MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM

MAKALAH SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM

BY: FALAH, DKK.


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar belakang

Pada hakikatnya, syriat islam itu hanya mempunyai satu sumber hukum, yakni wahyu ilahi. Wahyu ilahi itu dikelompokkan menjadi dua macam:pertama, wahyu berupa al-quran yang kedua berupa sunnah. Menempatkan keduanya sebagai sumber hukum syara’ tanpa melibatkan yang lain, merupakan konsekuensi dari usaha kita mnyucikan akidah hukum. Sedangkan yang lain, merupakan konsekuensi dari usaha kita mnyucikan akidah hukum. Sedangkan yang lain tidak Dapat dikatakan sumber hukum sebatas dalil-dalil syara’.itu pun dengan ketentuan selama dalalahnya merujuk kepada nas-nas yang terdapat kepada sumber kedua hukum tersebut 

Kata sumber hanya berlaku pada al-quran dan hadist, karena hanya dari keduanyalah digali norma-norma hukum, sedanngkan ijma’, qiyas, ishtihsan, istishlah, istishab tidak termasuk dalam sumber hukum. Kesemuaan itu termasuk dalam dalil  hukum dengan menggunakan istilah tersebut kita dapat menemukan hukum-hukum islam. Istilah tersebut merupakan alat dalam menggali hukum dari al-quran dan sunnah. Oleh karena itu, jika di sebut sumber hukum maka maka yang dimaksud adlah al-quran dan sunnah saja dan yang lainnya tidak dapat dikatakan sumber hukum.

Untuk itu dalam karya ilmiah ini penulis ingin menjabarkan sedikit mengnenai apa saja yang termasuk dalam sumber-sumber hukum tersebut, serta menjelaskan satu persatu dari sumber hukum itu sendiri, dengan tujuan pembaca dapat memahami apa saja sumber hukum pidana islam itu.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa yang dimaksud dengan sumber hukum pidana silam?

2.      Apa saja sumber hukum pidana islam?

3.      Apa saja ruang lingkup hukum pidana islam?

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.  Pengertian Sumber Hukum Pidana Islam

Membicarakan sumber hukum pidana islam, bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran agama islam yang dijadikan petunjuk kehidupan manusia yang harus di taatinya. Tujuan yang di mksud ialah:

1.      Sistematika dan hubungan sumber-sumber ajaran agama dan kedudukan al-qur’an sebagai pedoman dan kerangka kegiatan umat islam.

2.      Mempelajari arti dan fungsi As-sunnah sebagai penjelasan autentik al-qur’an dan perannya sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia muslim

3.      Membahas kedudukan akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk melaksanakan ijtihad. Selain itu, di ungkapkan peran ijtihad sebagai sumber pengembangan nilai ajaran islam dan unsur-unsur hukum pidana islam.

Hukum Pidana Islam adalah bagian dari hukum Islam. Jumhurul fuqaha sudah sepakat bahwa sumber-sumber hukum islam pada umumnya ada 4, yakni al-Qur‟an, hadits, Ijmak, Qiyas dan hukum tersebut wajib diikuti. Apabila tidak terdapat hukum suatu peristiwa dalam Al-Qur’an. Maka di cari dalam hadist dan sumber-sumber lainnya, seperti itu dalam mencari suatu hukum. Adapun beberapa sumber yang lain tetapi masih banyak diperselisikan tentang mengikatdan tidak nya, seperti, Ikhtisan, Ijtihad, Maslahat Mursalah, Urf, Sadduz zari’ah, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut.

 

B.Sumber Hukum Pidana Islam

1.      Al-qur’an

a.       Pengertian Al-qur’an

Al-quran adalah sumber ajaran islam yang pertama, menurut kumpulan wahyu-wahyu Allah yang disampaikan kepada nabi Muhammad saw. Di antara kandungan kadungan isinya ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan allah, hubungannya dengan perkembangan dirinya, hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya dengan alam beserta mahkluk lainnaya. Al-qur’an memuat ajaran islam, di antaranya:[1]

1)      Prinsip-prinsip keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, Qadha dan Qodhar dan sebagainya.

2)      Prinsip-prinsip syari’ah mengenai ibadah khas (Shalat, Puasa, Zakat dan Haji) dan ibadah umum (Perekonomian, Pernikahan, Pemerintahan, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan sebagainya).

3)      Janji kepada orang yang berbuat baik dan ancaman kepada orang yang berbuat jahat.

4)      Sejarah Nabi-nabi yang terdahulu, Masyarakat, dan bangsa terdahulu.

5)      Ilmu pengetahuan mengenai ilmu ketahuidan, agama, hal-hal yang menyangkut manusia, masyarakat, dan yang berhubungan dengan alam.

b.      Kandungan Hukum Al-qur’an

Kandungan hukum al-qur’an bisa di klasifikasikan menjadi tiga karegori:

1)      Ayat-ayat yang berbicara tentang keimanan atau akidah yaitu meliputi iman kepada allah, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, serta qadha dan qadhar ilmu yang membahas ini disebut dengan ilmu tauhid.

2)      Ayat-ayat yang berbicara tentang akhlak. Ilmu yang membahas ini disebut dengan tasawuf.

3)      Ayat-ayat yang berbicara tentang perbuatan dan perkataan seorang mukalaf. Ilmu yang membahas hal ini disebut dengan ilmu fiqih, sementara ayat untuk membentuknya adalah ilmu usul fiqih. Ayat-ayat tentang fiqih terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Berikut penjelasannya:

a)      Fiqih ibadah adalah fiqih yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Seperti sholat, zakat, puasa, haji, nazar, dan sumpah.

b)      Fiqih muamalah adalah fiqih yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnaya. Fiqih muamalah meliputi akad, transaksi, tindak pidana, dan sanksi. Cakupan pembahasan tentang fiqih muamalah sangat luas, oleh karena itu fiqih muamalah di bagi menjadi beberapa spesifikasi:

1.      Fiqih muamalah dalam bidang hukum keluarga. Fiqih ini mengatur hubungn keluarga, seperti membentuk rumah tangga, nikah, hubungan antara anggota keluarga dan sanak saudara, talak, rujuk, waris, dan wasiat.

2.      Fiqih muamalah dalam bidang hukum perdata. Fiqih ini meliputi masalah jual beli, sewa-memyewa, gadai, jaminan, mendirikan perusahaan secara patungan, utang piutang, dan perjanjian.

3.      Fiqih muamalah tentang hukum pidana. Lebih kurang jumlah ayatnya mencapai 30 ayat yang semuanya bertujuan menjaga lima prinsip pokok, yaitu, agama, jiwa, akal, harta, dan nasab.

4.      Fiqih muamalah dalam bidang hukum acara, baik perdata maupun pidana. Pembahasannya meliputi pengadilan, kesaksian, dan sumpah. Yang semuanya itu untuk kemaslahatan dan keadilan manusia. Jumlah ayatnya sekitar 13 ayat.

5.      Fiqih muamalah dalam bidang perundang-undangan. Fiqih ini berbicara mengenai hubungan antara hakim dan tersangka serta mendasar lainnaya dalam bidang hukum. Jumlah ayatnya sekitar 10 ayat.

6.      Fiqih muamalah dalam bidang internasional. Fiqih ini berbicara mengenai hubungan antara muslim dan non muslim dalam negara islam, baik dalam keadaan perang maupun damai. Jumlah ayatnya sekitar 25 ayat.

7.      Fiqih muamalah dalam bidang ekonomi dan keuangan. Fiqih ini berbicara tentang hak dan kewajiban individu dalam bidang ekonomi serta mengatur hubungan antara kaya dengan miskin, baik dalam konteks individu, masyarakat, maupun negara. Jumlah ayatnya sekitar 10 ayat.

Dalam bidang ekonomi dan keuangan ini, al-Zuhaili menjelaskan bahwa cakupannya sangat luas karena menyangkut harta negara secara umum dan khusus. Harta negara secara umum, seperti rampasan perang (termasuk barang sitaan yang menjadi milik negara, pajak, barang tambang, kekayaan ummat dalam bentuk zakat, infak dan sedekah, serta nadzar. Ucapan seseorang yang di kaitkan sesuatu bisa berupa membayar atau mengeluarkan sejumlah uang dan qiradh kerjasama pemilik dan  pelaksana dalam bisnis. Sementara itu harta negara secara umum seperti nafkah warisan, wasiat, keuntungan perdagangan, sewa-menyea, serta sangsi materi berupa kafarat, diat, dan fidyah.

2.      Sunnah

a.       Pengertian sunnah

Pengertian sunnah secara etimologi berasal dari bahasa arab berarti tradisi, kebiasaan, adat istiadat. Adapun secara terminologi sunnah di defenisikan oleh dua kelompok yaitu kelompok ulama fiqih dan ulama usul fiqih. Menurut ulam fiqih, sunnah adalah semua jenis ibadah yang hukumnya sunnah dan di nukil dari nabi saw. Sunnah bermakna tidak wajib dan di pakai untuk menunjukkan arti yang berlawanan dengan bid’ah, seperti ucapan orang-orang, sesorang termasuk ahli sunnah. [2]

Sementara itu, defenisi sunnah menurut ulama usul fiqih adalah segala hal yang bersal dari nabi yang bukan al-qur’an, yaitu berupa ucpan, perbuatan, atau ketetapan. Sunnah dengan pengertian demikian dimaksudkan sebagai dalil hukum dan sumber pembentukan hukum islam.

Sunnah Nabi Muhammad saw. Merupakan sumber ajaran islam yang kedua. Karena, hal-hal yang diungkapkan oleh Al-qur’an yang bersifat umum atau memerlukan penjelasan, maka Nabi Muhammad saw. Menjelaskan melalui sunnah. Sunnah adalah perbuatan, perkataan dan perizinan nabi Muhammad saw. (Af’alu, Aqwalu, dan Taqriru). Pengertian sunnah yang demikian mempunyai kesamaan pengertian hadist.

Dari definisi sunnah di atas dapat diketahui bahwa sanya sunnah terdiri atas tiga macam:

1.      Sunnah berupa ucapan nabi. Misalnya, ucapan la dharoro wa la dhororo (tidak boleh membuat mudharat pada diri sendiri dan orang lain) dan innama al-a’mal bi al-niyyat (sesungguhnya perbuatan tergantung pada niat).

2.      Sunnah berupa perbuatan nabi. Misalnya, teknis pelaksanaan sholat lima waktu, cara melaksanakan manasik haji, dan ketentuan tentang harus adanya saksi atau menuduh harus disertai bukti.

3.      Sunnah berupa ketetapan nabi. Misalnya, sikap diam atau pernyataan setuju bahwa sesuatu itu baik.

b.      Macam-macam Sunnah

Sunnah atau hadis dapat di bagi kedalam beberapa kriteria dan klasifikasi sebagai berikut:

1.      Di tinjau dari segi bentuknya terbagi kepada:

a.       Fi’li yaitu perbuatan nabi

b.      Qauli yaitu perkataan nabi

c.       Taqriri yaitu perizinan nabi.

2.      Di tinjau dari segi jumlah yang menyampaikannya sebagai berikut:

a.       Mutawatir, yaitu hadis yang driwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal mereka tidak mungkin sepakat berdusta serta disampaikan melalui jalan indra.

b.      Masyhur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir, baik karena jumlahnya maupun tidak melalui jalan indra.

c.       Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai kepada tingkat masyhur dan mutawatir.

3.      Di tinjau dari segi kualitas hadis terbagi kepada:

a.       Shahih, yaitu hadis yang sehat yang diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dan kuat hafalannya, materinya, baik, dan persambungan sanadnya dapat dipertanggungjawabkan.

b.      Hasan, yaitu hadis yang memenuhi persyaratan shahih kecuali dari segi hafalan atau pembawanya kurang baik.

c.       Dhai’f, yaitu hadis lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah seorang pembawanya kurang baik dan lain-lain.

d.      Maudu, yaitu hadis palsu, hadis yang dibuat oleh seseorang dan dikatakan sebagai sabda atau perbuatan rasul.

4.      Di tinjau dari segi terima atau tidaknya terbagi kepada:

a.       Makbul, yaitu hadis yang mesti diterima.

b.      Mardud, yaitu hadis yang mesti di tolak.

5.      Di tinjau dari segi orang yang berbuat atau berkata, terbagi kepada:

a.       Marfu’, yaitu betul-betul nabi yang pernah bersabda.

b.      Mauquf, yaitu sahabat nabiyang berbuat dan nabi tidak menyaksikan perbuatan sahabat.

c.       Maqtu’, yaitu tabi’in yang berbuat. Artinya perkataan tabi’in yang berhubungan soal-soal agama.

6.      Pembagaian lain yang disesuakin jenis, sifat, redaksi, teknis penyampaian, dan lai-lain. Hal yang di maksud, dapat di ungkapkan sebagai contoh: hadis yang banyak menggunakan kata an (dari) menjadi hadis mu’an’an. Hadis yang banyak menggunakan kata anna (sesungguhnya) menjadi hadis muanna. Hadis yang menyangkut perintah disebut hadis awamir. Hadis yang menyangkut larangan disebut hadis nawahi. Hadis yang sanadnya terputus disebut hadis Munqathi.

a.       Fi’li yaitu perbuatan nabi

b.      Qauli yaitu perkataan nabi

c.       Taqriri yaitu perizinan nabi.

c.       Fungsi sunnah

1)      Sumber hukum islam yang kedua.

Sunnah adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-quran. Sesuai dengan ayat al-qur’an surah al-anfal ayat 20.”hai orang-orang yang beriman taatilah kepada allah dan rasulnya dan janganlah kamu berpaling dari padanya,sedang kamu mendengarperintah-perintahnya”.

2)      Menafsirkan  ayat al-quran.

Sunnah berfungsi untuk menafsirkan dan menjelaskan ayat al-quran.Ayat-ayat al-quran yang hanya menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu maka hadis berungsi untuk menjelaskan. Sebagai contoh mengenai perintah salat. Hadis menjelaskan, yaitu shalatlah kamu sebagaimana nabi muhammad saw melaksanakan salat.

3.      Ijma’

a.       Pengertian ijma’

Ijma’ adalah kebulatan pendapat  fuqhoha’ mujtahidin pada suatu masa atas sesuatu hukum sesudah nabi muhammad SAW. Ijma’ adalah kebulatan kesepakatan semua mujtahidin terhadap suatu pendapat hukum yang mereka sepakati bersama, baik dalam pertemuan maupun secara terpisah-pisah maka hukumnya menjadi mengikat.

Ijma’ merupakan dalil qat’i, akan tetapi dalam hukum tersebut hanya keluar dari kebanyakan mujtahidin, maka hanya dianggap sebagai dalil dhanni, dan bagi perseorangan boleh mengikuti, sedangkan bagi orang-orang tingkatan mujtahidin boleh berpendapat lain, selama  para penguasa tidak diwajibkan melaksanakannya.

Ijma’ harus mempunyai dasar, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Karena ijma’ tidak boleh didasarkan atas kesukaan hati sendiri, melainkan harus ditegakkan atas aturan-aturan Syara’. Kebulatan mujtahidin dalam suatu kesepakatan hukum tertentu menunjukkan dengan pasti bahwa hukum tersebut sesuai dengan ketentuan syara’. Kekuatan ijma’, sebagai sumber hukum yang mengikat ditentukan al-Qur’an dan Sunnah. “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri.” (an-Nisa’: 59).

b.      Unsur-unsur ijma’

Apabila definisi ijma’ yang sudah dipaparkan oleh beberapa ulama diteliti ,terkandung beberapa unsur yaitu :

1) Kesepakatan dicapai para mujtahid yang menguasai seperangkat ilmu keislaman secara baik dan memadai, seperti ilmu bahasa Arab, ilmu al-quran , serta ilmu Hadis dengan berbagai cabangnya. Di pihak lain apabila kesepakatan dicapai oleh orang-orang awam, maka tidak bisa disebut ijma'.

2) Ulama yang melakukan kesepakatan adalah ulama mujtahid pendapat ini masih kurang jelas  ulama mujtahid mana Yang maksud apakah dapat melakukan kesepakatan itu hanya mencintai mustaqilli atau selain mujtahid mustaqil pun boleh melakukan percepatan.

3)  Kesepakatan dicapai oleh seluruh mujtahid dari dalam dan luar negeri kalau kesepakatan belum bulan tidak bisa disebut ijma' sekalipun yang tidak sepakat itu hanya seorang.

4).  Kesepakatan dicapai pada saat ada masalah fiqih yang pelik

5). Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat

6). Kesepakatan harus benar-benar terjadi secara bulat dan pasti antara dua kelompok dan tidak boleh sampai melahirkan kelompok ketiga.

4 .Kedudukan ijma' sebagai sumber hukum

Ijma’ dapat menjadi sumber hukum Islam yang ketiga setelah Alquran dan Sunnah. apabila memenuhi ke enam unsur di atas. Dengan demikian kita pun wajib mengikutinya sehubungan dengan itu ada beberapa alasan mengapa ijma’ dapat menjadi salah satu sumber hukum Islam yaitu:

a. Perintah Allah dalam Alquran untuk menaati nya Rasulullah dan ulil amri. Allah berfirman artinya “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri pemegang kekuasaan di antara kamu”.

Amri di atas bersifat umum yang meliputi para tokoh dan pemimpin, baik dalam bidang agama maupun lainnya. Tokoh-tokoh dalam bidang agama adalah para mujtahid, sedangkan tokoh-tokoh dalam bidang non agama adalah para pemimpin raja atau kepala negara. Di samping itu, terdapat ayat lainnya yang menegaskan bahwa siapapun yang menentang Rasulullah dan tidak mengikuti jalan kesepakatan orang-orang Mukmin atau ulama akan dibalas dengan neraka. Allah berfirman yang artinya“barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan Jalan orang-orang Mukmin Kami Biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan kami masukkan dia ke dalam neraka jahanam dan itu seburuk-buruk tempat kembali”.

b. Kesepakatan seluruh ulama tidak mungkin sesat atau salah sebagaimana sabda Nabi artinya Allah tidak menjadikan umatku ke bersepakat atau kesesatan.

c. Kesepakatan ulama mujtahid tentang suatu hukum pasti didasarkan atas nash-nash syar'i. Mereka memiliki aturan dan batas tertentu yang tidak boleh dilanggar. Oleh sebab itu kesepakatan mereka pasti sejalan dengan prinsip syariat Islam.

d. Sejarah mencatat proses pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang menjadi secara ijma Walaupun ada sebagian kecil yang pada mulanya tidak setuju seperti Ali dan Saad Bin ubadah.

e. Berkaitan dengan hadis Ahad yang bersifat Azani dan bisa dijadikan sumber hukum ijma juga bisa menjadi sumber hukum karena merupakan pendapat ulama mayoritas.

f. Jika ukuran Kuat atau lemahnya sebuah Hadits dilihat dari banyak atau sedikitnya periwayat, hal ini juga berlaku dalam hal ijma' semakin banyak ulama mujtahid yang bersepakat dalam suatu masalah semakin kuat pula pendapat mereka.

5 . Kemungkinan terjadinya ijma'

Abdul Wahab khallaf menjelaskan bahwa pada zaman modern sangat mungkin terjadi ijma’. Pelaksanaannya bisa saja ditangani oleh negara berpenduduk mayoritas Islam yang bekerja sama dengan negara lain. Selanjutnya negara-negara terkait menetapkan standar tertentu mengenai seseorang untuk menjadi mujtahid dan memberikan sertifikat agar mujtahid dunia lainnya dapat mengetahui.

Amir Syarifuddin juga berpendapat sama dengan Abdul Wahab khalaf bahwa ijma’ sangat mungkin terjadi pada era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi. Seperti sekarang ini, lebih lanjut Amir Syarifuddin berpendapat bahwa bisa saja mempertemukan para mujtahid untuk membicarakan masalah hukum atau setidaknya menghimpun pendapat mereka.  Meskipun mereka bertebaran di seluruh penjuru dunia apabila pendapat mereka tentang suatu hukum telah terkumpul yang ternyata pendapat mereka itu sama itulah yang disebut ijma’

6 .Macam-macam ijma'

Dalam uraian terdahulu telah dikemukakan bahwa pengertian ijma adalah kesepakatan ulama mujtahid secara umum. Namun jumlah itu tidak terbatas di samping tempat tinggal mereka juga saling berjauhan sehingga ada yang berpendapat bahwa mustahil dilaksanakan kecuali pada masa sahabat. Meskipun demikian, ijma’ Secara teoritis dapat sering terjadi di dalam bentuk yang bermacam-macam sebagai berikut:

a.       ijma' sharih

Ijma' sharih iyalah ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid yang mengemukakan pendapat tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka. Mereka berkumpul di sebuah tempat dan menyepakati suatu masalah.

Ijma' sharih sangat jarang terjadi. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa ijma’ ini hanya mungkin terjadi pada masa sahabat. Ketika itu jumlah mujtahid masih terbatas dan lingkungan domisili mereka relatif masih saling berdekatan sehingga memungkinkan untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat.

Apabila ijma' sharih berlangsung, hasil keputusannya sangat kuat untuk dijadikan dalil hukum. Oleh sebab itu, ijma’ sharih  mempunyai kekuatan yang mengikat. Selain itu, tidak boleh seorangpun yang menyanggahnya dan mujtahid yang telah mengemukakan pendapat tidak boleh mencabutnya. Para ulama sepakat menerima ijma' ini sebagai hujjah syari' dalam menetapkan hukum syara.

b.      ijma' sukuti                                                                                   

Ijma' ini Iyalah kesepakatan ulama melalui satu orang mujtahid atau lebih yang mengemukakan pendapat tentang hukum suatu masalah, kemudian pendapat tersebut  serta diketahui oleh orang banyak dan tidak ada mujtahid lain yang mengemukakan pendapat berbeda atau menyanggah nya.

 Berbeda dengan ijma' sharih,ijma' sukuti tidak sekuat ijma' sharih dan statusnya sebagai dalil hukum masih diperdebatkan. Oleh karena itu tidak terhalang bagi mujtahid lain di kemudian hari untuk mengemukakan pendapat yang berbeda sesudahijma' tersebut berlangsung.

4.      Qiyas

Pengertian kias adalah mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukum yang persamaan  ketentuan hukum dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.

a. Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana dan qiyas dalam hukum pidana Islam

Terdapat suatu hal yang terkait masalah kias dalam hukum pidana Islam. Di satu sisi qiyas merupakan sumber hukum pidana islam, tetapi di sisi lain ada larangan qiyas dalam hukum pidana. Larangan kias ini merupakan kaidah turunan dari asas legalitas yang pada intinya tidak ada tindak pidana dan hukuman jikalau tidak didahului oleh aturan hukum terlebih dahulu, tidak hanya itu asas legalitas ini melahirkan kaidah turunan yang lain yaitu, hukum pidana yang tidak berlaku surut.Artinya, aturan pasal pidana yang baru muncul tidak bisa digunakan untuk menghukum pelaku tindak pidana yang terjadi pada masa lalu.

Sementara itu larangan qiyas tidak berlaku dalam hukum pidana Islam. Jikalau dalam hukum pidana Islam tetap tidak memberlakukan qiyas dapat dipastikan hukum pidana Islam akan statis karena banyak hal baru yang tidak ada hukumnya di dalam Alquran dan Hadist. Seperti tindak pidana penyalahgunaan narkoba dan kesehatan terorisme Kedua jenis tindak pidana ini harus dikiaskan dengan tindak pidana meminum khamar dan perampokan yang secara jelas pada keduanya, terdapat dalil konkrit baik dalam Alquran maupun sunnah. Oleh sebab itu dalam hukum pidana Islam sangat perlu diupayakan revitalisasi agar hukum pidana Islam lebih dinamis dan akomodatif.

            1) . Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana

Asas legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP asas ini dirumuskan di dalam bahasa Latin dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lage poenali yang diartikan ke bahasa Indonesia menjadi tidak ada hukuman yang tidak didahului hukum terlebih dahulu.[3]

Rumusan dalam bahasa Latin itu berasal dari seorang sarjana berkebangsaan Jerman feuerbach(1775-1833). Iya mengemukakan teori ini agar macam-macam perbuatan yang dilarang dan hukuman nya di duliskan dengan jelas dengan demikian seseorang yang akan melakukan sebuah tindak pidana anak telah mengetahui jenis sanksi yang akan ia terima. Oleh sebab itu, ketika seseorang tetap nekat melakukan tindak pidana diasumsikan bahwa pada dasarnya ia telah mengetahui sanksi hukum yang akan diterima.

2). Pengertian kias dalam hukum pidana Islam

Kias  merupakan penggunaan ra'yu atau akal untuk menggali hukum syara di dalam Alquran dan Sunnah yang tidak dijabarkan secara terperinci pada dasarnya ada dua macam penggunaan ra'yu yaitu merujuk kepada Nas dan tidak merujuk kepada nash.          

            3).  Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum

Tidak ada petunjuk yang menyatakan secara pasti bahwa qiyas dapat dijadikan dalil syara untuk menetapkan hukum Selain itu tidak ada petunjuk pula yang membolehkan mujtahid untuk menetapkan hukum syara di luar apa yang telah ditetapkan oleh Nash Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara.

a.       Kelompok jumhur ulama yang menjadikan kias  sebagai dalil syara mereka menggunakan kias untuk hal-hal yang tidak terdapat hukumnya di dalam Alquran Hadis dan ijtihad mereka menggunakan kias secara wajar dan tidak berlebihan.

b.      Kelompok ulama zhahiriyah dan Syiah imamiyah yang menolak penggunaan ke secara mutlak ulama zhahiriyah juga menolak penemuan illah atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara.

c.       Kelompok yang menggunakan kias secara luas dan mudah mereka menggabungkan dua hal yang terlihat tidak memiliki kesamaan illah sehingga qiyas dapat membatasi keumuman sebagai ayat Alquran atau sunnah.

C . Ruang lingkup hukum pidana Islam

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian,  perzinaan, termasuk juga   lesbian, menuduh orang yang baik-baik berbuat zina, minum minum, mabuk-mabukan membunuh atau melukai seseorang, pencurian, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.[4]

Hukum kepidanaan dimaksud disebut jarimah, jarimah terbagi dua yaitu:

1.      jarimah hudud

Berasal dari bahasa arab yaitu jamak dari kata had .Had secara harfiah ada kemungkinan arti antara lain batasan atau definisi, siksaan, ketentuan atau hukum. Had pembahasan fiqih adalah ketentuan tentang sanksi terhadap pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral, sedangkan menurut syariat Islam, yaitu ketentuan Allah yang terdapat di dalam Alquran, atau kenyataan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Tindak kejahatan dimaksud baik dilakukan oleh seseorang atau kelompok sengaja atau tidak sengaja dalam istilah fiqih disebut dengan jarimah. Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau lebih seorang yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi.

Jenis-jenis sanksi yang terdapat di dalam syariat Islam yaitu rajam jilid atau Dera atau potong tangan, penjara seumur hidup eksekusi bunuh pengasingan. Adapun jarimah yaitu delik pidana yang pelakunya diancam sanksi yaitu, perbuatan zina, penuduh zina, pencurian, penodongan, perampokan, teroris,minum-minuman dan obat-obat terlarang pemberontakan dan beralih atau pindah agama.

2.      jarimah ta'zir

Jarimah ta'zir secara harfiah bermakna memuliakan atau menolong namun ta'zir dalam pengertian istilah hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya dikenai sanksi dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diat. Tindak pidana yang dikelompokkan menjadi objek pembahasan ta'zir adalah tindak pidana ringan seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, tuduhan berbuat kejahatan Selain jina, pencurian yang nilainya tidak sampai satu nisab harta.

Jenis hukuman yang termasuk jarimah ta'zir antara lain, hukuman penjara, pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran dengan kata-kata dan jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan pelanggaran dari pelakunya. Dalam hukum Islam Jenis hukum yang berkaitan dengan hukum ta'zir diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan manusia menurut Imam Abu Hanifah. Pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali dapat dilakukan atau dapat dijatuhi hukuman mati oleh Hakim misalnya, pencuri yang dimasukkan Lembaga Pemasyarakatan, lalu masih mengulangi untuk mencuri ketika ia sudah dikenai sanksi hukuman penjara, Hakim berwenang menjatuhkan hukuman mati kepadanya.

            Keputusan mengenai sanksi hukum dan pihak yang diberi kewenangan untuk menetapkan jenis hukuman dan pelaksanaan ta'zir adalah pihak pemerintah kecuali guru dalam rangka mendidik murid-muridnya, orang tua dalam rangka mendidik anaknya, suami dalam rangka mendidik istrinya. Ketentuan dimaksud, perbuatan yang dilakukan oleh guru, orang tua, suami, Hakim, sebatas sesuai dengan kepatutan dan bersifat upaya mendidik bukan sengaja untuk menyakiti atau mencederai.

BAB III

PENUTUP

A.   KESIMPULAN

Dari uraian pembahasan karya ilmiah ini maka penulis menyimpulkan materi kali ini yaitu sumber hukum pidana islam itu adalah datang dari Allah swt yang menjadi sumber hukum islam yang utama dan dilengkapi denga sunnah yang menjadi sumber hukum islam yang kedua yang mana kedua hukum, tersebut menjadi pegagan umat islam sampai saat ini dalam memutuskan suatu perkara, teriring dari itu setelah wafatnya nabi Muhammad SAW  maka muncul permasalahan baru yang tidak ada pada masa nabi, sehingga para ulama yang terpercaya melakukan yang namanya AR-Ra’yu yang artinya penalaran yang menjadi dasar dalam pemikiran para ulama itu adalah al-quran dan sunnah nabi Muhammad saw, yang mana kita sebagai ummat agama islam harus mematuhi dan mengikuti ulama kita atau ulil amri.

B. SARAN

Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis yakin masih banyak hal yang harus diperbaiki, baik dari susunan materi,materi yang masih sedikit hingga penulisan yang tidak sesuai dengan standar penulisan karya ilmiah. Untuk itu penulis ingin mengharapakn masukan dan kritikan dari pembaca untuk membangun karya ilmiah ini menjadi lebih baik kedepannya dan dapat berguna bagi masyarakat luas terutama untuk pembaca karya ilmiah ini amin amin yarabbal alamin.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, panji. 2019 Hukum islam, Jakarta: Sinar Grafika

Ali, zainuddin.2012 Hukum pidana islam, Jakarta: Sinar Grafika

Irfan, m nurul. 2016 Hukum pidana islam, Jakarta: Amzah

Marsaid. 2020 AL-Fiqh AL-Jinayyah, Palembang: CV.Amanah



[1]Zainuddin ali,Hukum Pidana islam,(Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm. 3.

[2] M.Nurul Irfan,Hukum Pidana Islam, (Jakarta:AMZAH 2016),hlm,138.

[3] Panji Adam, Hukum Islam dalam konsep filosofi dan Metodologi,(Jakarta : Sinar Grafika 2019),hlm,382.

[4] Mursaid,AL-Fiqh Al-Jinayah,(Palembang:CV Amanah 2020),hlm, 45.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN