MAKALAH ILMU KALAM PEMIKIRAN KALAM JABARIYAH DAN QADARIYAH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
ILMU KALAM PEMIKIRAN KALAM JABARIYAH DAN QADARIYAH
By: Mardaih, Dkk.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Persoalan
iman (akidah) merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Pentingnya masalah akidah ini dalam ajaran Islam tanpak
jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Munculnya berbagai
kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor historis yang menjadi
landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad SAW wafat, perpecahan diantara
kaum muslim timbul kepermukaaan. Perbedaaan pendapat dikalangan sahabat tentang
siapa pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa
dihindari. Semua terdapat dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian
berkembang pada persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikut sertakan
kelompok-kelompok mereka sebagai pemegang predikat kebenaran.
Ada
beberapa kelompok besar yang pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan) dan
saling bertolak belakang. Kelompok ini muncul diakhir era para sahabat.
Diantara kelompok tersebut adalah kelompok Jabariyah dan Qodariyah. Pemikiran
Jabariyah mempunyai corak pemikiran tradisional dan pemikiran Qodariyah
bercorak liberal. Munculnya corak pemikiran yang beragam dalam Islam disebabkan
karena semakin luasnya wilayah Islam ketimur dan keberat. Umat Islam mulai
bersentuhan dengan keyakinan dan pemikiran dari ajaran-ajaran lain,terutama
filsafat Yunani.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan aliran Jabariyah dan Qodariyah ?
2.
Bagaimana larar belakang munculnya aliran Jabariyah dan
Qadariyah ?
3.
Bagaimana pokok-pokok pikiran aliran jabariyah dan
qadariyah ?
4.
Apa dasar Qura’ni aliran kalam Jabariyah dan Qadariyah ?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui yang dimaksud dengan aliran Jabariyah dan
Qadariyah
2.
Mengetahui latar belakang munculnya alliran Jabariyah dan
Qadariyah
3.
Mengetahui pokok-pokok pikiran aliran Jabariyah dan
Qadariyah
4.
Mengetahui dasar Qur’ani aliran kalam Jabariyah dan
Qadariyah
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Aliran Jabariyah
1. Pengertian Aliran Jabariyah
Kata
jabariyah berasal dari kata jabara yang bearti “memaksa”. Didalam Al-munjid dijelaskan
bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengadung arti memaksa dan
mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabar
(dalam bentuk mubalaghah),artinya Allah maha memaksa. Ungkapan Al-insan majbur
(bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.
Selanjutnya kata jabarah (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi Jabariyah
(dengan menambah ya nisbah), artinya adalah suatu kelompok atau aliran (isme).
Lebih lanjut asy-syahratsany menegaskan bahwa paham al-jabr bearti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan
menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain, manusia mengerjakan
perbuatanya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, jabriyah disebut
fatalism atau free destination, yaitu paham bahwa perbuatan manusia telah
ditentukan dari semula oleh qadha dan qadhar tuhan.[1]
2.
Latar Belakang Aliran Jabariyah
Paham
al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124 H) yang
kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari Kahurasan. Dlam sejarah
teologi Islam,
Jahm tercatat sebagai took yang mendirikan aliran Jamiah dalam kalangan
Murjiah. Iya duduk sebagai sekretaris Syuraih bin Alharis dan menemaninya dalam
gerakan melawan kekuasaan bani umayyah.
Dalam perkembanganya,
paham ajabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh diatas. Masih banyak
tokoh-tokoh lain yang berjasa dalam mengembagkan paham ini, diantaranya adalah
Al-husain bin Muhammad An-najjar dan ja’d Dirar Mengenai
kemunculan paham al-jabar para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui
pendekaatan geokurtural bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud Ahmad Amin.
Dia menggambarkan kehidupan bangsa arab yang dikungkungboleh gurun pasir sahara
yang memberikan ipengaruh besar kedalam hidup
mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah mencuatkan
sikap penyerahan diri terhadap alam.[2]
Harun Nasution
menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat arab tidak banyak melihat
jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai denagn keinginannya.
Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi
kesukaran-kesukaran hidup. akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak
alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalism.
Sebenarnya, benih-benih
paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu
terlihat dalam sejarah berikut ini:
a. Suatu
ketika, nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir
Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
b. Khalifah
Umar Bin khatab pernah menangkap seseorangi yang pernah mencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata “tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar
ucupan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada
Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman pada pencuri itu.
Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena
mengunakan dalil takdir Tuhan.
c. Khalifah
Ali Bin Thalib sesuai Perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar
(ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu
bertanya “apabila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha
dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannnya, “kemudian Ali
menjelaskan bahwa qadhar dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada
pahala dan siksa sebagai balasan amal perbatan manusia. Ali selanjutnya
mjelaska, sekiranya qhadar dan qadar merupakan paksaan, batallah pahala dan
siksa, gugur pulalah maksa janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan
Allah atas perlaku dosa dan ujiannya bagi orang-orang yang baik.
d. Pada
pemerintah daulah bani Umayyah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat kepermukaan.
Abdullah Bin Abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada pendudukan
Syiriah yang diduga berpaham “Jabariah”.
Paparan
diatas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode
islam. Akan tetapi, al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut,
dipelajari dan dikembangkan
terjadi pada masa-masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yaitu oleh kedua tokoh
yang telah disebutkan. Berkaitan
dengan kemunculan aliran jabariah dalam islam, ada teori yang mengatakan
kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama
Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Akan tetapi tanpa
pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul di kalangan
umat islam.[3]
3.
Para Pemuka dan Doktrin-Doktrin Pokok Jabariah
Menurut
Asyi-syahrastani, Jabariah ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu
ekstrem dan moderat. Diantara doktrin Jabariah ekstrem adalah pendapatnya bahwa
segala perbuaatan manusia bukan merupakan perbuatan yangbtimbul dari kemauannya
melainkan perbuatan yang dipaksa atas dirinya. Misalnya kalau seseorang
mencuri, perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan
karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantaranya pemuka
Jabariah ekstrem adalah sebagai berikut:
a.
Jahm Bin Shafwan
Diantara
pendapat-pendapat Jahm beraitan dengan persoalan teologi adalah sebagai
berikut:
1.
Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak
mempunyai daya, tidak mempunyai keehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan.
Pendapat Jahm tetang keterpaksaan lebih terkenal dibandigkan pendapatnya
tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan
(nafyu asifat), dan meliht Tuhan diakhirat.
2.
Surga dan neraka tidak kekal tidak ada yang kekal selain
Tuhan.
3.
Iman adalah makripat atau membenarkan dalam hati. Dalam
hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4.
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha suci dari segala
sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat.
Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata diakhirat kelak.
b.
Ja’d bin Dirham
Doktrin
pokok ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm Al-Ghauraby menjelaskannya
sebagai berikut:
1.
Al-quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru.
Sesuatu yang tidak dapat ditafsirkan kepada Allah.
2.
Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk,
seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3.
Manusia terpaksa oleh Allah daan segala-galanya.
Berbeda dengan Jabariah ekstrem moderat mengatakan bahwa
Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan
baik, tetapi manusia mempunyai bagiaan didalamnya. Tenaga yang diciptaakan
dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatanya.
Tokoh yang termasuk dalam Jabariah moderat sebagai
berikut:
a.
Al-najjar
Diantara
pendapat-pendapatnya adalah:
1)
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi
manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu.
Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia
dalam pandangan An-najjar. Tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung
pada dalang. Sebab, tenaga yang diciptakan Tuhan, dalam manusia mempunyai efek
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
2)
Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi,
An-najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan potensi hati (makripat) pada
mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
b.
Adh-Dhirar
Pendapatnya
tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-najjar, yaitu bahwa manusia
tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian
dalam perwujudan perbuatannya, dan tidak semata-mata dipaksa daalam melakukan
perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan satu perbuatan dapat Ditimbulkan
oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya
ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.Mengenai ru’yat Tuhan diakhirat, Dhirar
mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dikhirat melalui “indra ke-6” ia juga
berpendapat bahwa hudjjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad.
Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[4]
4.
Dasar qurani aliran kalam jabariyah
Adapun
ayat-ayat Al-Qur’an yang bisa membawa kepada paham Jabariyah, di antaranya
yaitu surat:[5]
·
Al-An’am ayat 112:
ۗوَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوْهُ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُوْنَ
Artinya: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan”.
· Al-Shaffat
ayat 96
وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ
وَمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya:
“Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu kerjakan”.
·
Al-Anfal ayat 17:
فَلَمْ تَقْتُلُوْهُمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ قَتَلَهُمْۖ وَمَا
رَمَيْتَ اِذْ رَمَيْتَ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ رَمٰىۚ
Artinya: “Maka (yang sebenarnya)
bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka,
dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang
melempar”.
B.
Aliran Qodariyah
1.
Pengertian Aliran Qodariyah
Qadariah
berasal dari bahasa arab qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Menurut
pengertian terminology, Qadariah adalah aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi tangan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian
tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariah digunakan untuk nama aliran yang member
penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.
Dalam
hal ini, Harun Nasution turut menegaskan bahwa kaum Qadariah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk
pada qadar Tuhan. Seharusnya, sebutan Qadariah diberikan pada aliran yang
berpendapat bahwa qadar telah menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang
bagus maupun yang jahat. Sebutan tersebut telah melekat pada aliran yang
percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Demikianlah pemahaman
kaum sunni pada umumnya. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para
pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk pada hadist yang membuat
negatif nama Qadariah. Yang artinya: Kaum Qadariah adalah majusinya umat ini.
2.
Latar Belakang Aliran Qadariyah
Ahmad
Amin, ada para ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariah pertama dimunculkan
oleh Ma’bad Al-Jauhani (w.80 H) dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang
taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al Bisri.
Sementara
Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula
Ustman bin Affan. Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syart Al-uyun, seperti dikutip
Ahmad Amin (1886-1954 M), memberi informasi lain bahwa yang pertama kali
memunculkan paham Qadariah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen
kemudian masuk Islam dan kembali ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad
dan Ghailan mengambil paham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana
dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzal adalah
Susan.
Paham
Qadariah yang terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul
Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah
seorang anak pada tahun 657 pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir
dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri orang Qadariah
atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan. Akan tetapi, yang jelas
berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa
manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa
manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.[6]
3.
Doktrin-Doktrin Aliran Qadariyah
a.
Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin Qadar kiranya leebih
luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sehingga orang sering menamakan Qadarian
dengan Mu’tazilah karena mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai
kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.
b.
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang
doktrin Qadariah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya manusia
yang melakukan baik atas kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atau kemauan dan dayanya.
c.
An-Nazza, mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya, ia
berkuasa atas segala perbuatannya.
Dari
beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariah pada dasarnya
menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya
sendiri. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya
atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena
itu, Ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan- kebaikan yang dilakukannya dan
berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya.
Dalam kaitan ini, apabila seorang diberi ganjaran, baik dengan balasan surga
maupun diberi ganjaran siksa sdengan balasan neraka kelak di akhirat
berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas
manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas
keinginan dan kemampuan. Paham takdir dalam pandangan Qadariah bukan dalam
pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham
yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-pebuatannya,
manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal
terhadap dirinya. Dalam paham Qadariah, takdir adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak ajal,
yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatulla. Secara alamiah
sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia
dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti hokum alam.[7]
4.
Dasar qur’ani aliran qadariyah
Al-Kahfi ayat 29:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكُمْۗ فَمَنْ شَاۤءَ فَلْيُؤْمِنْ
وَّمَنْ شَاۤءَ فَلْيَكْفُرْۚ
Artinya: “Dan katakanlah, kebenraran itu datagnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Fushshilat ayat 40:
اِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ ۙاِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Artinya: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”
Al-Ra’d ayat 11:
اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا
مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah tidak akan merobah
keadaan sesuatu kaum, sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada mereka
sendiri”.[8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Jabariyah adalah pahm yang menafikan perbuatan dari hamba
secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Artinya, manusia
tidak mempunyai andil sama sekali dalam melakukaaaan perbuatannya, Tuhanlah
yang menentukan segala-galanya.
2.
Qadariyah adalah sebuah firqah yang mengingkari ilmu
Allah terhadap perbuatan hamba-Nya dan berkeyakinan bahwa Allah belum membuat
ketentuan terhadap makhluk-Nya.
3.
Takdir adalah sesuatu yang harus kita imani, dan ini
merupakan salah satu rukun dari enem rukun iman.
4.
Agama kita adalah agama rasional, sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW “ laa diina liman laa ‘aqla lah”. Tetapi tidak semuanya yang
bisa kita terima dengan akal, ada beberapahal yang harus kita terima dengan
iman.
B.
Saran
Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita, terutama dalam memahami paham-paham
Qadariyah dan Jabariyah. Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dengan kata sempurna, baik dari segi bahasa, sistematika penulisan, dan
lain-lain. Oleh karena itu kami mengharapkan kitik dan saran yang membangun
dari pada pembaca.
Kami
mohon maaf atas semua kekurangan dan keterbatasan. Terima kasih atas kerjasama
dan saran dari pembaca semua.
DAFTAR PUSTAKA
Muliati,
Paham Qadariyah dan Jabariyah. ISTIQRA’. Vol. 3. N0. 2. 2016.
Nunu
Burhanuddin. Ilmu Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan. Jakarta : Prenada Media.
2017.
Hasan
Basri dkk. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. Bandung: Azkia
Pustaka Utama. 2006.
Harun
Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Cet. VI. Jakarta: UI Press. 1986.
Yunan
Yusuf. Alam pikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta: Kencana. 2014.
[1]Nunu Burhanuddin, Ilmu
Kalam Dari Tauhid Menuju Keadilan (Jakarta : Prenada Media, 2017), hlm 81.
[2]Hasan Basri dkk, Ilmu
Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran (Bandung: Azkia Pustaka
Utama, 2006), hlm. 33.
[3]Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 37.
[4]Yunan Yusuf, Alam
pikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 69.
[5]Hasan Basri, op. Cit. hlm. 36.
[6]Hasan Basri, op. Cit. hlm. 31.
[8]
Hasan Basri, op. Cit. hlm. 35.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar