MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU MISKAWAIH

 

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU MISKAWAIH

Olivia Andrini1, Fauziah Hasibuan2, Irfan Haj Siagian3, Muhammad Roihan Daulay4

Email: 1oliviaandrini@gmail.com,2 ziahfauziahhasibuan4@gmail.com ,3  irfanhaj804@gmail.com,

 4 roihan@iain-padangsidimpuan.ac.id

Abstract

One of the prominent Islamic philosophers who talked about morals was Ibn Maskawih. He is known in the world of philosophy as the person who became the center of attention of Islamic writers. In addition, he is also known as a great poet, doctor, historian, and chemist. According to Ibn Miskawaih, morality is the state of a person's soul that encourages him to take actions without first thinking about it. The characteristics of Ibn Miskawaih's thought in moral education in general begin with a discussion of morals (character/character). According to him, there is a character that is natural and there is a character that is acquired through habit or practice. Shifts in learning values, changes in behavior, character and patterns of interaction between teachers and students are important to refer back to Ibn Miskawaih's thoughts on how to make morality the basis for mental and behavioral development.

Keywords: Ibnu Miskawaih,Morals, Ethics

Abstrak

Salah satu tokoh filosof Islam yang berbicara tentang akhlak adalah Ibnu Maskawih. Ia dikenal dalam dunia filsafat sebagai orang yang menjadi pusat perhatian para penulis Islam. Selain itu, ia juga dikenal sebagai penyair, dokter, sejarawan, dan ahli kimia yang hebat. Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang   yang   mendorongnya   untuk   melakukan   perbuatan-perbuatan   tanpa melalui pertimbangan pikiran terlebih dahulu. Karakteristik pemikiran Ibnu Miskawaih dalam pendidikan akhlak secara umum dimulai dengan pembahasan tentang akhlak (karakter/watak). Menurutnya watak itu ada yang bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan. Pergeseran nilai-nilai pembelajaran, perubahan perilaku, watak dan pola interaksi guru dan siswa menjadi penting untuk merujuk kembali pemikiran Ibn Miskawaih tentang bagaimana menjadikan moralitas sebagai dasar perkembangan mental dan perilaku.

Kata kunci: Ibnu Miskawaih, Akhlak, Etika

 

PENDAHULUAN

            Filsafat sebagai penambah ilmu pengetahuan manusia dapat dibagi dalam beberapa pokok bidang studi. Etika adalah pelajaran  moralitas  atau  salah dan benar. Metafisika adalah pelajaran hakikat pokok manusia dan alam dunia. Ilmu itu mencoba menjelaskan hakikat kenyataan yang pasti. Politik adalah pelajaran tentang pemerintahan. Estetika adalah pelajaran tentang hakikat keindahan. Logika adalah pelajaran metode untuk memeriksa kebenaran melalui metode alasan seperti induktif dan deduktif.  Epistimologi  adalah  pelajaran asal mula, batas, dan hakikat pengetahuan.(Implikasinya, 2018)

            Etika dan jiwa merupakan salah satu pokok bahasan dalam filsafat. Etika merefleksikan bagaimana   manusia   harus   hidup   agar   ia   berhasil   sebagai   manusia.   Karena   itu   tidak mengherankan bahwa hampir semua filsuf besar juga menulis dalam bidang etika. Mengapa etika dan jiwa dibahas dalam filsafat dan disepakati merupakan cabang filsafat, etika dalam cabang filsafat tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak, tetapi tindakan manusia itu, keadaan manusia itu sendiri dimaknai dengan jiwa, berarti etika dan jiwa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Bahkan dipahami bahwasanya  etika  lahir  dari  jiwa,  karena  tujuan  etika  tidak  sekadar  hanya  mengetahui pandangan atau teori, ilmu, tetapi juga memengaruhi dan mendorong manusia supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan serta memberi mamfaat kepada sesama manusia.

            Tidak lama menjelang Islam lahir, agama Masehi telah memiliki kekuatan politik yang begitu besar di bawah kaisar Yustinius di Konstantinopel. Dengan kekuasaannya agama ini kemudian melarang kepada publik agar tidak mempelajari filsafat, karena ajarannya dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Sebagai akibat dari kebijakan inilah maka beberapa ahli pikir yang merasa terbelenggu kebebasannya dalam mengekspresikan pemikiran-pemikirannya melakukan eksodus ke Persia. Sebaliknya,  Maha raja Persia dengan sukarela menerimanya untuk  tinggal di dalam daerah  kekuasaannya, sehingga  wajar  apabila tidak lama berselang kemudian  berdirilahpusat-pusat  studi  filsafat  di  daerah  yang  baru  tersebut.  Salah  satu diantaranya di kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad yang didirikan pada tahun 762 M.

Setelah  Islam  lahir langsung bisa menguasai daerah  tersebut, kemudian pada masa keksuasaan islam di bawah Bani Abbas (al-Ma’mun dan seterausnya) munculah pemikiran- pemikiran baru sebagai akibat dari adanya pergumulan dan interaksi antara kedua budaya tersebut. Maka munculah sejarah beberapa ilmuwan dan filosof Islam yang cukup fenomenal dan populer. Ia dikenal bukan hanya di dunia Muslim, tetapi juga di dunia Barat dan salah satunya adalah Ibnu Miskawaih.(Supriaji, 2021)

Ibnu Miskawaih merupakan salah seorang tokoh muslim dan sejarawan yang memperoleh banyak gelar. Abd Aziz Izzat misalnya,    menyatakan    bahwa    Ibn Miskawaih adalah pemikir islam pertama di bidang akhlak. Ia dapat digolongkan sebagai Guru  ketiga  (al-Muallim  al-Sallis)  setelah Al-Farabi dan Aristoteles. MS. Khan menilai Ibn Miskawaih telah berhasil dengan baik mengkombinasikan   pemikiran   Yunani dengan    Al-Qur an    dan    Sunnah    dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-Araq. Majid Fakhry memberi gelar kepada Ibn Miskawaih dengan Chief Moral Philosopher of Islam dan The most important ethical writer in Islam. Muhammad Yusuf Musa juga menyatakan bahwa Ibn Miskawaih telah berhasil  mengompromikan  agama  dan filsafat.(Hariyanto & Anjaryati, 2016)

Ajaran     keutamaan     akhlak     Ibn Miskawaih berpangkal pada teori Jalan Tengah (Nadzar al-Aus’ath) yang dirumuskannya.  Inti  teori  ini menyebutkan bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Posisi tengah daya bernafsu adalah iffah (menjaga kesucian diri) yang terletak antara mengumbar nafsu (al- Syarah) dan mengabaikan nafsu (Khumud al-Syahwah). Posisi tengah daya berani adalah syajaah (keberanian) yang terletak antara pengecut (al-Jubn) dan nekad (al- Tahawwur). Posisi tengah daya berfikir adalah al-Hikmah (kebijaksanaan) yang terletak antara kebodohan (al-Safih) dan kedunguan (al-Balah). Kombinasi dari tiga keutamaan membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan (al- Adalah). Keadilan ini merupakan posisi tengah antara berbuat aniaya dan teraniaya.(Elhayat, 2019)

Muhammad   Abduh,   salah   seorang tokoh   pembaharu    islam   di   Mesir   telah menjadikan   Tahzib  al-Akhlaq   wa  Tathhir  al- Araq sebagai buku ajar di bidang pendidikan akhlak.  Dengan  demikian,  dapat diasumsikan bahwa pendidikan akhlak rasional sebagaimana pemikiran Ibn Miskawaih   dapat   membawa   konsekuensi bagi pertumbuhan kreativitas dan inisiatif. Karena  pendidikan  akhlak  rasional melakukan pendekatan kemanusiaan dan bukan semata sebagai doktrin yang absolut.

Dari segi latar belakang pendidikannya tidak dijumpai data sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Tayyib. Ibnu Miskawaih lebih terkenal dalam bidang filsafat dibandingkan dengan ilmu yang lain, apalagi karya beliau yang sangat terkenal adalah tentang pendidikan dan akhlak. Sehingga beliau lebih banyak menghabiskan waktunya untuk memikir dan belajar secara otodidak tanpa harus berguru kepada yang ahlinya.

Ibnu Miskawaih seorang yang tekun dalam melakukan percobaan-percobaan untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari dan mendidik anak-anak penjabat pemerintah, hal itu tentu menunjukkan bahwa Ibnu Miskawaih dikenal keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.

Ibnu Miskawaih juga digelari sebagai Guru ketiga (al-Mualimin al-Tsalits) setelah al- Farabi yang digelari guru kedua (al Mualimin al-Tsani) sedangkan yang dianggap guru pertama (al-Mualimin   al-Awwal)   adalah   Aristoteles.   Sebagai   Bapak   Etika   Islam   beliau   telah merumuskan    dasar-dasar    etika    dalam    kitabnya Tabdzib    al-akhlak    wa    Tathir    al- Araq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat  etika  Ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradapan Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Ibnu Miskawaih adalah seorang teoritis dalam hal-hal akhlak artinya ia telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti bahwa Ibnu  Miskawaih  tidak  berakhlak,  hanya  saja  persoalannya  ditinjau  dari  segi  pengetahuan semata-mata.

Menurut  Ibnu  Miskawaih  tentang al-Khulq (watak) itu ialah suatu kondisi bagi jiwa yang mendorong untuk melahirkan  tingkah  laku  tanpa  pikir  dan pertimbangan (tingkah laku spontan) yang mendalam. Kondisi ini terbagi dua, pertama, ada yang alami seperti sifat pada seorang         manusia         yang         mudah terpengaruh/bereaksi oleh suatu hal yang sederhana. Umpama marah disebabkan suatu faktor yang kecil, atau takut sebab yang  sederhana  dan  lain-lain  seperti mudah     kaget     karena     dengan     suara gemerisik, mudah sedih, mudah senang, mudah tertawa disebabkan hal yang sederhana.

Dalam karangan-karangan beliau banyak menunjukkan hal-hal yang sifatnya material dalam  kontek  moral  seperti  pokok  pendidikan  akhlaknya  ketika  mengangkat  persoalan- persoalan yang wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal wajib akan menentukan perubahan  psikologis  ketika  terjadi  interaksi  sesama  manusia. Dari beberapa uraian diatas memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi pendidikan pada umumnya merupakan hal yang wajib dipelajari didalam pendidikan moral atau akhlak, seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral tidak hanya diperuntukkan sebagai tujuan akademik semata tetapi  akan lebih bermamfaat ketika  hal-hal  yang  bersifat subtansial/esensial dipenerapannya dalam hubungan sosial.

Dapat disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain: hikmah, berani, dan murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul darinya,  yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.

Manusia adalah makhluk yang istimewa karena hanya manusia yang diberikan daya pikir oleh Tuhan. Daya pikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.

Pemikiran Ibnu Maskawaih mengenai bidang akhlak adalah salah satu yang mendasari konsepnya dalam bidang pendidikan. Menurut Ibnu Miskawaih, pada dasarnya karakter dari sifat manusia yang harus dibangun dengan menggunakan teori The Golden Mean tersebut ada 4 karakter, yang menjadi pondasi bagi pengembangan karakter mulia manusia yakni al-Iffat (menahan diri/self control), al-Syajaat (keberanian), dan al-Hikmat (kebijaksanaan) serta al- Adalat (keadilan). Keempat karakter tersebut merupakan pokok-pokok akhlak manusia. Dan sifat-sifat lain yang berupa keutamaan akhlak manusia merupakan turunan atau cabang dari empat pokok keutamaan akhlak tersebut. Sifat-sifat utama disebut sebagai al-fadlilah, berada dalam posisi tengah (al- wasath), dari dua ektrimitas karakter atau sifat manusia yang tidak baik. Dua kutub ekstrim tersebut adalah al-Tafrith (ekstrem kekurangan) dan al-Ifrath (ekstrem kelebihan). Menurut Ibnu maskawaih bahwa setiap keutamaan karakter manusia mempunyai dua ekstrem, dan yang berada ditengah adalah karakter yang terpuji.

Ibnu Maskawaih menciptakan konsep pendidikan yang berpatokan pada pendidikan akhlak, maka dari itu, konsep pendidikan yang dibangunya adalah pendidikan akhlak. Berikut konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Maskawaih adalah Tujuan Pendidikan Akhlak yaitu menurut Ibnu Maskawaih, tujuan pendidikan akhlak adalah mewujudkan sikap yang bisa mendorong untuk melakukan perbuatan baik sehingga akan melahirkan kebahagiaan sejati. Fungsi pendidikan akhlak adalah Memanusiakan manusia, Sosialisasi individu manusia, Menanamkan perilaku baik, Menanamkan rasa malu, dan Materi pendidikan akhlak. Materi pendidikan akhlak menurut ibnu maskawaih ditujukan agar sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang memberi jalan agar tercapainya tujuan pendidikan.

Walaupun filosofi yang diterapkannya khusus untuk masalah-masalah Islam, ia jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan selanjutnya dikenal sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan kecenderungan dalam filsafat Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik rasional yang lebih luas umum bagi semua manusia.

Neoplatonism Ibnu Miskawah memiliki dua sisi yakni praktik dan teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral berdasarkan pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan.

Ini adalah peran filsuf moral untuk menetapkan aturan untuk kesehatan moral, seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik. Kesehatan moral didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan praktis.

Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut ini tampak bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.

Ibnu Miskawaih menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya secara  umum telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah.

Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim, azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya. Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif berarti menyamakan-Nya dengan alam.

Ibnu Miskawaih menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan alam oleh Tuhan. Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal, sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.

Ibnu Miskawaih menjabarkan bahwa dalam diri manusia selain tedapat tubuh, juga terdapat sesuatu yang bukan tubuh, yang oleh Ibnu Miskawaih disebut dengan jiwa. Sebagai argument untuk menjelaskan adanya jiwa, Ibnu Miskawaih mengemukakan kenyataan tentang penerimaan atau rekaman kesadaran kita terhadap berbagai bentuk yang berasal dari benda-benda yang bersifat jasmani atau bersifat empiris.  Bila yang merekam atau menerima itu bersifat jasmani, pastilah jasmani hanya bisa menerima sesuatu bentuk baru yang menggantikan bentuk yang lama. Benda jasmani hanya dapat menerima satu bentuk dalam satu saat, dan hanya bisa menerima bentuk yang berbeda pada yang waktu lain.

Ibnu  Miskawaih  menonjolkan  kelebihan  jiwa  manusia  atas jiwa  binatang dengan adanya kekuatan berfikir yang menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu mengarah  kepada  kebaikan.  Lebih  jauh  menurutnya,  jiwa  manusia  mempunyai  tiga kekuatan yang bertingkat-tingkat. Daya nafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah) yang buruk. Jiwa ini menjadi dasar syahwat, usaha mencari  makan,  kerinduan  untuk  menikmati  makanan,  minuman,  perkawinan,  serta berbagai kenikmatan individu lainnya. Pusat daya jiwa ini ada di dalam hati. Daya Berani (al-Nafs al-Sabua’iyyah) yang sedang. Jiwa ini menjadi dasar kemarahan, tantangan, dan keberanian atas hal yang menakutkan. Pusatnya di hati. Daya berfikir (al-Nafs al-Natiqah) yang baik. Jiwa ini merupakan jiwa yang menjadi dasar berfikir, membedakan, dan menalar hakikat segala sesuatu. Pusatnya pada otak.

Pendidikan   akhlak   merupakan   satu hal yang sangat penting untuk ditanamkan. Internalisasi nilai-nilai moral dan agama menjadi  keharusan  untuk  ditempuh  pada masa ini. Berkenaan dengan ini, pemikiran pendidikan  akhlak  Ibn  Miskawaih diharapkan dapat diaplikasikan secara nyata dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran yang kreatif   dan menyenangkan. Inilah tantangan bagi kita semua  yang  menjadi  pemerhati  dan pelaksana dalam program pendidikan.

Pengembangan pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan dari pemberian ranah akhlak dalam pendidikan. Dalam perspektif muatan, pendidikan karakter harus terwujudkan pada setiap kontens kurikulum pendidikan dari berbagai disiplin ilmu yang diajarkan di sekolah maupun di madrasah. Oleh karena itu, sangat urgen jika dilakukan kajian tentang konsep- konsep etika Islam yang menjadi pilar pengembangan pendidikan karekter di tanah air, dengan jalan mengkaji konsep etika yang digagas oleh ulama Islam, diantaranya adalah konsep etika menurut Ibnu Maskawaih yang bisa dijadikan sebagai rujukan, untuk menggagas konsep ideal dan praksis tentang pendidikan karakter yang bersumber dari pemikiran  para ulama atau filosof muslim.(Supriaji, 2021)

Penelitian ini akan membantu  untuk memahami pandangan filsafat Ibnu Miskawaih. Materi dalam penelitian ini dapat membantu dalam mengembangkan wawasan kependidikan, yang kemudian dapat berfungsi sebagai asumsi dalam rangka praktik pendidikan maupun studi pendidikan selanjutnya.

 

METODE PENELITIAN

Berdasarkan masalah yang diteliti serta tujuan penelitian ini, maka penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan library research, yaitu menjadikan pustaka sebagai sumber data. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hakikat manusia dan hakikat masyarakat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam yaitu dengan cara mengumpulkan informasi dari bahan bacaan, seperti buku-buku yang pembahasannya relevan dengan pokok pembahasan. Setelah dipelajari dan diteliti secara cermat kemudian data-data tersebut digeneralisasi serta dipilah-pilah berdasarkan kesesuaian dengan tema kajian, lalu data yang diperoleh dari hasil pilahan tersebut, dianalisis secara mendalam dengan metode analisis isi (content analylis).

Dalam rangka memperoleh data yang berkenaan dengan bahasan penelitian ini, peneliti akan memilih beberapa buku yang menjadi sumber data primer dan sekunder. Data primer dari penelitian ini adalah sumber data dari jurnal-jurnal yang berkenaan dengan Ibnu Miskawaih.

Setiap data yang telah terhimpun dianalisa melalui pendekatan sejarah (historis) yang mempunyai tujuan yaitu untuk mendiskripsikan segala sesuatu yang telah terjadi pada masa lampau. Sehingga dengan metode dan pendekatan yang dilakukan penulis mampu menghasilkan suatu data yang relevan, akurat, tajam dan tepat terhadap perkembangan biografi dan pemikiran Ibnu Miskawaih.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biografi Ibnu Miskawaih

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/ 932 M dan  wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan  dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/932-1062 M) yang sebagian besar permukaannya bermazhab Syi’ah.

Puncak prestasi kekuasaan Bani Buwaih adalah pada masAdhud Al-Daulah yang berkuasa tahun 367-372 H, perhatiannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Miskawaih memperoleh kepercayaan untuk menjadi  bendaharawan  Adhud  Al-Daulah  dan  pada  masa  ini  jugalah  Miskawaih  muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuan dan pujangga. Tetapi keberhasilan politik dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu tidak dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan dilanda kemerosotan akhlak secara umum, baik dikalangan elite, menengah dan bawah. Tampaknya hal inilah yang memotivasi Miskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.

Pada zaman raja Adhudiddaulah, Ibu Miskawaih juga mendapat kepercayaan besar dari raja karena diangkat sebagai penjaga (khazin) perpustakaannya yang besar, disamping sebagai penyimpanan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang diperlukan. (Ahmad Daudy, 1992) Sepanjang hidupnya Ibnu Miskawaih dikenal sebagai orang yang sangat commited dengan konsep yang ditulisnya tentang akhlak Artinya antara teori yang dikedepankan dengan tindakan praktisnya selalu sejalan. Bahkan melalui salah satu karyanya yang berjudul Tahzib al- akhlak yang kemudian menjadi master piece-nya, dan nama Ibnu Miskawaih menjadi lebih terkenal.

Ibnu Miskawaih adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang berkonsentrasi pada bidang filsafat akhlak. Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak daripada sebagai cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran, ketuhanan, maupun agama. Dia adalah orang yang paling berjasa dalam mengkaji akhlak secara ilmiah. Bahkan pada masa dinasti Buwaihi, dia diangkat menjadi sekretaris dan pustakawan. Dulu sebelum masuk Islam, Ibnu Miskawaih adalah seorang pemeluk agama Magi, yakni percaya kepada bintang-bintang.

Gayanya yang menyatukan pemikiran abstrak dengan pemikiran praktis membuat pemikirannnya sangat berpengaruh. Terkadang Ibnu Miskawaih hanya menampilkan aspek-aspek kebijakan dari kebudayaan-kebudayaan sebelumnya, terkadang dia hanya menyediakan ulasan praktis tentang tentang masalah-masalah moral yang sulit untuk diuraikan. Filosofinya sangat logis dan menunjukkan koherensi serta konsistensi.

Tidak ditemukan secara jelas riawayat pendidikan Ibnu Miskawaih, namun diketahui ia belajar filsafat dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Tayyib. Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekertaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn 'Adi dan Ibn Sina. Selain itu Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemansyhurannya melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H/ 923 M) selanjutnya juga ia dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dalam berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya berupa buku dan artikel.

Karya-karya Ibnu Miskawaih

Karya-karya Ibnu Maskawaih tidak lepas dari kepentingan pendidikan akhlak, diantara karya-karyanya adalah Tajarih Al-Umam, Ta'qub Al-Himam, Thabarat Al-Nafs, Adab Al-'Arab wa Al-Fisr, Al-Fawz Al-Aghsar fi ushul Al-Dinayat, Al-Fawz Al-Akbar, Kitab Al-Siasat, Mukhtar Al-Asy'ar, Nadim Al-Farid, Nuzhat Namah 'Alaiy, Jawidan Khird, Tartib Al-Sa'adat, Al-Adwiyah Al-Mufridah, Al-Asyribah, dan Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A'raq.

Beliau telah menyusun kitab Tahdzibul achlaq wa tathhirul a'raaq. Selanjutnya karyanya yang lain adalah Tartib as Sa'adah, buku ini berisi tentang kebaikan budi pekerti dan politik. Berada juga Al Musthafa (syair pilihan), Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak), As Syaribah (tentang minuman).

Dalam segi sejarah, karyanya Tajarib Al-Umam (pengalaman bangsa-bangsa) menjadi acuan sejarah dunia hingga tahun 369 H. Karya-karya Ibnu Miskawaih dalam segi etika dinilai jauh bertambah penting daripada karya-karyanya dalam segi metafisika. Bukunya Taharat Al A'raq (Purity of Desposition), yang bertambah dikenal dengan nama Tahdhib Al Akhlaq ( Cultivation of Morals), menjelaskan tentang perlintasan untuk meraih kestabilan kebaikan budi pekerti yang akurat dalam perilaku yang teratur dan sistematis.

Pemikiran Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih juga digelari sebagai guru yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru pertama dan Al-Farabi sebagai guru yang kedua. Ibnu Maskawaih dianggap sebagai guru etika salah satunya adalah karangan beliau yang berjudul Tahzibul Akhlak (Pendidikan Budi) yang sudah dipakai oleh para pakar Pendidikan Agama Islam untuk dijadikan teori terutama tentang adab manusia. Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Dalam menjelaskan etika islam menurut Ibnu Miskawaih, yaitu:

Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak itu merupakan bentuk jamak dari khuluq, keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelum-nya.

Dengan kata lain akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong timbulnya perbuatan- perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada yang  berasal  dari  watak  (bawaan)  atau  fitrah  sejak  kecil  dan  ada  pula  yang  berasal  dari kebiasaan latihan. Dengan demikian, manusia dapat berusaha mengubah watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik.

Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai makhluk yang memiliki macam-macam daya. Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berpikir yang menjadi sumber tingkah laku, yang selalu mengarah kepada kebaikan.

Mengawali pembahasan tentang akhlak, Ibnu Miskawaih membahas atau memberi beberapa prinsip dasar tentang akhlak, yakni: Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan amal perbuatan, yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak terbatas pada sisi amal perbuatan saja. Kelezatan indrawi  hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akal adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Anak-anak harus di didik sesuai dengan akhlak yang mulia, dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah,  dan  akhirnya  jiwa  berpikir.  Rencana  pendidikan  juga  dimulai  dengan  adab makan, minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat berani dan daya tahan (jiwa marah), dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal dapat mendominasi segala tingkahlaku (jiwa pikir).

Keutamaan

Keutamaan jiwa itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom) adalah keutamaan jiwa cerdas,   ‘iffah (kesucian)   adalah   keutamaan   nafsu   syahwat, syajaah (keberanian)   adalah keutamaan jiwa ghadhabiyah (sabuiyah), dan adalah (keadilan) adalah keutamaan jiwa yang terjadi  dari  kumpulan  tiga  macam  keutamaan  tersebut  di  saat  terjadi  keselaran  antara keutamaan-keutamaan itu dan tunduk kepada kekuatan sehat, hingga masing-masing kekuatan itu tidak menuntut kepuasan sejalan dengan wataknya, dan dengan demikian orang akan dapat bersikap adil terhadap dirinya sendiri, juga terhadap orang lain.

Berdasarkan   ide   di   atas,   secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang orang Yunani yang mengatakan  bahwa akhlak manusia tidak dapat  berubah.  Bagi  Ibnu  Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan dan latihan-latihan, pemikiran seperti ini sejalan dengan pemikiran dan ajaran Islam karena  secara  eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini  dan pada hakikatnya syariat agama bertujuan untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak manusia, karena kebenaran ini tidak dapat di  bantah  sedangkan  sifat  binatang  saja bisa   berubah   jadi   liar   menjadi   jinak, apalagi akhlak manusia.

Menurut Miskawaih, ada kalanya manusia   mengalami   perubahan   akhlak sehingga  dibutuhkan  aturan-aturan syariat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi terkait sopan santun. Ibnu Maskawaih memperhatikan  pula  proses  pendidikan akhlak pada anak. Dalam pandangannya, kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dengan jiwa manusia yang berakal. Menurut dia, pada jiwa     anak     berakhirlah     batas     ufuk hewani dan ufuk manusiawi dimulai. Oleh karena itu, anak-anak harus didik dengan akhlak mulia.

Kebahagiaan (Saadah)

Ibnu Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dengan al-saadah (kebahagiaan). Dimana kebaikan menjadi tujuan semua orang: kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada orang per orang.

Ada dua pandangan pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang pertama diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia masih berhubungan dengan badan ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja, kebahagiaan berbeda menurut masing-masing orang seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.

Ibnu Miskawaih mencoba mengompromikan kedua pandangan yang berlawanan itu. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya kebahagiaan badan lebih rendah tingkatnya dan tidak abadi sifatnya jika dibandingkan dengan kebahagiaan jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan  dan  penyesalan,  serta  menghambat  perkembangan  jiwanya  menuju  ke  hadirat Allah swt. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju derajat malaikat.

Cinta (Mahabbah)

Ibnu Miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai salah satu unsur dari etika. Menurutnya cinta ada dua macam; cinta kepada Allah, dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid pada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah, tetapi cinta tipe ini hanya dapat dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada sesama manusia ada kesamaan antara cinta anak kepada orang tua dan cinta murid kepada guru, tetapi cinta murid kepada guru dipandang lebih mulia dan lebih berperan. Guru adalah bapak rohani bagi murid-muridnya. Gurulah  yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki  keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap muridnya ibarat kemuliaan rohani terhadap jasmani.

 

KESIMPULAN

Ibnu Miskawaih adalah abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Yaqub bin Miskawaih. Lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/ 932 M dan  wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.    Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan  dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062M) yang sebagian besar permukaannya bermazhab Syi’ah. Ibnu Miskawaih adalah bendaharawan, sekertaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwahi. Ibnu Miskawaih juga digelari sebagai guru yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru pertama dan Al-Farabi sebagai guru yang kedua. Ibnu Maskawaih dianggap sebagai guru etika salah satunya adalah karangan beliau yang berjudul Tahzibul Akhlak (Pendidikan Budi).

 

REFERENSI

Elhayat, S. (2019). Filsafat Akhlak Persfektif Ibnu Miskawaih. Taushiah: Jurnal Hukum, Pendidikan Dan Kemasyarakatan, 9(2), 49–58.

Hariyanto, H., & Anjaryati, F. (2016). Character Building: Telaah Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan Islam Indonesia, 1(1), 111–118.

Implikasinya, D. A. N. (2018). Mengupas Hakikat Manusia. 13, 79–92.

Supriaji, U. (2021). Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Konsep Pendidikan Karakter Akhlak. JURNAL KRIDATAMA SAINS DAN TEKNOLOGI, 3(02), 108–116.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN