MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

Makalah Pengertian, Tujuan dan Kedudukan Paham Al-Hulul


                                                            
A.    PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lainnya. Sejak lahir telah dibekali dengan kemampuan. Kemampuan untuk mendengar, melihat, dan memahami berbagai fenomena alam berdasarkan kecerdasan dengan sarana panca indra yang sempurna. Pertama, dimensi jasmaniyah (jasad) yang dalam kronologi penciptaannya bersal dari tanah. Fenomena ini membangun sebuah argumentasi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal dari tanah dan yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun jasad dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi rohani (ruh) berasal dari Allah.
Dimensi jasad, mengantarkan manusia memiliki fitrah (kecenderungan) membutuhkan sesuatu yang bersifat materi. Sebaliknya, dimensi ruh mengantarkan manusia memiliki fitrah insting beragama yang cenderung bernuansa spiritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh pada diri manusia .
Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka akan sampai pada pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang mampu mengenal dirinya sendiri. Dalam ini manshur al-Hallaj dalam pengalaman spiritul menemukan komunikasi ideal manusia dengan tuhannya. manusia dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama al-Luhut dan al-Nasut. Maka, apabila kedua sifat tersebut bersatu maka manusia dengan Tuhannya bisa menyatu, dan momen ini di sebut al-Hulul.
Dan pada makalah ini dibahas lagi secara meluas tentang al-Hulul menurut konsep Manshur Al-Hallaj dan juga dijelaskan bagaimana pendapat tentang masalah al-Hulul.

B.     PENGERTIAN  HULUL
Al-Hulul secara bahasa berasal dari kata halla-yahlu-huluan yang berarti menempati. Al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui sifat Fana.[1] Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui pana.[2] Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma sebagai dikutip Harun Nasution adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan .
Al-Hallaj memberikan kesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Jika sifat ketuhan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk mencapai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana. Dari uraian tersebut, maka al Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad.
al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan berdasarkan ayat yang ia takwilkan (QS.Surah Al-Baqarah:34):
Î)r $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyŠKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§ŠÎ=ö/Î) 4n1r& uŽy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB šúï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
Artinya : 34.  Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, al-Hallaj menyadari bahwa dalam diri Adam ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian, karena sebelum menjadikan makhuk, Tuhan melihat zdatnya sendiri dan ia pun cinta kepada dzatnya  sendiri, cinta yang tidak dapat disifatkan,dan cinta yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy dirinya yang mempunyai sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. pada diri Adamlah, Allah muncul.[3] Sebelum tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di salamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat  kepada zat-Nya dan Ia pun cinta kepada zat-Nya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan dari sebab yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan diri darimana yang tiada bentuk dirinya yang mempunyai sifat dan namanya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengangungkan adam. Ia cinta pada Adam dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya, dan kemudian terdapat pada diri Adam sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.

C.    KEDUDUKAN DAN TUJUAN HULUL
Al-Hulul berkedudukan paling tinggi dalam bertasawuf karena untuk melalui ini seseorang yang bertasawuf harus terlebih dahulu melalui beberapa tingkatan atau tahapan sebelumnya yaitu:
1.      Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti sholat, zakat dll)
2.      Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, dzikir,dalam waktu dan hitungan tertentu.
3.      Hakekat, di mana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan dikemukakan.
4.      Ma’rifat kecintaan kepada Allah  dengan makna seluas-luasnya. Jika seseorang merasa mengalami wahdul wujud (al-hulul) dengan tanpa melalui tingkatan-tingkatan sebelumnya maka orang tersebut akan mendapat kesesatan.
Al-Hallaj mengambil teori hulul dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah tubuh Nabi Isa menempati dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai kemanusiannya telah hilang. Hulul Allah pada Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulul Allah pada diri al-Hallaj bersifat sementara melibatkan emosi dan spiritual serta fundamental dan permanen.
Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarnya (syahadat). Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiaanya. Ia hanya tidak menyadarinya selama bersyahadat. Adapun tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk membersihkan jiwa melalui tahapan maqamat hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami  al-fana dan al-nafs. Tazkiyat al-nafs adalah lahut manusia menjadi bening sehingga bisa menerima hulul dari nasut Allah.
Berdasakan beberapa uraian tersebut, maka al-Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan dari hulul bersatu secara rohaniah. Tujuan al-Hulul adalah mencapai persatuan secara batin.Untuk itu, Hamka mengatakan bahwa, al-Hulul adalah ketuhanan (lahut) dan menjelma kedalam diri insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang telah suci bersih dalam menempuh perjalanan kebatinan.[4]

D.    TOKOH YANG MENGEMBANGKAN PAHAM AL-HULUL
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalan Husein bin Manshur al-Hallaj. ia lahir tahun 244 H (858 M). Di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia, dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat seorang Sufi, 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz.
Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, pada tahun 264 H . Ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga seorang sufi[5]. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah Haji di Mekkah selama 3 kali . Dengan ini riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akhir konflik depan ulama fikih. Pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaiman akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulama fikih bernama “Ibn Daud al-Isfahni” mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang di keluarkan oleh Ibnu Daud Al-isfahni itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri Al-Hallaj, sehingga Al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sifir penjara.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang terletak di Ahwaz. Setelah bersembunyi empat tahun lama di kota itu dan tetap tidak mengubah pendiriannya, Akhirnya dia ditangkap kembali dan di masukkan ke penjara selama delapan tahun lamanya. lamanya ia di penjara menyebabkan ia luntur pendiriannya. Akhirnya pada tahun 309 H diadakan persidangan ulama di bawah pengawasan kerajaan Bani Abbas, khalifah Mu’tashim Billah. Al-Hallaj di jatuhi hukumam mati. Ia di hukum di bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk, lalu di shalib, setelah itu di potong kedua tangan dan kakinya, di penggal lehernya, dan ditinggalkan, digantung bagian tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang berbeda pendirian. Arberry lebih lanjut menuliskan kasus pembunuhan al-Hallaj ini sebagai berikut.
“Takkala di bawa untuk disalib, dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh ke arah orang seraya berdoa yang di akhiri dengan kata-kata: ”Dan hamba-hambaMu yang bersama membunuhKu demi agama-Mu dan memenangkan karuniaMu maka, ampunilah mereka ya Tuhan dan Rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya sekiranya telah Kuanugerahkan kepada mereka yang telah Kau anugerahkan kepadaku,  tentu mereka takkan melakukan yang mereka lakukan. Dan apabila kusembunyikan dari diriku yang telah Kau sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha agung Engkau dalam segala yang Kau lakukan dan maha agung engkau dalam segala yang kau kehendaki”.[6]
Masalah Al-Hallaj dihukum bunuh sudah disepakati bersama, namun bagaimana proses pembunuhannya dengan disalib sebagaimana digambarkan Arberry tersebut di atas, masih perlu dipersoalkan, karena kalau memang demikian betapa kejamnya para penyiksaan itu, dan mengapa ia dengan tega melakukan cara yang demikian, sebagaimana kaum Bani Israil menyiksa Yesus Kristus (Yudas Iskareot). Yang dapat diterima tampaknya versi pembunuhan yang digambarkan oleh Hamka tersebut di atas.
Mengenai sebab-sebab dibunuhnya al-Hallaj hingga sekarang masih kontroversial. Jika kebanyakan mengemukakan bahwa sebab dibunuhnya al-Hallaj karena perbedaan paham dengan paham yang dianut ulama fikih yang dilindungi oleh pemerintah, maka hal ini masih juga dipertanyakan. Orang yang menanyakan jika al-Hallaj dibunuh karena perbedaan pendapat paham yang dianut oleh ulama fikih, mengapa sufi yang lainnya sebagaiman Zun al-Nun al-Mishri, Ibn Arabi dan lainnya tidak dibunuh.
Versi lain yang diberikan Harun Nasution, tampaknya perlu dipertimbangkan. Menurutnya al-Hallaj dituduh punya hubungan dengan gerakan Qaramitah, yaitu satu sekte syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan Ibn Qarmat di akhir abad IX M. Sekte ini mempunyai paham komunis (harta benda dan perempuan terdiri dari kaum petani milik bersama) mengadakan teror, menyerang Mekkah di tahun 930 M merampas hajar aswad yang dikembalikan oleh kaum Fatimi di tahun 951 M dan menentang pemerintah Bani Abbas, mulai dari abad X sampai adanya abad XI M.[7]
Jika yang dituduhkan ini memang benar adanya, al-Hallaj secara politis dan ideologis memang salah dan patut dihukum, tetapi jika hal ini hanya tuduhan belaka, maka maslahnya jadi lain. Siapakah yang sebenarnya di antara mereka, Al-Hallaj yang dihukum atau mereka yang menghukum, pengadilan akhiratlah yang kelak mengadili mereka secara bijaksana dan objektif. Selanjutnya untuk menetapkan al-Hallaj sebagai pembawa paham al-Hulul, dapat dipahami dari beberapa pernyataan di bawah ini.
Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah jiwa yang bertempat dalam suatu tubuh, jika Engkau lihat Dia. Dan jika Engkau lihat Dia engkau lihat Kami.
Dalam paham al-Hulul yang dikemukakan al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa paham al-Hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari paham mahabbah sebagaimana di sebutkan di bawa Rabiah al-Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kata-kata cinta yang dikemukakan al-Hallaj. Kedua, al-Hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun Harun Nasution membedakan kesatuan rohaniah yang dialami al-Hallaj melalui al-Hulul, dengan kesatuan rohaniah yang di alami Abu Yazid dalam al-Ittihad. Dalam persatuan melalui al-Hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tak hilang, sebagai halnya dengan diri Abu Yazid dalam ittihad. Dalam ittihad dari Abu Yazid hancur dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham Al-Hallaj dirinya tak hancur sebagai ternyata dari ungkapan syair di atas.
Pebedaan antara ittihad al-Buastami dengan hulul al-Hallaj, dalam ittihad yang dilihat satu wujud, sedang dalam hulul ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dari syair yang dinyatakan al-Hallaj. “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar dan bukanlah yang benar itu aku . Aku hanyalah satu yang benar maka bedakanlah antara kami”.
Dengan ungkapan tersebut kita dapat menilai bahwa saat al-Hallaj mengatakan ana al-haq sebenarnya bukan roh Al-Hallaj yang mengucapkan demikian tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat hulul dalam diri al-Hallaj.         
E.     PENJELASAN ULAMA TENTANG HULUL
Para ulama berbeda pendapat tentang hulul yang disampaikan oleh Al-Hallaj, mereka menganggap kafir kepada al-Hallaj karna berkata “akulah kebenaran” ketika ia sedang mengalami hulul dan mengeluarkan ungkapan syahadat. Hal ini terjadi karena para ulama tidak sependapat dengan al-Hallaj tentang konsep hulul, yaitu mereka tidak menyetujui konsep itu karena menurut para ulama manusia tidak mungkin tidak bisa bersatu dengan Allah atau Allah tidak mungkin bisa menempati manusia.
Selain itu mereka juga menganggap bi’dah tentang konsep tersebut karena Al-Hallaj mengambil konsep tersebut dari kaum nasrani atau konsep Isa as. Penolakan para ulama terhadap konsep hulul yang di sampaikan oleh Al-Hallaj dan corak tasawufnya bersifat inklusif tidak bisa dipisahkan dari perjalanan Al-Hallaj. Penolakan itu terjadi karena Al-Hallaj mengambil konsep dari agama kristiani atau kaum nasrani dan mencari kebenaran tidak hanya di dunia tetapi di luar agama Islam juga dia mencari. Mungkin ini adalah alasan utama kenapa para ulama tidak setuju dengan konsep tersebut dan mereka khawatir terhadap kepercayaan al-Hallaj tentang Islam karena kemungkinan  pemikiran dia terkontaminasi dengan dengan ajaran di luar Islam dan takut bisa menghancurkn akidah ummat islam.
            Al-Imam al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa  seorang yang berkeyakinan hulul atau wahdah al-wujud jauh lebih buruk daripada keyakinan nasrani. Karena dalam keyakinan nasrani tuhan menyatu dengan nabi isa atau dengan maryam sekaligus. Maka, dengan keyakinan dengan hulul dan wahdah al-wujud Tuhan menyatu dengan manusia tertentu. Demikian pula dalam penilaian Imam Al-Ghazali dalam pandangan beliau teori yang diyakini dalam kaum nasrani bahwa al-lahut (Tuhan) menyatu dengan al-nasut (Makhluk) kemudian diambil oleh faham hulul dan ittihad adalah kesesatan dan kekufuran. Dalam tinjauan Imam Al-Ghazali dasar keyakinan keduanya suatu yang tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hambanya, dengan cara apapun adalah suatu hal yang mustahil, baik antara kesatuan dzat dengan dzat maupun antara kesatuan dzat dengan sifat.[8]






F.     PENUTUP

Hulul secara etimologis berasal dari kata halla-yahlu-huluan berarti menempati. al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yaitu manusia yang telah dapat menyebabkan melenyapkan sifat kemanusiaannya melalui fana.Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara batin. Dalam paham al-Hulul yang dikemukakan al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. pertama, bahwa paham al-Hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dan faham mahabbah sebagai mana yang disebutkan Rabi’ah Al-adawiyah. Kedua, al-Hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan.
















[1]Abdullah Nata, Akhlak Tasawuf , (Jakarta: RajawalI Pres,2010),h.239.
[2]Abdul Qadir Mahmud, Al-falsafah Al-sufiyah fi Al-Islam, (Jakarta: Dar al-Fikr, 1966), h. 337.
[3]Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,2004), h. 137.
[4]Hamka, Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 120.
[5]Ibid.,h.119.
[6]A.J.Arberry,Pasang Surut Aliran Tasawuf,(Bandung:Mizan,1985),h.77.
[7]Harun Nasution, op. Cit.,h.87.
[8]Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 245.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN