalam sebuah proses pendidikan Islam. Karena seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan sebagai materi pengajaran dari pendidik kepada peserta didik adalah melalui sebuah metode. Ada sebuah adigum yang berbunyi : ال طري قة امه من امل ادة

Bahwa metode itu lebih penting daripada materi. Merupakan sebuah realita bahwa metode penyampaian yang komunikatif akan lebih disenangi meskipun materi yang disampaikan biasa-biasa saja, jika dibandingkan dengan materi yang menarik tetapi metode yang disampaikan dengan tidak menarik maka materi tersebut tidak dapat diterima dengan baik pula oleh peserta didik. Sehingga penggunaan metode yang tepat sangat mempengaruhi keberhasilan dalam proses mendidik. Metode berasal dari bahasa Greek atau Yunani “metodos” , selanjutnya kata ini terdiri dari dua suku kata yakni “meta” yang artinya melalui atau melewati dan “hodos” yang memiliki makna jalan atau cara. Sehingga metode adalah jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan.[24]

Sedangkan menurut Ibnu Taimiah tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek yaitu: Pertama tercapainya pendidikan Tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah. Kedua mengetahui ilmu Allah swt melalui pemahaman terhadap kebenaran makhluk-Nya. Ketiga mengetahui kekuatan Allah melalui pemahaman jens-jenis, kuantitas, dan kreatifitas makhluknya. Keempat mengetahui apa yang diperbuat Allah. (Sunnah Allah ) tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya. Menurut al-Ghazali, tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi yaitu: Pertama insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[25]

4.      Media Pendidikan Akidah

pembelajaran dengan memanfaatkan media teknologi informasi akan dapat meningkatkan motivasi peserta didik dalam pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan minat dalam diri peserta didik serta dapat dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan pembelajaran efektif dan efesien36 Perbedaan yang paling mendasar diantaranya: objek penelitian, waktu dilakukannya penelitian, metodologi penelitian dan teknik pengumpulan data. Pada dasarnya dari penelitian di atas memiliki tujuan dan persamaan yakni, sama-sama bertujuan untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran dan membantu program pendidikan. Sebagai bentuk integrasi perkembangan teknologi informasi dalam kemajuan pendidikan. Selain itu juga, untuk merubah paradigm pembelajaran konvensional diberbagai lembaga pendidikan dengan mengintegrasikan teknologi informasi yang ada. Sehingga memberikan kreativitas, inovasi, dan wawasan keilmuan para guru dalam mengembangkan materi pembelajaran yang ingin disampaikan, dengan tujuan agar dalam pembelajaran lebih efektif, efesien, dan menyenangkan.[26]

5.      Sumber Belajar

Perkembangan Keajaiban dalam Dunia pendidikan Eric Ashby (1997), seorang pemerhati pendidikan menjelaskan tahap-tahap perkembangan sumber belajar. Dia membaginya dalam empat tahap sebagai berikut:

a.  Sumber belajar pra-guru Tahap ini, sumber belajar utama adalah orang dalam lingkungan keluarga atau kelompok, sumber lainnya masih sangat langka. Adapun benda yang digunakan berbentuk dedaunan, atau kulit pohon dengan bahan simbol dan isyarat verbal sebagai isi pesannya. Pengetahuan diperoleh lebih banyak dengan cara coba-coba (trial) dan error sehingga hasilnya pun masih sederhana dan mutlak di bawah kontrol orang tua atau anggota keluaga. Ciri khas dari tahap ini sifatnya tertutup dan rahasia.

b.  Lahirnya guru sebagai sumber belajar utama Pada tahap inilah cikal bakal adanya sekolah. Perubahan terjadi pada cara pengelolaan, isi ajaran, peran orang, teknik dan lainnya. Jumlahnya masih terbatas dan dominannya peran guru. Begitu pula mutu pengajaran tergantung kualitas guru. Adapun kelebihannya guru dihormati dan kedudukannya tinggi sehingga menentukan keberhasilan pembelajaran. Kelemahannya bahwa jumlah siswa yang dapat dididik masih terbatas dan tugas guru sangat berat. 3 Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran.

c.  Sumber belajar bentuk cetak Tugas guru relatif lebih ringan karena adanya sumber belajar cetak. Siswa dapat mempelajari sendiri ketika belum paham. Kelemahannya terkadang penulisan buku belum baik dan isinya sulit dipahami oleh sebagian siswa. Kelebihannya, materi dapat disebarluaskan secara cepat dan luas. Sumber belajar cetak ini meliputi buku, majalah, modul, makalah dan lainnya.

d.  Sumber belajar produk teknologi komunikasi. Sumber ini dikenal dengan istilah audio visual aids yaitu sumber belajar dari bahan audio (suara), visual (gambar), atau kombinasi dari keduanya dalam sebuah proses pembelajaran. Istilah lain disebut juga media pendidikan yang biasanya didesain secara lebih terarah, spesifik dan sesuai dengan perkembangan siswa. Contoh sumber belajar dalam tahap ini yakni berupa televisi, CD, radio dan OHP.[27]

6.      Evaluasi Pendidikan Akidah

Pendidikan aqidah merupakan penanaman aqidah yang harus diberikan kepada anak sejak dini. Karena aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi. [28] Penanaman aqidah ini dimulai dengan mengenalkan kalimat tauhid dari awal penciptaan manusia serta memberikan suasana religius dalam keluarga. Dengan dasar aqidah yang tertanam kuat dalam jiwa anak akan melandasi pengetahuan anak selanjutnya dalam semua aspek kehidupan. Dengan proses membimbing dan mengarahkan segala potensi yang ada pada anak terutama ketauhidan sehingga akan menimbulkan kepercayaan dan keyakinan yang tertanam kuat dalam hati sebagai pegangan dan landasan hidup di dunia. Diharapkan dengan pendidikan aqidah tersebut seseorang dalam bertingkah laku didasari atas kepercayaan dan keyakinan. Nashih Ulwan begitu peduli dengan dunia pendidikan khususnya pendidikan anak ditinjau dari sudut pandang Islam, sehingga ia memberikan penjelasan bahwa kewajiban pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman dan dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran Islam sejak masa pertumbuhanya. Sehingga, anak akan terikat dengan Islam, baik aqidah maupun ibadah, setelah petunjuk dan pendidikan tersebut maka ia (anak) hanya akan mengenal Islam sebagai agamanya, al-qur‟an sebagai imamnya dan rasulullah saw sebagai pemimpin dan teladannya.[29]

 

 BAB III

KESIMPULAN

Pendidikan adalah segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Sedangkan Akidah merupakan perbuatan hati, yaitu kepercayaan hati dan pembenarannya kepada sesuatu. Ada juga ahli yang mendefinisikan bahwa aqidah ialah kesimpulan pandangan atau kesimpulan ajaran yag diyakini oleh hati seseorang.

Dalam ajaran Islam, akidah memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah suatu bangunan yang sangat rapuh. Maka, akidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal.

menurut Imam Ghazali yaitu proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna.

Jadi, Pendidikan aqidah merupakan penanaman aqidah yang harus diberikan kepada anak sejak dini. Karena aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh fondasi yang dibuat. Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan tanpa pondasi.

 



[1] Irawan, “Urgensi Tauhid dalam Membangun Epistemologi Islam.”h.109

[2] Sehat Sultoni Dalimunthe, Filsafat Pendidikan Akhlak (Yogyakarta: Deepublish, 2016)h.3.

[3] Soekidjo Notoatmodjo, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), h.16.

[4] Lowis Ma’luf, Al-Munjid Fil al-Lughah wa al-Alam, (Beirut-Lebanon: Al Maktabah Al Syarqiyah, 1986), h.519.

[5] 5 Taufik Yunansyah, Buku Akidah Akhlak Cetakan Pertama, (Jakata: Grafindo Media Pratama, 2006), h.3.

[6] M. hidayat Ginanjar, Pembelajaran Akidah Akhlak dan Korelasinya dengan Peningkatan Ahlak Al-Karimah Peserta Didik(Bogor: Jurnal Edukasi Islam Jurnal Pendidikan Islam Vol. 06 No.12, Juli 2017),. h.7

[7] Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia,(Jakarta : Gema Insani, 2004), h.55.

[8] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, (Yogyakarta: Heppy el Rais, 2011), h.8.

[9] Hassan Hanafi, al-Din wa al-Thawra, (Kairo: Maktabat Madbuli, 1981), 8, h. 18., lihat juga, Hassan Hanafi, al-Turats wa al-Tajdid, (Beirut: al-Mu’assasa al-Jami’a, 1992), h.15

[10] Al-Bukhary, Shahih Bukhary, Kitab al-Jana’iz, no. 1271.

[11] Yusron Asmuni, h.2

[12] M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1995), h.11.

[13] Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h.56

[14] Syed Naquib al-Attas, The Concept Of Education In Islam (A Framework for an Islamic Philosophy of Education), (Malaysia: International Institute Of Islamic Thought and Civilization International Islamic University, 1991), h.13

[15] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2009), h. 80

[16] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 263.

[17] Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, Pendidikan Multicultural Konsep dan Aplikasi, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media , 2008)h.31

[18] Sayid Sabiq, Aqidah Islam , h, 19

[19] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h.90

[20] Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidkan Nasional, Bab II Pasal 3.  h.3

[21] Hassan Hanaf Islamologi I dari Teologi Statis ke Anarkis, (Yogyakarta: Lkis, 2003), h. 44. Baca juga, Rrichard c. Martin, dkk, Defenders of Reason in Islam Mu’tazilism from Medievel school to Modern Symbol, (England: Oxford, 1997), h. 180.

[22] JURNAL TRANSFORMATIF (Islamic Studies) Volume 1, Nomor 1, April 2017

[23] Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, e-book Mukhtashar Shahih Muslim, Bab I, Kitab Iman, no. 8.

[24] Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Ciputat Pers, Jakarta, 2002,) h. 39

[25] Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2006). h.78-79

[26] Hamdan, “Aplikasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi”, (Jakarta: Pustikom FSH, 2013), h. 44

[27] Pamuji.Belajar-pembelajaran-dan-sumber-belajar/ (Jakarta 2010) . hal.12

[28] Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam, hlm.9-10

[29] Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan anak Dalam Islam, jilid I, hlm.151

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL