MAKALAH PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU MISKAWAIH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU
MISKAWAIH
Olivia Andrini1, Fauziah Hasibuan2, Irfan Haj Siagian3, Muhammad Roihan Daulay4
Email: 1oliviaandrini@gmail.com,2 ziahfauziahhasibuan4@gmail.com ,3 irfanhaj804@gmail.com,
4 roihan@iain-padangsidimpuan.ac.id
Abstract
One of the prominent Islamic philosophers who talked about morals was Ibn
Maskawih. He is known in the world of philosophy as the person who became the
center of attention of Islamic writers. In addition, he is also known as a
great poet, doctor, historian, and chemist. According to Ibn Miskawaih,
morality is the state of a person's soul that encourages him to take actions
without first thinking about it. The characteristics of Ibn Miskawaih's thought
in moral education in general begin with a discussion of morals
(character/character). According to him, there is a character that is natural
and there is a character that is acquired through habit or practice. Shifts in
learning values, changes in behavior, character and patterns of interaction
between teachers and students are important to refer back to Ibn Miskawaih's
thoughts on how to make morality the basis for mental and behavioral
development.
Keywords: Ibnu Miskawaih,Morals, Ethics
Abstrak
Salah satu tokoh filosof Islam yang berbicara tentang
akhlak adalah Ibnu Maskawih. Ia dikenal dalam dunia filsafat sebagai orang yang
menjadi pusat perhatian para penulis Islam. Selain itu, ia juga dikenal sebagai
penyair, dokter, sejarawan, dan ahli kimia yang hebat. Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan
jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
melalui pertimbangan
pikiran
terlebih dahulu. Karakteristik pemikiran Ibnu
Miskawaih dalam pendidikan akhlak
secara umum dimulai dengan pembahasan
tentang akhlak (karakter/watak). Menurutnya watak itu ada yang
bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui
kebiasaan atau latihan. Pergeseran nilai-nilai pembelajaran, perubahan
perilaku, watak dan pola interaksi guru dan siswa menjadi penting untuk merujuk
kembali pemikiran Ibn Miskawaih tentang bagaimana menjadikan moralitas sebagai
dasar perkembangan mental dan perilaku.
Kata
kunci:
Ibnu Miskawaih, Akhlak, Etika
PENDAHULUAN
Filsafat sebagai penambah
ilmu pengetahuan
manusia dapat dibagi dalam beberapa pokok bidang studi. Etika
adalah
pelajaran moralitas atau
salah dan
benar.
Metafisika adalah pelajaran hakikat pokok
manusia dan alam dunia. Ilmu itu mencoba menjelaskan
hakikat kenyataan yang pasti. Politik adalah pelajaran tentang
pemerintahan. Estetika
adalah
pelajaran tentang hakikat keindahan. Logika adalah pelajaran
metode untuk
memeriksa kebenaran
melalui
metode alasan seperti induktif dan
deduktif. Epistimologi
adalah pelajaran asal mula,
batas,
dan hakikat pengetahuan.(Implikasinya, 2018)
Etika
dan jiwa merupakan salah satu
pokok bahasan
dalam filsafat. Etika merefleksikan
bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia. Karena itu tidak
mengherankan bahwa hampir semua filsuf besar juga menulis dalam bidang etika. Mengapa
etika
dan jiwa dibahas
dalam filsafat dan disepakati merupakan cabang filsafat, etika dalam cabang filsafat tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan
bagaimana manusia harus bertindak, tetapi tindakan manusia itu, keadaan manusia
itu sendiri dimaknai dengan jiwa, berarti etika dan jiwa merupakan
dua hal yang saling berkaitan. Bahkan dipahami bahwasanya etika
lahir
dari jiwa,
karena
tujuan etika tidak
sekadar hanya mengetahui
pandangan atau teori, ilmu, tetapi juga memengaruhi dan
mendorong
manusia supaya membentuk hidup suci dan
menghasilkan
kebaikan
dan kesempurnaan serta
memberi mamfaat
kepada sesama manusia.
Tidak
lama menjelang Islam lahir, agama Masehi telah
memiliki kekuatan
politik
yang begitu besar di bawah
kaisar Yustinius
di Konstantinopel. Dengan kekuasaannya
agama
ini kemudian
melarang kepada
publik agar tidak mempelajari filsafat, karena ajarannya
dianggap bertentangan dengan ajaran agama. Sebagai akibat dari kebijakan inilah maka beberapa ahli
pikir
yang merasa terbelenggu
kebebasannya dalam mengekspresikan
pemikiran-pemikirannya melakukan eksodus ke Persia. Sebaliknya,
Maha raja Persia dengan sukarela menerimanya untuk tinggal di dalam daerah kekuasaannya, sehingga wajar apabila tidak lama berselang
kemudian berdirilahpusat-pusat
studi
filsafat di
daerah yang baru tersebut. Salah
satu
diantaranya di kota Jundishapur yang letaknya tidak jauh dari Baghdad yang didirikan pada
tahun 762 M.
Setelah Islam
lahir langsung bisa menguasai daerah tersebut, kemudian pada masa
keksuasaan islam di bawah Bani Abbas
(al-Ma’mun
dan seterausnya) munculah
pemikiran-
pemikiran baru sebagai akibat dari adanya pergumulan
dan interaksi antara kedua budaya
tersebut. Maka munculah sejarah beberapa ilmuwan dan filosof Islam
yang
cukup fenomenal dan populer. Ia dikenal bukan hanya di dunia Muslim, tetapi juga di
dunia Barat dan salah satunya adalah Ibnu Miskawaih.(Supriaji, 2021)
Ibnu Miskawaih merupakan salah seorang tokoh muslim dan sejarawan yang memperoleh banyak gelar. ‘Abd ‘Aziz ‘Izzat misalnya,
menyatakan
bahwa
Ibn Miskawaih adalah pemikir islam pertama di bidang akhlak. Ia dapat digolongkan sebagai Guru
ketiga
(al-Mu’allim al-Sallis) setelah Al-Farabi dan Aristoteles. MS. Khan menilai Ibn Miskawaih telah berhasil dengan baik mengkombinasikan
pemikiran Yunani dengan
Al-Qur ’an
dan
Sunnah
dalam bukunya Tahzib al-Akhlaq wa Tathhir al-‘Araq. Majid Fakhry memberi gelar kepada Ibn Miskawaih dengan Chief Moral Philosopher of Islam dan The most important ethical writer in Islam. Muhammad Yusuf Musa juga menyatakan bahwa Ibn Miskawaih telah berhasil mengompromikan agama
dan filsafat.(Hariyanto & Anjaryati,
2016)
Ajaran
keutamaan akhlak Ibn Miskawaih
berpangkal pada teori Jalan
Tengah (Nadzar al-Aus’ath) yang dirumuskannya. Inti teori
ini menyebutkan bahwa keutamaan akhlak secara umum diartikan sebagai posisi tengah
antara ekstrem kelebihan dan
ekstrem kekurangan masing-masing jiwa
manusia. Posisi tengah daya
bernafsu adalah iffah (menjaga kesucian
diri) yang terletak antara mengumbar nafsu (al- Syarah) dan mengabaikan nafsu (Khumud
al-Syahwah).
Posisi tengah daya berani adalah syajaah (keberanian) yang terletak antara pengecut (al-Jubn) dan nekad (al- Tahawwur). Posisi tengah daya berfikir adalah al-Hikmah (kebijaksanaan)
yang terletak antara kebodohan (al-Safih) dan
kedunguan (al-Balah).
Kombinasi dari tiga keutamaan membuahkan sebuah keutamaan yang berupa keadilan
(al- Adalah). Keadilan
ini merupakan posisi
tengah antara berbuat aniaya dan
teraniaya.(Elhayat, 2019)
Muhammad Abduh, salah seorang tokoh
pembaharu islam
di Mesir
telah menjadikan
Tahzib al-Akhlaq
wa Tathhir al-
Araq sebagai buku ajar di bidang pendidikan akhlak.
Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa pendidikan akhlak rasional sebagaimana pemikiran Ibn Miskawaih dapat
membawa
konsekuensi bagi pertumbuhan kreativitas dan inisiatif. Karena pendidikan akhlak
rasional melakukan pendekatan kemanusiaan dan bukan semata sebagai doktrin yang absolut.
Dari segi latar belakang pendidikannya
tidak dijumpai data
sejarah yang rinci. Namun dijumpai keterangan bahwa ia mempelajari sejarah
dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi,
mempelajari filsafat dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Tayyib. Ibnu Miskawaih lebih terkenal dalam bidang filsafat dibandingkan dengan ilmu yang lain, apalagi karya beliau yang sangat terkenal adalah tentang
pendidikan
dan akhlak. Sehingga beliau
lebih banyak
menghabiskan
waktunya untuk memikir dan belajar secara
otodidak tanpa harus berguru kepada yang ahlinya.
Ibnu
Miskawaih seorang yang
tekun
dalam melakukan percobaan-percobaan
untuk mendapatkan ilmu-ilmu baru. Selain itu beliau dipercayakan oleh penguasa untuk mengajari
dan mendidik
anak-anak penjabat pemerintah, hal itu tentu
menunjukkan
bahwa Ibnu Miskawaih dikenal
keilmuannya oleh masyarakat luas ketika itu.
Ibnu
Miskawaih
juga
digelari sebagai Guru ketiga (al-Mualimin al-Tsalits) setelah
al-
Farabi yang
digelari guru kedua
(al
Mualimin al-Tsani) sedangkan
yang dianggap guru pertama (al-Mualimin al-Awwal) adalah Aristoteles.
Sebagai Bapak Etika Islam
beliau telah
merumuskan dasar-dasar etika
dalam
kitabnya Tabdzib al-akhlak wa Tathir
al-
A’raq (pendidikan budi dan pembersihan akhlak). Sementara itu sumber filsafat etika
Ibnu
Miskawaih berasal dari filsafat Yunani, peradapan Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman pribadi. Ibnu Miskawaih adalah seorang teoritis dalam hal-hal akhlak artinya ia telah mengupas filsafat akhlaqiyah secara analisa pengetahuan. Ini tidaklah berarti bahwa
Ibnu Miskawaih tidak berakhlak, hanya
saja persoalannya ditinjau dari segi
pengetahuan semata-mata.
Menurut Ibnu Miskawaih tentang al-Khulq (watak) itu ialah suatu kondisi bagi jiwa yang
mendorong untuk melahirkan tingkah
laku
tanpa pikir dan
pertimbangan (tingkah
laku spontan) yang mendalam. Kondisi ini terbagi dua,
pertama, ada yang alami seperti sifat pada seorang manusia yang mudah terpengaruh/bereaksi oleh suatu hal yang sederhana. Umpama
marah disebabkan suatu faktor yang kecil, atau takut sebab yang sederhana dan
lain-lain seperti
mudah kaget karena
dengan
suara
gemerisik, mudah
sedih, mudah senang, mudah
tertawa disebabkan hal yang
sederhana.
Dalam karangan-karangan beliau banyak
menunjukkan hal-hal yang sifatnya material dalam kontek moral
seperti pokok pendidikan akhlaknya ketika mengangkat persoalan- persoalan
yang wajib bagi kebutuhan manusia dan jiwa sebagai hal wajib akan menentukan
perubahan
psikologis
ketika
terjadi
interaksi sesama manusia. Dari beberapa uraian
diatas memberikan konsekwensi logis, dimana seluruh materi pendidikan pada umumnya
merupakan
hal
yang wajib dipelajari didalam pendidikan
moral atau akhlak,
seharusnya ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikan moral tidak hanya diperuntukkan
sebagai tujuan akademik semata tetapi akan lebih bermamfaat ketika
hal-hal yang bersifat
subtansial/esensial dipenerapannya dalam hubungan sosial.
Dapat disimpulkan
bahwasanya sifat utama itu antara
lain: hikmah, berani, dan
murah yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifat keempat akan timbul darinya, yakni
keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh, rakus, penakut, dan zalim.
Manusia
adalah makhluk yang istimewa karena hanya manusia yang diberikan daya pikir
oleh Tuhan. Daya pikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan dapat
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Pemikiran
Ibnu Maskawaih mengenai bidang akhlak adalah salah satu yang mendasari
konsepnya dalam bidang pendidikan. Menurut Ibnu Miskawaih, pada dasarnya karakter dari sifat manusia yang harus dibangun dengan menggunakan teori The Golden Mean tersebut ada 4 karakter,
yang
menjadi pondasi bagi
pengembangan karakter mulia manusia yakni al-Iffat
(menahan diri/self control), al-Syaja’at (keberanian),
dan
al-Hikmat (kebijaksanaan) serta al- Adalat (keadilan). Keempat
karakter tersebut merupakan pokok-pokok akhlak
manusia. Dan sifat-sifat lain yang berupa
keutamaan akhlak manusia merupakan turunan atau cabang dari
empat pokok keutamaan akhlak tersebut. Sifat-sifat utama disebut sebagai al-fadlilah, berada dalam
posisi tengah (al-
wasath), dari dua ektrimitas karakter atau sifat manusia yang tidak baik. Dua kutub ekstrim
tersebut adalah al-Tafrith
(ekstrem kekurangan) dan al-Ifrath (ekstrem kelebihan).
Menurut Ibnu maskawaih bahwa setiap
keutamaan karakter manusia mempunyai dua ekstrem,
dan yang berada ditengah adalah
karakter yang terpuji.
Ibnu
Maskawaih menciptakan konsep pendidikan yang berpatokan pada pendidikan akhlak,
maka dari itu, konsep pendidikan yang dibangunya adalah pendidikan akhlak.
Berikut konsep pendidikan akhlak menurut Ibnu Maskawaih adalah Tujuan
Pendidikan Akhlak yaitu menurut Ibnu Maskawaih, tujuan pendidikan akhlak adalah
mewujudkan sikap yang bisa mendorong untuk melakukan perbuatan baik sehingga
akan melahirkan kebahagiaan sejati. Fungsi pendidikan akhlak adalah
Memanusiakan manusia, Sosialisasi individu manusia, Menanamkan perilaku baik,
Menanamkan rasa malu, dan Materi pendidikan akhlak. Materi pendidikan akhlak
menurut ibnu maskawaih ditujukan agar sisi kemanusiaan mendapatkan materi yang
memberi jalan agar tercapainya tujuan pendidikan.
Walaupun filosofi yang diterapkannya khusus untuk
masalah-masalah Islam, ia jarang menggunakan agama untuk mengubah filosofi, dan
selanjutnya dikenal sebagai seorang humanis Islam. Dia menunjukkan
kecenderungan dalam filsafat Islam untuk menyesuaikan Islam kedalam sistem praktik
rasional yang lebih luas umum bagi semua manusia.
Neoplatonism Ibnu Miskawah memiliki dua sisi yakni praktik dan
teori. Dia memberikan peraturan untuk kelestarian kesehatan moral berdasarkan
pandangan budidaya karakter. Ini menjelaskan cara di mana berbagai bagian jiwa
dapat dibawa bersama ke dalam harmoni, sehingga mencapai kebahagiaan.
Ini adalah peran filsuf moral untuk menetapkan aturan untuk
kesehatan moral, seperti dokter menetapkan aturan untuk kesehatan fisik.
Kesehatan moral didasarkan pada kombinasi pengembangan intelektual dan tindakan
praktis.
Ibnu Miskawaih menggunakan metode eklektik dalam menyusun
filsafatnya, yaitu dengan memadukan berbagai pemikiran-pemikiran sebelumnya
dari Plato, Aristoteles, Plotinus, dan doktrin Islam. Namun karena inilah
mungkin yang membuat filsafatnya kurang orisinal. Dalam bidang-bidang berikut
ini tampak bahwa Ibnu Miskawayh hanya mengambil dari pemikiran-pemikiran yang
sudah dikembangkan sebelumnya oleh filsuf lain.
Ibnu Miskawaih menulis dalam berbagai topik yang luas, berkisar
sejarah psikologi dan kimia, tapi dalam filsafat metafisikanya tampaknya
secara umum telah diinformasikan oleh versi Neoplatonism. Dia menghindari
masalah merekonsiliasi agama dengan filsafat dengan klaim dari filsuf Yunani
yang tidak menayangkan fokus kesatuan dan keberadaan Allah.
Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan merupakan zat yang tidak berjisim,
azali, dan pencipta. Tuhan adalah esa dalam segala aspek, tidak terbagi-bagi
dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya. Tuhan ada tanpa diadakan dan
ada-Nya tidak tergantung pada yang lain, sedangkan yang lain membutuhkannya.
Tuhan dapat dikenal dengan proposisi negatif karena memakai proposisi positif
berarti menyamakan-Nya dengan alam.
Ibnu Miskawaih menganut paham Neo-Platonisme tentang penciptaan
alam oleh Tuhan. Ibnu Miskawaih menjelaskan bahwa entitas pertama yang memancar
dari Tuhan adalah ‘aql fa’al (akal aktif). Akal aktif ini bersifat kekal,
sempurna, dan tidak berubah. Dari akal ini timbul jiwa dan dengan perantaraan
jiwa timbul planet (al-falak). Pancaran yang terus-menerus dari Tuhan dapat
memelihara tatanan di alam ini, menghasilkan materi-materi baru. Sekiranya
pancaran Tuhan yang dimaksud berhenti, maka berakhirlah kehidupan dunia ini.
Ibnu Miskawaih menjabarkan
bahwa dalam diri manusia selain tedapat tubuh,
juga terdapat sesuatu yang bukan tubuh, yang oleh Ibnu Miskawaih disebut dengan jiwa. Sebagai argument
untuk menjelaskan adanya jiwa, Ibnu
Miskawaih mengemukakan
kenyataan
tentang penerimaan atau rekaman kesadaran kita terhadap berbagai bentuk yang berasal
dari
benda-benda yang bersifat
jasmani atau bersifat
empiris. Bila yang merekam atau
menerima itu bersifat jasmani, pastilah
jasmani
hanya bisa menerima sesuatu bentuk
baru yang menggantikan bentuk yang lama. Benda jasmani hanya dapat menerima
satu bentuk dalam satu saat, dan
hanya bisa menerima bentuk yang berbeda pada yang waktu lain.
Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa manusia
atas jiwa binatang dengan adanya kekuatan berfikir
yang
menjadi sumber pertimbangan tingkah laku, yang selalu
mengarah kepada kebaikan. Lebih jauh
menurutnya,
jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang
bertingkat-tingkat.
Daya nafsu (al-Nafs al-Bahimiyyah) yang buruk.
Jiwa ini menjadi dasar syahwat, usaha mencari
makan, kerinduan untuk menikmati makanan, minuman, perkawinan, serta
berbagai kenikmatan individu lainnya. Pusat
daya jiwa ini ada di
dalam
hati. Daya Berani (al-Nafs al-Sabua’iyyah) yang sedang. Jiwa ini menjadi dasar kemarahan,
tantangan, dan keberanian atas hal
yang menakutkan. Pusatnya di hati.
Daya
berfikir (al-Nafs al-Natiqah) yang baik. Jiwa ini merupakan jiwa yang menjadi dasar berfikir, membedakan,
dan menalar hakikat segala sesuatu. Pusatnya pada otak.
Pendidikan akhlak merupakan satu hal yang sangat penting untuk ditanamkan. Internalisasi nilai-nilai moral dan agama menjadi keharusan untuk
ditempuh pada masa ini. Berkenaan dengan ini, pemikiran pendidikan
akhlak
Ibn Miskawaih diharapkan dapat diaplikasikan secara nyata dalam dunia pendidikan, khususnya dalam pembelajaran yang kreatif
dan menyenangkan. Inilah tantangan bagi kita semua yang
menjadi pemerhati dan pelaksana dalam program pendidikan.
Pengembangan
pendidikan karakter tidak bisa dilepaskan dari pemberian ranah akhlak
dalam pendidikan. Dalam perspektif muatan, pendidikan karakter harus
terwujudkan pada setiap kontens
kurikulum pendidikan dari berbagai disiplin ilmu yang diajarkan di sekolah maupun
di madrasah. Oleh karena itu, sangat urgen jika dilakukan kajian tentang konsep- konsep etika Islam yang menjadi pilar
pengembangan pendidikan
karekter di tanah air,
dengan jalan mengkaji
konsep etika yang digagas oleh ulama Islam, diantaranya
adalah konsep
etika menurut Ibnu Maskawaih yang bisa dijadikan sebagai rujukan, untuk menggagas konsep ideal dan praksis tentang pendidikan karakter
yang bersumber dari pemikiran
para ulama atau
filosof muslim.(Supriaji,
2021)
Penelitian ini akan membantu untuk memahami pandangan
filsafat Ibnu Miskawaih. Materi dalam penelitian
ini dapat membantu dalam
mengembangkan wawasan kependidikan, yang kemudian dapat berfungsi
sebagai asumsi dalam rangka praktik pendidikan maupun studi
pendidikan selanjutnya.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan
masalah yang diteliti serta tujuan penelitian ini, maka penelitian ini
dilaksanakan dengan menggunakan library research, yaitu menjadikan pustaka
sebagai sumber data. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hakikat manusia dan
hakikat masyarakat dalam perspektif filsafat pendidikan Islam yaitu dengan cara
mengumpulkan informasi dari bahan bacaan, seperti buku-buku yang pembahasannya
relevan dengan pokok pembahasan. Setelah dipelajari dan diteliti secara cermat
kemudian data-data tersebut digeneralisasi serta dipilah-pilah berdasarkan
kesesuaian dengan tema kajian, lalu data yang diperoleh dari hasil pilahan
tersebut, dianalisis secara mendalam dengan metode analisis isi (content
analylis).
Dalam
rangka memperoleh data yang berkenaan dengan bahasan penelitian ini, peneliti
akan memilih beberapa buku yang menjadi sumber data primer dan sekunder. Data
primer dari penelitian ini adalah sumber data dari jurnal-jurnal yang berkenaan
dengan Ibnu Miskawaih.
Setiap
data yang telah terhimpun dianalisa melalui pendekatan sejarah
(historis) yang
mempunyai tujuan yaitu untuk mendiskripsikan segala sesuatu yang telah terjadi pada
masa
lampau. Sehingga dengan
metode dan pendekatan yang
dilakukan penulis mampu menghasilkan suatu data
yang relevan, akurat, tajam dan
tepat terhadap perkembangan
biografi dan pemikiran Ibnu Miskawaih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Biografi Ibnu Miskawaih
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah abu Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin
Miskawaih. Ia lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320
H/ 932 M dan
wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030
M. Ibnu Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/932-1062 M)
yang sebagian besar
permukaannya bermazhab Syi’ah.
Puncak
prestasi kekuasaan
Bani Buwaih adalah pada mas’Adhud Al-Daulah yang berkuasa tahun
367-372 H, perhatiannya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan
kesusastraan amat besar, sehingga pada masa ini Miskawaih
memperoleh kepercayaan untuk menjadi
bendaharawan ‘Adhud
Al-Daulah dan pada masa ini
jugalah Miskawaih muncul sebagai seorang
filosof, tabib, ilmuan dan
pujangga. Tetapi keberhasilan politik
dan kemajuan
ilmu
pengetahuan
pada
masa
itu
tidak
dibarengi dengan ketinggian akhlak, bahkan
dilanda
kemerosotan akhlak secara umum, baik
dikalangan elite, menengah
dan bawah. Tampaknya hal inilah yang memotivasi
Miskawaih untuk memusatkan perhatiannya pada etika Islam.
Pada zaman raja ‘Adhudiddaulah, Ibu Miskawaih juga mendapat kepercayaan besar dari raja karena
diangkat sebagai penjaga
(khazin) perpustakaannya yang
besar, disamping sebagai
penyimpanan rahasianya dan utusannya ke pihak-pihak yang diperlukan. (Ahmad Daudy, 1992) Sepanjang hidupnya Ibnu Miskawaih dikenal sebagai orang yang
sangat commited
dengan
konsep yang
ditulisnya tentang akhlak
Artinya antara teori yang dikedepankan
dengan
tindakan praktisnya selalu
sejalan. Bahkan melalui salah
satu karyanya
yang berjudul Tahzib al-
akhlak yang kemudian
menjadi master piece-nya, dan nama Ibnu
Miskawaih
menjadi lebih
terkenal.
Ibnu
Miskawaih adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang berkonsentrasi
pada bidang filsafat akhlak. Ibnu Miskawaih lebih dikenal sebagai filsuf akhlak
daripada sebagai cendekiawan muslim yang ahli dalam bidang kedokteran,
ketuhanan, maupun agama. Dia adalah orang yang paling berjasa dalam mengkaji
akhlak secara ilmiah. Bahkan pada masa dinasti Buwaihi, dia diangkat menjadi
sekretaris dan pustakawan. Dulu sebelum masuk Islam, Ibnu Miskawaih adalah
seorang pemeluk agama Magi, yakni percaya kepada bintang-bintang.
Gayanya yang menyatukan
pemikiran abstrak dengan pemikiran praktis membuat pemikirannnya sangat
berpengaruh. Terkadang Ibnu Miskawaih hanya menampilkan aspek-aspek kebijakan
dari kebudayaan-kebudayaan sebelumnya, terkadang dia hanya menyediakan ulasan
praktis tentang tentang masalah-masalah moral yang sulit untuk diuraikan.
Filosofinya sangat logis dan menunjukkan koherensi serta konsistensi.
Tidak
ditemukan secara jelas riawayat pendidikan Ibnu Miskawaih, namun diketahui ia
belajar filsafat dari Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi, mempelajari filsafat
dari Ibn al-Akhmar, dan mempelajari kimia dari Abu Tayyib. Ibnu Miskawaih
adalah bendaharawan, sekertaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka
dinasti Buwahi. Selain akrab dengan penguasa, ia juga banyak bergaul dengan
ilmuan seperti Abu Hayyan at-Tauhidi, Yahya Ibn 'Adi dan Ibn Sina. Selain itu
Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejarawan besar yang kemansyhurannya
melebihi para pendahulunya, at-Thabari (w. 310 H/ 923 M) selanjutnya juga ia
dikenal sebagai dokter, penyair dan ahli bahasa. Keahlian Ibnu Miskawaih dalam
berbagai bidang ilmu tersebut antara lain dibuktikan dengan karya tulisnya
berupa buku dan artikel.
Karya-karya Ibnu
Miskawaih
Karya-karya
Ibnu Maskawaih tidak lepas dari kepentingan pendidikan akhlak, diantara
karya-karyanya adalah Tajarih Al-Umam, Ta'qub Al-Himam, Thabarat Al-Nafs, Adab
Al-'Arab wa Al-Fisr, Al-Fawz Al-Aghsar fi ushul Al-Dinayat, Al-Fawz Al-Akbar,
Kitab Al-Siasat, Mukhtar Al-Asy'ar, Nadim Al-Farid, Nuzhat Namah 'Alaiy,
Jawidan Khird, Tartib Al-Sa'adat, Al-Adwiyah Al-Mufridah, Al-Asyribah, dan
Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A'raq.
Beliau
telah menyusun kitab Tahdzibul achlaq wa tathhirul a'raaq. Selanjutnya
karyanya yang lain adalah Tartib as Sa'adah, buku ini berisi tentang
kebaikan budi pekerti dan politik. Berada juga Al Musthafa (syair pilihan),
Jawidan Khirad (kumpulan ungkapan bijak), As Syaribah (tentang minuman).
Dalam
segi sejarah, karyanya Tajarib Al-Umam (pengalaman bangsa-bangsa)
menjadi acuan sejarah dunia hingga tahun 369 H. Karya-karya Ibnu
Miskawaih dalam segi etika dinilai jauh bertambah penting daripada
karya-karyanya dalam segi metafisika. Bukunya Taharat Al
A'raq (Purity of Desposition), yang bertambah dikenal dengan
nama Tahdhib Al Akhlaq ( Cultivation of Morals), menjelaskan tentang
perlintasan untuk meraih kestabilan kebaikan budi pekerti yang akurat dalam
perilaku yang teratur dan sistematis.
Pemikiran Ibnu Miskawaih
Ibnu
Miskawaih juga digelari
sebagai
guru yang ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru
pertama dan Al-Farabi sebagai guru yang kedua. Ibnu Maskawaih dianggap sebagai guru etika
salah satunya adalah karangan
beliau yang
berjudul Tahzibul Akhlak (Pendidikan Budi) yang
sudah dipakai oleh para
pakar
Pendidikan
Agama Islam untuk dijadikan
teori terutama
tentang adab manusia. Sementara itu sumber filsafat etika Ibnu Miskawaih
berasal dari filsafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Syariat Islam, dan pengalaman
pribadi. Dalam menjelaskan
etika
islam
menurut Ibnu Miskawaih, yaitu:
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak itu merupakan bentuk jamak dari khuluq, keadaan
jiwa
yang mengajak
atau mendorong
seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa
difikirkan
dan diperhitungkan sebelum-nya.
Dengan kata
lain akhlak adalah keadaan
jiwa yang
mendorong
timbulnya
perbuatan-
perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi menjadi dua; ada
yang
berasal
dari watak (bawaan)
atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang
berasal dari
kebiasaan latihan. Dengan demikian, manusia dapat berusaha mengubah
watak kejiwaan pembawaan fitrahnya yang tidak baik menjadi baik.
Ibnu Miskawaih
memandang
manusia
adalah makhluk yang
memiliki keistimewaan karena dalam kenyataannya manusia
memiliki daya pikir dan manusia juga
sebagai makhluk
yang
memiliki macam-macam daya. Ibnu Miskawaih menonjolkan kelebihan jiwa
manusia atas
jiwa
binatang
dengan
adanya
kekuatan berpikir
yang menjadi sumber tingkah
laku, yang
selalu
mengarah kepada kebaikan.
Mengawali pembahasan tentang akhlak, Ibnu Miskawaih membahas atau memberi beberapa prinsip dasar tentang akhlak, yakni: Tujuan ilmu akhlak adalah membawa manusia kepada kesempurnaan. Kesempurnaan manusia terletak pada pemikiran dan amal perbuatan, yaitu kesempurnaan ilmu dan kesempurnaan amal. Tugas ilmu akhlak terbatas pada sisi amal perbuatan saja. Kelezatan indrawi hanya sesuai dengan hewan tidak dengan manusia. Bagi manusia kelezatan akal adalah yang lebih sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Anak-anak harus di didik sesuai dengan akhlak yang mulia, dimulai dengan jiwa keinginan, lalu jiwa marah, dan akhirnya jiwa berpikir. Rencana pendidikan juga dimulai dengan adab makan, minum, berpakaian (jiwa keinginan), lalu sifat-sifat berani dan daya tahan (jiwa marah), dan akhirnya sifat bernalar, sehingga akal dapat mendominasi segala tingkahlaku (jiwa pikir).
Keutamaan
Keutamaan jiwa
itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom)
adalah keutamaan
jiwa cerdas, ‘iffah
(kesucian) adalah keutamaan nafsu syahwat, syaja’ah
(keberanian) adalah keutamaan jiwa
ghadhabiyah (sabu’iyah), dan ‘adalah (keadilan) adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari
kumpulan tiga macam
keutamaan tersebut di
saat terjadi
keselaran antara keutamaan-keutamaan itu dan tunduk kepada kekuatan sehat, hingga masing-masing kekuatan
itu
tidak menuntut kepuasan sejalan
dengan wataknya, dan
dengan
demikian orang
akan dapat
bersikap adil terhadap dirinya sendiri, juga terhadap orang lain.
Berdasarkan ide di atas,
secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang
orang Yunani yang mengatakan
bahwa akhlak manusia tidak dapat
berubah. Bagi Ibnu
Miskawaih
akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak
yang terpuji dengan jalan
pendidikan
dan latihan-latihan, pemikiran seperti ini sejalan dengan
pemikiran dan
ajaran Islam karena secara eksplisit telah mengisyaratkan
kearah ini dan
pada
hakikatnya syariat agama bertujuan
untuk mengokohkan dan memperbaiki akhlak
manusia, karena kebenaran ini
tidak dapat di
bantah
sedangkan
sifat
binatang
saja bisa berubah jadi liar menjadi jinak, apalagi akhlak manusia.
Menurut
Miskawaih, ada kalanya manusia
mengalami perubahan
akhlak
sehingga
dibutuhkan aturan-aturan
syariat, nasihat,
dan
ajaran-ajaran tradisi
terkait sopan santun.
Ibnu Maskawaih memperhatikan
pula proses pendidikan akhlak pada anak. Dalam pandangannya,
kejiwaan anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan
dengan
jiwa
manusia yang berakal. Menurut dia, pada
jiwa anak
berakhirlah batas
ufuk hewani dan ufuk manusiawi dimulai. Oleh
karena itu, anak-anak harus didik
dengan
akhlak mulia.
Kebahagiaan (Sa’adah)
Ibnu Miskawaih
membedakan
antara al-khair (kebaikan) dengan
al-sa’adah (kebahagiaan). Dimana kebaikan
menjadi tujuan
semua orang: kebaikan umum bagi seluruh manusia
dalam kedudukan sebagai manusia. Sedangkan kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif tergantung kepada orang per orang.
Ada dua pandangan
pokok tentang kebahagiaan (sa`adah). Yang
pertama
diwakili oleh Plato yang mengatakan bahwa hanya jiwalah yang mengalami kebahagiaan. Karena itu selama manusia
masih
berhubungan
dengan
badan
ia tidak akan memperoleh kebahagiaan. Pandangan kedua dipelopori oleh Aristoteles, yang mengatakan bahwa kebahagiaan dapat dinikmati di
dunia walaupun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya
saja, kebahagiaan
berbeda
menurut masing-masing
orang
seperti orang
miskin memandang
kebahagiaan
itu
pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.
Ibnu Miskawaih
mencoba mengompromikan kedua pandangan
yang berlawanan itu. Menurutnya, karena
pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa
dan
badan, maka
kebahagiaan meliputi keduanya. Hanya
kebahagiaan
badan lebih rendah tingkatnya
dan
tidak
abadi sifatnya
jika dibandingkan dengan kebahagiaan
jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda mengandung kepedihan dan penyesalan, serta menghambat
perkembangan jiwanya menuju
ke hadirat Allah swt. Kebahagiaan jiwa merupakan kebahagiaan yang sempurna yang mampu mengantar manusia menuju derajat malaikat.
Cinta (Mahabbah)
Ibnu
Miskawaih memberikan perhatian khusus kepada cinta sebagai salah satu unsur
dari etika. Menurutnya
cinta
ada dua macam; cinta kepada Allah, dan cinta kepada
manusia,
terutama cinta seorang murid pada gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada
Allah, tetapi cinta tipe ini hanya dapat dicapai oleh sedikit orang. Cinta
kepada sesama
manusia
ada kesamaan antara cinta anak kepada orang tua dan cinta murid kepada guru, tetapi cinta
murid kepada
guru dipandang
lebih
mulia dan
lebih
berperan. Guru adalah
bapak
rohani bagi
murid-muridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk dapat memiliki
keutamaan yang sempurna. Kemuliaan
guru terhadap muridnya
ibarat kemuliaan rohani terhadap jasmani.
KESIMPULAN
Ibnu Miskawaih
adalah
abu
Ali Ahmad bin Muhammad bin Ya’qub bin
Miskawaih. Lahir di Rayy (Teheran, ibu kota Republik Islam Iran sekarang) pada tahun 320 H/ 932 M
dan
wafat pada usia lanjut di Isfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/16 Februari 1030 M.
Ibnu
Miskawaih hidup pada masa pemerintahan
dinasti Buwaihi di Baghdad (320-450 H/ 932-1062M) yang sebagian
besar permukaannya bermazhab Syi’ah. Ibnu Miskawaih adalah
bendaharawan, sekertaris, pustakawan, dan pendidik
anak
para pemuka dinasti Buwahi. Ibnu
Miskawaih
juga
digelari sebagai guru yang
ketiga sesudah Aristoteles sebagai guru
pertama dan
Al-Farabi sebagai guru yang kedua. Ibnu Maskawaih
dianggap sebagai guru etika salah satunya adalah karangan beliau yang berjudul Tahzibul
Akhlak (Pendidikan Budi).
REFERENSI
Elhayat, S. (2019). Filsafat Akhlak Persfektif Ibnu
Miskawaih. Taushiah: Jurnal Hukum, Pendidikan Dan Kemasyarakatan, 9(2),
49–58.
Hariyanto, H., & Anjaryati, F. (2016). Character
Building: Telaah Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang Pendidikan Karakter. Jurnal
Pendidikan Islam Indonesia, 1(1), 111–118.
Implikasinya, D. A. N. (2018). Mengupas Hakikat Manusia.
13, 79–92.
Supriaji, U. (2021). Pemikiran Ibnu Miskawaih Tentang Konsep
Pendidikan Karakter Akhlak. JURNAL KRIDATAMA SAINS DAN TEKNOLOGI, 3(02),
108–116.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar