MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA ABBASIYAH (KEJAYAAN)

MAKALAH PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA  ABBASIYAH (KEJAYAAN)

By: Lisni, Dkk

 BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Menurut ajaran islam, manusia adalah mahluk ciptaan Allah SWT. Yang paling dimuliakan oleh-Nyamelebihi mahluk-mahluk lainnya. Sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya yang artinya:

Dan sesungguhnya kami telah muliakan anak-anak Adam. Kami anggkat mereka di daratan dan dilautan. kami berikan rezky yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahkluk lain yang telah kami ciptakan”.(QS. 17: 70).

Kelebihan manusia di anatara mahluk lainya ialah mempunyai akal dan daya kehidupan yang dapat membentuk peradaban. Manusia adalah mahluk yang selalu mengimginkan kesempurnaan baik secara lahir maupun batin. Untuk mencapai kesempurnaan manusia dituntut untuk bergaul dengan orang lain dan dalam alam semesta yang senantiasa berubah-rubah, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan mempertahankan kehidupannya. Usaha-Usaha untuk menemukan diri ini disebut “belajar”.

Manusia setiap saat, membutuhkan pelajaran dari alam semesta sampai ia menemukan cara bertindak yang tepat untuk mempertahankan kehidupanya. untuk memenuhi kebutuhan belajar ini oleh imam santoso disebut dengan istilah “pendidikan”.[1] Karenanya, pendidkan adalah suatu yang esensial bagi manusia, melalui pendidikan, manusia bisa belajar mempelajari alam semesta demi mempertahankan kehidupannya, karena pentingnya pendidikan, islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang sangat penting dan tinggi. Antara lain dalam surah al- Mujadalah Allah Berfirman yang artinya:

“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi pengetahuan beberapa derajat”. (QS. al-Mujadalah,58: 11).

Umat manusia dalam sejarahnya telah memperlihatkan tentang pentingnya pendidikan. Hal ini dapat ditelusuri sejak dari masa rasul hingga masa sekarang ini. kegiatan yang dilakukan Rasulullah seperti mengadakan Ta’lim (pembelajaran) kepada para sahabatnya, guna mengetahui ajaran ajaran islam, sehingga rasul membuat kompleks belajar Dar-al-Arqam, ini semua salah satu bukti besarnya perhatian rasul terhadap pendidikan.

Usaha pendidikan ini kemudian ditindaklanjuti oleh generasi berikutnya, pendidikan dan pengajaran terus tumbuh dan berkembang pada masa Khulafaur Rasyidin , Bani Umayah, dan masa Bani Abbasiyah. Pada masa awal Daulat Abbasiyah, pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat pesat diseluruh negara islam hingga lahir madrasah-madrasah yang tidak terhitung banyaknya, bahkan madrasah berdiri di kota hingga ke desa. Anak-anak dan orang dewasa berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan, melawat ke pusat –pusat pendidikan meninggalkan kampung halaman mereka, demi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tujuan pendidikan dalam islam sama dengan tujuan hidup manusia, yakni menjadi “Insan Pengabdi Allah”. Untuk mencapai tujuan pendidikan tentunya diperlukan metode sistem dan materi pendidikan. 

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Pendidikan Pada Masa Daulah Abbasiyah ? 

C.    Tujuan Penulisan

1.      Untuk mengetahui sejarah pendidikan Pada Masa Daulah Abbasiyah.

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Konteks Historis Pada Masa Daulah Abbasiyah

Berdirinya Daulah Abbasiyah diawali dengan dua strategi, yaitu satu dengan sistem mencari pendukung dan penyebaran ide secara rahasia, hal ini sudah berlangsung sejak akhir abad pertama hijriah yang bermarkas di Syam dan tempatnya di Al Hamimah, sistem ini berakhir dengan bergabungnya Abu muslim al-Khurasani pada jum’iyah yang sepakat atas terbentuk Daulah Abbasiyah. Sedangkan strategi ke dua dilanjutkan dengan terang-terangan dan himbauan-himbauan di forum-forum resmi untuk mendirikan Daulah Abbasiyah berlanjut dengan peperangan melawan Daulah Umaiyah. Dari dua strategi yang diterapkan oleh Muhammad bin Al- Abasy dan kawan-kawanya sejak alhir abad pertama sampai 132 H akhirnya membuahkan hasil dengan berdirinya Dulah Abbasiyah.

Berbagai teknis diterapkan oleh pengikut Muhammad Al-Abbasy seperti sambil berdagang dan melaksanakan haji di balik itu terprogram bahwa mereka menyebarkan ide dan mencari pendukung terbentuknya Daulah. [2]

Daulah Abbasiyah didirikan oleh keturunan Abbas paman Rasulullah, yaitu: Abdullah al- Saffah Ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah al- Abbas. Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintah yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan politik, sosial, dan kultur budaya yang terjadi pafda masa-masa tersebut. Kekuasaan Daulah Abbasiyah daibagi dalam lima periode, yaitu:

1.      Periode I (132 H/750 M-232 H/847 M), masa pengaruh persia pertama.

2.      Periode II (232 H/847 M-334 H/945 M), masa pengaruh Turki pertama.

3.      Periode III (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti Buwahi, pengaruh persia kedua.

4.      Periode IV (447 H/1055 M-590 H/1194 M), masa Bani Saljuk, pengaruh Turki kedua.

5.      Periode V (590 H/1104 M-656 H/1250 M), masa kebebasan dari pengaruh Dinasti lain.

Daulah Abbasiyah mencapai puncak keemasan dan kejayaan pada periode I. Para Khalifah pada masa periode I dikenal sebagai tokoh yang kuat, pusat kekuasaan politik, dan agama sekaligus. Kemakmuran masyarakat pada saat ini mencapai tingkat yang tinggi. Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya pada masa khalifah Harun Al-Rasyid (786 M-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813 M-833 M). Kekayaan yang dimiliki khalifah Harun Al-Rasyid dan putranya Al-Ma’mun digunakan untuk kepentingan sosial seperti: lembaga pendidikan, kesehatan, rumah sakit, pendidikan ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasaan. Al-Ma’mun khalifah khalifah yang cinta kepada ilmu, dan banyak mendidirikan sekolah.[3] Pada masa inilah negara islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi.

Al-Ma’mun, pengganti Harun ar-Rasyid, memiliki kegairahan dalam mencari ilmu pengetahuan sehigga mendorongnya untuk menyibukkan diri demgam mempelajari kebudayaan dan mendiskusikan filsafat di Merv.[4] Pada masa pemerintahannya, penerjemah buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan keristen dan penganut agama lain yang ahli, ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Baitul Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi sebagai pusat kajian akademis dengan perpustakaan yang sangat besar, serta memiliki sebuah observatorium. Pada saat itu, observatorium-observatorium yang banyak bermunculan juga berfungsi sebagai pusat-pusat pembelajaran astonomi. Fungsi lembaga itu persis sama dengan lembaga rumah sakit, yang pada awal kemunculannya sekaligus berfungsi sebagai pusat pendidikan kedokteran. Akan tetapi, akademi islam pertama yang meyediakan berbagai kebutuhan fisik untuk mahasiswanya, dan  menjadi model bagi pembangunan akademi-akademi lainya adalah Nazhamiyah yang didirikan pada tahun 1065-1067 oleh Nizhman Al-Mulk, seorang meneteri dari persia pada kekhalifahan Bani Saljuk, Sultan Alp Arslan, dan maliksyah yang juga penyokong Umar Al-Khayyam.[5]

Pada masa ini pula ilmu-ilmu umum masuk ke dalam islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Sehingga lembaga pendidikan pada masa ini mengalami perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat. Ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak masa Bani Umayah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan.

B.     Faktor-Faktor Perkembangan Pendidikan  Pada Masa Bani Abbasiyah

Kegemilangan yang dicapai Umat Islam pada saat ini telah mengukir sejarah yang dikenal dengan zaman keemasan islam, yang meliputi segala bisang, terutama ilmu pengetahuan, ekonomi, dan administrasi pemerintahan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kegemilangan pendidikan dan ilmu pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah, yaitu faktor intern dan faktor esktern. Faktor intern adalah faktor yang mempengaruhi dari dalam ajaran agama islam itu sendiri yang mendorong manusia untuk menuntut imu dan mengembanggkan ilmu pengetahuan, yaitu:[6]

1.      Agama Islam

Menurut Al-Hassan dan Hill, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ini memberikan dorongan yang sangat kuat kepada ummatnya untuk melakukan pencapaian-pencapaian dibidang sains dan teknologi. Al-Quran memerintahkan umat islam agar menggunakan akalnya dalam mengamati alam semesta. Perintah semacam itu dijelaskan dalam surah Ar-Rum ayat 22. Disamping itu islam sudah menyatukan seluruh umatnya yang menyebar dari Cina hingga Samudra Antlantik di bawah suatu pengaruh satu bahasa dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, semua orang bebas mengembara ke berbagai kota pusat ilmu pengetahuan, seperti Baghdad, Cordoba, dan lain-lain untuk belajar.

2.      Pemerintah yang berpihak pada ilmu pengetahuan

Menurut Howard R Turner dalam Sains islam yang mengagumkan mengatakan bahwa pencapaian dibidang sains dan teknologi sudah menjadi ciri-ciri umum semua dinasti islam, baik itu dinasti kecil maupun besar. Hampir disetiap kota islam terdapat gerakan Arabisasi dan penerjemahan. Disamping itu didirikan akademi-akademi, observatorium, dan perpustakaan.

3.      Bahasa Arab

Sejak awal pemerintahan Bani Umayyah, ilmu pengetahuan Yunani dan India diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Menurut Hasan dan Hill para sultan ketika itu sepenuhnya menyadari bahwa tidak mungkin ilmu pengetahuan berkembang di dunia islam jika ilmu-ilmu tersebut tertulis di dalam bahasa non-Arab. Melalui aktivitas terjemahan itu, ilmu pengetahuan menyebar tidak hanya dikalangan penguasa dan intelektual, tetapi juga di masyarakat awam.

4.      Pendidikan

Untuk memacu laju perkembangan ilmu pengetahuan itu para khalifah mendirikan sekolah-sekolah, lembaga pendidikan tinggi, observatorium, dan perpustakaan. perpustakaan yang sangat terkenal pada Masa Bani Abbasiyah bernama Bayt Al-Hikmah (Rumah Kearifan). Perpustakaan ini banyak dicatat oleh sejarawan Islam memberikan sumbangan yang penting dalam penerjemahan buku-buku matematika dari Yunani adalah Tsabit Bin Qurrah (836-901).

5.      Penghormatan Kepada Ilmuan

Al-Hassan dan Hill mencatat bahwa para ilmuan pada era keemasan islam mendapatkan perhatian yang besar dari kerajaan. Para ilmuan saat itu dipenuhi kebutuhan finansialnya bahkan diberi uang pensiun. kebijakan ini diambil supaya merekabisa mencurahkan waktu sepenuhnya untuk kegiatan mengajar, membimbing murid, menulis, dan meneliti.

6.      Maraknya Penelitian

Kerajaan mendorong para ilmuan untuk melakukan penelitian di berbagai bidang. salah satu contohnya yaitu adalah riset matematika oleh al-Khawarizmi.

7.      Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional penjadi sarana komunikasi yang efektif antar peradaban dan mempercepar proses kemajuan teknologi. Misalnya, karena maraknya kegiatan dagang antara bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain di dunia, ditemukanlah teknologi navigasi.[7]

 Sedangkan faktor ekstern adalah faktor yang datang dari luar ajaran agama islam, yaitu:

1.      Akultrasi Kebudayaan

Adanya intervansi peradaban Yunani terutama dibidang ilmu pengetahuan dan filsafat ke dalam Islam merupakan cikal bakal yang sangat potensial untuk berkembangnya Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi Daulah Abbasiyah yang terbuka terhadap kebudayaan asing serta cinta terhadapilmu pengetahuan, sehingga kondisi ini memotivasi orang Persia pindah ke Baghdad yang pada awalnya mereka adalah mereka adalah ahli hukum, kedokteran, dan negarawan.

2.      Munculnya usaha penerjemahan ilmu pengetahuan kedalam bahasa Arab.

Usaha-usaha penerjemahan ini timbil karena adanya kemauan yang kuat dari pihak penguasa untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan filsafat dari Irak, Syam, Persia, ke dalam bahasa Arab. Hal ini mendapat respons yang baik dari masyarakat terutama prang-orang yang ahli menerjemah. Selain Kitu dalam usaha penerjemahan ini juga dari inisiatif pribadi para ahli itu sendiri.

Khalifah al- Mansur memerintahkan usaha penerjemahan buku dari berbagai ilmu pengetahuan banyak, demikian juga dengan Harun al-Rasyid membentuk satu badan penerjemah khusus, Khalifah al-Ma’mun mengirim tim-tim sarjana ke berbagai pusat ilmu di dunia, untuk mencari kitab-kitab penting yang harus diterjemahkannya. Pada umumnya para Khalifah Daulah Abbasiyah sangat mementingkan gerakan penerjemahan.

3.      Maula (Mawali)

Maula(Mawali) adalah orang-orang yang baru masuk Islam bukan dari keturunan Arab atau bekas budak. Mereka ikut membentuk Abbasiyah dari dalam merebut kekuasaan dari Daulah Bani Umayyah. Jadi mereka ikut membangun eksistensi Daulah Bani Abbasiyah tersebut, sehingga ada diantara mereka itusebagai politisi dan ilmuan demi kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Mereka mencurahkan perhatian, kemampuan dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki.

4.       Adanya perhatian pemerintah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.

5.      Tersedianya fasilitas-fasilitas yang mendukung

Kemajuan-kemajuan peradaban yang dicapai pada masa Bani Abbasiyah tidak terlepas dari fasilitas-fasilitas yang diperuntukkan bagi kemajuan ilmu pengetahuan seperti perpustakaan, lembaga-lembaga penelitian dan buku-buku.

6.      Minat masyarakat yang tinggi dalam menuntut ilmu

Masyarakat yang ada pada saat kejayaan pendidikan Islam, merupakan masyarakat yang cinta ilmu pengetahuan mereka berlomba-lomba untuk menuntut ilmu.[8]

 

C.    Lembaga Pendidikan Pada Masa Daulah Abbasiyah

1.      Masjid

Masjid menjadi lembaga pendidikan pada masa ini. Sebuah masjid yang indah didirikan di cordova dengan maksud untuk mengimbangi masjid di Mekkah dan Yarusalem, di Cordova terdapat 700 masjid.[9]

Pengajaran yang diberikan di masjid-masjid dan jami’ boleh dikatan serupa dengan pendidikan tingkat college, tetapi sistemnya masih lemah, pelajar-pelajar yang masih mengikuti kegiatan belajar belum teratur. Anak-anak yang belum cukup usia bisa mengikuti halaqah-halaqah asal mereka tertarik belajar pada ulama yang megajar. Masid di Cordova sebagai lembaga pendidikan Islam berjumlah ribuan, telah menjadi pusat kemempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan.

2.      Perpustakaan

Pemerintah Islam di Spanyol mempunyai perhatian terhadap perpustakaan. Perpustakaan yang terkenal di Andalus adalah Khazanatul Hukmits-tsani yang mempunyai bubku-buku 400.000 jilid. Disamping perpustakaan tersebut ada perpustakaan lain yang didirikan oleh perorangan untuk orang umum, bahkan kebanyakan orang-orang berlomba-lomba untuk mendirikanya. Untuk wanita tidak mau ketinggalan untuk mengumpulkan buku sehingga didirikan perpustakaan khusus untuk mereka.[10]

Jika dibandingkan perpustakaan yang ada di dalam dunia Islam dengan orang Erofa pada saat itu, tidak sebanding. Perpustakaan orang kristen yang termegah saat itu adalah perpustakaan Gereja Canterbury menurut Catholic Encyclopedy memiliki buku jilid 1.800 jilid.

3.      Universitas

Uiversitas-universitas di berbagai kota Spanyol berdiri dengan megahnya seperti di Cordova, Sevilla, Malaga, dan Granada. Di pintu gerbang universitas Granada tertulis sebuah semboyan yang terjemahannya kira-kira berbunyi: Ketentraman dan ketertiban dunia terdiri hanya atas empat perkara: ilmu pengetahuan para cendekiawan,keadilan para penguasa, shalatnya ahli agama dan keberanianpara pahlawan. [11]

Materi pelajaran yang diberikan di universitas ini terdiri berbagai ilmu pengetahuan baik ilmu agama, ilmu sosial, ilmu ilmu alam, ilmu budaya, ilmu falak, ilmu sejarah, ilmu kimia, bahasa Arab. Adapun para mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru Eropa, bahkan beberapa pendeta datang untuk belajar.

Fakultas-fakultas yang terdapat di Universitas Cordova adalah fakultas astronomi, fakultas ilmu ukur, fakultas kedokteran,dan fakultas hukum, sedangkan di Universitas Granada terdiri dari teologi, yurispridensi, kedokteran, kimia, filsafat, dan astronomi.

4.      Toko-toko buku

Toko-toko buku mempunyai peranan dan mentransmisi pengetahuan, disini tidak hanya menjual buku-buku tapi juga sebahgai tempat pelajar dan ulama untuk berdiskusi.

5.      Al-kuttab

Al-kuttab merupakan tempat belajar untuk pendidikan dasar, tempat belajar Al-Quran bagi anak-anak. Al-kuttab ini berkembang secara biasa dan ulama untuk berdiskusi.

6.      Halaqat al-Dars dan al-Ijtima’at al-Ilmiah

Salah satu ciri dari sistem pendidikan Islam adalah mudah dan elastis. Dan sebagai bukti untuk itu telah terdapat halaqat al-Dars dan Ijtima;at al-Ilmiah. Halaqat ini bertujuan untuk menyebarkan ilmu dengan cara mudah dan tidak terikat dengan tempat dan waktu. Halaqat diadakan di rumah-rumah para ulama, di stana raja-raja dan pembesar-pembesar.

Salah satu cara untuk memuaskan kesenangan otak para khalifah dan penguasa adalah dengan memanggil para ulama ke rumah mereka untuk berdiskusi masalah keagamaan dan ilmu pengetahuan. Para ulama dan ahli fikih Andalus menghafal mahzab-mahzab yang lainyang dibahas di hadapan raja-raja mereka atau istana para khalifah dan orang-orang kaya.[12]

7.      Madrasah

Umat Islam di Andalus mendirikan madrasah sebagai tempat belajar yang tidak sedikit jumlahnya, seperti di Cordova, Sevilla, Toledo, dan Granada. Terdapat 17 madrasah besar dan 120 madrasah kecil.[13]

D.    Metode Pendidikan Pada Masa Bani Abbasiyah

Dalam proses belajar mengajar, metode pendidikan atau pengajaran merupakan salah satu aspek pendidikan atau yang sangat penting guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seseorang guru kepada para muridnya. Melalui metode pengajaran  terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh murid hingga murid dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah disamapikan gurunya.

Pada Masa Bani Abbasiyah metode pendidikan atau pengajaran yang digunaka dapat dikelompokkan menjadi tiga macam: lisan, hafalan, dan tulisan.

a.       Metode Pendidikan

1.      Metode Lisan

Berupa dikte, ceramah, qiraah, dan diskusi. Metode dikte (imla) adalah metode penyampaian pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena dengan imla ini murid mempunyai catatan yang akan dapat membantunya ketika ia lupa. Metode ini dianggap penting karena pada masa-masa klasik buku-buku cetak seperti masa sekarang susah dimiliki. Metode ceramah disebut juga metode al-sama’ sebab dalam metode ceramah, guru menjelaskan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkanya. Metode qirs’ah biasanya digunakan untuk belajar membaca sedangkan diskusi merupakan metode yang khas pada masa ini.

2.      Metode Menghafal

Merupakan ciri umum pendidikan pada masa ini. Murid-murid membaca dengan cara berulang-ulangpelajarannya sehingga pelajaran tersebut melekat pada benak mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Hanafi seorang murid harus membaca suatu pelajaran berulang kali sampai dia menghafalnya.[14] sehingga dalam proses selanjutnya, murid akan mengeluarkan kembali dan mengkontekstulisasikanpelajaran yang dihafalnya sehingga dalam diskusi dan perdebatan murid dapat merespons,mematahkan lawan, atau memunculkan sesuatu yang baru.

3.      Metode Tulisan

Dianggap metode yang paling penting pada masa ini. Metode tulisan ini adalah penglopian karya-karya ulama. Dalam penguasaan ilmu murid semakin meningkat. Metode ini berguna bagi proses penguasaan ilmu pengetahuan yang sangat penting artinya bagi penggandaan jumlah buku teks, karena pada masa ini belom ada mesin cetak, dengan pengkopian buku-buku kebutuhan terhadap teks buku sedikit teratasi.[15]

b.      Materi Pendidikan

Materi pendidikan dasar pada masa Daulah Abbasiyah terlihat ada unsur demokrasinya, disamping materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) bagi setiap murid ada juga materi yang bersifat pilihan (ikhtiari), hal ini tampaknya sangat berbeda dengan materi pendidikan dasar pada masa sekarang. Disaat sekarang ini materi pendidikan tingkat dasar pada menengah semuanya adalah materi wajib, tidak ada materi pilihan. Materi pilihan baru ada pada tingkat dasar perguruan tinggi.

Materi pelajaran yang bersifat wajib (ijbari) ialah:

1.      Al-Quran

2.      Shalat

3.      Doa

4.      Sedikit ilmu nahwu dan bahasa Arab

5.      Membaca dan menulis

Sedangkan materi pelajaran ikhtiari adalah:

1.      Berhitung

2.      Semua ilmu nahwu dan bahasa Arab

3.      Syair-syair

4.      Riwayat atau Tarikh Arab[16]

E.     Aspek Pendanaan Pada Masa Bani Abbasiyah

Pada masa Bani Abbasiyah sumber pembiayaan pendidikan antara lain:

1.      Subsidi pemerintah

Para penguasa dan pimpinan muslim memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak masa Khulafaur Rasyidin. Mereka mendirikan dan menghidupi berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan, termasuk lembaga-lembaganya.  Masjid jami’ yang banyak bermunculan di masa Bani Abbasiyah dibiayai keberadaanya dan operasionalnya oleh pemerintah sepenuhnya. Selain itu, madrasah-madrasah yang berdiri pada Masa Turki Saljuk dilembagakan dibawah pengawasan dan bantuan negara. Diantaranya, memberikan beasiswa murid pensiun dan ransum kepada murid yang patut menerimanya.

2.      Wakaf

Lembaga wakaf menjadi sumber pembiayaan kegiatan pendidikan saat itu. Sistem wakaf dalam islam disebabkan oleh system ekonomi islam, yang menganggap bahwa ekonomi berhubungan erat dengan akidah dan syariat Islam, serta adanya keseimbangan antara ekonomi dan kemaslahatan masyarakat. Dengan dipelopori oleh penguasaIslam yang cinta ilmu, seperti Harun ar-Rasyid dan Ma’mun, berdiri lembaga-lembaga pendidikan  keilmuan, seperti kegiatan penerjemahan yang di zaman al-Ma’mun kegiatanya lebih sempurna sehingga berdirilah Baitul Hikmah. Pada perkembangan selanjutnya kebutuhan untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan maka lahirlah ide tentang perlunya lembaga wakaf yang akan menjadi sumber keuangan.

Menurut Syalabi,bahwa khalifah al-Ma’mun adalah orang yang pertama kali mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan wakaf. Ia berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak tergantung pada subsidi Negara dan kedermawanan penguasa-penguasa, tetapi juga membutuhkan kesadaran masyarakat untuk bersama-sama Negara menanggung biaya pelaksanaan pendidikan.[17]

3.      Orang Tua

Biaya pendidikan yang bersumber dari orang tua ini bervariasi dan sangat fleksibel tergantung pada kondisi finansial orang tua murid. Biaya ini juga mereflesikan kemajuan murid. Sebab, disampingnya biaya pendaftaran biaya tambahan akan diambil ketika murid telah menyelesaikan suatu paket tertentu dari pelajaran, ditambah sumbangan-sumbangan non-finansial seperti bahan pangan dan sandang sesuai keadan keluarga murid.

Biaya pendidikan agama tidak pernah diadakan kecuali sedikit jika materi pelajaran ditambah dengan pendidikan non-keagamaan, seperti tata bahasa dan menulis .

Hal ini didasarkan pada anggapan penyebaran misi ilahi harus dilakukan dengan ikhlas.[18]

4.      Murid

Seorang ilmuan yang mengajar di Masjid , madrasah atau lembaga pendidikan lainya diperbolehkan memungut biaya dari muridnya, biasanya jumlah disepakati antara murid dan guru. Para penuntut ilmu yang berasal dari keluarga yang tidak mampu atau belajar atas inisiatif sendiri sering bekerja di tengah-tengah masyarakat untuk membiayai pendidikanya. Ada jugapelajar yang tidak tetap yang terdiri dari para pekerja.

5.      Sumber lain

Pandangan bahwa ilmu agama, terutama Al-Quran harus diajarkan kepada orang lain sebagai bentuk ibadah mendorong para pengajarnya tidak menerima dan meminta bantuan finansial dari siapapun. Mereka berusaha untuk membiayai kegiatan pendidkan dan kehidupanya hanya dari hasil keringat sendiri diluar pekerjaan mengajar.

Selain para pengajar juga ada dari kesadaran para hartawan dan dermawan untuk membiayai pendidikan, seperti misalnya mereka membangun kuttab lalu mengaji para guru-gurunya dengan uang mereka sendiri. [19]

 

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari semua deskripsi yang dituliskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa masa dinasti Abbasiyah  berdiri selama kurang lebih 5 abad, dengan para khalifah yang cinta pada ilmu pengetahuan sehingga mengantarkan pendidikan Islam ke Masa puncak kejayaan ilmu pengetahuan. Sehingga menjadi kiblat ilmu pengatahuan bagi negara lainya.

Adapun pola pendidikan yang dijalankan saat itu benar-benar tidak lepas dari perhatian negara terhadap ilmu pengetahuan dan masyarakat, sehingga semua kompomen dan kebijakan pendidikan saat itu di desain pro rakyat.

Mulai pembiayaan yang bersumber dari negara, wakaf, oramg tua, murid,dan perorangan. Pendidikan yang harus memiliki syarat alim dan berakhlak mulia, peserta didik yang memiliki kesiapan lahir dan batin sampai kepada metode pendidikan yang dikembangkan saat itu yaitu lisan, menghafal dan tulisan.

lembaga-lembahga pendidikan terus berbenah menjadi lebih baik, dari beberapa lembaga pendidikan yang telah dituliskan diatas yaitu: kuttab, perpustakaan, Masjid, Universitas, toko-toko buku, madrasah dan halaqah. Untuk lembaga pendidikan yang lainya, merupakan warisan ide dari pemerintah dinasti umayah, sehingga pemerintahan abbasiyah tinggal mekanjutkan atau merenovasi.

Dari beberapa keterangan diatas, hemat penulis terdapat relevansi anatara konsep pendidikan islam pada masa Bani Abbasiya dengan pendidikan Islam pada masa sekarang, seperti model pendidikan multiculture,home schooling dan lain-lain.

  

DAFTAR PUSTAKA

 

Asrahah, Hanum, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT Logos Wacana Ilmu, 1419.

Dalimunthe, Rozy, Fakhrur, Sejarah Pendidikan Islam, Medan : Rimbow, 1986.

Fahmi, Hasan, Asma, Sejarah Filsafat Pendidikan, Jakarta : Bulan Bintang, 1987.

Fauzan, Surwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2008.

Maksidi, George, The Rice Of Colleges Institutions Of Learning In Islam And The West, Endinburg : Endinburg University Press, 1981.

Mahmudunnasir, Syed, Islam Konsepsi Dan Sejara hnya, Bandung : Remaja Rosda Karya, 2011.

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana, 2009.

Nata, Abbuddin, Sejarah Islam Pada Masa Klasink, Jakarta : Bulan Bintang, 1970.

Santoso, Iman, Slamet, Pendidikan di Indonesia dari Masa Ke Masa, Jakarta : CV Haji Mas Agung, 1987.

Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2008.

Supardi, Sejarah dan Filsafat, Jakarta : Bandung Angkasa, 1985.

Sriyanto, Faktor-Faktor Pemicu Sain dan Teknologi, https://m.republika.co.id/berita ok99r1313/7-faktor-pemicu-kemajuan-sains-dan-teknologi-peradaban-islam, 24 Januari 2017.



[1] Slamet Iman Santoso, Pendidikan di Indonesia dari Masa ke Masa, (Jakarta: CV Haji Mas Agung, 1987), hlm.52.

[2] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana,2009),hlm.67.

[3] 2Surwito, Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana,2008),hlm.11.

[4] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi Dan Sejarahnya,(Bandung: Remaja Rosda Karya, 2011),hlm.228.

[5] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008),hlm,136.

[6] Zulhimma, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: KENCANA,2021),hlm.61.

[7] Sriyanto, Faktor-Faktor Pemicu Sain Dan Teknologi,(24 Januari 2017),https://m.republika.co.id/berita ok99r1313/7-faktor-pemicu-kemajuan-sains-dan-teknologi-peradaban-islam.

[8].  Zulhimma, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: KENCANA,2021),hlm.61-62.

[9]. Supardi, Sejarah dan Filsafat, (Jakarta: Bandung Angkasa,1985),hlm.132.

[10] Asma Hasan Fahmi,Sejarah Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1987),hlm.50.

[11] Fakhrur Rozy Dalimunthe, Sejarah Pendidikan Islam,(Medan: Rimbow,1986),hlm.50.

[12] Asma Hasan Fahmi, Sejarah Filsafat Pendidikan, (Jakarta: Bulan Bintang,1987),hlm.49.

[13] Zulhimma, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: KENCANA,2021),hlm.49-51.

[14] George Maksidi, The Rice Of Colleges Institutions Of Learning In Islam And The West,(Endinburg: Endinburg University Press,1981),hlm.104.

[15] Hanum Asrahah, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1419), hlm.77-79.

[16] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana,2008),hlm.13-15.

[17] Abbuddin Nata, Sejarah Islam Pada Masa Klasik, (Jakarta: Bulan Bintang,1970),hlm.254-256.

[18] Ibid., 18

[19] Ibid., 20


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN