MAKALAH SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
MAKALAH SUMBER HUKUM PIDANA ISLAM
BY: FALAH, DKK.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Pada
hakikatnya, syriat islam itu hanya mempunyai satu sumber hukum, yakni wahyu
ilahi. Wahyu ilahi itu dikelompokkan menjadi dua macam:pertama, wahyu berupa
al-quran yang kedua berupa sunnah. Menempatkan keduanya sebagai sumber hukum
syara’ tanpa melibatkan yang lain, merupakan konsekuensi dari usaha kita
mnyucikan akidah hukum. Sedangkan yang lain, merupakan konsekuensi dari usaha
kita mnyucikan akidah hukum. Sedangkan yang lain tidak Dapat dikatakan sumber
hukum sebatas dalil-dalil syara’.itu pun dengan ketentuan selama dalalahnya
merujuk kepada nas-nas yang terdapat kepada sumber kedua hukum tersebut
Kata
sumber hanya berlaku pada al-quran dan hadist, karena hanya dari keduanyalah
digali norma-norma hukum, sedanngkan ijma’, qiyas, ishtihsan, istishlah,
istishab tidak termasuk dalam sumber hukum. Kesemuaan itu termasuk dalam
dalil hukum dengan menggunakan istilah
tersebut kita dapat menemukan hukum-hukum islam. Istilah tersebut merupakan
alat dalam menggali hukum dari al-quran dan sunnah. Oleh karena itu, jika di
sebut sumber hukum maka maka yang dimaksud adlah al-quran dan sunnah saja dan
yang lainnya tidak dapat dikatakan sumber hukum.
Untuk itu dalam karya ilmiah ini penulis ingin menjabarkan sedikit mengnenai apa saja yang termasuk dalam sumber-sumber hukum tersebut, serta menjelaskan satu persatu dari sumber hukum itu sendiri, dengan tujuan pembaca dapat memahami apa saja sumber hukum pidana islam itu.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan sumber hukum pidana silam?
2. Apa
saja sumber hukum pidana islam?
3. Apa saja ruang lingkup hukum pidana islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Sumber Hukum Pidana Islam
Membicarakan sumber hukum pidana islam,
bertujuan untuk memahami sumber nilai ajaran agama islam yang dijadikan
petunjuk kehidupan manusia yang harus di taatinya. Tujuan yang di mksud ialah:
1. Sistematika
dan hubungan sumber-sumber ajaran agama dan kedudukan al-qur’an sebagai pedoman
dan kerangka kegiatan umat islam.
2. Mempelajari
arti dan fungsi As-sunnah sebagai penjelasan autentik al-qur’an dan perannya
sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia muslim
3. Membahas
kedudukan akal fikiran manusia yang memenuhi syarat untuk melaksanakan ijtihad.
Selain itu, di ungkapkan peran ijtihad sebagai sumber pengembangan nilai ajaran
islam dan unsur-unsur hukum pidana islam.
Hukum Pidana Islam adalah bagian dari
hukum Islam. Jumhurul fuqaha sudah sepakat bahwa sumber-sumber hukum islam pada
umumnya ada 4, yakni al-Qur‟an, hadits, Ijmak, Qiyas dan hukum tersebut wajib
diikuti. Apabila tidak terdapat hukum suatu peristiwa dalam Al-Qur’an. Maka di
cari dalam hadist dan sumber-sumber lainnya, seperti itu dalam mencari suatu
hukum. Adapun beberapa sumber yang lain tetapi masih banyak diperselisikan
tentang mengikatdan tidak nya, seperti, Ikhtisan, Ijtihad, Maslahat Mursalah,
Urf, Sadduz zari’ah, maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber
tersebut.
B.Sumber
Hukum Pidana Islam
1. Al-qur’an
a. Pengertian
Al-qur’an
Al-quran
adalah sumber ajaran islam yang pertama, menurut kumpulan wahyu-wahyu Allah
yang disampaikan kepada nabi Muhammad saw. Di antara kandungan kadungan isinya
ialah peraturan-peraturan hidup untuk mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya
dengan allah, hubungannya dengan perkembangan dirinya, hubungannya dengan
sesama manusia, dan hubungannya dengan alam beserta mahkluk lainnaya. Al-qur’an
memuat ajaran islam, di antaranya:[1]
1) Prinsip-prinsip
keimanan kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Akhir, Qadha dan Qodhar dan
sebagainya.
2) Prinsip-prinsip
syari’ah mengenai ibadah khas (Shalat, Puasa, Zakat dan Haji) dan ibadah umum
(Perekonomian, Pernikahan, Pemerintahan, Hukum Pidana, Hukum Perdata dan
sebagainya).
3) Janji
kepada orang yang berbuat baik dan ancaman kepada orang yang berbuat jahat.
4) Sejarah
Nabi-nabi yang terdahulu, Masyarakat, dan bangsa terdahulu.
5) Ilmu
pengetahuan mengenai ilmu ketahuidan, agama, hal-hal yang menyangkut manusia,
masyarakat, dan yang berhubungan dengan alam.
b. Kandungan
Hukum Al-qur’an
Kandungan hukum al-qur’an bisa di
klasifikasikan menjadi tiga karegori:
1) Ayat-ayat
yang berbicara tentang keimanan atau akidah yaitu meliputi iman kepada allah,
malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir, serta qadha dan qadhar ilmu yang
membahas ini disebut dengan ilmu tauhid.
2) Ayat-ayat
yang berbicara tentang akhlak. Ilmu yang membahas ini disebut dengan tasawuf.
3) Ayat-ayat
yang berbicara tentang perbuatan dan perkataan seorang mukalaf. Ilmu yang
membahas hal ini disebut dengan ilmu fiqih, sementara ayat untuk membentuknya
adalah ilmu usul fiqih. Ayat-ayat tentang fiqih terbagi menjadi dua bagian
besar, yaitu fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Berikut penjelasannya:
a) Fiqih
ibadah adalah fiqih yang mengatur hubungan manusia dengan tuhan. Seperti
sholat, zakat, puasa, haji, nazar, dan sumpah.
b) Fiqih
muamalah adalah fiqih yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnaya.
Fiqih muamalah meliputi akad, transaksi, tindak pidana, dan sanksi. Cakupan
pembahasan tentang fiqih muamalah sangat luas, oleh karena itu fiqih muamalah
di bagi menjadi beberapa spesifikasi:
1. Fiqih
muamalah dalam bidang hukum keluarga. Fiqih ini mengatur hubungn keluarga,
seperti membentuk rumah tangga, nikah, hubungan antara anggota keluarga dan sanak
saudara, talak, rujuk, waris, dan wasiat.
2. Fiqih
muamalah dalam bidang hukum perdata. Fiqih ini meliputi masalah jual beli,
sewa-memyewa, gadai, jaminan, mendirikan perusahaan secara patungan, utang
piutang, dan perjanjian.
3. Fiqih
muamalah tentang hukum pidana. Lebih kurang jumlah ayatnya mencapai 30 ayat
yang semuanya bertujuan menjaga lima prinsip pokok, yaitu, agama, jiwa, akal,
harta, dan nasab.
4. Fiqih
muamalah dalam bidang hukum acara, baik perdata maupun pidana. Pembahasannya
meliputi pengadilan, kesaksian, dan sumpah. Yang semuanya itu untuk
kemaslahatan dan keadilan manusia. Jumlah ayatnya sekitar 13 ayat.
5. Fiqih
muamalah dalam bidang perundang-undangan. Fiqih ini berbicara mengenai hubungan
antara hakim dan tersangka serta mendasar lainnaya dalam bidang hukum. Jumlah
ayatnya sekitar 10 ayat.
6. Fiqih
muamalah dalam bidang internasional. Fiqih ini berbicara mengenai hubungan
antara muslim dan non muslim dalam negara islam, baik dalam keadaan perang
maupun damai. Jumlah ayatnya sekitar 25 ayat.
7. Fiqih
muamalah dalam bidang ekonomi dan keuangan. Fiqih ini berbicara tentang hak dan
kewajiban individu dalam bidang ekonomi serta mengatur hubungan antara kaya
dengan miskin, baik dalam konteks individu, masyarakat, maupun negara. Jumlah
ayatnya sekitar 10 ayat.
Dalam bidang ekonomi dan keuangan ini,
al-Zuhaili menjelaskan bahwa cakupannya sangat luas karena menyangkut harta
negara secara umum dan khusus. Harta negara secara umum, seperti rampasan
perang (termasuk barang sitaan yang menjadi milik negara, pajak, barang
tambang, kekayaan ummat dalam bentuk zakat, infak dan sedekah, serta nadzar. Ucapan
seseorang yang di kaitkan sesuatu bisa berupa membayar atau mengeluarkan
sejumlah uang dan qiradh kerjasama pemilik dan
pelaksana dalam bisnis. Sementara itu harta negara secara umum seperti
nafkah warisan, wasiat, keuntungan perdagangan, sewa-menyea, serta sangsi
materi berupa kafarat, diat, dan fidyah.
2. Sunnah
a. Pengertian
sunnah
Pengertian
sunnah secara etimologi berasal dari bahasa arab berarti tradisi, kebiasaan,
adat istiadat. Adapun secara terminologi sunnah di defenisikan oleh dua
kelompok yaitu kelompok ulama fiqih dan ulama usul fiqih. Menurut ulam fiqih,
sunnah adalah semua jenis ibadah yang hukumnya sunnah dan di nukil dari nabi
saw. Sunnah bermakna tidak wajib dan di pakai untuk menunjukkan arti yang
berlawanan dengan bid’ah, seperti ucapan orang-orang, sesorang termasuk ahli
sunnah. [2]
Sementara
itu, defenisi sunnah menurut ulama usul fiqih adalah segala hal yang bersal
dari nabi yang bukan al-qur’an, yaitu berupa ucpan, perbuatan, atau ketetapan.
Sunnah dengan pengertian demikian dimaksudkan sebagai dalil hukum dan sumber
pembentukan hukum islam.
Sunnah
Nabi Muhammad saw. Merupakan sumber ajaran islam yang kedua. Karena, hal-hal
yang diungkapkan oleh Al-qur’an yang bersifat umum atau memerlukan penjelasan,
maka Nabi Muhammad saw. Menjelaskan melalui sunnah. Sunnah adalah perbuatan,
perkataan dan perizinan nabi Muhammad saw. (Af’alu,
Aqwalu, dan Taqriru). Pengertian
sunnah yang demikian mempunyai kesamaan pengertian hadist.
Dari
definisi sunnah di atas dapat diketahui bahwa sanya sunnah terdiri atas tiga
macam:
1. Sunnah
berupa ucapan nabi. Misalnya, ucapan la
dharoro wa la dhororo (tidak boleh membuat mudharat pada diri sendiri dan
orang lain) dan innama al-a’mal bi
al-niyyat (sesungguhnya perbuatan tergantung pada niat).
2. Sunnah
berupa perbuatan nabi. Misalnya, teknis pelaksanaan sholat lima waktu, cara
melaksanakan manasik haji, dan ketentuan tentang harus adanya saksi atau
menuduh harus disertai bukti.
3. Sunnah
berupa ketetapan nabi. Misalnya, sikap diam atau pernyataan setuju bahwa
sesuatu itu baik.
b. Macam-macam
Sunnah
Sunnah atau hadis dapat
di bagi kedalam beberapa kriteria dan klasifikasi sebagai berikut:
1.
Di tinjau dari segi
bentuknya terbagi kepada:
a. Fi’li
yaitu perbuatan nabi
b. Qauli
yaitu perkataan nabi
c. Taqriri
yaitu perizinan nabi.
2.
Di tinjau dari segi
jumlah yang menyampaikannya sebagai berikut:
a. Mutawatir,
yaitu hadis yang driwayatkan oleh orang banyak yang menurut akal mereka tidak
mungkin sepakat berdusta serta disampaikan melalui jalan indra.
b. Masyhur,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak tetapi tetapi tidak sampai
kepada derajat mutawatir, baik karena
jumlahnya maupun tidak melalui jalan indra.
c. Ahad,
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih yang tidak sampai kepada
tingkat masyhur dan mutawatir.
3.
Di tinjau dari segi
kualitas hadis terbagi kepada:
a. Shahih,
yaitu hadis yang sehat yang diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya dan kuat
hafalannya, materinya, baik, dan persambungan sanadnya dapat
dipertanggungjawabkan.
b. Hasan,
yaitu hadis yang memenuhi persyaratan shahih kecuali dari segi hafalan atau
pembawanya kurang baik.
c. Dhai’f,
yaitu hadis lemah, baik karena terputus salah satu sanadnya atau karena salah
seorang pembawanya kurang baik dan lain-lain.
d. Maudu,
yaitu hadis palsu, hadis yang dibuat oleh seseorang dan dikatakan sebagai sabda
atau perbuatan rasul.
4.
Di tinjau dari segi
terima atau tidaknya terbagi kepada:
a. Makbul,
yaitu hadis yang mesti diterima.
b. Mardud,
yaitu hadis yang mesti di tolak.
5.
Di tinjau dari segi orang
yang berbuat atau berkata, terbagi kepada:
a. Marfu’,
yaitu betul-betul nabi yang pernah bersabda.
b. Mauquf,
yaitu sahabat nabiyang berbuat dan nabi tidak menyaksikan perbuatan sahabat.
c. Maqtu’,
yaitu tabi’in yang berbuat. Artinya perkataan tabi’in yang berhubungan
soal-soal agama.
6.
Pembagaian lain yang
disesuakin jenis, sifat, redaksi, teknis penyampaian, dan lai-lain. Hal yang di
maksud, dapat di ungkapkan sebagai contoh: hadis yang banyak menggunakan kata an (dari) menjadi hadis mu’an’an. Hadis yang banyak menggunakan
kata anna (sesungguhnya) menjadi
hadis muanna. Hadis yang menyangkut
perintah disebut hadis awamir. Hadis
yang menyangkut larangan disebut hadis nawahi.
Hadis yang sanadnya terputus disebut hadis Munqathi.
a. Fi’li
yaitu perbuatan nabi
b. Qauli
yaitu perkataan nabi
c. Taqriri
yaitu perizinan nabi.
c. Fungsi
sunnah
1) Sumber
hukum islam yang kedua.
Sunnah
adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-quran. Sesuai dengan ayat
al-qur’an surah al-anfal ayat 20.”hai
orang-orang yang beriman taatilah kepada allah dan rasulnya dan janganlah kamu
berpaling dari padanya,sedang kamu mendengarperintah-perintahnya”.
2) Menafsirkan ayat al-quran.
Sunnah berfungsi untuk menafsirkan dan menjelaskan ayat al-quran.Ayat-ayat al-quran yang hanya menjelaskan dasar-dasar permasalahan sesuatu maka hadis berungsi untuk menjelaskan. Sebagai contoh mengenai perintah salat. Hadis menjelaskan, yaitu shalatlah kamu sebagaimana nabi muhammad saw melaksanakan salat.
3. Ijma’
a. Pengertian
ijma’
Ijma’
adalah kebulatan pendapat fuqhoha’ mujtahidin
pada suatu masa atas sesuatu hukum sesudah nabi muhammad SAW. Ijma’ adalah
kebulatan kesepakatan semua mujtahidin terhadap suatu pendapat hukum yang
mereka sepakati bersama, baik dalam pertemuan maupun secara terpisah-pisah maka
hukumnya menjadi mengikat.
Ijma’
merupakan dalil qat’i, akan tetapi dalam hukum tersebut hanya keluar dari
kebanyakan mujtahidin, maka hanya dianggap sebagai dalil dhanni, dan bagi
perseorangan boleh mengikuti, sedangkan bagi orang-orang tingkatan mujtahidin
boleh berpendapat lain, selama para
penguasa tidak diwajibkan melaksanakannya.
Ijma’
harus mempunyai dasar, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. Karena ijma’
tidak boleh didasarkan atas kesukaan hati sendiri, melainkan harus ditegakkan
atas aturan-aturan Syara’. Kebulatan mujtahidin dalam suatu kesepakatan hukum
tertentu menunjukkan dengan pasti bahwa hukum tersebut sesuai dengan ketentuan
syara’. Kekuatan ijma’, sebagai sumber hukum yang mengikat ditentukan al-Qur’an
dan Sunnah. “Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri.”
(an-Nisa’: 59).
b. Unsur-unsur
ijma’
Apabila
definisi ijma’ yang sudah dipaparkan oleh beberapa ulama diteliti ,terkandung
beberapa unsur yaitu :
1) Kesepakatan dicapai para mujtahid yang
menguasai seperangkat ilmu keislaman secara baik dan memadai, seperti ilmu
bahasa Arab, ilmu al-quran , serta ilmu Hadis dengan berbagai cabangnya. Di
pihak lain apabila kesepakatan dicapai oleh orang-orang awam, maka tidak bisa
disebut ijma'.
2) Ulama yang melakukan
kesepakatan adalah ulama mujtahid pendapat ini masih kurang jelas ulama mujtahid mana Yang maksud apakah dapat
melakukan kesepakatan itu hanya mencintai mustaqilli atau selain mujtahid
mustaqil pun boleh melakukan percepatan.
3) Kesepakatan dicapai oleh seluruh mujtahid dari
dalam dan luar negeri kalau kesepakatan belum bulan tidak bisa disebut ijma'
sekalipun yang tidak sepakat itu hanya seorang.
4).
Kesepakatan dicapai pada saat ada
masalah fiqih yang pelik
5). Kesepakatan seluruh ulama mujtahid
dilakukan setelah Nabi Muhammad wafat
6). Kesepakatan harus benar-benar terjadi
secara bulat dan pasti antara dua kelompok dan tidak boleh sampai melahirkan
kelompok ketiga.
4
.Kedudukan ijma' sebagai sumber hukum
Ijma’
dapat menjadi sumber hukum Islam yang ketiga setelah Alquran dan Sunnah.
apabila memenuhi ke enam unsur di atas. Dengan demikian kita pun wajib
mengikutinya sehubungan dengan itu ada beberapa alasan mengapa ijma’ dapat
menjadi salah satu sumber hukum Islam yaitu:
a.
Perintah Allah dalam Alquran untuk menaati nya Rasulullah dan ulil amri. Allah
berfirman artinya “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
taatilah Rasul dan ulil amri pemegang kekuasaan di antara kamu”.
Amri
di atas bersifat umum yang meliputi para tokoh dan pemimpin, baik dalam bidang
agama maupun lainnya. Tokoh-tokoh dalam bidang agama adalah para mujtahid,
sedangkan tokoh-tokoh dalam bidang non agama adalah para pemimpin raja atau
kepala negara. Di samping itu, terdapat ayat lainnya yang menegaskan bahwa
siapapun yang menentang Rasulullah dan tidak mengikuti jalan kesepakatan
orang-orang Mukmin atau ulama akan dibalas dengan neraka. Allah berfirman yang
artinya“barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan
mengikuti jalan yang bukan Jalan orang-orang Mukmin Kami Biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan kami masukkan dia ke dalam
neraka jahanam dan itu seburuk-buruk tempat kembali”.
b.
Kesepakatan seluruh ulama tidak mungkin sesat atau salah sebagaimana sabda Nabi
artinya Allah tidak menjadikan umatku ke bersepakat atau kesesatan.
c.
Kesepakatan ulama mujtahid tentang suatu hukum pasti didasarkan atas nash-nash
syar'i. Mereka memiliki aturan dan batas tertentu yang tidak boleh dilanggar.
Oleh sebab itu kesepakatan mereka pasti sejalan dengan prinsip syariat Islam.
d.
Sejarah mencatat proses pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang menjadi
secara ijma Walaupun ada sebagian kecil yang pada mulanya tidak setuju seperti
Ali dan Saad Bin ubadah.
e.
Berkaitan dengan hadis Ahad yang bersifat Azani dan bisa dijadikan sumber hukum
ijma juga bisa menjadi sumber hukum karena merupakan pendapat ulama mayoritas.
f. Jika ukuran Kuat atau
lemahnya sebuah Hadits dilihat dari banyak atau sedikitnya periwayat, hal ini
juga berlaku dalam hal ijma' semakin banyak ulama mujtahid yang bersepakat
dalam suatu masalah semakin kuat pula pendapat mereka.
5
. Kemungkinan terjadinya ijma'
Abdul Wahab khallaf
menjelaskan bahwa pada zaman modern sangat mungkin terjadi ijma’. Pelaksanaannya
bisa saja ditangani oleh negara berpenduduk mayoritas Islam yang bekerja sama
dengan negara lain. Selanjutnya negara-negara terkait menetapkan standar
tertentu mengenai seseorang untuk menjadi mujtahid dan memberikan sertifikat
agar mujtahid dunia lainnya dapat mengetahui.
Amir Syarifuddin juga
berpendapat sama dengan Abdul Wahab khalaf bahwa ijma’ sangat mungkin terjadi
pada era globalisasi dengan kemajuan teknologi informasi. Seperti sekarang ini,
lebih lanjut Amir Syarifuddin berpendapat bahwa bisa saja mempertemukan para
mujtahid untuk membicarakan masalah hukum atau setidaknya menghimpun pendapat
mereka. Meskipun mereka bertebaran di
seluruh penjuru dunia apabila pendapat mereka tentang suatu hukum telah terkumpul
yang ternyata pendapat mereka itu sama itulah yang disebut ijma’
6
.Macam-macam ijma'
Dalam uraian terdahulu
telah dikemukakan bahwa pengertian ijma adalah kesepakatan ulama mujtahid
secara umum. Namun jumlah itu tidak terbatas di samping tempat tinggal mereka
juga saling berjauhan sehingga ada yang berpendapat bahwa mustahil dilaksanakan
kecuali pada masa sahabat. Meskipun demikian, ijma’ Secara teoritis dapat
sering terjadi di dalam bentuk yang bermacam-macam sebagai berikut:
a. ijma'
sharih
Ijma'
sharih iyalah ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid yang mengemukakan
pendapat tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka. Mereka berkumpul di
sebuah tempat dan menyepakati suatu masalah.
Ijma'
sharih sangat jarang terjadi. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa
ijma’ ini hanya mungkin terjadi pada masa sahabat. Ketika itu jumlah mujtahid
masih terbatas dan lingkungan domisili mereka relatif masih saling berdekatan
sehingga memungkinkan untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat.
Apabila
ijma' sharih berlangsung, hasil keputusannya sangat kuat untuk dijadikan dalil
hukum. Oleh sebab itu, ijma’ sharih mempunyai kekuatan yang mengikat. Selain itu,
tidak boleh seorangpun yang menyanggahnya dan mujtahid yang telah mengemukakan
pendapat tidak boleh mencabutnya. Para ulama sepakat menerima ijma' ini sebagai
hujjah syari' dalam menetapkan hukum syara.
b.
ijma' sukuti
Ijma'
ini Iyalah kesepakatan ulama melalui satu orang mujtahid atau lebih yang
mengemukakan pendapat tentang hukum suatu masalah, kemudian pendapat tersebut serta diketahui oleh orang banyak dan tidak
ada mujtahid lain yang mengemukakan pendapat berbeda atau menyanggah nya.
Berbeda dengan ijma' sharih,ijma' sukuti tidak
sekuat ijma' sharih dan statusnya sebagai dalil hukum masih diperdebatkan. Oleh
karena itu tidak terhalang bagi mujtahid lain di kemudian hari untuk
mengemukakan pendapat yang berbeda sesudahijma' tersebut berlangsung.
4. Qiyas
Pengertian
kias adalah mempersamakan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan hukumnya
dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukum yang persamaan ketentuan hukum dimaksud didasari oleh adanya
unsur-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang belum ada
ketetapan hukumnya yang disebut illat.
a.
Pengertian asas legalitas dalam hukum pidana dan qiyas dalam hukum pidana Islam
Terdapat
suatu hal yang terkait masalah kias dalam hukum pidana Islam. Di satu sisi
qiyas merupakan sumber hukum pidana islam, tetapi di sisi lain ada larangan
qiyas dalam hukum pidana. Larangan kias ini merupakan kaidah turunan dari asas
legalitas yang pada intinya tidak ada tindak pidana dan hukuman jikalau tidak
didahului oleh aturan hukum terlebih dahulu, tidak hanya itu asas legalitas ini
melahirkan kaidah turunan yang lain yaitu, hukum pidana yang tidak berlaku
surut.Artinya, aturan pasal pidana yang baru muncul tidak bisa digunakan untuk
menghukum pelaku tindak pidana yang terjadi pada masa lalu.
Sementara
itu larangan qiyas tidak berlaku dalam hukum pidana Islam. Jikalau dalam hukum
pidana Islam tetap tidak memberlakukan qiyas dapat dipastikan hukum pidana
Islam akan statis karena banyak hal baru yang tidak ada hukumnya di dalam
Alquran dan Hadist. Seperti tindak pidana penyalahgunaan narkoba dan kesehatan
terorisme Kedua jenis tindak pidana ini harus dikiaskan dengan tindak pidana
meminum khamar dan perampokan yang secara jelas pada keduanya, terdapat dalil
konkrit baik dalam Alquran maupun sunnah. Oleh sebab itu dalam hukum pidana
Islam sangat perlu diupayakan revitalisasi agar hukum pidana Islam lebih
dinamis dan akomodatif.
1) . Pengertian asas legalitas dalam
hukum pidana
Asas
legalitas tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP asas ini dirumuskan di dalam
bahasa Latin dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lage poenali yang
diartikan ke bahasa Indonesia menjadi tidak ada hukuman yang tidak didahului
hukum terlebih dahulu.[3]
Rumusan
dalam bahasa Latin itu berasal dari seorang sarjana berkebangsaan Jerman feuerbach(1775-1833).
Iya mengemukakan teori ini agar macam-macam perbuatan yang dilarang dan hukuman
nya di duliskan dengan jelas dengan demikian seseorang yang akan melakukan
sebuah tindak pidana anak telah mengetahui jenis sanksi yang akan ia terima.
Oleh sebab itu, ketika seseorang tetap nekat melakukan tindak pidana
diasumsikan bahwa pada dasarnya ia telah mengetahui sanksi hukum yang akan
diterima.
2).
Pengertian kias dalam hukum pidana Islam
Kias merupakan penggunaan ra'yu atau akal untuk
menggali hukum syara di dalam Alquran dan Sunnah yang tidak dijabarkan secara
terperinci pada dasarnya ada dua macam penggunaan ra'yu yaitu merujuk kepada
Nas dan tidak merujuk kepada nash.
3). Kedudukan qiyas sebagai sumber hukum
Tidak
ada petunjuk yang menyatakan secara pasti bahwa qiyas dapat dijadikan dalil
syara untuk menetapkan hukum Selain itu tidak ada petunjuk pula yang
membolehkan mujtahid untuk menetapkan hukum syara di luar apa yang telah
ditetapkan oleh Nash Oleh karena itu terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan
qiyas sebagai dalil hukum syara.
a. Kelompok
jumhur ulama yang menjadikan kias
sebagai dalil syara mereka menggunakan kias untuk hal-hal yang tidak
terdapat hukumnya di dalam Alquran Hadis dan ijtihad mereka menggunakan kias
secara wajar dan tidak berlebihan.
b. Kelompok
ulama zhahiriyah dan Syiah imamiyah yang menolak penggunaan ke secara mutlak
ulama zhahiriyah juga menolak penemuan illah atas suatu hukum dan menganggap
tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara.
c. Kelompok yang menggunakan kias secara luas dan mudah mereka menggabungkan dua hal yang terlihat tidak memiliki kesamaan illah sehingga qiyas dapat membatasi keumuman sebagai ayat Alquran atau sunnah.
C . Ruang lingkup hukum
pidana Islam
Ruang lingkup hukum pidana Islam
meliputi pencurian, perzinaan, termasuk
juga lesbian, menuduh orang yang
baik-baik berbuat zina, minum minum, mabuk-mabukan membunuh atau melukai
seseorang, pencurian, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan
kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan.[4]
Hukum kepidanaan dimaksud disebut
jarimah, jarimah terbagi dua yaitu:
1. jarimah
hudud
Berasal
dari bahasa arab yaitu jamak dari kata had .Had secara harfiah
ada kemungkinan arti antara lain batasan atau definisi, siksaan, ketentuan atau
hukum. Had pembahasan fiqih adalah ketentuan tentang sanksi terhadap
pelaku kejahatan, berupa siksaan fisik atau moral, sedangkan menurut syariat
Islam, yaitu ketentuan Allah yang terdapat di dalam Alquran, atau kenyataan
yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Tindak kejahatan dimaksud baik dilakukan
oleh seseorang atau kelompok sengaja atau tidak sengaja dalam istilah fiqih
disebut dengan jarimah. Jarimah hudud adalah tindak kejahatan yang dilakukan
oleh seseorang atau lebih seorang yang menjadikan pelakunya dikenakan sanksi.
Jenis-jenis
sanksi yang terdapat di dalam syariat Islam yaitu rajam jilid atau Dera atau
potong tangan, penjara seumur hidup eksekusi bunuh pengasingan. Adapun jarimah
yaitu delik pidana yang pelakunya diancam sanksi yaitu, perbuatan zina, penuduh
zina, pencurian, penodongan, perampokan, teroris,minum-minuman dan obat-obat
terlarang pemberontakan dan beralih atau pindah agama.
2. jarimah
ta'zir
Jarimah ta'zir secara harfiah
bermakna memuliakan atau menolong namun ta'zir dalam pengertian istilah hukum
Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik yang tidak mengharuskan pelakunya
dikenai sanksi dan tidak pula harus membayar kaffarah atau diat. Tindak pidana
yang dikelompokkan menjadi objek pembahasan ta'zir adalah tindak pidana ringan
seperti pelanggaran seksual yang tidak termasuk zina, tuduhan berbuat kejahatan
Selain jina, pencurian yang nilainya tidak sampai satu nisab harta.
Jenis hukuman yang termasuk jarimah
ta'zir antara lain, hukuman penjara, pemecatan, ganti rugi, pukulan, teguran
dengan kata-kata dan jenis hukuman lain yang dipandang sesuai dengan
pelanggaran dari pelakunya. Dalam hukum Islam Jenis hukum yang berkaitan dengan
hukum ta'zir diserahkan sepenuhnya kepada kesepakatan manusia menurut Imam Abu
Hanifah. Pelanggaran ringan yang dilakukan oleh seseorang berulang kali dapat
dilakukan atau dapat dijatuhi hukuman mati oleh Hakim misalnya, pencuri yang
dimasukkan Lembaga Pemasyarakatan, lalu masih mengulangi untuk mencuri ketika
ia sudah dikenai sanksi hukuman penjara, Hakim berwenang menjatuhkan hukuman
mati kepadanya.
Keputusan mengenai sanksi hukum dan
pihak yang diberi kewenangan untuk menetapkan jenis hukuman dan pelaksanaan ta'zir
adalah pihak pemerintah kecuali guru dalam rangka mendidik murid-muridnya,
orang tua dalam rangka mendidik anaknya, suami dalam rangka mendidik istrinya.
Ketentuan dimaksud, perbuatan yang dilakukan oleh guru, orang tua, suami, Hakim,
sebatas sesuai dengan kepatutan dan bersifat upaya mendidik bukan sengaja untuk
menyakiti atau mencederai.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari
uraian pembahasan karya ilmiah ini maka penulis menyimpulkan materi kali ini
yaitu sumber hukum pidana islam itu adalah datang dari Allah swt yang menjadi
sumber hukum islam yang utama dan dilengkapi denga sunnah yang menjadi sumber
hukum islam yang kedua yang mana kedua hukum, tersebut menjadi pegagan umat
islam sampai saat ini dalam memutuskan suatu perkara, teriring dari itu setelah
wafatnya nabi Muhammad SAW maka muncul
permasalahan baru yang tidak ada pada masa nabi, sehingga para ulama yang
terpercaya melakukan yang namanya AR-Ra’yu yang artinya penalaran yang menjadi
dasar dalam pemikiran para ulama itu adalah al-quran dan sunnah nabi Muhammad
saw, yang mana kita sebagai ummat agama islam harus mematuhi dan mengikuti
ulama kita atau ulil amri.
B. SARAN
Dalam
penulisan karya ilmiah ini penulis yakin masih banyak hal yang harus
diperbaiki, baik dari susunan materi,materi yang masih sedikit hingga penulisan
yang tidak sesuai dengan standar penulisan karya ilmiah. Untuk itu penulis
ingin mengharapakn masukan dan kritikan dari pembaca untuk membangun karya
ilmiah ini menjadi lebih baik kedepannya dan dapat berguna bagi masyarakat luas
terutama untuk pembaca karya ilmiah ini amin amin yarabbal alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, panji. 2019 Hukum islam, Jakarta: Sinar Grafika
Ali, zainuddin.2012
Hukum pidana islam, Jakarta: Sinar
Grafika
Irfan, m nurul.
2016 Hukum pidana islam, Jakarta:
Amzah
Marsaid. 2020 AL-Fiqh AL-Jinayyah, Palembang:
CV.Amanah
[1]Zainuddin ali,Hukum Pidana islam,(Jakarta:
Sinar Grafika,2012), hlm. 3.
[2] M.Nurul Irfan,Hukum Pidana Islam, (Jakarta:AMZAH 2016),hlm,138.
[3] Panji Adam, Hukum Islam dalam konsep filosofi dan Metodologi,(Jakarta
: Sinar Grafika 2019),hlm,382.
[4] Mursaid,AL-Fiqh Al-Jinayah,(Palembang:CV Amanah 2020),hlm, 45.
Komentar
Posting Komentar