MAKAKLAH SISTEM KENEGARAAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
MAKALAH SISTEM KENEGARAAN ISLAM PADA MASA RASULULLAH SAW
By: Wati, Dkk.
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Eksistensi Madinah sebagai kekuatan
ekonomi, agama, dan politik, dan perpaduan antara keragaman ideologi adalah
satu tradisi baru dalam peradaban manusia yang sebelumnya tidak ada dan tidak
dikenal, apalagi dalam konteks kebudayaan bangsa Arab. Kelahiran pemerintahan
Islam Madinah di jazirah Arab telah membawa revolusi rohani (mental) dan
pemikiran yang memproyeksikan pembangunan tata dunia baru yang dipijakkan pada
kekuatan moral dan ditumpukan pada kekuatan agama dalam membentuk etika baru di
mana kekuasaan dipandu oleh akhlak, persamaan, dan saling menghormati yang
begitu mendalam. Madinah dengan caranya sendiri telah berusaha dan menjelma
menjadi negara baru yang dihuni oleh penduduk egaliter yang semangat, spirit
perjuangan dan cita-citanya masih terasa sampai sekarang.
Tulisan berikut dipijakkan pada
konstruksi pemikiran dan usaha intelektual dalam kerangka perbincangan seputar
politik pemerintahan negara Islam dari penyerapan pemahaman prinsip-prinsip dan
nilai-nilai politik sebagai dasar pemerintahan Madinah. Tentu saja pembahasan
ini akan merangkumi undang-undang, ketatanegaraan, diplomasi, akidah, syariah,
dan hukum. Melalui realitas historis, akan dieksplorasi dasar-dasar kekuatan
dan pengaruh dakwah Islam yang kemudian melahirkan peradaban yang kelak menjadi
rujukan dunia dalam pendirian negara modern dan perhargaan terhadap hak asasi
manusia. Sebagai mercusuar bagi dunia, tata kelola pemerintahan Madinah yang
dibangun di atas prinsip moral, akidah, dan ilmu, akan menampakkan keaslian
karakter agama Islam yang rahmatan lil ‘ālamīn dan penuh dengan ajaran tasāmuh,
tawassuṭ, dan i’tidal.
BAB II PEMBAHASAN
A. Politik Pemerintahan Islam
Dalam konteks politik dan
kekuasaan, Islam selalu menekankan pentingnya kesadaran kolektif bahwa kekuasaan
tertinggi atau puncak segala kekuasaan dan politik adalah “siyāsah ilāhiyyah
wa inābah nabawiyyah” yang menunggalkan otoritas kekuasaan hanya pada Allah
Swt.[1] Dalam bahasa Maududi, pandangan ini selaras
dengan politik keadilan (siyāsah ‘adilah) yang memberikan napas kepada
pemerintahan Islam dari zaman Nabi sampai sekarang.[2]
Negara Islam Madinah memiliki
mata-rantai pertautan dengan cita-cita perjuangan yang melatari perjuangan Nabi
Saw dan para sahabatnya yang memperjuangkan idealisme dan cita-cita murni untuk
melahirkan suatu masyarakat hamba Tuhan yang insaf akan peranan khalifah.
Gerakan dan kekuatan luar biasa ini hanya bisa dicetuskan oleh pandangan Nabi
yang futuristik untuk membangun budaya dan peradaban baru yang mencerahkan dan
inspiratif. Pemerintahan Islam yang mengakomodasi semua sistem dan model
pemerintahan mulai dari kekhalifahan, dinasti, monarki, dan kesultanan, menjadi
tonggak kekuatan yang menggaungkan peranan agama dan nilai-nilai moral secara
global. Era pemerintahan Madinah sebagai hasil perjuangan Nabi, sahabat,
tabiin, dan generasi setelahnya, telah memberikan kontribusi dan manfaat yang
tidak sedikit kepada peradaban dunia, yang terbukti berhasil melahirkan para
kader dakwah militan yang nyaris sempurna akhlak dan akal budinya untuk memikul
tanggung jawab sebagai pewaris zaman. Kedatangan Islam telah membawa atmosfer
rohani dan pemikiran yang menggerakkan transformasi sosial dan mengarahkan
kebangkitan dan kesadaran untuk memperteguh hak dan martabat kemanusiaan.[3]
Sistem pemerintahan yang dibangun
oleh Nabi Saw berakar pada konsep “al-mujtama’ al-madani” yang bermuara
pada sistem nilai yang dikaitkan kepada tradisi “al-hanifiyyah al-samhah” sebagai
tujuan siyasah syar’iyyah yang meletakkan dasar-dasar politik Islam
sebagai risalah universal. Pemerintahan Nabi Saw melahirkan perspektif global
untuk memupuk kesepahaman di kalangan elite dan rakyat dalam bentuk tindakan
bersama atas dasar muafakat yang memperhitungkan aspek moral dan
prinsip-prinsip hidup yang mulia dan bermartabat. Pembangunan dasar-dasar
politik pemerintahan Nabawi ini menyediakan ruang luas bagi transformasi
peradaban yang bersendikan ilmu dan pemikiran. Madinah dibangun di atas sebuah
konsorsium budaya Islam- Yahudi-Nasrani-Paganis, dan menjamin kebebasan beragama
serta memberi kesempatan kepada rakyat untuk memupuk hubungan internasional.
Hal mendasar yang menjadi poros
perbincangan dalam politik pemerintahan Islam adalah konsep syura, prinsip
amar ma’ruf nahi-munkar, pembentukan ahl al-hall wa al-‘aqd, maṣlahah,
dan dasar imāmah. Para ulama dan pemikir Islam telah mengemukakan
pandangan yang ideal dan gagasan besar dalam pemikiran siyāsah atau
politik pemerintahan Islam seperti al-Mawardi (w 450 H) dalam “al-ahkām
al-sulṭāniyyah wa al-wilāyah al-diniyyah”. Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam
“nasihat al-muluk”, Ibn Taimiyyah (w 728 H) dalam “al-siyāsah
al-syar`iyyah fi iṣlah al-ra`i wa al-ra`iyyah”, Ibn Qayyim al-Jawziyyah
dalam “al-ṭuruq al-hukmiyyah fi al-siyāsah al-syar`iyyah”, Ibn Khaldun
(w 808 H) dalam “al-muqaddimah”.
Dalam konteks eksistensi
pemerintahan Madinah jika dikaitkan dengan kekuatan sosiopolitik, perspektif
global dalam memanusiakan manusia dan membangun sumber dayanya dengan landasan
iman, ilmu, dan hikmah adalah tradisi tarbiyyah yang menjamin kesejukan
bagi semua lapisan masyarakat. Nabi Saw telah meletakkan fondasi yang
mengokohkan penghayatan Islam sebagai sistem hidup yang menyeluruh (al-dīn) yang
merangkumi bidang kemasyarakatan, ekonomi, politik, pendidikan, dan kenegaraan.[4]
Secara sederhana, dari awal pembentukan negara, Nabi telah memikirkan dan merancang fasilitas penggemblengan sumber daya manusia dan pembelajaran publik, semisal sistem halaqah di masjid, kuttab, untuk mengajak masyarakat membaca dan menulis. Di situlah berkumpul ulama dengan berbagai agenda diskusi pemikiran, musyawarah, dan pendidikan umat. Kekuatan ini senantiasa konsisten untuk memulai gerakan perubahan dan mempertahankan prinsip akidah, moral, dan akhlak. Tentu saja semuanya dibingkai dalam frame solidaritas untuk pembangunan bangsa dan negara, dalam atmosfer keragaman, pluralitas, dan kebebasan beragama[5]
B. Madinah sebagai Oase Politik
Sejatinya, Islam yang pertamakali
mengenalkan kepada dunia cita-cita keadilan sosial dan pembentukan masyarakat madani
yang demokratis. Hal ini dibuktikan dengan redupnya emperium Romawi dan
kekaisaran Persia, yang berbasis pada materialisme dan hedonisme, ditengah
nyala obor idealisme Islam. Pemikiran Islam diarahkan pada pembentukan sistem
politik yang merangkul dimensi dunia-akhirat yang dari rahimnya lahir sumber
daya manusia yang sanggup memimpin dunia. Sebagai contoh, pribadi-pribadi agung
di sekeliling Nabi Saw semisal Abu Bakar, Umar, dan Usman, belum pernah
tercatat dalam sejarah sebagai panglima perang. Walaupun mereka mampu, tapi
mereka tidak disiapkan oleh Nabi untuk jabatan itu, tapi mereka disiapkan untuk
memimpin dunia. Mereka lahir dari sistem
yang menyiapkan mereka menjadi khalifah dunia, yang menginspirasi generasi
mendatang dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam dunia manajemen dan
pendidikan.
Sejak awal penamaannya, yang dulunya bernama Yastrib, kemudian diganti oleh Nabi Saw dengan nama “madinah”, yang secara semantik berarti kota, peradaban, dan tempat agama. Madinah menjelma menjadi simbol dan ikon kekuatan Islam. Tradisi keilmuan dan konsistensi kebaikan yang simultan, membuat keutuhan komunitas dan sistem yang terbangun di dalamnya berjalan dengan terarah dan berkesinambungan. Madinah menjadi benteng utama pertahanan Islam dalam menghadapi ancaman kekuasaan besar dunia, Romawi dan Persia. Walaupun dalam perjalanannya, Madinah terus diganggu, terutama oleh elite kaum Quraisy Makkah dan kaum munafik, namun berkat keistikamahan Nabi Saw dan para sahabatnya dalam mendidik bangsa, Madinah terus melaju menjadi negara modern yang melampaui zamannya. Madinah membuktikan kematangan perjuangan melawan hegemoni kezaliman elite Makkah. Impian politik baru sebagai kekuatan negara, dicapai dengan prinsip keadilan, kesetiakawanan, dan kegigihan yang berpihak pada rakyat. Madinah muncul menjadi negara sederhana yang memilih aspek terbaik (jalan tengah) antara Arab jahiliyah dan ideologi penyembah api dan bintang.
C. Kodifikasi Kekuatan Umat
Dalam waktu dua puluh tiga tahun, Madinah telah kokoh dengan tiang-tiang penyangga konstruksi kenegaraan yang mantap. Kesatuan dan kekuatan umat baru memerlukan kebijakan dan sistem yang berkelanjutan, membutuhkan tata kelola yang baik dan benar. Pemerintah yang diamanahkan menjayakan sistem generasi itu terikat dengan prinsip perjuangan yang murni untuk mengangkat harkat dan martabat agama dan memelihara semangat keumatan dalam batas-batas moral sehingga terwujud sifat menghormati kebebasan individu dan hak beragama dengan tuntunan Islam. Keteladanan yang ditunjukan oleh Nabi Saw membawa angin perubahan dan udara yang nyaman bagi kebebasan dalam tradisi nabawi yang mengikat kepribadian manusia dengan panduan yang harmonis antara ilmu, iman, dan akhlak. Konstruksi tata kelola pemerintahan itu adalah sebagai berikut:
1. Sistem Mu’akhah, Masjid, dan Piagam Madinah
Nabi Saw mengajarkan dan
mengaplikasikan persaudaraan (mu’akhah) internal antara kaum Muhajirin
dan kaum Anshar untuk kejayaan dan kemakmuran bersama dengan pijakan
agama. Islam menuntut adanya ketetapan baru dalam perjanjian persaudaraan yang
mengharuskan pewarisan dalam tradisi persaudaraan yang baik untuk mengukuhkan
dasar-dasar ekonomi, terutama golongan masyarakat yang tertindas. Sistem ini
kemudian menjadi gelombang budaya yang menonjolkan tanggung jawab sosial bagi
semua kalangan sebagai pembela kebenaran dan keadilan, dan penyelamat umat
sebagai “angkatan baru” Islam.
Areal persaudaraan lalu diperluas
dengan penyertaan masyarakat umum untuk menjayakan cita-cita kehidupan yang
lebih tinggi dan bekerjasama untuk mendapatkan keamanan, stabilitas, kebebasan,
dan pertumbuhan ekonomi. Kekuatan ini mencetuskan kesan yang bermakna dalam
pembangunan peradaban umat, utamanya jalinan persaudaraan yang bertaut serasi
antara kaum Muhajirin dan Anshar sebagai penduduk Madinah. Dalam praktiknya,
Nabi Saw mempersaudarakan Jakfar bin Abi Thalib dengan Mu’azd bin Jabal, Hamzah
bin Abdil Mutthalib dengan Zaid bin Haritsah, Abdurrahman bin Auf dengan Sa’ad
bin Rabi’, dan Nabi sendiri menyaudarakan dirinya dengan Ali bin Abi Thalib,
dan seterusnya, dan seterusnya.
Sebagai kelanjutan dari
“pembibitan” peradaban Islam dengan benteng keimanan sebagai kubu pertahanan
yang kuat dari serangan materialisme dan hedonisme, yang oleh Nabi Saw dianggap
sebagai bentuk pelecehan politik dan ekonomi, kemudian Nabi Saw mengarahkan
pendekatan konstuktif penerapan risalah dan dakwah secara integral dengan
menginfakkan dana untuk pembangunan masjid.
Ketika berada di Quba’, dalam
perjalanan hijrahnya ke Madinah, Nabi telah merintis usaha pertama mendirikan
masjid terawal dalam sejarah, dan peristiwa hijrah kemudian menjadi saksi
pembangunan masjid “Nabawi” sebagai lambang destinasi politik yang berkarakter
dan beradab, dengan model negara (Islam) pertama yang menghomati harkat
manusia, kebebasan, sistem hukum, dan keadilan.
Masjid sebagai instrumen dan
institusi negara yang sangat penting terus dikawal dengan baik untuk memastikan
konstruksi kenegaraan bagi semua lapisan umat. Sementara negara “baru” Islam
ini memperkokoh agenda pembangunan sosialnya, institusi masjid terus
menciptakan kemakmuran dengan mengurus dan mengendalikan bantuan-bantuan untuk
fakir-miskin, perlindungan anak yatim, janda, remaja, dan golongan kurang
mampu. Masjid sebagai benteng moral dan keutuhan masyarakat terus diperbaiki,
diperluas, dan digunakan sebagaimana mestinya untuk memberi pengarahan dalam
pembangunan masyarakat dan pendorong keadilan dan kestabilan. Masjid yang
bertunjangkan konsep “ilahiah” diperluas fungsinya dalam bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya, dan menjadi saksi sejarah pelbagai peristiwa
penting. Bahkan digunakan sebagai “hall” untuk menerima delegasi luar negeri
dan tamu negara. Berbagai langkah ditempuh untuk mendorong institusi masjid
meningkatkan daya saingnya, termasuk menjadikannya pusat informasi, pusat
strategi pembinaan pemuda dan wanita dalam segala bidang pentaksiran hasil
pertanian dan “baitul mal”, aktivitas keilmuan, markas tentara, pusat
kesehatan, serta dakwah.
Realitas tersebut kemudian
menjadikan Madinah sebagai perbincangan dunia, terutama bagaimana negara ini
diurus dengan sistem dan tata kelola baru yang sama sekali belum dikenal
sebelumnya. Madinah muncul sebagai “pemain” tatanan baru politik dunia, yang
mempersembahkan struktur kekuasaan dan manajemen pemerintahan Islam yang
melampaui zamannya. Negara ini memikirkan cita-cita yang lebih besar dari
sekadar hubungan luar negeri, tapi pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial.
Madinah telah melahirkan peradaban yang menyumbang kebangkitan dalam
menciptakan kemakmuran, membumikan spirit jihad, dan memberdayakan rakyat
dengan moralitas dan kemurnian nilai-nilai Islam.
Piagam Madinah mencakup urusan ibadah, kebijakan, dan toleransi, dan melahirkan lambang kedaulatan Negara Madinah dan kekuasaan serta kematangan pemerintahan. Urgensi piagam ini terlihat dalam pelembagaan keadilan sebagai media politik pemerintahan Islam yang menampilkan gabungan tersendiri dengan kaum Yahudi dan Nasrani untuk menggerakkan usaha-usaha peningkatan kualitas hidup, memelihara warisan agama dan memajukan kebudayaan bangsa. Semua itu bertujuan untuk memerdekakan martabat rakyat dan memberi jaminan kebebasan bersuara dan beragama; serta penetapan sistem kehakiman yang adil dan bebas dari kezaliman. Piagam itu dibuat untuk menetapkan sendi utama negara dan untuk mengumumkan kedaulatan muruah Islam di mata dunia.
2. Manajemen Pemerintahan
Dasar politik pemerintahan Madinah
yang berpijak pada agama dan tradisi telah mewujudkan keseimbangan dalam
manajemen dan transformasi sosial secara berkesinambungan dalam memperjuangkan
cara hidup dan pandangan Islam. Pelan tapi pasti, Madinah dapat berperan dan
menyejajarkan dirinya dengan berkesan di arena internasional. Bentuk
pemerintahannya yang berbasis wahyu (agama) menjadi model percontohan. Melalui
wadah negara model inilah, umat Islam memperoleh ruang untuk berinteraksi
dengan dunia luar. Jalinan baik dengan negara tetangga berdasarkan prinsip
keadilan dan saling menghormati membantu proses pengukuhan legitimasi negara
ini.
Rancangan pemerintahan Madinah dalam menghadapi dunia luar memerlukan peralihan strategi tertentu bagi kemajuan manajemen pemerintahan. Piagam Madinah kemudian menjadi acuan legislasi dalam keragaman budaya dan agama. Melalui wadah inilah, terbina daya dan kekuatan untuk membangun negara Islam yang mendukung cita-cita perpaduan dan memelihara keadilan secara kolektif. Hal ini menunjukkan keseimbangan tujuan pendirian negara dan strategi yang digunakan.
a) Tata kelola pemerintahan pusat
Pemerintahan negara Madinah telah
membentuk satu susunan karta politik yang sempurna dengan perpaduan nilai
kearifan lokal dan ajaran Islam. Sistem ini mengekalkan hubungan instrumen
negara yang satu dengan yang lain, dalam satu pemerintahan dengan pengakuan
hak-hak negara bagian (provinsi) dan wilayah pendudukan (futuhat).
Hubungan dengan pemerintahan pusat terus ditingkatkan untuk memperkuat sistem
sosial dan menjamin pembagian kekuasaan yang adil. Kebijakan yang melibatkan
kepentingan wilayah akan dirujuk melalui kesepakatan bersama. Isu- isu yang
menyentuh kepentingan pusat dan daerah diawasi untuk menjaga kesenjangan dan
stabilitas nasional. Nabi Saw sebagai kepala negara bertanggung jawab penuh
melantik dan mengangkat dewan penasihat (mustasyar),sekretaris (kātib)
staf khusus, ajudan, (rusul), juru bicara, staf ahli (syu’arā dan
kutabā’), gubernur, kepala daerah, dan pejabat umum (wali), manajer
lokal atau pejabat sipil (ru’asā’), pengawas (nākib),hakim dan
jaksa (quḍāt), dan pejabat serta petugas pasar dan keuangan (ṣāhib
al-sūq). Setiap lembaga negara yang bertugas mengurusi rakyat bertanggung
jawab penuh kepada kepala negara dan diawasi oleh badan pengawas khusus yang
tergabung dalam majlis nuqabā’. Struktur kekuasaan juga dibagi dalam
perwakilan, dalam situasi mendesak dan darurat, Nabi akan melantik pejabat
khusus, tentunya setelah melalui musyawarah dengan dewan penasihat.
Negara Madinah Juga membentuk “departemen” yang membidangi administrasi pemerintah (diwānal-Insya’), yang bertugas dalam penulisan dokumen politik, wahyu, undang-undang keselamatan, dokumen negara, perjanjian, pengutusan wakil keamanan, pelaksanaan institusi diplomatik (sifarah), sistem risalah, terjemahan bahasa asing untuk tujuan dakwah dan hubungan bilateral, perlindungan keamanan dalam masa perang dan perdamaian.
b) Pemerintahan wilayah
Kebijakan futuhāt sebagai
imbas kewajiban dakwah, membuka implikasi baru instrumen sistem kewilayahan imārah
atau provinsi yang setiap waktu semakin luas jangkauan kekuasannya.
Manajemen pemerintahan daerah yang sepenuhnya tunduk pada pemerintahan pusat
menuntut adanya kewibawaan dan kebijaksanaan dalam struktur SDM pejabat
pemerintahan nabawi yang baru berjalan. Implementasi nilai-nilai Islam yang
disebutkan di atas dapat terlaksana dengan baik karena negara ini terus
berekspansi dan melaksanakan kewajiban dakwahnya dengan konsisten dan terarah.
Hubungan luar negeri senantiasa dijaga dengan baik, terbukti datangnya berbagai
wufud atau delegasi berbagai negara, kabilah, dan komunitas untuk
bergabung dan menyatakan tunduk pada pemerintahan ini. Kepentingn wilayah dalam
struktur sosial politik Madinah telah diproyeksikan dalam bidang kerja sama
untuk meningkatkan ekonomi dalam iklim politik yang menggalakkan implementasi
syariah yang lebih luas. Nabi Saw membuat beberapa perjanjian damai dengan pelbagai
suku di luar Madinah di wilayah utara dan selatan dalam rangka meningkatkan
kerja sama dan hubungan di atas prinsip kebenaran dan keadilan.
Beberapa regulasi dalam pembagian kekuasaan ini adalah mandat bagi pemerintah daerah untuk bekerja penuh waktu atas nama pemerintah pusat dalam kebijakan dan tindakan. Oleh karena itu, diangkat tokoh-tokh lokal, ulama, dan pemuka kabilah sebagai pejabat yang akan menyampaikan aspirasi rakyat. Mereka bertanggung jawab mewujudkan hisbah sebagai sebuah wadah bebas yang memungut zakat dan melindungi hak kewarganegaraan rakyat Madinah mengikuti prinsip-prinsip atau asas sistem pemerintahan wilayah. Mereka turut memikul amanah menjaga perbatasan negara Madinah yang merentang dari pantai Laut Merah di barat sampai Teluk Persia di timur. Para gubernur memastikan reformasi menyeluruh berlaku di semua wilayah, dan kekuasaan kehakiman mengukuhkan misi keamanan dan menyusun struktur kabilah, menjaga hubungan bilateral, memutus sengketa, memungut jizyah, dan menaksir perolehan zakat.
c) Manajemen Keagamaan
Pemerintahan negara Madinah
memberikan ruang seluas mungkin bagi rancangan dan program yang bertujuan untuk
menyiarkan syiar agama. Insentif dan reward yang tinggi diberikan kepada
pendidik dan ulama untuk meneruskan usaha-usaha pendidikan agama menjamin
kelangsungan pendidikan di peringkat anak-anak dan dewasa dengan mengakui dan
mengangkat mereka sebagai pembentuk generasi. Mutu pendidikan terus diperbaiki
dengan mengangkat guru-guru dan juru dakwah dalam setiap kabilah untuk
melancarkan reformasi ilmu dan membuat inovasi dalam bidang masing-masing.
Institusi masjid digerakkan untuk merangsang intelektualisme dan menjamin peluang kepada penduduk akses pendidikan. Nabi Saw membangun “pesantren” pertama dalam Islam yang kemudian dikenal dengan sebutan aṣhāb al-ṣuffah atau ahluṣ ṣuffah untuk mendalami agama di masjid dan mengutus guru-guru agama untuk mengajar kaum bangsawan di Bahrain dan Oman sebagai muqri’ dan mu’allim yang mengarahkan penghayatan Islam dan tafaqquh fi al-din. Para muazzin dan imam diletakkan dalam urutan pegawai teras yang memperteguh kejayaan implementasi syariat Islam. Dengan strategi pengukuhan dan pelantikan mufti, pengurus jemaah haji (amir al-hajj), penjaga kakbah, pemegang tugas siyāqah (kelola air dan air zamzam ), penjaga tanah haram, petugas hadyi (binatang sembelihan), dan para deklarator pengumuman penting dari negara.
d) Manajemen Keuangan (finansial)
Tata kelola ekonomi dan keuangan
yang berlandasan etika Islam memastikan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan
berdaya saing. Prinsip transparansi dan akuntabilitas akan mengangkat kemajuan
ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara, sekaligus memajukan pelayanan
finansial regional dan internasional. Untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan
memperluas jaringan investasi, Madinah merencanakan langkah keuangan yang jitu
untuk mendorong usaha rakyat (sektor riil) dalam bidang pertanian dan
perdagangan serta menggerakkan kemampuan mereka menjadi masyarakat maju yang
menguasi ekonomi dan penghayatan Islam sebagai sistem hidup yang menyeluruh.
Terbukti kemudian, lahir konglomerat-konglomerat tangguh semisal Usman bin
Affan dan Abdurrahman bin Auf dengan tujuan untuk menjadikan Madinah sebagai
pusat perdagangan Islam internasional di Semenanjung Arab, dan dibangun
pasar-pasar untuk merangsang kewirausahaan sebagai salah satu pemicu
pertumbuhan ekonomi.
Masyarakat Madinah yang kemudian menjadi “citizen” yang lahir dari sistem politik baru, masyarakat kosmo yang melebur dari spirit Muhajirin yang mayoritas pedagang, dan Anshar yang mayoritas petani, sudah cukup untuk mengenal konsep ekonomi dan paham bahwa sumber pendapatan negara perlu senantiasa ditingkatkan untuk memperkuat daya tahan dan daya saing ekonomi dalam menghadang tantangan global dan regional. Sistem keuangan negara Islam menampilkan corak perdagangan dan investasi semua lini merangsang pertumbuhan dan mendorong peningkatan belanja dalam negeri dan pencapaian tahap kematangan ekonomi yang lebih meyakinkan. Kerja sama regional dan internasional yang menguatkan daya tahan dan kekuatan ekonomi negara yang menyumbang sumber pendapatan baitulmal berupa infak, sadaqah, rampasan perang, tanah, pungutan jizyah, beacukai, dan pendapatan dari hasil pengawasan wilayah. Pelibatan para ahli sebagai perancang ekonomi juga diwujudkan untuk memastikan dasar keuangan dan fiskal. Reformasi keuangan juga dikemas dalam pengurusan sistem logistik dengan menyediakan kawasan tanah lahan baru dan usaha revitalisasi pertanian.
e) Strategi Militer
Untuk melanggengkan kekuasaan yang
memberikan kemakmuran dan menjanjikan masa depan yang cemerlang bagi eksistensi
sebuah negara agama secara berkesinambungan, memerlukan corak hubungan dan
pertalian politik yang kental. Hubungan dengan berbagai kabilah, komunitas, dan
entitas lain telah menyumbang konsesi dan apresiasi ke arah hubungan yang lebih
erat dan kokoh utamanya untuk daya tahan negara dalam memupuk hubungan global
yang lebih menjanjikan stabilitas. Reformasi model pemerintahan pada akhirnya
juga mesti diarahkan pada kebijakan militer untuk menciptakan angkatan perang
yang terlatih, maju, dan disegani lawan.
Formasi angkatan perang atau
tentara Islam meniscayakan pembentukan pasukan pejuang yang konstruktif dengan
penerapan sistem pertahanan pelbagai lini dari panglima angkatan perang (umarā’al-saraya),
pasukan khusus dan kesatuan garda terlatih (‘arz), pengurusan senjata
(alat perang) dan angkutan perang atau kuda (aṣhāb al-silah wa al-fars),
angkatan sayap (umarā’al-khamis), pengawal dan penjaga malam (haras),
pembawa bendera dan panji-panji (aṣhāb al-awiyah wa al-rayat), pasukan
peninjau yang mampu menginviltrasi (tali’ah), pasukan pengintip (‘uyun),
pemandu arah (dalil), pegawai urusan rampasan dan tawanan perang, dan
pengawal pribadi.25
Angkatan laut juga turut mendapat
perhatian, dan turut menyumbang tegaknya negara hukum di rantau Afrika di bawah
pimpinan ‘Alqamah bin Mujazzi yang mewakafkan dirinya untuk perjuangan Islam
bersama tiga ratus orang pejuang lain yang menyeberang ke selatan di Ṣu’abah
dan memberantas habis kezaliman tentara Habasyah (Etiopia) yang
membuat kekacauan di sana. Mereka menaiki marākib (perahu) dari pantai
Jeddah, dan menyeberang ke Pulau Tengah di Laut Merah dan mengikrarkan
perjuangan membawa perubahan secara aman dan menerapkan risalah dengan jalan
dakwah dan damai.
Sementara hak
keistimewaan para pejuang Islam dipertahankan, namun pelaksanaannya dirombak
dan dievaluasi kembali untuk menjamin peluang dan kesempatan kepada banyak
orang untuk menggalakkan keikutsertaan rakyat di segenap lapisan demi menjaga
kualitas atau mutu pertahanan rakyat dan negara serta memberdayakan kehidupan.
Madinah lalu bergelimang dengan kebebasan, keamanan, keadilan, dan keterampilan
politik dengan pertumbuhan ekonomi yang mantap dan kehebatan mengatur prinsip
dan dasar-dasar politik, memperlengkap kekuatan bersenjata, dengan ketinggian
moral agama yang kokoh dan menjadi kekuatan raksasa yang kemudian berkembang
sedemikian hebat dan cukup cepat dalam sejarah peradaban manusia.
BAB III
Penutup
Destinasi terakhir atau terminal
politik pemerintahan negara Madinah adalah untuk menampilkan Islam sebagai
wadah perjuangan dengan dasar pemerintahan yang berusaha menjamin prinsip
kejujuran dan kebebasan yang bertanggung jawab dalam rangka pembangunan manusia
seutuhnya, memacu pertumbuhan ekonomi dan politik yang lebih rancak di
Semenanjung Arab dan dunia secara umum, dengan prinsip pembangunan yang
memuliakan derajat manusia dan mendorong keadilan bagi seluruh rakyat. Semuanya
telah membuahkan hasil yang hebat dan cepat. Dengan keterampilan merangkai
pembangunan berimbang, dan konsep belanja hemat untuk kepentingan rakyat,
Madinah berkeyakinan untuk mengangkat mutu kehidupan dengan falsafah serta
perancangan yang teratur. Pembangunan yang menyeluruh dan integral berpadu
dengan nilai-nilai moral universal melalui penekanan agama sebagai pemantik
utama bagi proses tarbiyah dan penyemaian spirit dan ruh perjuangan
untuk menjamin kedamaian hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Topik ini menampilkan suatu
jangkauan atau dimensi yang berhubungan erat dengan politik Islam secara khusus
dan kepentingan umat secara umum dalam rangka menggerakkan pembaruan dan islāh
(reformasi) dalam bingkai politik keumatan (siyāsah al-ummah). Cakupan
ini menyentuh idealisme perjuangan yang tuntas, yang mengikat hubungan sosial
dan agama dengan perencanaan politik yang kokoh dan ideal. Mengedepankan
program dan strategi politik yang baru untuk mewujudkan harapan “baru” ke arah
manfaat ekonomi dan politik, dalam rangka meningkatkan upaya penciptaan
peradaban luhur yang berkesinambungan. Dasar politik dan kerangka hukum yang
diterapkan di negara-negara Islam, dalam perspektif ini, mesti ditinjau ulang
dan digarap dengan serius agar selaras dengan tuntunan syariat bagi kebaikan
dan kemaslahatan umat.
Terjadinya berbagai krisis sosial budaya yang parah dalam masyarakat modern dengan kegagalan, ketimpangan, dan kepincangan yang terjadi dalam sistem politik liberal dan sekuler, yang menihilkan dan meminggirkan nilai agama, mestinya memberikan stimulus pada pemikiran konprehensif tentang persoalan-persoalan politik di abad ini. Pendeknya, adalah sebuah keniscayaan untuk menjadikan agama dan moral bagi kerja-kerja politik pada masa depan untuk memastikan peranan dan sumbangan agama dalam pembentukan kesatuan umat. Kesatuan umat yang “bersatu” dan bersinergi agar memenuhi kriteria khaira ummah untuk mengangkat syiar Islam dengan menggunakan seluruh kekuatan politik untuk memperbaiki kualitas kehidupan yang memberdayakan agama dan tradisi.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Gulzar (1986), The Battles of the Prophet of Allah, Lahore: Islamic Publications.
Bahadur, Muhammad al-Zarkasyi (1982), I’lam al-Sajid bi Ahkam al- Masajid, Kairo: Majlis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyyah.
Hamidullah, Muhammad (1975), The First Written Constitution in the World: an Important Document of the Time of the Holy Prophet, Lahore, Pakistan
Hammadah, Faruk
(1998), Kajian Lengkap Sirah Nabawiyah, Jakarta: Gema Insani.
[1] Lukman Thaib (1998), Politik menurut Persepektif Islam, Kajang:
Synergymate Sdn. Bhd., hlm. Xii.
[2] Mawdudi, Abul A’la
(1979), Islamic State and Constitution, London: Islamic Council of
Europe, hlm. 14.
[3] Sakhawi, Syams al-Din Muhammad ibn ‘Abd al-Rahman (1993), al-Tuhfah
al- Latifah fi Tarikh al-Madinah al-Syarifah, Beirut: Dar Kutub ‘Ilmiyyah,
hlm. 23.
[4] Khomeini, Ayatullah, (1979), An Islamic State Point of View,
(Concept of Islamic State), Islamic Council, London, hlm. 5.
[5] Zuhdi, Mahmud Abdul Majid (1995), “Konsep Pemerintahan Islam dan
Pendekatannya dalam Masyarakat Majemuk – berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah”, Persidangan
Pemerintahan dalam Masyarakat Majmuk, Kuala Lumpur: Institut Kepahaman Islam
Malaysia, hlm. 1.
Komentar
Posting Komentar