A.
PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan
dengan makhluk lainnya. Sejak lahir telah dibekali dengan kemampuan. Kemampuan
untuk mendengar, melihat, dan memahami berbagai fenomena alam berdasarkan
kecerdasan dengan sarana panca indra yang sempurna. Pertama, dimensi jasmaniyah
(jasad) yang dalam kronologi penciptaannya bersal dari tanah. Fenomena ini
membangun sebuah argumentasi yang kokoh bahwa secara jasmaniyah manusia berasal
dari tanah dan yang memuaskannya, semua berasal dari tanah serta ketika matipun
jasad dikembalikan ke tanah. Kedua, dimensi rohani (ruh) berasal dari Allah.
Dimensi jasad, mengantarkan manusia memiliki fitrah
(kecenderungan) membutuhkan sesuatu yang bersifat materi. Sebaliknya, dimensi
ruh mengantarkan manusia memiliki fitrah insting beragama yang cenderung
bernuansa spiritualis. Antara keduanya menjadi satu kesatuan yang utuh pada
diri manusia .
Manusia yang mampu memahami dirinya secara utuh, maka
akan sampai pada pengetahuan kedekatannya tentang Tuhan. Artinya, manusia yang
mampu mengenal dirinya sendiri. Dalam ini manshur al-Hallaj dalam pengalaman
spiritul menemukan komunikasi ideal manusia dengan tuhannya. manusia dan Tuhan memiliki dua sifat yang sama al-Luhut dan al-Nasut.
Maka, apabila kedua sifat tersebut bersatu maka manusia dengan Tuhannya bisa menyatu,
dan momen ini di sebut al-Hulul.
Dan pada makalah ini dibahas lagi secara meluas tentang al-Hulul menurut konsep Manshur
Al-Hallaj dan juga dijelaskan bagaimana pendapat tentang masalah al-Hulul.
B.
PENGERTIAN HULUL
Al-Hulul secara bahasa berasal dari kata halla-yahlu-huluan yang berarti
menempati. Al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya
melalui sifat Fana.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat
melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui pana.
Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma
sebagai dikutip Harun Nasution adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan .
Al-Hallaj memberikan kesimpulan bahwa dalam diri manusia
terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan
dalam diri Tuhan
terdapat sifat kemanusiaan (nasut).
Jika sifat ketuhan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan
yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk
mencapai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan
sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana.
Dari uraian tersebut, maka al Hulul
dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan bersatu secara rohaniah. Dalam hal ini hulul pada hakikatnya istilah lain dari al-ittihad.
al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya
ada sifat-sifat ketuhanan berdasarkan ayat yang ia takwilkan (QS.Surah
Al-Baqarah:34):
Î)r $oYù=è% Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$# tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î) 4n1r& uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
Artinya : 34. Dan
(Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah[36] kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur
dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.
Bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud
kepada Adam karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, al-Hallaj
menyadari bahwa dalam diri Adam ada unsur ketuhanan. Ia berpendapat demikian,
karena sebelum menjadikan makhuk, Tuhan melihat zdatnya sendiri dan ia pun
cinta kepada dzatnya sendiri, cinta yang
tidak dapat disifatkan,dan cinta yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang
banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy dirinya yang
mempunyai sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. pada diri Adamlah, Allah
muncul.
Sebelum tuhan menjadikan makhluk, ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam
kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu
dialog yang di salamnya tidak
terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan
ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada
zat-Nya dan Ia pun cinta kepada zat-Nya sendiri. Cinta yang tidak dapat
disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan dari sebab yang
banyak ini. Ia pun mengeluarkan diri darimana yang tiada bentuk dirinya yang
mempunyai sifat dan namanya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia
memuliakan dan mengangungkan adam. Ia cinta pada Adam dan pada diri Adam Allah
muncul dalam bentuknya, dan kemudian terdapat pada diri Adam sifat yang
dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
C.
KEDUDUKAN DAN TUJUAN HULUL
Al-Hulul berkedudukan paling tinggi dalam bertasawuf karena
untuk melalui ini seseorang yang bertasawuf harus terlebih dahulu melalui
beberapa tingkatan atau tahapan sebelumnya yaitu:
1.
Syariat (dengan
menjalankan hukum-hukum agama seperti sholat, zakat dll)
2.
Tarekat, dengan
melakukan amalan-amalan seperti wirid, dzikir,dalam waktu dan hitungan
tertentu.
3.
Hakekat,
di mana
hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan dikemukakan.
4.
Ma’rifat
kecintaan kepada Allah dengan makna
seluas-luasnya. Jika seseorang merasa mengalami wahdul wujud (al-hulul) dengan tanpa melalui tingkatan-tingkatan
sebelumnya maka orang tersebut akan mendapat kesesatan.
Al-Hallaj mengambil teori hulul dari kaum Nasrani yang menyatakan bahwa Allah tubuh Nabi Isa menempati
dan menjelma pada diri Isa putra Maryam. Nabi Isa menjadi Tuhan, karena nilai
kemanusiannya telah hilang. Hulul
Allah pada Nabi Isa bersifat fundamental dan permanen. Sedangkan hulul Allah pada diri al-Hallaj bersifat
sementara melibatkan emosi dan spiritual serta fundamental dan permanen.
Al-Hallaj tidak menjadi Tuhan dan tidak menyatakan
Tuhan, kecuali ucapan yang tidak disadarnya (syahadat).
Al-Hallaj tidak kehilangan nilai kemanusiaanya. Ia hanya tidak menyadarinya
selama bersyahadat. Adapun
tazkiyat al-nafs adalah langkah untuk
membersihkan jiwa melalui tahapan maqamat
hingga merasakan kedekatan dengan Allah dan mengalami al-fana
dan al-nafs. Tazkiyat al-nafs adalah lahut manusia menjadi bening sehingga bisa
menerima hulul dari nasut Allah.
Berdasakan beberapa uraian tersebut, maka al-Hulul dapat
dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan Tuhan dari hulul bersatu secara rohaniah. Tujuan al-Hulul adalah mencapai persatuan
secara batin.Untuk itu, Hamka mengatakan bahwa, al-Hulul adalah ketuhanan (lahut)
dan menjelma kedalam diri insan (nasut),
dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang telah suci bersih dalam
menempuh perjalanan kebatinan.
D.
TOKOH YANG MENGEMBANGKAN PAHAM AL-HULUL
Sebagaimana telah disebutkan di
atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul
adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalan Husein bin Manshur al-Hallaj. ia lahir
tahun 244 H (858 M). Di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di
Persia, dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat seorang Sufi, 16 tahun dia
telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl
bin Abdullah al-Tustur di negeri Ahwaz.
Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang
sufi bernama Amr al-Makki, pada tahun 264 H . Ia masuk kota Baghdad dan belajar
pada al-Junaid yang juga seorang sufi.
Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah Haji di Mekkah selama 3 kali .
Dengan ini riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar
pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk
penjara akhir konflik depan ulama fikih. Pandangan tasawuf yang agak ganjil
sebagaiman akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulama fikih
bernama “Ibn Daud al-Isfahni” mengeluarkan fatwa untuk membantah dan
memberantas pahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan
yang di keluarkan oleh Ibnu Daud Al-isfahni itu sangat besar pengaruhnya terhadap
diri Al-Hallaj, sehingga Al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah
satu tahun dalam penjara, dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang
sifir penjara.
Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus, suatu wilayah yang
terletak di Ahwaz. Setelah bersembunyi empat tahun lama di kota itu dan tetap
tidak mengubah pendiriannya, Akhirnya dia ditangkap kembali dan di masukkan ke
penjara selama delapan tahun lamanya. lamanya ia di penjara menyebabkan ia
luntur pendiriannya. Akhirnya pada tahun 309 H diadakan persidangan ulama di bawah
pengawasan kerajaan Bani Abbas, khalifah Mu’tashim Billah. Al-Hallaj di jatuhi
hukumam mati. Ia di hukum di bunuh, dengan terlebih dahulu dipukul dan dicambuk,
lalu di shalib, setelah itu di potong kedua tangan dan kakinya, di penggal
lehernya, dan ditinggalkan, digantung bagian tubuh itu di pintu gerbang kota
Baghdad, dengan maksud untuk menjadi peringatan bagi ulama lainnya yang berbeda
pendirian. Arberry lebih lanjut menuliskan kasus pembunuhan al-Hallaj ini
sebagai berikut.
“Takkala di bawa untuk disalib, dan melihat tiang salib
serta paku-pakunya, ia menoleh ke arah orang seraya berdoa yang di akhiri
dengan kata-kata: ”Dan hamba-hambaMu yang bersama membunuhKu demi agama-Mu dan
memenangkan karuniaMu maka, ampunilah mereka ya Tuhan dan Rahmatilah mereka. Karena
sesungguhnya sekiranya telah Kuanugerahkan kepada mereka yang telah Kau
anugerahkan kepadaku, tentu mereka takkan
melakukan yang mereka lakukan. Dan apabila kusembunyikan dari diriku yang telah
Kau sembunyikan dari mereka, tentu aku takkan menderita begini. Maha agung Engkau dalam segala yang Kau lakukan dan maha agung engkau
dalam segala yang kau kehendaki”.
Masalah Al-Hallaj dihukum bunuh sudah disepakati bersama,
namun bagaimana proses pembunuhannya dengan disalib sebagaimana digambarkan
Arberry tersebut di atas, masih perlu dipersoalkan, karena kalau memang
demikian betapa kejamnya para penyiksaan itu, dan mengapa ia dengan tega
melakukan cara yang demikian, sebagaimana kaum Bani Israil menyiksa Yesus
Kristus (Yudas Iskareot). Yang dapat diterima tampaknya versi pembunuhan yang
digambarkan oleh Hamka tersebut di atas.
Mengenai sebab-sebab dibunuhnya al-Hallaj hingga sekarang
masih kontroversial. Jika kebanyakan mengemukakan bahwa sebab dibunuhnya
al-Hallaj karena perbedaan paham dengan paham yang dianut ulama fikih yang
dilindungi oleh pemerintah, maka hal ini masih juga dipertanyakan. Orang yang
menanyakan jika al-Hallaj dibunuh karena perbedaan pendapat paham yang dianut
oleh ulama fikih, mengapa sufi yang lainnya sebagaiman Zun al-Nun al-Mishri,
Ibn Arabi dan lainnya tidak dibunuh.
Versi lain yang diberikan Harun Nasution, tampaknya perlu
dipertimbangkan. Menurutnya al-Hallaj dituduh punya hubungan dengan gerakan
Qaramitah, yaitu satu sekte syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan Ibn Qarmat di
akhir abad IX M. Sekte ini mempunyai paham komunis (harta benda dan perempuan
terdiri dari kaum petani milik bersama) mengadakan teror, menyerang Mekkah di
tahun 930 M merampas hajar aswad yang dikembalikan oleh kaum Fatimi di tahun
951 M dan menentang pemerintah Bani Abbas, mulai dari abad X sampai adanya abad
XI M.
Jika yang dituduhkan ini memang benar adanya, al-Hallaj
secara politis dan ideologis memang salah dan patut dihukum, tetapi jika hal
ini hanya tuduhan belaka, maka maslahnya jadi lain. Siapakah yang sebenarnya di
antara mereka, Al-Hallaj yang dihukum atau mereka yang menghukum, pengadilan
akhiratlah yang kelak mengadili mereka secara bijaksana dan objektif. Selanjutnya
untuk menetapkan al-Hallaj sebagai pembawa paham al-Hulul, dapat dipahami dari beberapa pernyataan di bawah ini.
Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur
disatukan dengan air suci. Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia
menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.
Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah
aku. Kami adalah jiwa yang bertempat dalam suatu tubuh, jika Engkau lihat Dia.
Dan jika Engkau lihat Dia engkau lihat Kami.
Dalam paham al-Hulul yang dikemukakan al-Hallaj tersebut
ada dua hal yang dapat dicatat. Pertama, bahwa paham al-Hulul merupakan
pengembangan atau bentuk lain dari paham mahabbah
sebagaimana di sebutkan di bawa Rabiah al-Adawiyah. Hal ini terlihat adanya kata-kata
cinta yang dikemukakan al-Hallaj. Kedua, al-Hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan
Tuhan. Namun Harun Nasution membedakan kesatuan rohaniah yang dialami al-Hallaj
melalui al-Hulul, dengan kesatuan
rohaniah yang di alami Abu Yazid dalam al-Ittihad.
Dalam persatuan melalui al-Hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tak hilang, sebagai
halnya dengan diri Abu Yazid dalam ittihad.
Dalam ittihad dari Abu Yazid hancur
dan yang ada hanya diri Tuhan. Dalam paham Al-Hallaj dirinya tak hancur sebagai
ternyata dari ungkapan syair di atas.
Pebedaan antara ittihad
al-Buastami dengan hulul al-Hallaj, dalam
ittihad yang dilihat satu wujud, sedang
dalam hulul ada dua wujud tetapi
bersatu dalam satu tubuh. Hal ini dapat dipahami dari syair yang dinyatakan
al-Hallaj. “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar dan bukanlah yang benar itu aku
. Aku hanyalah satu yang benar maka bedakanlah antara kami”.
Dengan ungkapan tersebut kita dapat menilai bahwa saat
al-Hallaj mengatakan ana al-haq
sebenarnya bukan roh Al-Hallaj yang mengucapkan demikian tetapi roh Tuhan yang
mengambil tempat hulul dalam diri
al-Hallaj.
E.
PENJELASAN ULAMA TENTANG HULUL
Para ulama berbeda pendapat tentang hulul yang disampaikan oleh Al-Hallaj, mereka menganggap kafir kepada
al-Hallaj karna berkata “akulah kebenaran” ketika ia sedang mengalami hulul dan mengeluarkan ungkapan
syahadat. Hal ini terjadi karena para ulama tidak sependapat dengan al-Hallaj
tentang konsep hulul, yaitu mereka
tidak menyetujui konsep itu karena menurut para ulama manusia tidak mungkin
tidak bisa bersatu dengan Allah atau Allah tidak mungkin bisa menempati
manusia.
Selain itu mereka juga menganggap bi’dah tentang konsep tersebut karena Al-Hallaj mengambil konsep
tersebut dari kaum nasrani atau konsep Isa as. Penolakan para ulama terhadap
konsep hulul yang di sampaikan oleh Al-Hallaj
dan corak tasawufnya bersifat inklusif tidak bisa dipisahkan dari perjalanan Al-Hallaj.
Penolakan itu terjadi karena Al-Hallaj mengambil konsep dari agama kristiani
atau kaum nasrani dan mencari kebenaran tidak hanya di dunia tetapi di luar
agama Islam juga dia mencari. Mungkin ini adalah alasan utama kenapa para ulama
tidak setuju dengan konsep tersebut dan mereka khawatir terhadap kepercayaan
al-Hallaj tentang Islam karena kemungkinan
pemikiran dia terkontaminasi dengan dengan ajaran di luar Islam dan
takut bisa menghancurkn akidah ummat islam.
Al-Imam
al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi menilai bahwa
seorang yang berkeyakinan hulul
atau wahdah al-wujud jauh lebih buruk
daripada keyakinan nasrani. Karena dalam keyakinan nasrani tuhan menyatu dengan
nabi isa atau dengan maryam sekaligus. Maka, dengan keyakinan dengan hulul dan wahdah al-wujud Tuhan menyatu dengan manusia tertentu. Demikian
pula dalam penilaian Imam Al-Ghazali dalam pandangan beliau teori yang diyakini
dalam kaum nasrani bahwa al-lahut (Tuhan)
menyatu dengan al-nasut (Makhluk)
kemudian diambil oleh faham hulul dan
ittihad adalah kesesatan dan
kekufuran. Dalam tinjauan Imam Al-Ghazali dasar keyakinan keduanya suatu yang
tidak logis. Kesatuan antara Tuhan dengan hambanya, dengan cara apapun adalah
suatu hal yang mustahil, baik antara kesatuan dzat dengan dzat maupun antara
kesatuan dzat dengan sifat.
F.
PENUTUP
Hulul secara etimologis berasal dari kata halla-yahlu-huluan berarti menempati. al-Hulul dapat berarti menempati suatu tempat. Jadi hulul secara bahasa berarti tuhan
mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu yaitu manusia yang telah dapat
menyebabkan melenyapkan sifat kemanusiaannya melalui fana.Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan secara
batin. Dalam paham al-Hulul yang
dikemukakan al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat. pertama, bahwa
paham al-Hulul merupakan pengembangan
atau bentuk lain dan faham mahabbah
sebagai mana yang disebutkan Rabi’ah Al-adawiyah. Kedua, al-Hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau kesatuan rohaniah dengan Tuhan.
Komentar
Posting Komentar