MAKALAH PENERAPAN QARD DI PERBANKAN SYARIAH
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
MAKALAH
PENERAPAN QARD DI PERBANKAN SYARIAH
By: Purnama, Dkk.
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara umum, bank sebagai intermediary
finance adalah lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menghimpun
dana (Funding) baik berupa tabungan, deposito, giro kemudian menyalurkan dana
(Landing) yang direalisasikan berupa kredit (konvensional) atau pembiayaan
(syariah) dan memberikan pelayanan jasa lainnya. Perbankan syariah merupakan
institusi/lembaga keuanagn yang tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak 16
tahun yang lalu diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Perkembangan
bank syariah diikuti dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di luar
struktur perbankan. Di Indonesia saat ini dalam Pasal 2 Undang-undang No. 21
tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menegaskan bahwa “Perbankan Syariah
dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, demokrasi, dan
prinsip kehati-hatian”. Dari ketentuan Undang-undang tersebut dapat diketahui
secara jelas bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usaha diwajibkan
berasaskan dan mengimplementasikan prinsip syariah.
“Qardh adalah harta yang diberikan
seseorang dari harta mitsli (yang memiliki perumpamaan) untuk kemudian dibayar
atau dikembalikan. Atau dengan ungkapan yang lain, qardh adalah suatu
perjanjian yang khusus untuk menyerahkan harta (mal mitsli) kepada orang lain
untuk kemudian dikembalikan persis seperti yang diterimanya.” Dari definisi
menurut ahli fiqih tersebut Qardh berarti suatu pinjaman harta yang diberikan
kepada pihak yang meminjam yang dikemudian hari peminjam itu wajib atau harus
mengembalikan harta pinjaman tersebut sesuai dengan jumlah harta yang
dipinjamnya ketika peminjam sudah mampu untuk membayarnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu qard?
2. Apa rukun dan syarat qard?
3. untuk mengetahui dasar hukum qard?
4. Apa manfaat dari qard?
5. Bagaimana penerapan qard di perbankan
syariah?
BAB II PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN QARD
Qardh secara bahasa berasal dari kata
al-Qath’ harta yang dipinjamkan merupakan bagian dari harta milik pihak yang
memberi pinjaman. Maksudnya, jadi harta yang di pinjamkan kepada seseorang itu
bukan milik orang lain tetapi miliknya sendiri[1]. Sayyid
Sabiq memberikan definisi qardh sebagai berikut: “Al-Qardh adalah harta yang
diberikan oleh pemberi hutang (muqridh) kepada penerima utang (muqtarid) untuk
kemudian dikembalikan kepadanya (muqridh) seperti yang diterimanya, ketika ia
telah mampu membaya Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) Qardh
adalah penyediaan dana atau tagihan antarlembaga keuangan syari’ah dengan pihak
peminjam yang mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai
atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Menurut Fatwa DSN No. 19/DSNMUI/IV/2001,
Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan
kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan. Nasabah Al-Qardh wajib mengembalikan
jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
Menurut Sjahdeini (2014), Qardhul Hasan
adalah perjanjian Qardh yang khusus untuk tujuan sosial. Penerima Qardhul Hasan
hanya diharuskan untuk melunasi jumlah pokok pinjaman tanpa harus memberikan
tambahan apapun.
Dari beberapa definisi di atas dapat
disimpulkan bahwa akad Qardh pada hakikatnya adalah bentuk pertolongan dan kasih sayang bagi yang meminjam, bukan suatu
sarana untuk mencari keuntungan bagi yang memijamkan, di dalamnya tidak ada
imbalan dan kelebihan pengembalian. Namun dalam Qardh ini mengandung nilai
kemanusiaan dan sosial dimana dalam akad ini peminjam tidak boleh mensyaratkan
keuntungan dalam pinjaman dan ia boleh menerima lebih jika peminjam memberikannya
dalam jumlah yang lebih selama tidak dipersyaratkan di awal dan tidak
diperjanjikan.
Menurut Syafi’i Antonio, Qard adalah
pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau
dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharap imbalan.
Menurut bank indonesia, Qard adalah akad
pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak tertentu yang wajib dikembalikan
dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman[2].
Qard merupakan fasilitas pembiayaan yang
diberikan oleh bank syariah dan membantu pengusaha kecil. Pembiayaan qard
diberikan tanpa adanya imbalan. Al-Qard juga merupakan harta kepada orang lain
yang dapat ditagih atau diminta kepada sesuai dengan jumlah uang yang
dipinjamkan tanpa adanya tambahan atau imbalan yang diminta oleh bank syariah.
Dalam perjanjian qard, pemberi pinjaman
(bank syariah) memberikan pinjaman kepada pihak nasabah denganketentuan bahwa
penerima pinjaman akan mengembalikan pinjamannya sesuai dengan jangka waktu
yang telah diperjanjikan dengan jumlah yang sama dengan pinjaman yang diterima.
Artinya, nasabah penerima pinjaman tidak perlu memberikan tambahan atau
pinjamannya.
Bank syariah memberikan pinjaman qard dalam akad qardul hasan dengan tujuan sosial. Bank syariah tidak mengalami kerugian atas pinjaman qardul hasan, meskipun tidak ada hasil atas pemberian pinjaman ini,karena sumber dana qard sebagian besar bukan berasal dari harta bank syariah tetapi dari sumber-sumber lain.
B. DASAR HUKUM QARD
1. Landasan Al-Quran
Dalil al-quran tentang qard terdapat dalam (QS Al-Hadid :11) yang artinya “ siapakah yang mau meminjam kepada Allah pijaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak[3].
2. Landasan Hadis
Terdapat dua
hadist yang meriwayatkan tentang qard yaitu Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa nabi
SAW berkata “tidaklah seorang muslim yang meminjamkan muslim lainnya dua kali kecuali yang salah satunya berniai
shadaqah.”( HR.Ibnu Majah,Ibnu Hibban, dan Baihaqi.)4]
Dan hadis
dari Anas Bin Malik berkata rasulullah SAW “Aku melihat waktu malam di isra’kan
pada pintu surga tertulis: shadaqah dibalas 10 kali lipat dan qard 18 kali. Aku
bertanya: ‘wahai jibril mengapa qard lebih utama dari shadaqah ?’ Ia menjawab :
‘karena peminta-minta memiliki sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam
tidak akan meminjam kecuali karena keperluan’.” (HR.Ibnu Majah dan Baihaqi).
3. Ijma
Para ulama
telah menyepakati bahwa qard boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari
dari tabiat manusi yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan
saudaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan.
Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di
dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan
ummatnya[5].
Bahwa semua kaum
muslimin telah sepakat dibolehkan utang piutang karena Qardh memiliki kebaikan
bagi kedua belah pihak untuk saling tolong menolong. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah
SAW bersabda, barangsiapa melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari
kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari
kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barangsiapa memberi kelonggaran kepada
seseorang yaNG sedang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya
di dunia dan diakhirat. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama
hamba-Nya mau menolong saudaranya.
C. RUKUN DAN SYARAT QARD
1.Rukun
Qard
Rukun Qardh menurut ulama Hanafiyah adalah
ijab dan kabul. Sementara menurut Jumhur ulama rukun Qardh ada tiga, yaitu: dua
orang yang berakad yang terdiri dari: muqridh (yang memberikan utang) dan
muqtaridh (orang yang berutang), Qardh (barang atau objek yang dipinjamkan),
shigat ijab dan kabul. Dengan demikian, syarat sahnya diperbolehkan untuk
melakukan Qardh memang harus ada keseluruhan rukun tersebut. Jika salah satunya
tidak ada, maka peminjaman tersebut dinyatakan tidak sah secara hukum islam.
Ijab dan kabul dalam Qardh sama
seperti ijab kabul dalam jual-beli. Ijab dan kabul dalam Qardh, merupakan
ucapan yang disampaikan langsung oleh peminjam kepada penerima pinjaman bahwa
peminjam mengijinkan secara langsung uang tersebut dipinjam. Keduanya saling
ridha terhadap akad tersebut.
Rukun Al-qard ada 4 yaitu[6]:
1. pihak yang meminjam ( muqtaridh)
2. pihak yang memberikan pinjaman ( muqridh)
3. dana (qardh)
4. ijab qabul ( sighat)
2.Syarat
Qard
Ketentuan dan syarat harta qardh dari
segi kepemilikan berlaku ketentuan dan syarat al-mabi’ (benda yang
diperjualbelikan), yaitu harta yang diqardh-kan harus milik muqridh karena
sifat al-tamlik-nya sama, yaitu harta Qardh berpindah kepemilikannya dari milik
muqridh menjadi milik muqtaridh sehingga muqridh harus memiliki hak untuk
memindahkan kepemilikan barang yang di qardh-kan.
Harta yang boleh dijadikan objek akad
Qardh harus harta yang miliknya yang disepakati ukurannya, baik secara kuantitas
maupun kualitasnya.
Personalia akad (muqridh) harus termasuk pihak yang memiliki kemampuan untuk melakukan tabarru’ karena akad qardh termasuk akad yang menyebabkan terjadinya perpindahan kepemilikan objek akad tanpa disertai imbalan. Tidak boleh mengambil manfaat dari akad ini meskipun sudah disetujui oleh kedua belah pihak.
Syarat sah dari Al-qard yaitu:
1. Qard atau barang yang dipinjamkan harus
barang yang memiliki manfaat, tidak sah jika tidak ada kemungkinan pemanfaatan,
karena qard adalah akad terhadap harta.
2. Akad qard tidak bisa dilaksanakan kecuali
dengan ijab dan qabul, seperti halnya dengan jual beli.[7]
3. Besar pinjaman ( Al-qarhdu) harus
diketahui dengan takaran, timbangan atau jumlahnya.
4. Sifat pinjaman dan usianya harus diketahui
jika dalam bentuk hewan.[8]
D. MANFAAT QARD
Al-Qardh dan al-Qardhul Hasan
merupakan misi sosial perbankan syariah. Misi sosial ini sebagai upaya tanggung
jawab sosial perbankan syariah yang bertujuan meningkatkan citra bank,
meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah, dan menumbuhkan
pemberdayaan masyarakat. Hal ini, senada dengan dengan perspektif ajaran Agama
Islam, bahwa aktivitas finansial dan perbankan dalam dunia modern seperti
sekarang ini mengandung dua prinsip, yaitu prinsip al-ta’awun.
Qardh dalam Praktik Perbankan syariah
memiliki banyak manfaat tidak hanya bagi nasabah karena dirasa sangat membantu
dan tertolong juga bagi Bank itu sendiri, Qardh ini tidak akan merugikan Bank
Syariah dan justru itulah kelebihan dari Bank syariah yang dalam operasionalnya
berbeda dari Bank Konvensional, tidak hanya mengejar keuntungan tetapi di
dalamnya terdapat unsur sosial tabarru’ atau tolong menolong.
Manfaat yang didapat oleh bank dari
transaksi qard adalah biaya admistrasi utang dibayar oleh nasabah. Manfaat
lainnya berupa nonfinansial, yaitu kepercayaan dan loyalitas nasabah kepada
namk tersebut. Resiko dalam qard terhitung tinggi karena dianggap pembiayaan
yang tidak ditutup dengan jaminan.
Manfaat akad Qardh dalam praktik
perbankan syariah banyak sekali diantaranya sebagai berikut:
1) Memungkinkan nasabah yang sedang dalam
kesulitan mendesak untuk mendapatkan talangan jangka pendek.
2) Al-Qardhul Hasan juga merupakan salah satu
ciri pembeda antara bank syariah dan bank konvensional yang di dalamnya
terkandung misi sosial, di samping misi komersial.
3) Adanya misi sosial kemasyarakatan ini akan
meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.
4) Pedagang kecil memperoleh bantuan dari
bank syariah untuk mengembangkan usahanya, sehingga misi sosial bagi bank
syariah dalam membantu masyarakat miskin.
5) Dapat mengalihkan pedagang kecil dari
ikatan utang rentenir, dengan mendaptkan utang dari bank syariah tanpa bunga.
E. PENERAPAN QARD DI PERBANKAN SYARIAH
Satu-satunya akad berbentuk
pinjaman yang diterapkan dalam perbankan syariah adalah Qardh dan turunannya
Qardhul Hasan. Karena bunga dilarang dalam Islam, maka pinjaman Qardh maupun
Qardhul Hasan merupakan pinjaman tanpa bunga. Lebih khusus lagi, pinjaman
Qardhul Hasan merupakan pinjaman kebajikan yang tidak bersifat komersial,
tetapo bersifat sosial[9].
Pinjaman kebaikan, Al-Qardh
digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek.
Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan sosial. Dana ini
diperoleh dari dana zakat, infaq dan sodaqoh. Ketentuan mengenai Qardhul Hasan
telah diatur dalam Fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IX/2000.[10]
Persoalan yang mendasar dalam aplikasi
perbankan syariah adalah apakah al-Qardh dan al-Qardhul Hasan dapat menjadi
sebuah pertanggung jawaban sosial di perbankan syariah? Dalam undang-undang
nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 2, 3, dan 4, menjelaskan
bahwa perbankan syariah dalam menjalankan fungsinya bertujuan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional dalm rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan
dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Sebagai salah satu implementasi tujuan
tersebut perbankan syariah dapat menjalankan fungsi sosialnya dalam bentuk
baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, atau
dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada masyarakat.
Implementasi produk sosial didasarkan
pada fatwa MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001 tentang Qardh yang dananya bersumber dari
bagian modal dan keuntungan yang disisihkan dari Lembaga Keuangan Syariah
(LKS), serta lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya
lewat LKS. Pada tahun 2011, MUI kembali mengeluarkan fatwa Qardh dengan No.
79/DSN-MUI/III/2011 yang sumber dananya berasal dari nasabah. Jika dibandingkan
dengan fatwa MUI tahun 2001, fatwa MUI 2011 ini dimungkinkan dapat menimbulkan
kemudharatan yang lebih besar apabila terjadi piutang Qardh yang tidak tertagih
karena sumber dananya dari nasabah.
Dalam melaksanakan fungsinya bank syariah
melaksanakan transaksi yang sifatnya tolong menolong yaitu pinjaman Qardh atau
Qardhul Hasan, yaitu pinjaman uang Cuma-Cuma. Sesuai karakteristik ekonomi
syariah uang bukan komoditi sehingga tidak diperkenalkan menghasilkan atau
bertambah uang. Pinjaman dengan akad ini dilakukan oleh Bank Syariah dalam
transaksi yang bersifat tolong menolong, penyaluran Zakat Nasional (BAZNAZ),
bisa juga untuk talangan Haji, talangan cerukan atau overdraf dari rekening
wadiah, transaksi rahn, hawalah dan sejenisnya.[11]
Objek dari pinjaman Qardh biasanya adalah
uang atau alat tukar lainnya, yang merupakan transaksi pinjaman murni tanpa
bunga ketika peminjam mendapatkan uang tunai dari pemilik dana (Bank) dan hanya
wajib mengembalikan pokok utang pada waktu tertentu di masa yang akan datang.
Peminjam atas prakarsa sendiri dapat mengembalikan lebih besar sebagai ucapan
terima kasih.
Akad Qardh biasanya diaplikasikan di
perbankan syariah seperti:
1)
Penyaluran
dan zakat yang bersifat produktif (dana bergulir) yang diperuntukan sesuai
syariat yaitu diberikan kepada delapan hasnaf. Biasanya penyaluran zakat ini
merupakan produk kerja sama antara BAZNAS dengan bank syariah, BAZNAS sebagai
lembaga penghimpun dana dan penyalurannya melewati model transaksi bank.
2) Pembiayaan
pengurusan haji, berdasarkan Fatwa DSN No: 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang
Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, menetapkan ketentuan
sebagai berikut:
a)
Dalam
pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan
menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI No. 9/DSNMUI/IV/2000
b)
Apabila
diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan
menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001
c)
Jasa
pengurusan haji dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian
talangan haji.
d)
Besar
imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardh
yang diberikan LKS kepada nasabah.
3) Anjak piutang yang berlandaskan pada Fatwa DSN No. 67/DSN-MUI/III/2008 tentang
Anjak piutang syariah.
4) Letter
of Credit (L/C) Impor dan Letter of Credit Ekspor, yang berlandaskan pada Fatwa
DSN-MUI No. 34/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah dan Fatwa DSN-MUI No.
35/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor Syariah.
5)
Sebagai
produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonefiditasnya yang menumbuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif
pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah dana yang
dipinjamnya tersebut.
6)
Sebagai
fasilitas yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik dananya
karena misalnya pengusaha tersimpan dalam bentuk deposito.
7)
Sebagai
pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli,
ijarah, atau bagi hasil.
8)
Sebagai
produk untuk menyumbang ke sektor kecil atau membantu sektor sosial.
Ulama-ulama tertentu membolehkan pemberi pinjaman untuk membebani biaya jasa
pengadaan pinjaman. Biaya jasa ini bukan merupakan keuntungan, melainkan
merupakan biaya aktual yang dikeluarkan oleh pemberi pinjaman, seperti biaya
sewa gedung, gaji pegawai dan peralatan kantor. Hukum Islam memperbolehkan
pemberi pinjaman untuk meminta kepada peminjam untuk membayar biaya-biaya
operasi di luar pinjaman pokok, tetapi agar biaya ini tidak menjadi bunga
terselubung komisi atau biaya ini tidak boleh dibuat proporsional terhadap
jumlah pinjaman.
BAB III PENUTUP
Akad Qardh pada hakikatnya adalah
bentuk pertolongan dan kasih sayang bagi yang meminjam, bukan suatu sarana
untuk mencari keuntungan bagi yang memijamkan, di dalamnya tidak ada imbalan
dan kelebihan pengembalian. Namun dalam Qardh ini mengandung nilai kemanusiaan
dan sosial dimana dalam akad ini peminjam tidak boleh mensyaratkan keuntungan
dalam pinjaman dan ia boleh menerima lebih jika peminjam memberikannya dalam
jumlah yang lebih selama tidak dipersyaratkan di awal dan tidak diperjanjikan.
Sifat Qardh tidak memberikan keuntungan
finansial. Karena itu, pendanaan Qardh dapat diambil menurut kategori. Pertama,
akad Al-Qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan
sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan sedekah. Kedua, akad
Al-Qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan
berjangka pendek. Talangan dana tersebut dapat diambilkan dari modal bank.
Implementasi produk sosial didasarkan pada
fatwa MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001 tentang Qardh yang dananya bersumber dari
bagian modal dan keuntungan yang disisihkan dari Lembaga Keuangan Syariah
(LKS), serta lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya
lewat LKS.
Dalam Praktiknya Qardh di
Perbankan Syariah banyak di implementasikan pada produk-produk seperti Produk
kerjasama dalam Penyaluran Zakat Produktif dengan BAZNAS, Dana Talangan Haji,
Pembiayaan Usaha, Letter of Credit (L/C) Impor dan Ekspor Syariah dan lain-lain
yang merujuk berdasarkan Fatwa DSNMUI yang telah dikeluarkan.
Bank boleh menerima Ujrah atau
Imbalan dari akad Qardh selama tidak diperjanjikan oleh bank dan bersifat
sukarela dari nasabah sebagai tanda terima kasih.
Qardh dalam Praktik Perbankan syariah memiliki banyak manfaat tidak hanya bagi nasabah karena dirasa sangat membantu dan tertolong juga bagi Bank itu sendiri, Qardh ini tidak akan merugikan Bank Syariah dan justru itulah kelebihan dari Bank syariah yang dalam operasionalnya berbeda dari Bank Konvensional, tidak hanya mengejar keuntungan tetapi di dalamnya terdapat unsur sosial tabarru’ atau tolong menolong.
DAFTAR
PUSTAKA
Sunarto Zulkifli,(2003). panduan praktis transaksi perbankan syariah, Jakarta: Zikrul Hakim, 27
Sjahdeini, &
Remy, S. (1999). Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Departemen Ghopur Ansori,
(2005).Payung Hukum Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: PT.
Syaamil cipta media, 538
Muhammad Syafii Antonio, (2001). Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 132
Muhammad, (2009). Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah, Yogyakarta: UII pres, 140.
Imaniyati, P. D.
(2011). Pengaruh Perbankan Syariah terhadap Hukum Perbankan Nasional. Syiar
Hukum, 214.
Nurnasrina, & Adiyes, P. (2017). Kegiatan Usaha Bank Syariah. Yogyakarta: Kalimedia.
[1] Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti,1999)
[2] Sunarto Zulkifli, panduan praktis transaksi perbankan syariah,
( Jakarta: Zikrul Hakim,2003), hal. 27
[3] Departemen Ghopur Ansori, Payung Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia, ( Yogyakarta: PT. Syaamil cipta media, 2005), hlm.538
[4] HR. Ibnu Majah, Juz 7, Bab Hutang, No. 2524
[5] Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (
Jakarta: Gema Insani,2001),hlm. 132
[6] Muhammad, Model-Model Akad Pembiayaan di Bank Syariah,
(Yogyakarta: UIIpres, 2009), hlm. 140
[7] Nurul Huda dan Mohammad Heykal, Lembga Keuangan Islam” Tinjauan
Teoritis dan Praktik, ( Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 62
[8] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 178-179
[9] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, ( Jakarta: PT.
RajaGrafindo persada, 2007)
[10] Imaniyati, P. D,Pengaruh Perbankan Syariah terhadap Hukum Perbankan
Nasional. Syiar Hukum, (2011), hlm. 214
[11] Nurnasrina, & Adiyes, P., Kegiatan Usaha Bank Syariah,
(Yogyakarta: Kalimedia,2017)
Komentar
Posting Komentar