MAKALAH POLIGAMI
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
POLIGAMI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai macam
persoalan yang terjadi dalam masyarakat kita pada hari ini, yang mana masalah
tersebut sepertinya kurang serius Diterima oleh kaum hawa, dikarenakan praktik
sebagaimana yang telah dilakukan sekarang tidak sesuai dengan tuntutan
syari’ah, ada juga dari sisi lain dipengaruhi oleh rasa cemburu, dan merasa
dizalimi, sehingga dari pihak kaum hawa kurang menerima terhadap persoalan
tersebut, di antara sekian banyak persoalan yang timbul dalam kalangan
masyarakat, penulis mengambil saja salah satu saja yang seusai dengan topik,
yaitu masalah poligami, ini hampir tak menemukan titik yang absolut bagaimana
hukum yang sebenarnya, yang namun dalam masyarakat kita, ada sebagian orang
yang menolak terhadap poligami dan ada pula sebaliknya, dengan berbagai alasan-alasan
yang dikemukakan, baik alasan tersebut berdasarkan hukum syara’, ataupun karena
kecenderungan hawa nafsu. Apabila dilihat dari segi hukum Islam, yang mana pada
dasarnya hukum poligami itu boleh-boleh saja, asalkan punya alasan-alasan,
syarat, dan prosedur, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara’, walaupun
ada sebagian pihak yang menolak terhadap praktik tersebut.
Kaum adam tidak
memahami bagaimana ketentuan hukum yang sebenarnya mengenai poligami , sehingga
ia melakukan praktik tersebut, tanpa melihat dari segi efek negatif yang timbul
ke depan nanti, dalam artian dengan poligami tersebut, hilangnya keadilan
terhadap istri, bagaimana keadaan seorang anak nanti, yang apabila ia sudah
berpoligami, jadi di sinilah yang menjadi problematika terhadap praktik
poligami. berdasarkan dari uraian di atas, maka penulis mengambil beberapa
permasalahan yang dibahas, agar dapat terhindar dari kesalahan pemahaman,
khsusnya poligami dalam hukum Islam.
B. Rumusan masalah
1.
Apa pengertian poligami?
2.
Apa dasar hukum poligami?
3.
Apa alasan-alasan poligami?
4.
Bagaimana syarat-syarat poligami?
5.
Bagaimana prosedur poligami?
6.
Bagaimana batasan dalam berpoligami?
7.
Apa undang-undang
yang mengatur tentang poligami?
8.
Apa hikmah poligami?
C. Tujuan masalah
1.
Mengetahui pengertian poligami.
2.
Mengetahui dasar huhum poligami.
3.
Mengetahui alasan-alasan poligami.
4.
Mengetahui syarat-syarat poligami.
5.
Mengetahui prosedur poligami.
6.
Mengetahui batasan dalam berpoligami
7.
Mengetahui undang-undang yang mengatur tentang poligami.
8.
Mengetahui hikmah poligami.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian poligami
Kata poligami sendiri
berasal dari bahasa yunani “polygamie”, yaitu poly berarti banyak dan gamie
berarti laki-laki, jadi poligami adalah
laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan
perkawinan. Seperti seorang suami mungkin mempunyai dua istri atau
lebih pada saat yang sama. secara
etimologi, poligami tersebut adalah beristri banyak. Sedangkan bila dilihat
secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu
istri. Sementara dari sisi lain, poligami tersebut dapat diartikan sebagai
ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari
satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam
menjalani hidup berkeluarga.
Namun bila ditinjau dari pandangan Islam, poligami
tersebut mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dua, tiga dan empat
perempuan saja (tidak boleh lebih dari itu). Sangat banyak wanita yang menolak
terjadinya poligami dalam keluarganya dengan berbagai alasan yang diyakininya.
Namun terdapat pula beberapa wanita yang menerima konsep poligami dalam
keluarganya. Terdapat beberapa contoh perilaku poligami yang didukung oleh
istri, seperti memilihkan calon istri atau bahkan istri pertama yang
meminangkan wanita lain untuk suaminya. Hal ini biasanya disebabkan karena
kepahaman mereka terhadap bahaya bertambahnya jumlah wanita yang menua.[1]
Dari beberapa
pengertian diatas pemakalah dapat menyumpulkan bahwa poligami adalah seorang
laki-laki atau suami yang memiliki lebih dari satu orang istri dalam ikatan
perkawinan pada waktu yang bersamaan, buka dalam akad melaikan bersama dalam
menjalani kehidupan rumah tangga.
Sebelum datangnya Islam, masyarakat (Arab khusus nya)
sebenarnya sudah mengenal dan mempraktikkan poligami. Tidak sedikit di antara
mereka yang memiliki istri lebih dari satu. Ada yang memiliki lima orang istri,
delapan orang istri, bahkan ada juga yang memiliki istri lebih dari itu. Dalam riwayat Tirmidzi, disebutkan bahwa
seorang sahabat bernama Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi me miliki sepuluh
istri. Namun, Nabi Muhammad Saw. Memerintahkan untuk memilih empat orang istri
dari ke sepuluh istrinya, dan menceraikan keenam istrinya yang lain. Dengan
demikian, jauh sebelum Nabi Muhammad Saw. Menerima wahyu tentang batasan
memiliki istri, masyarakat Arab sudah banyak yang mempraktikkan poligami.
Bahkan, para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. Juga memiliki istri
lebih dari satu. Para raja zaman dahulu juga banyak yang mempraktikkan
poligami, termasuk di antaranya raja-raja Islam. Mereka melakukan praktik
poligami tentu tidak lepas dari asumsi bahwa Islam membolehkan poligami,
sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat an-Nisaa’ [4]: 3 serta hadits Nabi
Muhammad Saw. Inilah yang mendasari pemahaman bahwa poligami merupakan hal yang
diperbolehkan dalam Islam.[2]
B. Dasar Hukum Poligami
Surat An-Nisa`, ayat: 3
وَاِنْ
خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ
مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ
مَا مَلَكَتْ
اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا
تَعُوْلُوْاۗ
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka
(kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu
adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Al-Qur’an), surat An-Nisa’,
ayat: 3)
Maksud keadilan dari ayat diatas, adalah
perlakuan seorang suami terhadap istrinya seperti pakaian, tempat, giliran dan
lain-lain yang bersifat lahiriyah. Bila dilihat dari sisi lain, Islam
memperbolehkan poligami berdasarkan syarat-syarat sebagaimana yang telah
ditentukan syara’, dalam artian tidak boleh lebih dari empat orang istri. Ini
sebagaimana yang telah tersebut diatas tadi. Yang namun kita sebagai manusia
nampaknya secara umum tidak sanggup memenuhi aturan-aturan sebagaimana yang
telah tersebut tadi, dalam artian untuk menciptakan sebuah keadilan secara
sempurna, tidak akan terlaksana, walaupun memang ada hanya orang-orang tertentu
saja.
An-Nisa`
ayat 129:
وَلوَلَنْ
تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا
تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا
وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْم
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku
adil di antara Istri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian,
Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga
kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
memelihara diri (dari kecurangan), Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (AL-qur’an,
surat An-Nisa’, ayat: 129).
Ayat kedua ditafsirkan bahwa keadilan yang
berkaitan dengan kasih sayang dan kecenderungan hati tidak mungkin terlaksana.
Tetapi, seorang suami tidak boleh menjauhi istri pertamanya dan membiarkannya
terkatung-katung, tidak diperlakukan sebagai istri, dan tidak juga dicerai (76)
Suami harus memperlakukan istrinya dengan baik agar memperoleh cintanya. Allah
tidak akan menuntut suami atas kecenderungan hatinya asalkan tidak
berlebih-lebihan dan tetap mengindahkan Istri pertamanya.
Kedua ayat di
atas cukup menjelaskan hal-hal yang telah dipahami Rasulullah,
sahabat-sahabatnya, tabi’in, dan jumhur ulama muslimin tentang hukum-hukum
berikut ini:
1.
Boleh berpoligami
paling banyak hingga empat orang istri.
2.
Disyariatkan dapat
berbuat adil di antara istri-istrinya. Barangsiapa yang belum mampu memenuhi
ketentuan di atas, dia tidak boleh mengawini wanita lebih dari satu orang.
Seorang laki-laki yang sebenarnya meyakini dirinya tidak akan mampu berbuat
adil, tetapi tetap melakukan dikatakan bahwa akad nikahnya sah, tetapi dia
telah berbuat dosa.
3.
Keadilan yang
diisyaratkan oleh ayat di atas mencakup keadilan dalam tempat tinggal, makan,
dan minum, serta perlakuan lahir batin.
4.
Kemampuan suami
dalam hal nafkah kepada istri kedua dan anak-anaknya.
Rasulullah saw.
Telah menjelaskan keutamaan beristri lebih dari satu sebagaimana diriwayatkan
oleh Bukhari dalam sahih nya ini. Said bin Jubair berkata:
قال
لي إبن عباس: هل تزوجت؟ قلت: لا قال: شروع مان مير علم الأمة أكثرها سال هذه
“Berkata kepadaku
Ibnu Abbas: ‘Apakah engkau telah kawin? Jawabku: ‘Belum. Berkata beliau:
‘Kawinlan, se sungguhnya yang paling baik dari umat ini adalah yang banyak kaum
wanitanya.”
Ibnu Hajar mengatakan makna hadits di atas
adalah bahwa sebaik-baiknya umat Muhammad adalah orang yang banyak istrinya.
Diriwayatkan dari Annas r.a. bahwa ada sekelompok sahabat yang menanyakan
amal-amalan Nabi kepada para istri Nabi, sebagian dari mereka berkata bahwa
dirinya tidak akan makan daging, sebagian lagi berkata bahwa dirinya tidak akan
tidur, dan sebagian lagi berkata bahwa dirinya tidak akan menikahi wanita.
Ketika Nabi saw. Mengetahui hal itu, beliau berpidato di hadapan para sahabat
“Siapakah yang mengatakan begini... begini? Sedangkan aku ini shalat dan tidur,
berpuasa dan berbuka, serta menikahi wanita Barangsiapa yang tidak mengikuti
sunnahku, dia bukan dari golonganku. Dalam hadits tersebut lebih cenderung
menunjukkan kesempurnaan sifat untuk memiliki istri lebih dari satu.
Hadist Nabi Muhammad SAW yang
juga membahas tentang poligami terdapat dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nasai,
At-Tirmidzi bersabda, “siapa saja
orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada
hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring”. [3]
C.
Alasan-alasan
Poligami
Alasan
berpoligami yang dapat diterima, diantaranya adalah:
1.
Mengikuti
Rasulullah.
Tatkala
wafat beliau meninggalkan sembilan orang istri. Tanpa ada keraguan, Rasulullah
adalah teladan yang baik bagi kaum muslimin dalam semua urusan, kecuali hal
yang dikhususkan bagi beliau. Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang meng
harap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama
Allah.” (al-Ahzab: 21).
2.
Menurut data
statistik yang ada di pelbagai negara, jumlah wanita lebih banyak daripada
laki-laki.
Selain itu disebutkan juga tentu saja dengan kudrat Allah
lebih banyak wanita yang dilahirkan dan laki-laki yang meninggal lebih banyak
daripada kaum wanita. Kenyataan sekarang ini membuktikan bahwa banyak kalangan
laki-laki yang di terjunkan ke kancah peperangan sehingga banyak di antara
mereka yang tewas menjadi korban. Di sisi lain disebutkan juga bahwa kaum
laki-laki lebih banyak dihadapkan pada berbagai peristiwa seperti keluar rumah
untuk berusaha mencari rezeki dari satu tempat ke tempat lain. Mereka
mengerahkan kekuatannya untuk mendapatkan sesuap nasi. Akibatnya banyak kaum
laki-laki yang ditimpa sakit dan mati, sedangkan kaum wanita hanya tinggal di
rumah. Hai
itu dinyatakan rasulullah sebagai berikut,
ووترى الرجل الواحد يتبعه أربعون إمرأة
يلـذن به من قلة الرجل وكثرة النساء
“Satu
saat nanti kamu akan melihat seorang laki-laki bersama empat puluh wanita
karena sedikitnya laki-laki dan banyaknya wanita.”
3.
Pada dasarnya, masa subur laki-laki terhitung dari usia
balig sampai kurang lebih delapan puluh tahun, sedangkan masa subur wanita
berhenti sampai usia sekitar empat puluh atau empat puluh lima tahun dengan
wajarnya sampai lima puluh tahun.
4. Allah SWT telah
memberikan kekuatan dalam bidang seksual kepada seorang laki-laki sehingga
dapat terjadi seorang suami tidak merasa puas dengan hanya seorang istri untuk
menyalurkan libido seksualnya apalagi jika istrinya sedang haid dalam waktu
yang cukup panjang. Dalam kondisi seperti itu, untuk
menyalurkan libido seksualnya dengan baik, suami melakukan poligami dari pada
melakukan perbuatan maksiat.
5. Bisa
jadi, istri mandul, sementara suaminya sangat mendambakan keturunan, maka ada
dua pilihan bagi suami, yaitu Menceraikan istri yang mandul dan mengawini
wanita yang lain untuk memperoleh keturunan atau memadu istri pertama dan tetap
mempertahankan istri Pertamanya.
6. Dimungkinkan
istri menderita sakit berkepanjangan sehingga terpaksa suaminya menempuh jalan
berpoligami.
7. Kadang-kadang
suami ingin memiliki banyak keturunan, sedangkan anak-anaknya hanya sedikit
sehingga dia mengawini wanita lain. Hal itu sesuai dengan keinginan Rasulullah
saw. Untuk memperbanyak umat.
8. Kadangkala
suami banyak bepergian untuk bertugas di luar daerahnya dan tidak memungkinkan
baginya membawa istrinya kemana saja dia
pergi. Untuk menjaga dan menyalurkan kebutuhan biologisnya.
9. Bisa
jadi suami tidak lagi menyenangi istrinya karena ke lakuan istri yang buruk
atau hilang daya tariknya sehingga dia tidak bergairah lagi untuk menggauli
istrinya. Karena itu, suami terpaksa mengawini wanita lain untuk mencegah
dirinya dari perbuatan maksiat.
10. Poligami
memberikan kesempatan kepada perawan- perawan tua, janda-janda yang diceraikan
karena hidup tanpa suami lebih buruk akibatnya daripada memiliki separuh,
sepertiga, atau seperempat suami.
11. Poligami
dapat menanggulangi banyak kesulitan kemanusiaan diantaranya Seorang istri yang
suaminya meninggal sedangkan dia memiliki banyak anak, maka dalam hal ini,
Islam mendorong laki-laki untuk menikahi janda tersebut. [4]
D. Syarat-syarat Poligami
1. Islam membolehkan
kepada kaum muslimin untuk mengawini seorang istri (bermonogami) atau lebih
dari satu (berpoligami) yaitu sampai empat istri, sebagaimana yang telah
tercantum dalam surat An-Nisa`, ayat: 3, seperti itulah oleh manyoritas
dikalangan para mujtahit memfatwakan hukum dari masa-kemasa.
2. Islam membolehkan
poligami dengan jumlah yang telah ditentukan oleh syara’, dalam artian, dua,
tiga dan empat, ini berdasarkan dari ayat diatas tadi, yaitu: Allah berfirman:
yang artinya, “maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”.
3. Islam membolehkan
poligami dengan alasan, apabila seorang suami bersikap keadilan terhadap
istri-istrinya, apabila sebaliknya dari itu maka akan mendapatkan dosa,
sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “kemudian jika kamu takut tidak akan
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki.“ (qs. An-nisa ayat 3).
Sementara menurut pendapat sebagian ulama yang bermazhab
As-Syafi’I menambahkan syaratnya, yaitu mampu member nafkah bagi yang
berpoligami, yang mana Beliau mengambil pemahaman dari ayat diiatas tadi,
Yaitu: “yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak
anggota keluarga. Dari sisi lain, oleh Imam Baihaqi, yang mana beliau berpijak
juga kepada pendapat Imam As-Syafi’I, sebagaimana yang tercantum dalam kitab
“akhkam al-qur`an”, menjelaskan: kemampuan seorang suami dalam memberi nafkah
adalah syarat yang telah di tetapkan oleh syara’.[5]
E. Prosedur Poligami
1. Mengajukan
permohonan secara tertulis ke Pengadilan.
Pengajuan
permohonan izin tersebut dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam
Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua,
ketiga, keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan
hukum. Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila Istri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Untuk memperoleh izin
Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal
5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
a. Adanya
persetujuan istrinya.
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin
kepastian hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c. Persetujuan
tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila Istri atau istri-istrinya
tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya
2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
2. Pengadilan
kemudian memeriksa mengenai:
a. Ada
atau tidaknya yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.
b. Ada
atau tidaknya persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan di depan sidang pengadilan.
c. Ada
atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihat kan: Surat keterangan mengenai penghasilan suami
yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan atau
surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.
d. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
3. Apabila
pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih
dari seorang, maka pengadilan memberi putusannya yang berupa izin untuk
beristri lebih dari seorang.
4. Pegawai
pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.[6]
F. Batasan dalam Berpoligami
Sebelum Islam,
praktik poligami dengan menikahi wanita seba nyaknya sesuai dengan keinginan
mereka telah banyak terjadi, sampai disebutkan bahwa Nabi Daud a.s, memiliki
tiga ratus istri dan selir, sedangkan Nabi Sulaiman a.s., mempunyai tujuh ratus
wanita. Maka
Islam datang dan menetapkan batas serta syarat-syaratnya poligami ini. Adapun
batasan poligami, maksimal adalah empat orang tidak lebih. Sebagaimana firman
Allah,
... فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى ولات وربع ..
“... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga atau empat...” (QS. An-Nisaa’ (4): 3)
Ketika
laki-laki dari tsaqif yang memiliki sepuluh istri masuk Islam, maka Rasulullah
menyuruhnya untuk memilih empat dari mereka dan menceraikan yang lain.[7]
G. Perspektif Undang-undang Tentang Poligami
1.
Poligami Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Ketentuan pasal-pasal
tentang poligami, sebagaimana diatur pada Bab IX KHI,
Pasal 55 yang berbunyi:
a.
Beristri satu orang pada waktu bersamaan, terbatas
hanya sampai empat istri.
b.
Syarat utama
beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-istri dan anak-anaknya.
c.
Apabila syarat
utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristri dari seorang.
Pasal
56 Yang berbunyi
a. Suami
yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama.
b. Pengajuan
permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara
sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.
c. Perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal
57 yang berbunyi
Pengadilan
Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan berisri lebih dari
seorang apabila :
a.
Istri tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai istri.
b.
Istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.
Istri tidak dapat
melahirkan keturunan.
Untuk
memperoleh izin dari Pengadilan Agama, di samping persyaratan yang disebutkan
pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan dengan pasal 5 lagi oleh pasal 58 ayat (1)
yaitu
a. Adanya
persetujuan istri.
b. Adanya
kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak
mereka.
Pasal
59 yang berbunyi:
Dalam hal istri tidak mau memberikan
persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang
berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Bunyi
pasal 59 diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam
menghadapi perkara poligami dari istri yang saling mempertahankan pendapatnya.[8]
2. Poligami
Dalam Hukum Positif Indonesia
Didalam
Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan
Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor
50 tahun 2009 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah, dan ekonomi syari’ah.
Adapun
yang menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang ditentukan oleh
undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 .
Pasal
4 ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 ayat (1) – Untuk mengajukan permohonan
kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
undang-undang ini harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya
persetujuan dari istri / istri-istri.
b. Adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
c. Adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.[9]
H.
Hikmah
Poligami
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan
darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain sebagai berikut:
1. Untuk
mendapat keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul.
2. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa
menceraikan istri, sekalipun istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai
istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3. Untuk
menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina.
Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad
beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan
bagi umatnya adalah sebagai berikut:
1. Untuk
kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak 9 orang itu
bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran nabi
dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama masalah kewanitaan atau
kerumahtanggaan.
2. Untuk
kepentingan politik untuk mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik
mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri
Al-Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian pun perkawinan Nabi dengan
Shafiyah (seorang tokoh Bani Quraizhah dan Bani Nazhir).
3. Untuk
kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan nabi dengan beberapa
janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum'ah
(suami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia).[10]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan
yang dapat penulis utarakan setelah mengetahui dan memahami mengenai pembahasan
poligami antara lain sebagai berikut:
1.
Poligami adalah
laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan perkawinan.
Seperti seorang suami mungkin mempunyai dua istri atau lebih pada saat yang
sama. Poligami adalah seorang suami
kawin lebih dari seorang istri (dua, tiga, dan empat).
2.
Dasar hukum poligami antara lain sebagai berikut
a.
Qur’an surat
An-Nisa`ayat: 3
Ayat
tersebut memerintahkan agar dapat berlaku adil terhadap istri-istri yang di
poligami, keadilan dari
ayat tersebut adalah
perlakuan seorang suami terhadap istrinya seperti pakaian, tempat, giliran dan
lain-lain yang bersifat lahiriyah. Bila dilihat dari sisi lain, Islam
memperbolehkan poligami berdasarkan syarat-syarat sebagaimana yang telah
ditentukan syara’, dalam artian tidak boleh lebih dari empat orang istri.
b.
An-Nisa` ayat 129
Yang
menjelaskan bahwa keadilan yang berkaitan dengan kasih sayang dan
kecenderungan hati tidak mungkin terlaksana. Seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu tidak boleh cenderung
kepada salah satunya saja. Suami harus mampu berlaku adil terhadap semua
istrinya. Tidak boleh menjauhi istri pertamanya dan membiarkannya
terkatung-katung.
c.
Hadis Nabi Muhammad SAW
Yang artinya:“Berkata kepadaku Ibnu Abbas: ‘Apakah engkau telah
kawin? Jawabku: ‘Belum. Berkata beliau: ‘Kawinlan, se sungguhnya yang paling
baik dari umat ini adalah yang banyak kaum wanitanya.”
Hadist Nabi
Muhammad SAW yang juga membahas tentang poligami terdapat dalam hadis riwayat
Abu Dawud, Nasai, At-Tirmidzi bersabda, “siapa
saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah
satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya
miring”.
3.
Alasan berpoligami yang dapat diterima adalah sebagai
berikut, mengikuti Rasulullah, menurut data statistik yang ada di berbagai negara
jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki, bisa jadi istri mandul, sementara suaminya
sangat mendambakan keturunan, dan dimungkinkan istri menerita sakit
berkepanjangan sehingga terpaksa suaminya menempuh jalan berpoligami.
4.
Syarat bepoligami yaitu, boleh berpoligami sampai pada
batasan empat orang istri, harus dapat berlaku adil terhadap istri-istri yang
dipoligami, dan ada kemampuan untuk menafkahi istri-istri dan anak-anaknya.
5.
Prosedur Poligami yaitu mengajukan permohonan secara
tertulis ke Pengadilan, kemudian pengadilan memeriksa apakah syarat-syarat berpoligami
di penuhi oleh suami, apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi
pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberi putusannya
yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang, pegawai pencatat dilarang
untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih
dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.
6.
Batasan dalam
berpoligami adalah seorang laki-laki boleh mempunyai istri maksimal empat orang istri, sebagaimana terdapat dalam qur’an suroh an-nisa
ayat 3, yang artinya, “... Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...” .
7.
Perspektif
Undang-undang Tentang Poligami
adalah sebagai berikut
a.
poligami menurut
kompilasi hukum Islam
Ketentuan pasal-pasal
tentang poligami, sebagaimana diatur pada Bab IX KHI, pasal 55 sampai pasal 59.
b.
Poligami dasar
hukum fositif Indonesia
Di
atur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 .
8.
Hikmah diizinkan
berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain sebagai berikut
a.
Untuk mendapat keturunan bagi suami yang
subur dan istri yang mandul
b.
Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa
menceraikan istri
c.
Untuk menyelamatkan suami yang hypersex
dari perbuatan zina.
Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih
dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya adalah
sebagai berikut:
a.
Untuk kepentingan
pendidikan dan pengajaran agama.
b.
Untuk kepentingan
politik untuk mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka
masuk agama Islam.
c.
Untuk kepentingan
sosial dan kemanusiaan.
Semua perbuatan ada
aturannya berdasarkan hukum islam, dan semua yang dikerjakan tentu memiliki tanggung
jawab termasuk polihami. Tanggung jawab seorang suami dalam berpoligami begitu
besar, oleh karena itu banyak yang perlu dipertimbangkan oleh seorang suami apabila
ingin berpoligami.
B. Saran
Penulis menyadari
bahwa makalah yang disusun ini terdapat banyak kekurangan oleh karena itu
kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun sangatlah kami harapkan
untuk baiknya makalah ini kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Bustaman, Usman.
2017. “Poligami Menurut Perspektif
Fiqih”, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum
Islam Volume 1 No 1.
Gibtiah. 2016. Fiqih
Kontemporer. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Hasan,
M. Ali. 2006. Pedoman Hidup Berumah
Tangga Dalam Islam. Jakarta: Penada Media Group..
Husain,
Al-Jahrani Musfir. 2002. Poligami dari Berbagai Persepsi.
Jakarta: Gema Insani Press.
Lis, Sulistiani Siska. 2018. hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika.
Rodani. 2019. Poligami
Dalam Pandangan Manusia. Serang: Penerbit A-Empat.
[1] Bustaman
Usman, “Poligami Menurut Perspektif
Fiqih”, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum
Islam Volume 1 No 1 (Januari 2017): hlm. 277.
[2] Irfan Qanita
Nailiya, Poligami Berkah Ataukah Musibah,
(Yogyakarta: DIVA Press, 2016), hlm. 17.
[3] Musfir Husain
Al-Jahrani, Poligami dari Berbagai
Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 40.
[4] Ibid., hlm. 66.
[5] Op. Cit., hlm. 280.
[6] Rodani, Poligami Dalam Pandangan Manusia,
(Serang: Penerbit A-Empat, 2019), hlm. 97.
[7] Gibtiah, Fiqih Kontemporer, ( Jakarta:
Prenadamedia Group, 2016), hlm. 146.
[8]
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah
Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Penada Media Group, 2006), hlm. 272.
[9] Op.
Cit., hlm. 103.
[10] Siska Lis
Sulistiani, hukum Perdata Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 99.
Komentar
Posting Komentar