MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

Makalah MENGAMBIL KEPUTUSAN ETIK DALAM KONSELING


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Mengambil keputusan adalah sebuah proses menentukan sebuah pilihan dari berbagai alternative pilihan yang tersedia. Seseorang terkadang dihadapkan pada suatu keadaan dimana ia harus menentukan pilihan (keputusan) dari berbagai alternatif yang ada. Proses ini terkadang amatlah rumit karena berdampak pada dirinya dan lingkungan sekitarnya. Seorang konselor harus profesional memutuskan tentang kondisi yang sedang buruk, Pada umumnya suatu keputusan dibuat dalam rangka untu memecahkan permasalahan atau persoalan (problem solving) dan setiap keputusan yang dibuat pasti ada tujuan yang hendak dicapai.
Hampir setiap hari, bahkan setiap saat selalu ada keputusan yang dibuat misalnya di rumah tangga, di kantor atau di dalam organisasi (departemen, dan industri pemerintah, perusahaan, perguruan tinggi) atau di masyarakat. Keputusan dibuat oleh individu (perseorangan), organisasi, kelompok individu, negara dengan satu tujuan atau lebih yang hendak dicapai. Dalam dunia yang modern ini, kehidupan menuntut banyak sekali keputusan yang harus dibuat baik yang memiliki dampak yang luas maupun yang sempit.
Apalagi terkait dengan mengambil keputusan etik dalam konseling sangat penting untuk berlangsungnya suatu kegiatan yang di lakukan oleh seorang konselor dengan klien. Dalam mengambil keputusan ini seorang harus memiliki beberapa kompetensi agar terjadi yang tidak dinginkan.
B.      Rumusan Masalah
1.      Apa  isu isu  etik dalam konseling?
2.      Apa saja yang menjadi sumber etik bimbingan dan konseling?
3.      Apa panduan untuk bertindak secara etik?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui isu isu dalam konseling
2.      Untuk mengetahui sumber etik bimbingan dan konseling
3.      Untuk mengetahui panduan untuk bertindak salam bimbiingan dan konseling

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Isu-Isu Etik dalam Konseling
  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia isu adalah masalah yang di kedepankan (untuk ditanggapi dan sebagainya).[1]Menurut penulis bahwa peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau tidak terjadi pada masa mendatang.
Sedangkan etik adalah  berasal dari bahasa Yunani Ethos yang berarti ”hati nurani” atau  “perilaku yang pantas (yang diharapkan)”.”Ethos” berarti timbul dari kebiasaan adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.[2]
Dapat penulis simpulkan bahwa isu etik adalah masalah yang dikedepankan untuk mengatasi kejadian atau peristiwa mendatang sesuai dengan standar dan penilain moral.
Beberapa isu etik dalam konseling telah dibicarakan pakar konseling seperti.Tiga masalah etik yang dikemukakan oleh Gerald Corey, yaitu:
1.      Tanggung jawab terapis,
2.      Kerahasiaan
3.      Pengaruh kepribadian dan kebutuhan-kebutuhan terapis/konselor.
Cavanagh menuliskan  empat isu etik yang harus diperhatikankonselor yaitu:
1.      Tanggung jawab etik profesional
2.      Kerahasiaan
3.      Memberi informasi
4.      Pengaruh konselor
Corey, menuliskan tiga masalah etik lainnya,
1.      Kompetensi terapis,
Sebagai prinsip etika, para terapis diharapkan menyadari batas-batas kompetensinya serta pembatasan-pembatasan pribadi dan profesinya. Para terapis yang etis tidak menggunakan diagnostika atau prosedur-prosedur treatment yang berada di luar lingkup latihan mereka.
2.      Hubungan terapis,
3.      Nilai-nilai dan filsafat hidup terapis/konselor.[3]
Gladding Ia menuliskan sebelas tingkah laku tidak etis yang paling sering terjadi dalam konseling (ACA, 2005; Herlihy & Corey, 2006):
1)      Pelanggaran kepercayaan
2)      Melampaui tingkat kompetensi profesional
3)      Kelalaian dalam praktik
4)      Mengklaim keahlian yang tidak dimiliki
5)      Memaksakan nilai-nilai konselor pada konseli
6)      Membuat konseli bergantung
7)      Melakukan aktivitas seksual dengan konseli
8)      Konflik kepentingan, seperti hubungan ganda yaitu peran konselor bercampur dengan hubungan lainnya, baik hubungan pribadi atau hubungan profesional (Moleski & Kiselica, 2005)
9)      Persetujuan finansial yang kurang jelas seperti mengenakan bayaran tambahan
10)  Pengiklanan yang tidak pantas
11)   Plagiarisme.[4]
Sedangkan Gibson & Mitchell menuliskan isu-isu etik dalam konseling dalam tiga hal yaitu:
a)      Kompetensi
Isu etik kompetensi dimulai ketika konselor menerima sebuah posisi sebagai konselor profesional. Konselor harus menentukan, sama seperti pekerja umumnya, apakah ia berkualifikasi sesuai pelatihan yang sudah dijalani, dan apakah pengalamannya sudah tepat untuk mengemban posisi tersebut jika mereka sendiri tidak begitu berminat atau tidak berkualifikasi.
Dalam kerjanya konselor bertanggung jawab secara profesional untuk berpraktik dalam batas-batas kemampuannya. Meskipun kompetensi sering kali sulit ditentukan hitam putihnya, namun pelatihan dan pengalamn dapat menyediakan sebuah garis pedoman yang bermanfaat untuk mengidikasikan apakah mereka berkualifikasi melakukannya atau tidak. Gelar, lisensi dan sertifikat memang dapat memeberitahu taraf kompetensinya kepada publik, namun dalam praktik aktualnya, kita harus menyadari variasi dalam kompetensi diantara praktisi dengan kredensial yang sama.[5]
b)      Kerahasiaan Dan Komunikasi Pribadi
Kepercayaan adalah pondasi esensial dalam hubungan konseling, dan yang menjadi pusat bagi pengembangan dan pemeliharaan kepercayaan ini adalah prinsip kerahasiaan. Namun, kewajiban konselor mempertahankan kerahasiaan dalam hubungan mereka dengan klien tidak absolut, karena itu konselor perlu menyadari garis pedoman etik dan hukum yang berlaku.
Kadang konselor harus mengahadapi klien yang terancam hidupnya dalam situasi-situasi yang melibatkan penganiayaan anak, kemungkinan bunuh diri atau ancaman akan di bunuh. Hukum negara mensyaratkan kalau kasus-kasus penganiayaan anak yang dicurigai dilaporkan. Secara legal konselor boleh melanggar kerahasiaan untuk melindungi hidup pihak ketiga. Arthur dan Swanson mengembangkan sejumlah pengecualian sebagai prinsip etik kerahasiaan yang lebih lengkap:
(1)               Klien berbahaya bagi dirinya sendiri atau orang lain.
(2)               Klien meminta pelepasan informasi.
(3)               Perintah pengadilan untuk melepaskan informasi.
(4)               Konselor menerima supervisi klinis yang sistematis.
(5)               Bantuan administrasi untuk memproses informasi dan berkas-berkas terkait dengan klien.
(6)               Konsultasi legal dan klinis dibutuhkan.
(7)               Klien memiliki sejumlah problem dalam kesehatan mental mereka terkait hukum.
(8)               Pihak ketiga hadir di sesi konseling.
(9)               Klien usia dibawah 18 tahun.
(10)           Berbagi informasi intra-lembaga atau intra-institusi sebagai bagian dari proses penanganan.
(11)           Berbagi informasi dengan sistem pengadilan, terkait putusan hukuman.
(12)           Tujuan klien membuka informasi adalah mencari nasihat lebih jauh terkait kasus kriminal.
(13)           Konselor menduga akan terjadi tindak penganiayaan terhadap anak, wanita, individu cacat, minirotas atau pihak lain yang lemah.[6]
c)      Hubungan Pribadi Dengan Konseli
Saat menguji hubungan pribadi antara konselor dan klien, organisasi profeisonal telah berusaha mendefenisikan batas-batas etis hubungan profesional. Konselor harus, disemua waktu menghindari pengekploitasian klien untuk perolehan finansial, status sosial, data riset dan motif lain diluar konseling. Konselor harus juga terus menyadari hak-hak asasi klien. Bahkan kendati klien memiliki gangguan mental berat atau tersangka problem etik dan kriminal, konselor tetap harus melakukan praktik berdasarkan kode etik, termasuk hak klien untuk berpartipasi dalam pengambilan keputusan terkait penanganan, penggunaan, penggunaan tes psikologis, dan partipasi apapun di dalam riset yang menggunakan data pribadinya.

B.     Sumber Etika bimbingan dan konseling
Bond dalam Nelson-Jones mengusulkan enam sumber etika bimbingan dan konseling yaitu : (1) etika personal, (nilai yang implisit di dalam model-model terapeutik2) etika dan nilai-, (3) kebijakan agency, (4) kode dan pedoman profesional, (5) filosofi moral dan (6) hukum.[7] Selain itu, penulis menambahkan sumber etika yang berasal dari ajaran agama yang dianut konselor dan konseli yang terdapat pada kitab suci masing-masing. Kedudukan ajaran agama sebagai sumber etika bimbingan konseling hendaknya di atas sumber etika lainnya. Dengan kata lain, ajaran agama menjadi rujukan utama dan pertama sumber etika lain yang telah dikemukakan Bond di atas.
Alasannya, yaitu : Pertama, kebenaran ajaran agama bersifat mutlak karena bersumber dari firman Allah. Kedua, dari ke enam sumber etika dimungkinkan terjadi benturan nilai antara satu dengan yang lainnya. Contoh etika personal yang bersifat sangat subyektif tentu akan ideal jika diinspirasi oleh ke enam sumber etika lain. Namun, untuk menyelaraskan ke tujuh sumber etik tersebut memang tidak mudah. Di saat seperti ini, dibutuhkan komitmen dan integritas pribadi konselor.

C.     Panduan Untuk Bertindak Secara Etik
Mengingat sulitnya bertindak secara etik, maka dipandang perlu adanya perangkat seperti panduan untuk bertindak secara etis yang jelas, terukur dan operasional. Di samping itu perlu juga dilakukan sosialisasi kode etik profesi, menyediakan jasa ’penasehat’ untuk membantu menangani isu-isu etis dan menciptakan mekanisme perlindungan bagi mereka yang mengungkapkan praktik-praktik tidak etis di dalam dan di luar organisasi.
Swanson (1983a)dalam Galddingmembuat daftar pedoman untuk menilai, apakah konselor bertindak dalam tanggung jawab etika.
1.      Kejujuran pribadi dan profesional.
Konselor diwajibkan untuk beroperasi secara terbuka dengan diri mereka sendiri dan orang-orang yang bekerja dengan mereka. Agenda tersembunyi atau perasaan yang tidak diketahui akan menghambat hubungan dan menempatkan konselor dalam dasar etik goyah.
2.      Bertindak untuk kepentingan terbaik klien.
Tentu tidak mudah untuk mengikuti pedoman ke dua ini. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan konselor dalam mengenali karakter, motif dan kebutuhan konseli yang sesungguhnya atau disebabkan oleh ketidaksadaran konselor dalam menerapkan nilai-nilai pribadinya pada konseli tanpa menggali dan mengelaborasi nilai-nilai konseli sendiri.
3.      Konselor bertindak tanpa tujuan jelek atau keuntungan pribadi.
Beberapa klien sulit disukai atau ditangani, dan dengan merekalah terutama konselor harus berhati-hati. Bagaimanapun konselor harus hati-hati untuk menhindari hubungan pribadi dan profesional dengan klien yang disukai. Kesalahan penilaian kemungkinan besar terjadi jika kepentingan pribadi konselor ambil bagian dalam hubungan dengan klien.
4.      Apakah konselor dapat membenarkan suatu tindakan sebagai keputusan terbaik yang harus dilakukan berdasarkan peraturan profesi yang berlaku. Untuk membuat keputusan yang demikian konselor harus mengikuti tren sekarang dengan membaca literatur profesional menghadiri workshop pelatihan dan pertemuan-pertemuan  dan aktif terlibat dalam aktivitas konseling baik lokal, daerah maupun nasional.[8]





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Isu etik adalah masalah yang dikedepankan untuk mengatasi kejadian atau peristiwa mendatang sesuai dengan standar dan penilain moral.
1.      Isu isu etik dalam konseling
Beberapa isu etik dalam konseling telah dibicarakan  pakar konseling seperti. Tiga masalah etik yang dikemukakan oleh Gerald Corey, yaitu:
a)      Tanggung jawab terapis,
b)      Kerahasiaan
c)      Pengaruh kepribadian dan kebutuhan-kebutuhan terapis/konselor.
Corey, menuliskan tiga masalah etik lainnya,
a)      Kompetensi terapis,
b)      Hubungan terapis,
c)      Nilai-nilai dan filsafat hidup terapis/konselor.
Sedangkan Gibson & Mitchell menuliskan isu-isu etik dalam konseling dalam tiga hal yaitu:
a)      Kompetensi
b)      Kerahasiaan Dan Komunikasi Pribadi
c)      Hubungan pribadi dengan konseli
2.      Sumber Etika bimbingan dan konseling
Bond dalam Nelson-Jones mengusulkan enam sumber etika bimbingan dan konseling yaitu : (1) etika personal, (nilai yang implisit di dalam model-model terapeutik2) etika dan nilai-, (3) kebijakan agency, (4) kode dan pedoman profesional, (5) filosofi moral dan (6) hukum , (7) Agama.
3.      Panduan untuk bertindak secara etik.
a)      Kejujuran pribadi dan profesional
b)      Bertindak untuk kepentingan terbaik klien
c)      Bertindak tanpa tujuan jelak atau keuntungan pribadi.
d)     Membenarkan suatu tindakan sebagai keputusan terbaik berdasarkan peraturan yang sedang berlaku.

Daftar Pustaka
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,2003.
Asmoro Achmadi, Filsafat Umum: Edisi Revisi, Jakarta:Raja Grafindo Persada,2010.
Corey, Geral., Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, judul asli Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, penerjemahE. Koeswara, (Bandung: Refika Aditama,1988.
Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchell, Bimbingan Dan KonselingEdisi Ke 7, Judul Asli Introduction To Counseling And Guidance, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010.
Hunainah , Etika Profesi Bimbingan Konseling , Bandung:Rizqi Press, 2016.
Samuel T. Gladding, Konseling Profesi Yang Menyeluruh, Edisi Enam, Jakarta:Indeks,2015.


[1]  Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,2003). Hlm , 254.
[2] Asmoro Achmadi, Filsafat Umum: Edisi Revisi, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2010), hlm, 16.
[3] Corey, Geral., Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, judul asli Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, Penerjemah E. Koeswara, (Bandung: Refika Aditama,1988), hlm. 366-394.

[4] Samuel T. Gladding, Konseling Profesi Yang Menyeluruh, Edisi Enam, (Jakarta:Indeks,2015), hlm, 67.
[5]Robert L. Gibson & Marianne H. Mitchell, Bimbingan Dan KonselingEdisi Ke 7, Judul Asli Introduction To Counseling And Guidance, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), hlm 624.
[6]Ibid, hlm 626-627.
[7]Hunainah , Etika Profesi Bimbingan Konseling , (Bandung:Rizqi Press, 2016), hlm, 30-31.
[8] Samuel T. Gladding, Op.Cit., hlm,73.

<script data-ad-client="ca-pub-3224888017981904" async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js"></script>

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN