MAKALAH HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN FIQIH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN FIQH
BY. RAHMAD, DKK.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang
tentunya bersifat ilmiyah,
logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan
hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan
ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup sekolah, akan membentuk
pribadi yang mandiri,bertanggungjawab,dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Sehingga memudahkan pesertadidik dalam mengaplikasikannya dalam
kehidupansehari-hari.Apalagi di zaman modern sekarang semakin banyak
masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian fiqih dan syari’at. Oleh karena
itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk menanggapi permasalahan
di masyarakat sekitar.[1]
Tujuan pembelajaran Fiqih adalah untuk
membekali peserta didik agar
dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan
menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan dalil aqli melaksanakan dan
mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar.[2]
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah pengertian dan hakikat belajar ?
2.
Bagaimanakah prinsip-prinsip, ciri-ciri, bentuk atau
jenis-jenis,aktivitas, dan gaya belajar ?
3.
Apakah pengertian pembelajaran fiqh?
4. Apa tujuan pembelajaran fiqh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
BELAJAR
1. Pengertian
Belajar Menurut Para Ahli
James O. Whittaker, merumuskan belajar sebagai
proses dimana tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Crinbach berpendapat bahwa
learning is shown by change in behavior as a result of experience. Belajar
sebagai aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari pengalaman. Howard L. Kingskey mengatakan bahwa learning is the process by
which behavior (in the broader sense) is originated or changed through practice
or training. Belajar adadalah proses dimana tingkah laku (dalam arti luas)
ditimbulkan atau diubah melaui praktek atau latihan. Sedangkan Geoch merumuskan
belajar learning is change is performance as a result of practice. Drs. Slameto
merumuskan belajar sebagai suatu prose usaha yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai
hasilpengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
2. Pengertian Belajar Secara Umum
Berdasarkan
pengertian-pengerian yang diberikan oleh para ahli di tas maka dapat di
simpulkan bahwa belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperolah
suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalalaman individu dalam
interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut kognitif, afektif, dan
psikomotor.
B. HAKIKAT
BELAJAR
Dari sejumlah pengertian belajar yang telah
diuraikan, ada kata yang sangat penting untuk dibahas yaitu kata “perubahan”
atau “Change”.
Ketika kata “perubahan” dibicarakan dan
dipermasalahkan, maka pembicaraan sudah menyangkut permasalah mendasar dari
maslah belajar. Apapun formasi kata dan kalimat yang dirangkai oleh para ahli
untuk memberikan pengertia belajar, maka intinya tidak lain adalah masalah
“perubahan” yang terjadi dalam diri individu yang belajar. Perubahan yang
dimaksudkan tentu saja perubahan yang sesuai dengan perubahan yang diinginkan
atau dikehendaki oleh pengertian belajar dimaksud.
Oleh karena itu, seseorang yang melakukan
aktivitas belajar dan di akhir aktivitasnya itu telah memperoleh perubahan
dalam dirinya degan pemilikan pengalaman baru,
maka individu itu telah dikatan belajar. Tetapi perlu diingatkan, bahwa
perubahan yang terjadi akibat belajar adalah perubahan yang bersentuhan dengan
asfek kejiwaan dan mempengaruhi tingkah laku. Sedangkan perubahan tingkah
akibat mabuk karena meminum minuman keras, akibat gila, akibat tabrakan, dan
sebagainya, bukan kata gori belajar dimaksud.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa hakekat
belajar adalah “perubahan” dan tidak setiap perubahan adalah sebagai hasil
belajar.
C. PRINSIP-PRINSIP
BELAJAR
Berdasarkan pendekatan tertentu maka
prinsip-prinsip belajar dapat dikelompokkan menjadi dua , yaitu prinsip-prinsip
belajar yang bersifat psikologos dan prinsip-prinsip belajar yang bersifat
linguistic (materi dan metodk).
Prinsip-prinsip belajar yang bersifat
psikologis yaitu:
1.
Motivasi, lazim diartikan sebagai hal yang mendorong seseorang untuk
berbuat sesuatu. Jadi, sesorang yang belajar akan mengalami kemajuan yang pesat
dengan adanya motivasi tersebut.
2.
Pengalaman sendiri, atau apa yang dialami sendiri akan lebih menarik dan
berkesan daripada mengetahui dari orang
lain.
3.
Keingintahuan, merupakan kodrat manusia yang menyebabkan manusia itu
menjadi maju.
4.
Pemecahan masalah, seorang yang
belajar tidak dapat dipisahkan dengan berbagai macam masalah. Jadi diperlukan
kekeritisan seseorang tersebut dalam menhadapi maslah itu dalam mengembangkan
pengetahuan, pengalaman dan sikap.
5.
Berpikir analitis-sintesis, berpikir secara analitis adalah berusaha
menegenal sesuatu dengan cara mengenali cirri-ciri atau unsure-unsur yang ada
pada sesuatu itu. Sedangkan, berpikir sintesis adalah proses berpikir untuk
menemukan hubungan cirri-ciri yang disebutkan dalam jawaban-jawaban yang
diperoleh dari berpikir analitis.
6.
Perbedaan individual, sudah menjadi kodratnya bahwa anak didik yang
kita hadapi tidak mempunyai kematangan
berpikir, kemampuan berbahasa, dan tingkat integensi yang sama.
Sedangkan prinsip-prinsip belajar yang
bersifat lingistik, seperti yang telah dirumuskan Abdul Chaer dan Leonie
Austina (2004: 206), sebagai berikut:
a.
Mudah menuju sukar, maksudnya pemberian materi harus dimulai dari yang
mudah kemudian diikuti yang sukar atau yang lebih sukar. Jadi asas ini
mengajarkan bahwa pemberian materi harus diberikan secara bertahap menurut
tingkat kesukarannya.
b.
Sederhana menuju kompleks, maksudnya bahan pelajaran harus dimulai dari
yang sederhana, baru kemudian diikuti oleh materi yang kompeks.
c.
Dekat menuju jauh, maksudnya pemberian materi pelajaran harus dimulai
dari yang ada didekat peserta didik, baru kemudian secara berangsur-angsur
menuju yang agak jauh atau yang jauh.
d.
Pola menuju unsur, maksudnya materi pelajaran yang diberikan mula-mula
harus yang berupa satu kebulatan, sesudah itu baru diberikan unsure-unsur dari
kebulatan itu.
e.
Penggunaan menuju pengetahuan, maksudnya materi pelajaran yang mula-mula
harus diberikan adalah penggunaan atau satuan-satuan materi tersebut. Asas
penggunaan ini dapat diberikan dalam bentuk latihan-latihan yang berulang-ulang
dan terus-menerus sehingga para peserta didik menjadi terampil menggunakannya.
f.
Masalah bukan kebiasaan, maksudnya adalah para peserta didik harus
dibiasaka untuk mengimplementasikan materi pelajaran yang sudah diajarkan dalam
kehidupan sehari-hari.
g.
Kenyataan bukan buatan, kenyataan menunjukkan bahwa materi pelajaran
mempunyai variasi. Kenyataan ini tidaak dapat diabaikan dalam pengajaran
terhadap para peserta didik.
D.
Pengertian Pembelajaran
Fiqh
Pembelajaran adalah suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang guru atau pendidik
untuk membelajarkan siswa yang belajar.[3]
Pembelajaran juga diartikan sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi
unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang
saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem
pengajaran terdiri dari siswa, guru, dan tenaga lainnya, misalnya tenaga
laboratorium. Material, meliputi buku-buku, papan tulis dan kapur, fotografi,
slide dan film, audio dan video tape. Fasilitas dan perlengkapan, terdiri dari
ruangan kelas, perlengkaan audio visual, juga komputer. Prosedur, meliputi
jadwal dan metode penyampaian informasi, praktik, belajar, ujian dan
sebagainya.[4]
Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja. Sistem pembelajaran
dapat dilaksanakan dngan cara membaca buku, belajar di kelas atau di sekolah,
karena diwarnai oleh organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang
saling berkaitan, untuk membelajarkan peserta didik.[5]
Menurut bahasa, “fiqh” berasal dari “faqiha yafqahu-fiqhan” yang
berarti mengerti atau paham. Paham yang dimaksudkan adalah upaya aqliah dalam
memahami ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-fiqh menurut bahasa adalah mengetahui sesuatu dengan mengerti (al-‘ilm
bisyai’i ma’a al-fahm). Ibnu Al-Qayyim mengatakan bahwa fiqh lebih khusus
daripada paham, yakni pemahaman mendalam terhadap berbagai isyarat Al-Qur’an,
secara tekstual maupun kontekstual. Tentu saja, secara logika, pemahaman akan
diperoleh apabila sumber ajaran yang dimaksudkan bersifat tekstual, sedangkan
pemahaman dapat dilakukan secara tekstual maupun kontekstual. Hasil dari
pemahaman terhadap teks-teks ajaran Islam disusun secara sistematis agar mudah
diamalkan. Oleh karena itu, ilmu fiqih merupakan ilmu yang mempelajari ajaran
Islam yang disebut dengan syariat yang bersifat amaliah (praktis) yang
diperoleh dari dalil-dalil yang sistematis.[6]
Pada awalnya kata fiqih digunakan untuk semua bentuk pamahaman atas
al-Qur’an, hadits, dan bahkan sejarah. Pemahaman atas ayat-ayat dan
hadits-hadits teologi, dulu diberi nama fiqh juga, seperti judul buku Abu
Hanifah tentangnya, Fiqh Al-Akbar. Pemahaman atas sejarah hidup Nabi
disebut dengan fiqh al-sira’. Namun, setelah terjadi spesialisasi
ilmu-ilmu agama, kata fiqh hanya digunakan untuk pemahaman atas syari’at
(agama), itupun hanya yang berkaitan dengan hukum-hukum perbuatan manusia.[7]
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa mata pelajaran Fiqh di Madrasah Ibtidaiyah merupakan mata pelajaran bermuatan pendidikan agama Islam yang memberikan pengetahuan tentang ajaran Islam dalam segi hukum Syara’ dan membimbing peserta didik dalam hal ini anak usia madrasah ibtidaiyah agar memiliki keyakinan dan mengetahui hukum-hukum dalam Islam dengan benar serta membentuk kebiasaan untuk melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran fiqh berarti proses belajar mengajar tentang ajaran Islam dalam segi hukum Syara’ yang dilaksanakan di dalam kelas antara guru dan peserta didik dengan materi dan strategi pembelajaran yang telah direncanakan.
E.
Tujuan Pembelajaran Fiqh
Mata pelajaran Fikih di Madrasah Ibtidaiyah merupakan salah satu mata
pelajaran PAI yang mempelajari tentang fikih ibadah, terutama menyangkut
pengenalan dan pemahaman tentang cara-cara pelaksanaan rukun Islam dan
pembiasaannya dalam kehidupan sehari-hari, serta fikih muamalah yang menyangkut
pengenalan dan pemahaman sederhana mengenai ketentuan tentang makanan dan
minuman yang halal dan haram, khitan, kurban, serta tata cara pelaksanaan jual
beli dan pinjam meminjam.
Secara substansial mata pelajaran Fikih memiliki kontribusi dalam
memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempraktikkan dan menerapkan
hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai perwujudan keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri
manusia itu sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya ataupun lingkungannya.
Tujuan dari fiqh adalah menerapkan aturan-aturan atau hukum-hukum
syari’ah dalam kehidupan. Sedangkan tujuan dari penerapan aturan-aturan itu
untuk mendidik manusia agar memiliki sikap dan karakter taqwa dan menciptakan
kemaslahatan bagi manusia. Kata “taqwa” adalah kata yang memiliki makna luas
yang mencakup semua karakter dan sikap yang baik. Dengan demikian fiqh dapat
digunakan untuk membentuk karakter.[8]
Tujuan fiqh adalah menerapkan hukum-hukum syariat dalam kehidupan
sehari-hari. Dari tujuan fiqh ini kita dapat merumuskan tujuan pembelajaran
fiqh di MI, sebagaimana dirumuskan dalam buku Model KTSP MI, yaitu agar peserta didik dapat:
Mengetahui dan memahami cara-cara pelaksaan hukum Islam baik yang
menyangkut aspek ibadah maupun mu’amalah untuk dijadikan pedoman hidup dalam
kehidupan pribadi dan social.
Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan baik dan
benar, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama Islam,
baik dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, orang lain, makhluk lain,
maupun hubungannya dengan lingkungan
Karena peserta didik masih kanak-kanak maka standar kompetensi lulusan
(SKL) dari mata pelajaran Fiqh untuk MI dirumuskan agar peserta didik mampu
mengenal dan melaksanakan hukum Islam yang berkaitan dengan rukun Islam mulai
dari ketentuan dan tata cara pelaksanaan thaharah, shalat, puasa, zakat, sampai
dengan pelaksanaan ibadah haji, serta ketentuan tentang makanan-minuman,
khitan, qurban, dan cara pelaksanaan jual beli dan pinjam-meminjam.
Untuk tercapainya tujuan pengajaran Fiqh serta terpenuhinya standar kompetensi lulusan maka dibutuhkan model, strategi, metode, dan tehnik pembelajaran dan penilaiannya.[9]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Pembelajaran fiqih adalah sebuah proses belajar untuk membekali siswa
agar dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok hukum islam secara terperinci
dan menyeluruh, baik berupa dalil aqli atau naqli.hakekat belajar adalah
perubahan tingkah laku, maka dari itu ada beberapa perubahan tertentu yang
dimasukkan ke dalam ciri-ciri belajar. Belajar bertujuan mengadakan perubahan
di dalam diri antara lain tingkah laku.
DAFTAR PUSTAKA
Ishak
Abdulhak, Fiqih Ibadah, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010),
Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia nomor 2 tentang Standar kompetensi dan
kompetensi dasar mata pelajaran pendidikan agama islam dan bahasa arab Madrasah
Ibtidaiyah tahun 2008
Tim
Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011),
Oemar
Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001),
Beni
Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia,
2008),
Ahmad
Rofi’i, Pembelajaran Fiqih, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Departemen Agama RI, 2009),
Ahmad
Rofi’i, Pembelajaran Fiqih, op.cit.,
[1] Ishak
Abdulhak, Fiqih Ibadah, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010), hal.64
[2] Peraturan
Menteri Agama Republik Indonesia nomor 2 tentang Standar kompetensi dan
kompetensi dasar mata pelajaran pendidikan agama islam dan bahasa arab Madrasah
Ibtidaiyah
tahun 2008
[3] Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan
Pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 128
[4] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2001), Cet. Ke-3, h. 57
[5] Ibid.
[6] Beni Ahmad Saebani dan Januri, Fiqh Ushul Fiqh, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), h.13
[7] Ahmad Rofi’i, Pembelajaran Fiqih, (Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2009), h.3
[8] Ahmad Rofi’i, Pembelajaran Fiqih, op.cit., h. 6
[9] Ibid., h. 11
Komentar
Posting Komentar