PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Arti
tasawuf dan asal katanya menjadi pertikaian ahli-ahli logat. Setengahnya
berkata bahwa kata tasauf itu diambil dari perkataan shafa’, artinya suci bersih, ibarat kaca. Kata setengahnya dari
perkataan ‘shuf’ artinya bulu
binatang, sebab orang-orang yang memasuki tasauf itu memakai baju dari bulu
binatang,karena mereka benci kepada pakaian yang indah-indah, pakaian orang
dunia ini. Dan kata setengahnya diambil dari kaum ‘shuffah,ialah segolongan sahabat-sahabat Nabi yang menyisihkan
dirinya disatu tempat terpencil disamping mesjid Nabi. Kata setengahnya pula
dari perkataan ‘shufanah ialah
sebangsa kayu yang mersik tumbuh di padang pasir tanah Arab. Tetapi setengah
ahli bahasa dan riwayat, terutama di zaman yang akhir ini mengatakan bahwa
perkataan shufi itu bukan bahasa
Arab, tetapi bahasa Yunani lama yang telah diarabkan. Asalnya theosofie,artinya ilmu ketuhanan,kemudian diarabkan dan di ucapkan dengan lidah orang Arab sehingga berubah
menjadi tasauf.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan tasawuf?
2. Sebutkan
bagaimana sejarah timbulnya tasawuf?
3. Apa yang dimaksud dengan maqamat?
4. Apa
yang dimaksud denga ahwal?
5. Apa
yang dimaksud dengan syathahat?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian tasawuf
2. Untuk
mengetahui sejarah timbulnya tasawuf
3. Untuk
mengetahui pengertian maqamat
4. Untuk
mengetahui pengertian ahwal
5. Untuk
mengetahui pengertian syathahat
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Tasawuf
Secara
etimologis, kata ini berasal dari bahasa Arab, Tasawwafa. Namun para ulama
berbeda pendapat tentang asal usulnya (akar katanya). Ada yang mengatakan dari
kata “suf’ (bulu domba), “saff’ (barisan), “safy/safa’, (jernih), dan kata “suffah”(salah
satu sudut mesjid Nabawi yang di tempati sebagian sahabat Nabi yang ikut
berhijrah dari Makkah ke Madinah). Pemikiran masing-masing pihak itu dilatar
belakangi obsesiya dan fenomena yang ada pada diri para sufi
Sufisme,
Mistik Islam atau Tasawuf sebagai bagian dari
filsafat Islam dan telah di rumuskan secara luas sebagai pemahaman kenyataan
al-Haqq. Kata mistik berasal dari bahasa Yunani, merembes ke kepustakaan Eropa
dan bahasa Arab, Persia dan Turki. Sedangkan istilah Sufi memiliki konotasi
religius yang lebih khusus, untuk menyebut mistik dari penganut ajaran Islam.
Kata sufi, secara etimologi ada yang berpendapat dari bahasa Arab yang artinya
kemurnian. Seorang sufi ialah orang yang hatinya bersih atau insan yang
terpilih.
Al-Qushairi
dalam hal ini memberikan komentarnya yang dinukil oleh Sadiq ibn Hasan
al-Qanuji dalam kitabnya Abjad al-Ulum al-Wasi al-Marqum fi Bayani ahwal
al-Ulum sebagai berikut :
“Imam
al-Qushari berkata : tidak ditemukan bukti yang kuat bahwa kata benda ini
(al-Tasawuf) memiliki akar kata bahasa Arab, yang juga tidak di analogikan dari
bahasa Arab. Secara lahiriah itu hanya laqab (julukan) saja. Ada pula yang
berpendapat bahwa kata (al-Tasawuf) itu berasal dari kata safa atau suffah adalah
sangat jauh dari sudut pandang qiyas
(analogi) ilmu bahasa, begitu juga orang yang berpendapat bahwa itu berasal
dari kata suf adalah tidak berdasar, karena mereka para
sufi tidak mengkhususkan harus memakai pakaian dari suf (bulu domba).
Walau memang mereka pada umumnya mmakai
pakaian dari wol itu karena mereka ingin memakai pakaian yang tidak menunjukkan
kebanggan atau kemewahan seperti umumnya kebanyakan orang. Kemudian mereka yang
sebagian besar memakai pakaian sederhana itu ( bahkan rendah dan hina dimasa
itu) terkenal dengan sifat al-zuhd,
al-‘uzlah (mengasingkan diri) dari keramaian dan memfokuskan diri pada
beribadah, maka orang-orang menjuluki mereka dengan istilah sufi (sebagai
identitas) yang mudah dari apa yang mereka ketahui.
Secara
terminologis, menurut Ibn’Ajibah, yaitu “Kesungguhan tawajjuh (ibadah) kepada
Allah dengan melaksanakan amalan yang diridhai dan yang diingini-Nya”.
Al-Junaida
al-Baghdadi mendefenisikan tasawuf sebagai berikut : “Hendaknya ketika
berhubungan dengan al-Haqq tanpa perantara (Wasilah)” dan kitab lain
mendefenisikan tasawuf adalah “Hendaknya hidup dan matimu diserahkan kepada
al-Haqq”.
Sedangkan
al-Qauji mendefenisikan tasawuf sebagai berikut : “Sebuah ilmu yang mempelajari
bagaimana meningkatkan derajat kesempurnaan sebagai manusia dalam
tingkatan-tingkatan kebahagiaan dan persoalan-persoalan yang menghadang (ujian)
dalam upaya meningkatkan derajat tersebut sesuai dengan kemampuan manusia”.
B. Asal-Usul
Tasawuf
Mengena
asal-usul atau timbulnya tasawuf dalam Islam, terdapat teori yang berbeda-beda.
Ada yang mengatakan karena pengaruh faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan
diri dalam biara-biara. Ajaran filsafat mistik pythagoras, untuk meninggalkan
dunia dan pergi berkontemplasi juga di pandang mempengaruhi timbulnya zuhud dan
sufisme dalam Islam.
Demikian
pula dengan filsafat amanasi plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar
dari Dzat Allah Yang Maha Esa. Ruh berasal dari Al-Haq dan akan kembali kepada-Nya. Tetapi dengan masuknya ke alam
materi, ruh menjadi kotor, dan untuk kembali ke alam asalnya ruh terlebih
dahulu harus di bersihkan dengan meninggalkan dunia dengan mendekati Allah
sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan al-Haqq
Dikatakan,
filsafat mempunyai pengaruh terhadap penganut al-zahid
dalam Islam. Ajaran Budha dengan paham
nirwananya, dan ajaran Hinduisme yang mendorong manusia untuk meninggalkan
dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahma juga di
anggap berpengaruh terhadap tasawuf.
Dalam
Al-Qur’an al-Haqq menerangkan diri-Nya sebgai yang lahir
(al-Zahir) dan yang Batin (al-Batin).Karena itu, semua realitas dari dari dunia
ini juga memiliki aspek lahir (eksoteris) dan aspek batin (esoteris). Dalam
dimensi batin atau esoteris dari wahyu ini sebagian besar berhubungan dengan
tasawuf. Dari sudut pandang Islam, tasawuf seperti al-Din al-Islam dalam
pengertiannya yang abadi dan sekaligus universal. Maka tasawuf yang bisa
dilaksanakan secara sah harus merupakan sesuatu yang bersumber dari wahyu
Al-Qur’an. Seseorang tidak dapat melaksanakan esoterisme Budha dalam konteks
syariat Islam begitu juga sebaliknya.
Kandungan
Al-Qur’an dibedakan atas dua macam: al-ayat al-bayyinat, yang jelas dan
terbuka, dan al-ayat al-mutashabihat, yang sarat makna dapat di tafsirkan dengan
cara yang berbeda.
Sebagian
besar ahli sejarah mengatakan bahwa pada pertengahan abad ke-2 atau di
penghujung abad ke-2 adalah masa dimana munculnya istilah tasawuf atau sufi,
walau hakikatnya secara praktis dan realita lapangan perilaku yang mencerminkan
kesufian, seperti ketawakkalan, kesabaran, dan rajin beribadah sehingga
terkesan menyampingkan al-mutasabbib/al-kasb (bekerja) untuk kehidupan dunia
yang sudah ada sejak era sahabat yang hidup bersama Rasul.
Mereka adalaha sahabat Rasul yang tinggal dan
hidup disalah satu sudut Mesjid Nabawi yang populer dikenal sebagai Ahl
al-suffah. Dan Nabi mentakrir (mendiamkan tanda setuju) apa yang dilakukan Ahl
al-suffah yang tajrid dalam ibadah dan tidak al-mutasabbib (tidak bekerja). Hal
itu dikarenakan Nabi melihat mereka kuat dan bisa mengambil manfaat dari
ke-tajrid-an tersebut. Disamping Nabi pun men-taqrir perilaku sebagian sahabat
yang lain yang tidak al-tajarrud/al-tajrid tapi al-mutasabbib dalam mencari
rezeki Allah karena memang Nabi melihat hal itu lebih cocok bagi sahabat yang
tidak tinggal disalah sudut Mesjid Nabawi.
C. Tujuan
Tasawuf
Secara
umum, tujuan tasawuf yang terpenting adalah agar berada sedekat mungkin dengan
al-Haqq namun apabila diperhatikan ada karakteristik tasawuf secara umum,
terlihat adanya 3 saran “antara” dari tasawuf yaitu :
Pertama,
tasawuf yang menekankan pembinaan aspek moralitas yang tinggi sebagaimana yang
di kehendaki oleh Rasul
Kedua,
tasawuf ‘irfani yakni tasawuf yang bertujuan agar bisa ma’rifat kepada Allah
melalui penyingkapan langsung yang sering disebut dengan kasd al-hijab.
Ketiga,
tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan
pendekatan diri kepada al-Haqq secara mistis filosofis, pengkajian garis
hubungan antara hamba dengan al-Haqq dan makna hubungan itu.
D. Maqamat
Maqamat
dalam pandangan al-Qushairi
adalah pembuktian seorang hamba berada dalam kedudukan tertentu dari etika dan
setiap orang berada di maqamnya sendiri. Dia tidak bisa naik pada maqam
tertentu sebelum memenuhi maqam sebelumnya, seperti seseorang tidak bisa
dikatakan qhana’ah jika tidak tawakkul, dan seseorang tidak bisa dikatakan
tawakkul sebelum dia taslim (berserah diri secara utuh), seseorang sebelum
taubat tidak akan menjadi inabah dan seorang tidak dikatakan war’a sebelum dia
zuhud.
Sufi
berbeda pandanga tentang macam maqamat, al-Thusi mengemukakan kebanyakan para
sufi menjadikan hal berikut sebagai al-maqamat yakni : al-taubah, al-zuhd,
al-wara’, al-sabr, al-tawakkul, dan al-rida, namun yang lebih tinggi dari
al-rida yakni : al-ma’rifat, al-muhabba, dan al-ittihad.Dalam
pandangan al-Ghajali bahwa al-ma’rifah sebagai maqam tersendiri yakni maqam
yang ke empat, yaitu
1. Al-
Shari’ah
a. Al-Taubah
Taubat
dari kata al-Taubah adalah murodif
(padanan kata) dari al-Inabah dan Al-Aubah yang terjemahan lag-wiyah-nya adalah kembali (al-Ruju’).
Dalam pandangan sufi penghalang seseorang dalam mendekatkan diri kepada Allah
dengan jalan melihat-Nya dengan mata hatik adalah karena dosa yang di miliki
seseorfang hamba, al-HaqqYang Maha
Suci tidak bisa dihampiri oleh hamba yang tidak suci. Dia harus membersihkan
dirinya dengan jalan taubat yang benar sesuai dengan kehendak al-Haqq, sebagaimana firman-Nya dalan
surah Ali ‘Imran 135:
“Dan
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau mengeniaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang meraka mengetahui.
Taubat ini harus dengan segera ingat kepda al-Haqq seraya memohon ampun
(al-istighfar) kepada-Nya, menyesali perbuatan dosanya dan berjanji tidak
mengulang kembali perbuatan itu di waktu mendatang. Setiap orang yang takut
dengan siksaan al-Haqq disebut al-Taubah
dan merupak sifat seorang mu’min .
sebagaimana firman-Nya
dalam surat al-Nur 31:
“Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung”
b. Al-Taqwa
Seorang
yang telah menapaki maqam taubah maka agar bisa menghampiri al-haqq maka dia
haruslah manapaki maqam yang kedua yaitu maqam Al-Taqwa sebagaimana firman-Nya
surat al-Hadid ayat 28:
”Hai
oarang-orang yang beriman (kepda para Rasul), bertakwalah kepada Allah dan
beriman lah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua
bagian, dan menjadiakan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat
berjalan dan dia mengampuni kamu.Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.”
Fuqaha’ memberikan
pengertian bahwa Al-Taqwa adalah melaksanakan semua perintah dan menjauhi semua
larangan-Nnya.
Menurut Rawaim, tidak selamat orang yang selamat melainkan
memiliki ketakwaan yang benar, dia tidak ditimpa kejelekan dan tidak menjadi
orang susah.
sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Zumar
ayat 61:
“Dan
Allah menyelamatkan orang-orang yang bertakwa karena kemenangan mereka, mereka
tiada di sentuh oleh azab (neraka) dan mereka tidak pula berduka cita.”
c. Al-Istiqamah
Al-Istiqamah dalam
bahasa Indonesia di terjemahkan dengan terus-meneris. Al-Istiqamah adalah ajeg
(kontinu) secara lahiriah di dalam bertakwa, maka dengan ini Allah akan memberikan kenikmatan yang besar,
sebagaimana dalam
firman-Nya dalam surat Al-Jin ayat 16:
“Dan
bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama
Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka dengan air minum yang
segar (rezeki yang banyak).”
E. Al-
Ahwal
Al-Ahwal
jama’ dari kata al-Hal, secara bahasa di artikan dengan kondisi bagi salik,
Al-Hal dalam pandangan sufi adalah kondisi yang lewat di hati salik tanpa
sengaja, tanpa di paksa atau tanpa usaha, baik senang atau susah. Datangnya
kondisi psikis itu tidaak menentu adaakalnya datag dan pergi.
Menurut
al-Qushairi, al-Hal selalu bergerak setapak demi setapak sampai ketingkat
puncak rohani. Karena keadaannya terus menerus bergerak dan beralih berganti
maka karena itulah disebut dengan al-Hal.
Al-Maqam
adalah tingkatan pelatihan dalam membina sikap hidip dan hasilnya dapat di baca
pada perilakuvseseorang secara lahiriah, sedangkan al-Hal bersifat abstrak dan
tidak bisa dilihat dengan kasat mata dan tidak bis di jelaskan dengan bahasa
tulisan atau lisan.
F. Pengertian
Syatahat
Secara
bahasa syathahat berasal dari kata kerja syathaha yang berarti tharraka yakni
gerak atau trgerak.
Syathahat
dalam bahasa Arab berarti gerak yang bersumber dari perasaan, ketika menjadi
kuat dan meluap, lalu melahirkan ungkapan yang terasa asing kedengarannya.
Syathahat
menurut kaum sufi adalah ungkapan perasaan orang sufi yang bergelora, ketika
pertama kali memasuki gerbang ilahi.
Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami
1. Fana
dan Baqa’
Dari
segi bahasa, fana’ berasal dari kata faniya yang berarti musnah atau lenyap.
Dalam istilah tasawuf fana’ ada kalanya di artikan sebagai keadaaa moral yang
luhur. dalam hal ini Abu Bakar
Al-Kalabadzi (w. 378 H/ 988 M) mendefenisikannya: “hilangnya semua keinginan
hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga
ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu dengan secara
sadar, dan ia telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
2. Ittihad
Ittihad
adalah tahapan selanjutnya yang di alami seorang sufi setelah ia menempuhi
tahapan dan baqa’.dalam tahapan ittihada, seorang sufi bersatu dengan Tuhan,
antara yang mencintai dengan yang di cintai menyatu, baik subtansi maupun
perbuatannya.
G. Pendekatan
Utama Dalam Kajian Tasawuf.
Menurut
Harun Nasution, kajian tasawuf dapat dilakukan dengan pendekatan temati dengan
penyajian ajaran tasawuf di sajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada tuhan.
Kajian
tasawuf yang dilakukan dengan pendekataan tematik akan terasa lebih menarik
karena langsung menuju kepada persoalan tasawuf di bandingkan dengan pendekatan
yang bersifat tokoh.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Tasawuf
adalah ilmu yang mengandung ajaran-ajaran tentng kehidupan keruhanian,
kebersihan jiwa, cara-cara membersihkannya dari berbagai penyakit hati, godaan
nafsu, kehidupan duniawi, cara-cara mendekatkan diri kepada Allah seta fana
dalam kekekalan-Nya sehingga sampai kepada pengenalan hati yang dalam akan
Allah.
Para
ahli sejarah menilai timbulnya tasawuf tidak terlepas darkondisi kehidupan
masyarakat –terutama di kalangan istana Bani Umayyah- yang oleh sahabat dinilai
telah menyimpang terlalu jauh dari kehidupan yang diajarkan Nabi Muhammad SAW
dan para sahabat besar yang saleh dan sederhana
Menurut
Adams pendekatan utama dalam kajian tasawuf adalah dengan pendekatan
fenonemologi sedangkan menurun Harun Nasution kajian tasawuf dapat dilakukan
dengan pendekatan tematik.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar