MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

Makalah Pengertian Sejarah Timbulnya Tasawuf, Saqamat, Ahwal, Syathahat



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Arti tasawuf dan asal katanya menjadi pertikaian ahli-ahli logat. Setengahnya berkata bahwa kata tasauf itu diambil dari perkataan shafa’, artinya suci bersih, ibarat kaca. Kata setengahnya dari perkataan ‘shuf’ artinya bulu binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasauf itu memakai baju dari bulu binatang,karena mereka benci kepada pakaian yang indah-indah, pakaian orang dunia ini. Dan kata setengahnya diambil dari kaum ‘shuffah,ialah segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan dirinya disatu tempat terpencil disamping mesjid Nabi. Kata setengahnya pula dari perkataan ‘shufanah ialah sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah Arab. Tetapi setengah ahli bahasa dan riwayat, terutama di zaman yang akhir ini mengatakan bahwa perkataan shufi itu bukan bahasa Arab, tetapi bahasa Yunani lama yang telah diarabkan. Asalnya theosofie,artinya ilmu ketuhanan,kemudian diarabkan dan di ucapkan  dengan lidah orang Arab sehingga berubah menjadi tasauf.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan tasawuf?
2.      Sebutkan bagaimana sejarah timbulnya tasawuf?
3.       Apa yang dimaksud dengan maqamat?
4.      Apa yang dimaksud denga ahwal?
5.      Apa yang dimaksud dengan syathahat?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian tasawuf
2.      Untuk mengetahui sejarah timbulnya tasawuf
3.      Untuk mengetahui pengertian maqamat
4.      Untuk mengetahui pengertian ahwal
5.      Untuk mengetahui pengertian syathahat

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf
Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tasawwafa. Namun para ulama berbeda pendapat tentang asal usulnya (akar katanya). Ada yang mengatakan dari kata “suf’ (bulu domba), “saff’ (barisan), “safy/safa’, (jernih), dan kata “suffah”(salah satu sudut mesjid Nabawi yang di tempati sebagian sahabat Nabi yang ikut berhijrah dari Makkah ke Madinah). Pemikiran masing-masing pihak itu dilatar belakangi obsesiya dan fenomena yang ada pada diri para sufi
Sufisme, Mistik Islam atau Tasawuf sebagai bagian dari  filsafat Islam dan telah di rumuskan secara luas sebagai pemahaman kenyataan al-Haqq. Kata mistik berasal dari bahasa Yunani, merembes ke kepustakaan Eropa dan bahasa Arab, Persia dan Turki. Sedangkan istilah Sufi memiliki konotasi religius yang lebih khusus, untuk menyebut mistik dari penganut ajaran Islam. Kata sufi, secara etimologi ada yang berpendapat dari bahasa Arab yang artinya kemurnian. Seorang sufi ialah orang yang hatinya bersih atau insan yang terpilih.
Al-Qushairi[1] dalam hal ini memberikan komentarnya yang dinukil oleh Sadiq ibn Hasan al-Qanuji dalam kitabnya Abjad al-Ulum al-Wasi al-Marqum fi Bayani ahwal al-Ulum sebagai berikut :
“Imam al-Qushari berkata : tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa kata benda ini (al-Tasawuf) memiliki akar kata bahasa Arab, yang juga tidak di analogikan dari bahasa Arab. Secara lahiriah itu hanya laqab (julukan) saja. Ada pula yang berpendapat bahwa kata (al-Tasawuf) itu berasal dari kata safa atau suffah adalah sangat jauh dari sudut pandang qiyas (analogi) ilmu bahasa, begitu juga orang yang berpendapat bahwa itu berasal dari kata suf  adalah tidak berdasar, karena mereka para sufi tidak mengkhususkan harus memakai pakaian dari suf  (bulu domba).
 Walau memang mereka pada umumnya mmakai pakaian dari wol itu karena mereka ingin memakai pakaian yang tidak menunjukkan kebanggan atau kemewahan seperti umumnya kebanyakan orang. Kemudian mereka yang sebagian besar memakai pakaian sederhana itu ( bahkan rendah dan hina dimasa itu) terkenal dengan sifat al-zuhd, al-‘uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian dan memfokuskan diri pada beribadah, maka orang-orang menjuluki mereka dengan istilah sufi (sebagai identitas) yang mudah dari apa yang mereka ketahui.[2]

Secara terminologis, menurut Ibn’Ajibah, yaitu “Kesungguhan tawajjuh (ibadah) kepada Allah dengan melaksanakan amalan yang diridhai dan yang diingini-Nya”.[3]
Al-Junaida al-Baghdadi mendefenisikan tasawuf sebagai berikut : “Hendaknya ketika berhubungan dengan al-Haqq tanpa perantara (Wasilah)” dan kitab lain mendefenisikan tasawuf adalah “Hendaknya hidup dan matimu diserahkan kepada al-Haqq”.[4] 
Sedangkan al-Qauji mendefenisikan tasawuf sebagai berikut : “Sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana meningkatkan derajat kesempurnaan sebagai manusia dalam tingkatan-tingkatan kebahagiaan dan persoalan-persoalan yang menghadang (ujian) dalam upaya meningkatkan derajat tersebut sesuai dengan kemampuan manusia”.[5]   

B.     Asal-Usul Tasawuf
Mengena asal-usul atau timbulnya tasawuf dalam Islam, terdapat teori yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan karena pengaruh faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam biara-biara. Ajaran filsafat mistik pythagoras, untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi juga di pandang mempengaruhi timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam.

 Demikian pula dengan filsafat amanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari Dzat Allah Yang Maha Esa. Ruh berasal dari Al-Haq dan akan kembali kepada-Nya. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, ruh menjadi kotor, dan untuk kembali ke alam asalnya ruh terlebih dahulu harus di bersihkan dengan meninggalkan dunia dengan mendekati Allah sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan al-Haqq
Dikatakan, filsafat mempunyai pengaruh terhadap penganut al-zahid  dalam Islam. Ajaran Budha dengan paham nirwananya, dan ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahma juga di anggap berpengaruh terhadap tasawuf.
Dalam Al-Qur’an al-Haqq  menerangkan diri-Nya sebgai yang lahir (al-Zahir) dan yang Batin (al-Batin).Karena itu, semua realitas dari dari dunia ini juga memiliki aspek lahir (eksoteris) dan aspek batin (esoteris). Dalam dimensi batin atau esoteris dari wahyu ini sebagian besar berhubungan dengan tasawuf. Dari sudut pandang Islam, tasawuf seperti al-Din al-Islam dalam pengertiannya yang abadi dan sekaligus universal. Maka tasawuf yang bisa dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang bersumber dari wahyu Al-Qur’an. Seseorang tidak dapat melaksanakan esoterisme Budha dalam konteks syariat Islam begitu juga sebaliknya.[6]
Kandungan Al-Qur’an dibedakan atas dua macam: al-ayat al-bayyinat, yang jelas dan terbuka, dan al-ayat al-mutashabihat, yang sarat makna dapat di tafsirkan dengan cara yang berbeda.
Sebagian besar ahli sejarah mengatakan bahwa pada pertengahan abad ke-2 atau di penghujung abad ke-2 adalah masa dimana munculnya istilah tasawuf atau sufi, walau hakikatnya secara praktis dan realita lapangan perilaku yang mencerminkan kesufian, seperti ketawakkalan, kesabaran, dan rajin beribadah sehingga terkesan menyampingkan al-mutasabbib/al-kasb (bekerja) untuk kehidupan dunia yang sudah ada sejak era sahabat yang hidup bersama Rasul.
 Mereka adalaha sahabat Rasul yang tinggal dan hidup disalah satu sudut Mesjid Nabawi yang populer dikenal sebagai Ahl al-suffah. Dan Nabi mentakrir (mendiamkan tanda setuju) apa yang dilakukan Ahl al-suffah yang tajrid dalam ibadah dan tidak al-mutasabbib (tidak bekerja). Hal itu dikarenakan Nabi melihat mereka kuat dan bisa mengambil manfaat dari ke-tajrid-an tersebut. Disamping Nabi pun men-taqrir perilaku sebagian sahabat yang lain yang tidak al-tajarrud/al-tajrid tapi al-mutasabbib dalam mencari rezeki Allah karena memang Nabi melihat hal itu lebih cocok bagi sahabat yang tidak tinggal disalah sudut Mesjid Nabawi[7].
  
C.     Tujuan Tasawuf
Secara umum, tujuan tasawuf yang terpenting adalah agar berada sedekat mungkin dengan al-Haqq namun apabila diperhatikan ada karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya 3 saran “antara” dari tasawuf yaitu :
Pertama, tasawuf yang menekankan pembinaan aspek moralitas yang tinggi sebagaimana yang di kehendaki oleh Rasul
Kedua, tasawuf ‘irfani yakni tasawuf yang bertujuan agar bisa ma’rifat kepada Allah melalui penyingkapan langsung yang sering disebut dengan kasd al-hijab.
Ketiga, tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada al-Haqq secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara hamba dengan al-Haqq dan makna hubungan itu.

D.    Maqamat
Maqamat dalam pandangan al-Qushairi[8] adalah pembuktian seorang hamba berada dalam kedudukan tertentu dari etika dan setiap orang berada di maqamnya sendiri. Dia tidak bisa naik pada maqam tertentu sebelum memenuhi maqam sebelumnya, seperti seseorang tidak bisa dikatakan qhana’ah jika tidak tawakkul, dan seseorang tidak bisa dikatakan tawakkul sebelum dia taslim (berserah diri secara utuh), seseorang sebelum taubat tidak akan menjadi inabah dan seorang tidak dikatakan war’a sebelum dia zuhud.
Sufi berbeda pandanga tentang macam maqamat, al-Thusi mengemukakan kebanyakan para sufi menjadikan hal berikut sebagai al-maqamat yakni : al-taubah, al-zuhd, al-wara’, al-sabr, al-tawakkul, dan al-rida, namun yang lebih tinggi dari al-rida yakni : al-ma’rifat, al-muhabba, dan al-ittihad[9].Dalam pandangan al-Ghajali bahwa al-ma’rifah sebagai maqam tersendiri yakni maqam yang ke empat, yaitu
1.      Al- Shari’ah
a.       Al-Taubah
Taubat dari kata al-Taubah adalah murodif (padanan kata) dari al-Inabah dan Al-Aubah yang terjemahan lag-wiyah-nya adalah kembali (al-Ruju’). Dalam pandangan sufi penghalang seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan melihat-Nya dengan mata hatik adalah karena dosa yang di miliki seseorfang hamba, al-HaqqYang Maha Suci tidak bisa dihampiri oleh hamba yang tidak suci. Dia harus membersihkan dirinya dengan jalan taubat yang benar sesuai dengan kehendak al-Haqq, sebagaimana firman-Nya dalan surah Ali ‘Imran 135:





“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau mengeniaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang meraka mengetahui.

 Taubat ini harus dengan segera ingat kepda al-Haqq seraya memohon ampun (al-istighfar) kepada-Nya, menyesali perbuatan dosanya dan berjanji tidak mengulang kembali perbuatan itu di waktu mendatang. Setiap orang yang takut dengan siksaan  al-Haqq disebut al-Taubah dan merupak sifat seorang mu’min .
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Nur 31:


“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”

b.    Al-Taqwa
Seorang yang telah menapaki maqam taubah maka agar bisa menghampiri al-haqq maka dia haruslah manapaki maqam yang kedua yaitu maqam Al-Taqwa sebagaimana firman-Nya surat al-Hadid ayat 28:




”Hai oarang-orang yang beriman (kepda para Rasul), bertakwalah kepada Allah dan beriman lah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadiakan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu.Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.”

Fuqaha’ memberikan pengertian bahwa Al-Taqwa adalah melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nnya.
     Menurut Rawaim, tidak selamat orang yang selamat melainkan memiliki ketakwaan yang benar, dia tidak ditimpa kejelekan dan tidak menjadi orang susah.

  sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Zumar ayat 61:



“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka tiada di sentuh oleh azab (neraka) dan mereka tidak pula berduka cita.”

c.    Al-Istiqamah
Al-Istiqamah dalam bahasa Indonesia di terjemahkan dengan terus-meneris. Al-Istiqamah adalah ajeg (kontinu) secara lahiriah di dalam bertakwa, maka dengan ini Allah  akan memberikan kenikmatan yang besar,

sebagaimana dalam firman-Nya dalam surat Al-Jin ayat 16:


“Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka dengan air minum yang segar (rezeki yang banyak).”

E.     Al- Ahwal
Al-Ahwal jama’ dari kata al-Hal, secara bahasa di artikan dengan kondisi bagi salik, Al-Hal dalam pandangan sufi adalah kondisi yang lewat di hati salik tanpa sengaja, tanpa di paksa atau tanpa usaha, baik senang atau susah. Datangnya kondisi psikis itu tidaak menentu adaakalnya datag dan pergi.

Menurut al-Qushairi, al-Hal selalu bergerak setapak demi setapak sampai ketingkat puncak rohani. Karena keadaannya terus menerus bergerak dan beralih berganti maka karena itulah disebut dengan al-Hal.
Al-Maqam adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidip dan hasilnya dapat di baca pada perilakuvseseorang secara lahiriah, sedangkan al-Hal bersifat abstrak dan tidak bisa dilihat dengan kasat mata dan tidak bis di jelaskan dengan bahasa tulisan atau lisan.

F.      Pengertian Syatahat
Secara bahasa syathahat berasal dari kata kerja syathaha yang berarti tharraka yakni gerak atau trgerak.
Syathahat dalam bahasa Arab berarti gerak yang bersumber dari perasaan, ketika menjadi kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya.
Syathahat menurut kaum sufi adalah ungkapan perasaan orang sufi yang bergelora, ketika pertama kali memasuki gerbang ilahi.
Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami
1.    Fana dan Baqa’
Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf fana’ ada kalanya di artikan sebagai keadaaa moral yang luhur.  dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H/ 988 M) mendefenisikannya: “hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu dengan secara sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.

2.    Ittihad
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang di alami seorang sufi setelah ia menempuhi tahapan dan baqa’.dalam tahapan ittihada, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang mencintai dengan yang di cintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya.

G.    Pendekatan Utama Dalam Kajian Tasawuf.
Menurut Harun Nasution, kajian tasawuf dapat dilakukan dengan pendekatan temati dengan penyajian ajaran tasawuf di sajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada tuhan.
Kajian tasawuf yang dilakukan dengan pendekataan tematik akan terasa lebih menarik karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf di bandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh.























PENUTUP
1.      Kesimpulan
Tasawuf adalah ilmu yang mengandung ajaran-ajaran tentng kehidupan keruhanian, kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan nafsu, kehidupan duniawi, cara-cara mendekatkan diri kepada Allah seta fana dalam kekekalan-Nya sehingga sampai kepada pengenalan hati yang dalam akan Allah.
Para ahli sejarah menilai timbulnya tasawuf tidak terlepas darkondisi kehidupan masyarakat –terutama di kalangan istana Bani Umayyah- yang oleh sahabat dinilai telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW dan para sahabat besar yang saleh dan sederhana
Menurut Adams pendekatan utama dalam kajian tasawuf adalah dengan pendekatan fenonemologi sedangkan menurun Harun Nasution kajian tasawuf dapat dilakukan dengan pendekatan tematik.












DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Abbas, Ilmu Nahwu dan Tasawuf, (Bayrut: Dar al-Khair,1990)
Abu al-Qasim,Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusharyry, Tafsir Al-Qur’an dari sudut pandang tasawuf,(Kairo: Dar al-Rashad,1992)
Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ajibah al-Husani, Iqazu al-Himan fi Sharh al-Hikam, (Singapura:al-Huramain,1266 H), hlm 4
Al-Qanuji,Abjad al-Ulami al-Wasi al-Marqum fi Bayani ahwal al-Ulum,(Bayrut : Dar al-Khayr,tt) hlm 3
Al-Qauji,ibid,hlm11
Al-Qushayry,al-Risalah, al-Qushayriyah,(Bairut: Dar al-Khair,tt.), hlm.57
Al-Rifa’iy, al-suffiyah, hlm. 12
Ibid.,hlm. 60
Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Nas, al-Saltah, al-Haqiqah(Bayrut:Al-Markaz al- Thaqafy, al- ‘Araby,1991) hlm, 8-9



[1] Abu al-Qasim,Abd al-Karim ibn Hawazan al-Qusharyry, Tafsir Al-Qur’an dari sudut pandang tasawuf,(Kairo: Dar al-Rashad,1992)
[2] Al-Qanuji,Abjad al-Ulami al-Wasi al-Marqum fi Bayani ahwal al-Ulum,(Bayrut : Dar al-Khayr,tt) hlm 3
[3] Abu al-Abbas, Ilmu Nahwu dan Tasawuf, (Bayrut: Dar al-Khair,1990)
[4] Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ajibah al-Husani, Iqazu al-Himan fi Sharh al-Hikam, (Singapura:al-Huramain,1266 H), hlm 4
[5] Al-Qauji,ibid,hlm11
[6] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Nas, al-Saltah, al-Haqiqah(Bayrut:Al-Markaz al- Thaqafy, al- ‘Araby,1991) hlm, 8-9
[7] Al-Rifa’iy, al-suffiyah, hlm. 12
[8] Al-Qushayry,al-Risalah, al-Qushayriyah,(Bairut: Dar al-Khair,tt.), hlm.57
[9] Ibid.,hlm. 60

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL