MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH POLIGAMI

 POLIGAMI

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Berbagai macam persoalan yang terjadi dalam masyarakat kita pada hari ini, yang mana masalah tersebut sepertinya kurang serius Diterima oleh kaum hawa, dikarenakan praktik sebagaimana yang telah dilakukan sekarang tidak sesuai dengan tuntutan syari’ah, ada juga dari sisi lain dipengaruhi oleh rasa cemburu, dan merasa dizalimi, sehingga dari pihak kaum hawa kurang menerima terhadap persoalan tersebut, di antara sekian banyak persoalan yang timbul dalam kalangan masyarakat, penulis mengambil saja salah satu saja yang seusai dengan topik, yaitu masalah poligami, ini hampir tak menemukan titik yang absolut bagaimana hukum yang sebenarnya, yang namun dalam masyarakat kita, ada sebagian orang yang menolak terhadap poligami dan ada pula sebaliknya, dengan berbagai alasan-alasan yang dikemukakan, baik alasan tersebut berdasarkan hukum syara’, ataupun karena kecenderungan hawa nafsu. Apabila dilihat dari segi hukum Islam, yang mana pada dasarnya hukum poligami itu boleh-boleh saja, asalkan punya alasan-alasan, syarat, dan prosedur, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syara’, walaupun ada sebagian pihak yang menolak terhadap praktik tersebut.

Kaum adam tidak memahami bagaimana ketentuan hukum yang sebenarnya mengenai poligami , sehingga ia melakukan praktik tersebut, tanpa melihat dari segi efek negatif yang timbul ke depan nanti, dalam artian dengan poligami tersebut, hilangnya keadilan terhadap istri, bagaimana keadaan seorang anak nanti, yang apabila ia sudah berpoligami, jadi di sinilah yang menjadi problematika terhadap praktik poligami. berdasarkan dari uraian di atas, maka penulis mengambil beberapa permasalahan yang dibahas, agar dapat terhindar dari kesalahan pemahaman, khsusnya poligami dalam hukum Islam.

 

B.     Rumusan masalah

1.      Apa pengertian poligami?

2.      Apa dasar hukum poligami?

3.      Apa alasan-alasan poligami?

4.      Bagaimana syarat-syarat poligami?

5.      Bagaimana prosedur poligami?

6.      Bagaimana batasan dalam berpoligami?

7.      Apa undang-undang  yang mengatur tentang poligami?

8.      Apa hikmah poligami?

 

C.    Tujuan masalah

1.      Mengetahui pengertian poligami.

2.      Mengetahui dasar huhum poligami.

3.      Mengetahui alasan-alasan poligami.

4.      Mengetahui syarat-syarat poligami.

5.      Mengetahui prosedur poligami.

6.      Mengetahui batasan dalam berpoligami

7.      Mengetahui undang-undang yang mengatur tentang poligami.

8.      Mengetahui hikmah poligami.

  

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian poligami

Kata poligami sendiri berasal dari bahasa yunani “polygamie”, yaitu poly berarti banyak dan gamie berarti laki-laki, jadi  poligami adalah laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan perkawinan. Seperti seorang suami mungkin mempunyai dua istri atau lebih pada saat yang sama.  secara etimologi, poligami tersebut adalah beristri banyak. Sedangkan bila dilihat secara terminologi, poligami yaitu seorang laki-laki mempunyai lebih dari satu istri. Sementara dari sisi lain, poligami tersebut dapat diartikan sebagai ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa lebih dari satu istri dalam waktu yang bersamaan, bukan saat ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga.

Namun bila ditinjau dari pandangan Islam, poligami tersebut mempunyai arti perkawinan yang lebih dari satu, dua, tiga dan empat perempuan saja (tidak boleh lebih dari itu). Sangat banyak wanita yang menolak terjadinya poligami dalam keluarganya dengan berbagai alasan yang diyakininya. Namun terdapat pula beberapa wanita yang menerima konsep poligami dalam keluarganya. Terdapat beberapa contoh perilaku poligami yang didukung oleh istri, seperti memilihkan calon istri atau bahkan istri pertama yang meminangkan wanita lain untuk suaminya. Hal ini biasanya disebabkan karena kepahaman mereka terhadap bahaya bertambahnya jumlah wanita yang menua.[1]

Dari beberapa pengertian diatas pemakalah dapat menyumpulkan bahwa poligami adalah seorang laki-laki atau suami yang memiliki lebih dari satu orang istri dalam ikatan perkawinan pada waktu yang bersamaan, buka dalam akad melaikan bersama dalam menjalani kehidupan rumah tangga.

Sebelum datangnya Islam, masyarakat (Arab khusus nya) sebenarnya sudah mengenal dan mempraktikkan poligami. Tidak sedikit di antara mereka yang memiliki istri lebih dari satu. Ada yang memiliki lima orang istri, delapan orang istri, bahkan ada juga yang memiliki istri lebih dari itu. Dalam riwayat Tirmidzi, disebutkan bahwa seorang sahabat bernama Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi me miliki sepuluh istri. Namun, Nabi Muhammad Saw. Memerintahkan untuk memilih empat orang istri dari ke sepuluh istrinya, dan menceraikan keenam istrinya yang lain. Dengan demikian, jauh sebelum Nabi Muhammad Saw. Menerima wahyu tentang batasan memiliki istri, masyarakat Arab sudah banyak yang mempraktikkan poligami. Bahkan, para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. Juga memiliki istri lebih dari satu. Para raja zaman dahulu juga banyak yang mempraktikkan poligami, termasuk di antaranya raja-raja Islam. Mereka melakukan praktik poligami tentu tidak lepas dari asumsi bahwa Islam membolehkan poligami, sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat an-Nisaa’ [4]: 3 serta hadits Nabi Muhammad Saw. Inilah yang mendasari pemahaman bahwa poligami merupakan hal yang diperbolehkan dalam Islam.[2]

B.     Dasar Hukum Poligami

Surat An-Nisa`, ayat: 3          

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(Al-Qur’an), surat An-Nisa’, ayat: 3)

Maksud keadilan dari ayat diatas, adalah perlakuan seorang suami terhadap istrinya seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Bila dilihat dari sisi lain, Islam memperbolehkan poligami berdasarkan syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan syara’, dalam artian tidak boleh lebih dari empat orang istri. Ini sebagaimana yang telah tersebut diatas tadi. Yang namun kita sebagai manusia nampaknya secara umum tidak sanggup memenuhi aturan-aturan sebagaimana yang telah tersebut tadi, dalam artian untuk menciptakan sebuah keadilan secara sempurna, tidak akan terlaksana, walaupun memang ada hanya orang-orang tertentu saja.

An-Nisa` ayat 129:                                                          

وَلوَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْم

Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara Istri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (AL-qur’an, surat An-Nisa’, ayat: 129).

Ayat kedua ditafsirkan bahwa keadilan yang berkaitan dengan kasih sayang dan kecenderungan hati tidak mungkin terlaksana. Tetapi, seorang suami tidak boleh menjauhi istri pertamanya dan membiarkannya terkatung-katung, tidak diperlakukan sebagai istri, dan tidak juga dicerai (76) Suami harus memperlakukan istrinya dengan baik agar memperoleh cintanya. Allah tidak akan menuntut suami atas kecenderungan hatinya asalkan tidak berlebih-lebihan dan tetap mengindahkan Istri pertamanya.

Kedua ayat di atas cukup menjelaskan hal-hal yang telah dipahami Rasulullah, sahabat-sahabatnya, tabi’in, dan jumhur ulama muslimin tentang hukum-hukum berikut ini:

1.      Boleh berpoligami paling banyak hingga empat orang istri.

2.      Disyariatkan dapat berbuat adil di antara istri-istrinya. Barangsiapa yang belum mampu memenuhi ketentuan di atas, dia tidak boleh mengawini wanita lebih dari satu orang. Seorang laki-laki yang sebenarnya meyakini dirinya tidak akan mampu berbuat adil, tetapi tetap melakukan dikatakan bahwa akad nikahnya sah, tetapi dia telah berbuat dosa.

3.      Keadilan yang diisyaratkan oleh ayat di atas mencakup keadilan dalam tempat tinggal, makan, dan minum, serta perlakuan lahir batin.

4.      Kemampuan suami dalam hal nafkah kepada istri kedua dan anak-anaknya.

Rasulullah saw. Telah menjelaskan keutamaan beristri lebih dari satu sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dalam sahih nya ini. Said bin Jubair berkata:

قال لي إبن عباس: هل تزوجت؟ قلت: لا قال: شروع مان مير علم الأمة أكثرها سال هذه

“Berkata kepadaku Ibnu Abbas: ‘Apakah engkau telah kawin? Jawabku: ‘Belum. Berkata beliau: ‘Kawinlan, se sungguhnya yang paling baik dari umat ini adalah yang banyak kaum wanitanya.”

Ibnu Hajar mengatakan makna hadits di atas adalah bahwa sebaik-baiknya umat Muhammad adalah orang yang banyak istrinya. Diriwayatkan dari Annas r.a. bahwa ada sekelompok sahabat yang menanyakan amal-amalan Nabi kepada para istri Nabi, sebagian dari mereka berkata bahwa dirinya tidak akan makan daging, sebagian lagi berkata bahwa dirinya tidak akan tidur, dan sebagian lagi berkata bahwa dirinya tidak akan menikahi wanita. Ketika Nabi saw. Mengetahui hal itu, beliau berpidato di hadapan para sahabat “Siapakah yang mengatakan begini... begini? Sedangkan aku ini shalat dan tidur, berpuasa dan berbuka, serta menikahi wanita Barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku, dia bukan dari golonganku. Dalam hadits tersebut lebih cenderung menunjukkan kesempurnaan sifat untuk memiliki istri lebih dari satu.

Hadist Nabi Muhammad SAW yang juga membahas tentang poligami terdapat dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nasai, At-Tirmidzi bersabda, “siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring”. [3]

C.     Alasan-alasan Poligami

Alasan berpoligami yang dapat diterima, diantaranya adalah:

1.       Mengikuti Rasulullah.

 Tatkala wafat beliau meninggalkan sembilan orang istri. Tanpa ada keraguan, Rasulullah adalah teladan yang baik bagi kaum muslimin dalam semua urusan, kecuali hal yang dikhususkan bagi beliau. Allah SWT berfirman:“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang meng harap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (al-Ahzab: 21).

2.       Menurut data statistik yang ada di pelbagai negara, jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki.

Selain itu disebutkan juga tentu saja dengan kudrat Allah lebih banyak wanita yang dilahirkan dan laki-laki yang meninggal lebih banyak daripada kaum wanita. Kenyataan sekarang ini membuktikan bahwa banyak kalangan laki-laki yang di terjunkan ke kancah peperangan sehingga banyak di antara mereka yang tewas menjadi korban. Di sisi lain disebutkan juga bahwa kaum laki-laki lebih banyak dihadapkan pada berbagai peristiwa seperti keluar rumah untuk berusaha mencari rezeki dari satu tempat ke tempat lain. Mereka mengerahkan kekuatannya untuk mendapatkan sesuap nasi. Akibatnya banyak kaum laki-laki yang ditimpa sakit dan mati, sedangkan kaum wanita hanya tinggal di rumah. Hai itu dinyatakan rasulullah sebagai berikut,

ووترى الرجل الواحد يتبعه أربعون إمرأة يلـذن به من قلة الرجل وكثرة النساء

                                                           

“Satu saat nanti kamu akan melihat seorang laki-laki bersama empat puluh wanita karena sedikitnya laki-laki dan banyaknya wanita.”

3.       Pada dasarnya, masa subur laki-laki terhitung dari usia balig sampai kurang lebih delapan puluh tahun, sedangkan masa subur wanita berhenti sampai usia sekitar empat puluh atau empat puluh lima tahun dengan wajarnya sampai lima puluh tahun.

4.       Allah SWT telah memberikan kekuatan dalam bidang seksual kepada seorang laki-laki sehingga dapat terjadi seorang suami tidak merasa puas dengan hanya seorang istri untuk menyalurkan libido seksualnya apalagi jika istrinya sedang haid dalam waktu yang cukup panjang. Dalam kondisi seperti itu, untuk menyalurkan libido seksualnya dengan baik, suami melakukan poligami dari pada melakukan perbuatan maksiat.

5.       Bisa jadi, istri mandul, sementara suaminya sangat mendambakan keturunan, maka ada dua pilihan bagi suami, yaitu Menceraikan istri yang mandul dan mengawini wanita yang lain untuk memperoleh keturunan atau memadu istri pertama dan tetap mempertahankan istri Pertamanya.

6.       Dimungkinkan istri menderita sakit berkepanjangan sehingga terpaksa suaminya menempuh jalan berpoligami.

7.       Kadang-kadang suami ingin memiliki banyak keturunan, sedangkan anak-anaknya hanya sedikit sehingga dia mengawini wanita lain. Hal itu sesuai dengan keinginan Rasulullah saw. Untuk memperbanyak umat.

8.       Kadangkala suami banyak bepergian untuk bertugas di luar daerahnya dan tidak memungkinkan baginya  membawa istrinya kemana saja dia pergi. Untuk menjaga dan menyalurkan kebutuhan biologisnya.

9.       Bisa jadi suami tidak lagi menyenangi istrinya karena ke lakuan istri yang buruk atau hilang daya tariknya sehingga dia tidak bergairah lagi untuk menggauli istrinya. Karena itu, suami terpaksa mengawini wanita lain untuk mencegah dirinya dari perbuatan maksiat.

10.   Poligami memberikan kesempatan kepada perawan- perawan tua, janda-janda yang diceraikan karena hidup tanpa suami lebih buruk akibatnya daripada memiliki separuh, sepertiga, atau seperempat suami.

11.   Poligami dapat menanggulangi banyak kesulitan kemanusiaan diantaranya Seorang istri yang suaminya meninggal sedangkan dia memiliki banyak anak, maka dalam hal ini, Islam mendorong laki-laki untuk menikahi janda tersebut.  [4]

D.    Syarat-syarat Poligami

1.      Islam membolehkan kepada kaum muslimin untuk mengawini seorang istri (bermonogami) atau lebih dari satu (berpoligami) yaitu sampai empat istri, sebagaimana yang telah tercantum dalam surat An-Nisa`, ayat: 3, seperti itulah oleh manyoritas dikalangan para mujtahit memfatwakan hukum dari masa-kemasa.

2.      Islam membolehkan poligami dengan jumlah yang telah ditentukan oleh syara’, dalam artian, dua, tiga dan empat, ini berdasarkan dari ayat diatas tadi, yaitu: Allah berfirman: yang artinya, “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat”.

3.      Islam membolehkan poligami dengan alasan, apabila seorang suami bersikap keadilan terhadap istri-istrinya, apabila sebaliknya dari itu maka akan mendapatkan dosa, sebagaimana Allah berfirman yang artinya: “kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.“ (qs. An-nisa ayat 3).

Sementara menurut pendapat sebagian ulama yang bermazhab As-Syafi’I menambahkan syaratnya, yaitu mampu member nafkah bagi yang berpoligami, yang mana Beliau mengambil pemahaman dari ayat diiatas tadi, Yaitu: “yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Dari sisi lain, oleh Imam Baihaqi, yang mana beliau berpijak juga kepada pendapat Imam As-Syafi’I, sebagaimana yang tercantum dalam kitab “akhkam al-qur`an”, menjelaskan: kemampuan seorang suami dalam memberi nafkah adalah syarat yang telah di tetapkan oleh syara’.[5]

E.     Prosedur Poligami

1.      Mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan.

Pengajuan permohonan izin tersebut dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:

a.       Adanya persetujuan istrinya.

b.       Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin kepastian hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c.       Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila Istri atau istri-istrinya tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

2.      Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

a.       Ada atau tidaknya yang memungkinkan seorang suami kawin lagi.

b.      Ada atau tidaknya persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c.       Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihat kan: Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja  atau surat keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

d.       Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

3.      Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberi putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.

4.      Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.[6]

F.     Batasan dalam Berpoligami

Sebelum Islam, praktik poligami dengan menikahi wanita seba nyaknya sesuai dengan keinginan mereka telah banyak terjadi, sampai disebutkan bahwa Nabi Daud a.s, memiliki tiga ratus istri dan selir, sedangkan Nabi Sulaiman a.s., mempunyai tujuh ratus wanita. Maka Islam datang dan menetapkan batas serta syarat-syaratnya poligami ini. Adapun batasan poligami, maksimal adalah empat orang tidak lebih. Sebagaimana firman Allah,

... فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى ولات وربع ..

“... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...” (QS. An-Nisaa’ (4): 3)

Ketika laki-laki dari tsaqif yang memiliki sepuluh istri masuk Islam, maka Rasulullah menyuruhnya untuk memilih empat dari mereka dan menceraikan yang lain.[7]

G.    Perspektif Undang-undang Tentang Poligami

1.      Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam

Ketentuan pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada Bab IX KHI,

Pasal 55 yang berbunyi:

a.       Beristri  satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.

b.      Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-istri dan anak-anaknya.

c.       Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri dari seorang.

Pasal 56 Yang berbunyi

a.    Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

b.    Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975.

c.    Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57 yang berbunyi

Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan berisri lebih dari seorang apabila :

a.     Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri.

b.    Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c.     Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Untuk memperoleh izin dari Pengadilan Agama, di samping persyaratan yang disebutkan pada pasal 55 ayat (2), ditegaskan dengan pasal 5 lagi oleh pasal 58 ayat (1) yaitu

a.     Adanya persetujuan istri.

b.    Adanya kepastian, bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

Pasal 59 yang berbunyi:

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Bunyi pasal 59 diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam menghadapi perkara poligami dari istri yang saling mempertahankan pendapatnya.[8]

2.      Poligami Dalam Hukum Positif Indonesia

Didalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 menyatakan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah.

Adapun yang menjadi alasan-alasan dan syarat-syarat berpoligami yang ditentukan oleh undang-undang dapat ditemukan dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 .

Pasal 4 ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:

a.    Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

b.    Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

c.    Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 ayat (1) – Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undang-undang  ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a.    Adanya persetujuan dari istri / istri-istri.

b.    Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c.    Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.[9]

H.    Hikmah Poligami

Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain sebagai berikut:

1.    Untuk mendapat keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul.

2.     Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai istri, atau ia mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

3.    Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina.

Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya adalah sebagai berikut:

1.    Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama. Istri Nabi sebanyak 9 orang itu bisa menjadi sumber informasi bagi umat Islam yang ingin mengetahui ajaran nabi dalam berkeluarga dan bermasyarakat, terutama masalah kewanitaan atau kerumahtanggaan.

2.    Untuk kepentingan politik untuk mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam. Misalnya perkawinan Nabi dengan Juwairiyah, putri Al-Harits (kepala suku Bani Musthaliq). Demikian pun perkawinan Nabi dengan Shafiyah (seorang tokoh Bani Quraizhah dan Bani Nazhir).

3.    Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan. Misalnya perkawinan nabi dengan beberapa janda pahlawan Islam yang telah lanjut usianya, seperti Saudah binti Zum'ah (suami meninggal setelah kembali dari hijrah Abessinia).[10]

 

BAB III

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat penulis utarakan setelah mengetahui dan memahami mengenai pembahasan poligami antara lain sebagai berikut:  

1.    Poligami adalah laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan perkawinan. Seperti seorang suami mungkin mempunyai dua istri atau lebih pada saat yang sama.  Poligami adalah seorang suami kawin lebih dari seorang istri (dua, tiga, dan empat).

2.    Dasar hukum poligami antara lain sebagai berikut

a.    Qur’an  surat An-Nisa`ayat: 3

Ayat tersebut memerintahkan agar dapat berlaku adil terhadap istri-istri yang di poligami,  keadilan dari ayat tersebut adalah perlakuan seorang suami terhadap istrinya seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat lahiriyah. Bila dilihat dari sisi lain, Islam memperbolehkan poligami berdasarkan syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan syara’, dalam artian tidak boleh lebih dari empat orang istri.

b.     An-Nisa` ayat 129

Yang menjelaskan bahwa keadilan yang berkaitan dengan kasih sayang dan kecenderungan hati tidak mungkin terlaksana. Seorang suami yang memiliki istri lebih dari satu tidak boleh cenderung kepada salah satunya saja. Suami harus mampu berlaku adil terhadap semua istrinya. Tidak boleh menjauhi istri pertamanya dan membiarkannya terkatung-katung.

c.    Hadis Nabi Muhammad SAW

Yang artinya:“Berkata kepadaku Ibnu Abbas: ‘Apakah engkau telah kawin? Jawabku: ‘Belum. Berkata beliau: ‘Kawinlan, se sungguhnya yang paling baik dari umat ini adalah yang banyak kaum wanitanya.”

Hadist Nabi Muhammad SAW yang juga membahas tentang poligami terdapat dalam hadis riwayat Abu Dawud, Nasai, At-Tirmidzi bersabda, “siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam keadaan sebagian tubuhnya miring”.

 

3.    Alasan berpoligami yang dapat diterima adalah sebagai berikut, mengikuti Rasulullah, menurut data statistik yang ada di berbagai negara jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki,  bisa jadi istri mandul, sementara suaminya sangat mendambakan keturunan, dan dimungkinkan istri menerita sakit berkepanjangan sehingga terpaksa suaminya menempuh jalan berpoligami.

4.    Syarat bepoligami yaitu, boleh berpoligami sampai pada batasan empat orang istri, harus dapat berlaku adil terhadap istri-istri yang dipoligami, dan ada kemampuan untuk menafkahi istri-istri dan anak-anaknya.

5.    Prosedur Poligami yaitu mengajukan permohonan secara tertulis ke Pengadilan, kemudian pengadilan memeriksa apakah syarat-syarat berpoligami di penuhi oleh suami, apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberi putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang, pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan.

6.    Batasan dalam berpoligami adalah seorang laki-laki boleh mempunyai istri maksimal empat orang istri, sebagaimana terdapat dalam qur’an suroh an-nisa ayat 3, yang artinya, “... Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat...” .

7.    Perspektif Undang-undang Tentang Poligami adalah sebagai berikut

a.       poligami menurut kompilasi hukum Islam

Ketentuan pasal-pasal tentang poligami, sebagaimana diatur pada Bab IX KHI, pasal 55 sampai pasal 59.

b.      Poligami dasar hukum fositif Indonesia

Di atur dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 .

8.    Hikmah diizinkan berpoligami dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil antara lain sebagai berikut

a.       Untuk mendapat keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul

b.      Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri

c.       Untuk menyelamatkan suami yang hypersex dari perbuatan zina.

Tentang hikmah diizinkannya Nabi Muhammad beristri lebih dari seorang, bahkan melebihi jumlah maksimal yang diizinkan bagi umatnya adalah sebagai berikut:

a.       Untuk kepentingan pendidikan dan pengajaran agama.

b.      Untuk kepentingan politik untuk mempersatukan suku-suku bangsa Arab dan untuk menarik mereka masuk agama Islam.

c.       Untuk kepentingan sosial dan kemanusiaan.

Semua perbuatan ada aturannya berdasarkan hukum islam, dan semua yang dikerjakan tentu memiliki tanggung jawab termasuk polihami. Tanggung jawab seorang suami dalam berpoligami begitu besar, oleh karena itu banyak yang perlu dipertimbangkan oleh seorang suami apabila ingin berpoligami.

B.  Saran

Penulis menyadari bahwa makalah yang disusun ini terdapat banyak kekurangan oleh karena itu kritik, saran, dan masukan yang sifatnya membangun sangatlah kami harapkan untuk baiknya makalah ini kedepan.

                          

                                                

DAFTAR PUSTAKA

 

Bustaman, Usman. 2017. “Poligami Menurut  Perspektif Fiqih”, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 1 No 1.

Gibtiah. 2016. Fiqih Kontemporer.  Jakarta: Prenadamedia Group.

Hasan, M. Ali. 2006. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Penada Media Group..

Husain, Al-Jahrani Musfir. 2002.  Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta: Gema Insani Press.

Lis, Sulistiani Siska. 2018. hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Rodani. 2019. Poligami Dalam Pandangan Manusia. Serang: Penerbit A-Empat.

Irfan, Qanita Nailiya. 2016. Poligami Berkah Ataukah Musibah. Yogyakarta: DIVA Press.


[1] Bustaman Usman, “Poligami Menurut  Perspektif Fiqih”, Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 1 No 1 (Januari 2017): hlm. 277.

[2] Irfan Qanita Nailiya, Poligami Berkah Ataukah Musibah, (Yogyakarta: DIVA Press, 2016), hlm. 17.

[3] Musfir Husain Al-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 40.

[4] Ibid., hlm. 66.

[5] Op. Cit., hlm. 280.

[6] Rodani, Poligami Dalam Pandangan Manusia, (Serang: Penerbit A-Empat, 2019), hlm. 97.

[7] Gibtiah, Fiqih Kontemporer, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2016), hlm. 146.

[8] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Penada Media Group, 2006), hlm. 272.

[9] Op. Cit., hlm. 103.

[10] Siska Lis Sulistiani, hukum Perdata Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), hlm. 99.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN