MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

HUKUM SAMAWI DAN HUKUM KONFENSIONAL

 HUKUM SAMAWI DAN HUKUM KONFENSIONAL

By: Aprianti,dkk.



BAB I

PENDAHULUAN 

   A.    Latar belakang

Agama Samawi sebelum Islam mempunyai kapasitas jangkauan waktu dan tempat terbatas. Sifat temporer itu dibatasi dengan kehadiran Nabi setelahnya, seperti ajaran Musa AS. Dead line nya adalah ketika ajaran Isa AS tiba. Berbeda dengan itu, agama Islam di bawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama terakhir dan penutup. Islam diyakini oleh umatnya sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Al qur‟an menyatakan bahwa lingkup keberlakukan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah untuk seluruh umat manusia di manapun mereka berada (Qs. Saba/34:28; AlAnbiya/21:107).

Oleh sebab itu Islam dapat diterima oleh setiap manusia di muka bumi ini tanpa harus ada konflik dengan keadaan di mana ia berada.Islam akan berhadapan dengan masyarakat pada saat apa pun, termasuk masyarakat modern, sebagaimana ia telah berhadapan dengan masyarakat yang bersahaja sebelumnya..

Secara sosiologis, diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada masyarakat itu. Semakin maju cara berfikir suatu masyarakat, setiap saat. Setiap saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan Al- Qur‟an, sehingga mereka tidak melenceng.

Hukum konvensional bersumber dari hasil pemikiran manusia yang ditetapkan untuk memenuhi segala kebutuhan mereka yang bersifat temporal. Hukum ini juga dibuat dengan kemampuan akal manusia yang memiliki keterbatasan dan kekurangan untuk memahami perkara gaib dan menghukumi perkara yang belum terjadi.Sebagai hukum hasil ciptaan manusia, hukum konvensional merepresentasikan kekurangan, kelemahan, dan ketidakmampuan manusia serta sedikitnya kecerdasan mereka. Hukum konvensional tentunya sarat dengan perubahan dan pergantian atau yang dinamakan dengan perkembangan (evolusi) seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkatan, kedudukan, dan situasi mereka.

B.     Rumusan masalah

a.       Apakah defenisi hukum samawi dan konvensional?

b.      Apakah Orsanilitas Syari’at Islam?

c.       Bagaiamana prinsip dasar perundang-undangan dalam Islam?

C.    Tujuan pembahasan

 

a.       Untuk mengetahui defenisi hokum samawi dan konvensional.

b.      Untuk mengetahui orsanilitas syari’at Islam

c.       Untuk mengetahui prinsip dasar dalam perundang-undangan islam.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Pengertian hukum samawi dan hukum konvensional

 1.      Hukum samawi

Kata “samawi” berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah langit, Agama Samawi disebut sebagai agama yang paling tua karena telah diturunkan sejak zaman Nabi Adam, asal muasal manusia, dan diteruskan kepada nabi-nabi setelahnya hingga nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW. Hukum Islam adalah hukum samawi, artinya hukum agama yang menerima wahyu, yaitu kitab suci Alquran, hukum Islam mengatur hubungan pribadi, masyarakat, negara, dan sebagainya dan akhirnya juga mengatur hubungan manusia dengan tuhan[1]

Beberapa pendapat menyimpulkan bahwa suatu agama disebut agama Samawi jika:

A.     Mempunyai definisi Tuhan yang jelas. Agama Samawi disebut sebagai agama yang paling tua karena telah diturunkan sejak zaman Nabi Adam, asal muasal manusia, dan diteruskan kepada nabi-nabi setelahnya hingga nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW.

B.     Mempunyai penyampai risalah (Nabi/Rasul).

 

C.     Mempunyai kumpulan wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam Kitab Suci.

Ciri-Ciri Agama Samawi yaitu:

A.    Agamanya tumbuh secara kelahiran dapat ditentukan dari tidak ada menjadi ada.

B.Agama ini mempunyai kitab suci yang otentik (ajarannya bertahan/asli dari tuhan)

C.Secara pasti dapat ditentukan lahirnya,dan bukan tumbuh dari masyarakat,melainkan diturunkan kepada masyarakat.

D.    Disampaikan oleh manusia yang dipilih allah sebagai utusan- nya.

E. Ajarannya serba tetap,walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan manusia.

F. Konsep ketuhanannya monotheisme mutlak (tauhid).

G.    Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia,masa dan keadaan.

Ada tiga agama yang termasuk Agama Samawi, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Ketiga Agama Samawi tersebut menyampaikan pokok ajaran yang sama kepada umatnya, yaitu keyakinan akan ke-Esaan Tuhan :

A.    Islam Kitab suci adalah Al- Quran, Islam sudah berumur ribuan tahun sejak Allah SWT menurunkan Al Quran secara bertahap pada Rasulullah SAW pada 610-632 M

B.     Kristen Kitab suci adalah Injil, Kristen juga berusia ribuan tahun sejak kali pertama diturunkan pada manusia. Ajaran Kristen hingga kini masih dianut banyak orang.

C.     Yahudi Kitab suci aadalah Taurat, Sejak diturunkan pada Nabi Musa AS, agama Yahudi atau Yudaisme telah berusia ribuan tahun.

2.      Hukum konvensional

Konvensional adalah berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum seperti adat, kebiasaan, kelaziman. Hukum konvensional adalah kaidah- kaidah yang terbaru untuk masyarakat pada saat itu, tetapi terbelakang untuk masyarakat masa depan. Ini karena hukum konvensional tidak berubah secepat perkembangan masyarakat dan tidak lain merupakan kaidah-kaidah yang temporal yang sejalan dengan kondisi masyarakat yang juga temporal. Jika kondisi masyaraatnya berubah, secara otomatis hukum-hukum mereka juga turut mengalami perubahan.

Menurut Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran bil bil Qanunil Wad’iy, sejatinya hukum Islam tidak dapat dianalogikan dengan hukum konvensional. Betapa tidak. Hukum Islam merupakan produk Sang Pencipta, sedangkan hukum konvensional hasil pemikiran manusia.

 

B.     Orisanilitas syariat islam

Salah satu problem yang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum Islam adalah masalah kelahiran hukum Islam. Masalah tersebut telah memecah para ahli tersebut ke dalam dua kubu yang bertentangan. Kubu pertama berpendapat bahwa hukum Islam merupakan produksi para qadlî pada masa Bani Umayah. Argumentasi yang disuguhkan adalah bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang ahli hukum dan memang tidak meminati bidang ini. Sebaliknya, kubu kedua berpendapat bahwa hukum Islam sesungguhnya lahir pada masa Nabi Muhaammad dan bahkan diformulasikan sendiri olehnya. Perdebatan antara kedua kubu inilah yang hendak diperlihatkan dalam artikel ini disertai argumentasi yang mendasari kubu masing-masing dan kritik yang dilancarkan oleh keduanya.


1.       Nabi Muhammad dan al-Qur’an

Tesis yang dikembangkan oleh Schacht merupakan hasil kajian historis yang dilakukan terhadap peranan Nabi Muhammad dan fungsi al- Qur’an pada masyarakat Muslim pada abad I H. Menurut Schacht, Muhammad ketika ada di mekkah memproklamasikan dirinya sebagai “pembawa pesan dari Allah” dan ia sangat keberatan ketika kaum kafir Quraysy menuduhnya sebagai kahin. Sebab di mata mereka, Muhammad ketika menuturkan ayat-ayat al-Qur’an tidak lebih dari para dukun yang membaca mantera dan jampi-jampi. Begitu juga peran yang dijalankan oleh Muhammmad sebagai penengah terhadap berbagai kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, tidak lebih sama dengan peran para kahin di masyarakat jahiliyah. Salah satu contoh yang dikemukakan Schacht adalah peran sebagai hakam dalam kasus perkawinan (QS. 4: 35) yang dipraktikkan oleh Muhammad adalah sama dengan fungsi kahin dalam masyarakat Arab praIslam.

Penolakan Muhammad atas tuduhan sebagai kahin bukannya tanpa alasan. Muhammad, menurut Schacht, tidak ingin membatasi dirinya hanya sebagai hakam atau arbitrator dalam komunitasnya, tetapi ia mempunyai ambisi politik yang kuat yang berhasil diraihnya setelah berimigrasi ke Madinah. Di sana Muhammad membangun sebuah masyarakat baru yang merupakan batu loncatan untuk memenuhi ambisi politiknya. Karenanya, Muhammad pada dasarnya lebih tertarik pada masalah-masalah politik ketimbang pada masalah-masalah hukum. Bahkan, lanjutnya, otoritas Muhammad bukanlah pada masalah-masalah hukum, namun hanya berkaitan dengan masalah-masalah religius dan politik. Pernyataan tersebut senada dengan Ignaz Goldziher yang menggambarkan bahwa ketika di Madinah pun, Muhammad tidak menghentikan kegiatannya sebagai pemberi peringatan, namun kerasulannya mengalami bentuk baru. Muhammad tidak lagi semata-mata sebagai penyampai wahyu. Perubahan situasi menjadikannya sebagai penyerang, penakluk, dan kepala negara. Ia mengorganisasikan sebuah masyarakat baru yang sedang berkembang. Islam sebagai sebuah institusi mengambil bentuk baru di Madinah. Di sinilah untuk kali pertama bentuk masyarakat Islam, hukum, dan aturan-aturan politik mulai terlihat.[2]


2.       Perkembangan  Hukum  Islam  pada  Periode  Bani   Umayyah

Untuk mendukung teorinya, Schacht mengajukan argumen lain yakni deskripsi situasi yang terjadi setelah Muhammad wafat, ketika kekuasaan dipegang oleh para khalifah yang bertindak sebagai penetap hukum dalam masyarakat. Ketika itu, para khalifah tidak menunjuk qadlî dan tidak pulameletakkan fondasi yang nantinya dapat dijadikan dasar bagi sistem peradilan Islam. Yang mereka lakukan adalah meneruskan modifikasi dan kompilasi atas sistem arbitrasi Arab pra-Islam. Juynboll, yang selalu mendukung teori Schacht, menjelaskan bahwa keempat khalifah Islam menetapkan sebuah sistem meurut standar mereka masing-masing.3 Mereka mengatur masyarakat Islam dengan semangat kerasulan, tetapi mereka menyelesaikan masalah-masalah yang timbul menurut jalan pikiran masing-masing, tidak mencontohkan apa yang telah Dinasti Bani Umayyah menggantikan fungsi kekhalifahan di Madinah pada pertengahan abad I H. Oleh Schacht, periode ini dipandang sebagai periode yang sangat menentukan dalam perkembangan hukum Islam. Sesungguhnya, Dinasti Bani Umayyah tidak terlalu memberikan perhatian pada agama dan perangkat hukumnya. Mereka lebih menfokuskan diri pada administrasi bidang politik. Begitu juga, mereka bertanggung jawab atas perkembangan sejumlah upacara keagamaan dan peribadatan yang sebelumnya masih dalam tahap pertumbuhan.

Dinasti Bani Umayyah dalam menghadapi perang terhadap musuh- musuhnya menetapkan regulasi dan administrasi hukum seperti hukum perang dan administrasi keuangan. Salah satu contohnya adalah pemberlakuan terhadap sepertiga dari kepemilikan. Artinya, apabila seseorang meninggal dunia tanpa diketahui ahli warisnya, maka sepertiga dari hartanya diserahkan kepada bayt al-mal. Mereka juga mengambil langkah yang sangat signifikan terhadap administrasi hukum dengan mengangkat para qadlî. Para gubernur pada masa itu berkuasa pada tingkat provinsi. Mereka mendelegasikan kekuasaan kehakiman kepada pra qadlî sebagai pembentuk hukum yang hanya berlaku atas kaum Muslim saja. Dalam mengambil keputusan hukum, yang nantinya menjadi dasar dari hukum Islam, para qadlî tersebut menggunakan daya kreasi mereka dengan jalan mengkombinasikan hukum setempat dengan semangat al-Qur’an dan norma-norma hukum kontemporer dalam masyarakat Muslim.[3]

C.    Prinsip Dasar Perundang-undangan dalam Islam

Kata prinsip secara etimologi, adalah dasar, permulaan, atau aturan pokok. Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut, bahwa prinsip adalah permulaan; tempat pemberangkatan; titik tolak; atau al-mabda. Secara terminologi, kata prinsip adalah kebenaran universal yang inheren di dalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya.[4]

Prinsip hukum Islam meliputi prinsip-prinsip umum dan prinsip- prinsip khusus. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat universal. Adapun prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam. Juhaya S. Praja lebih lanjut mengatakan, ada tujuh prinsip umum hukum Islam; prinsip tauhid, prinsip keadilan, prinsip , prinsip kebebasan, persamaan, prinsip dan prinsip toleransi. Ketujuh prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut:

a.       Prinsip Tauhid

 

Tauhid adalah salah satu prinsip umum hukum Islam yang merupakan fondasi ajaran Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La Ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Segala ciptaan Allah di muka bumi memiliki tujuan yang merupakan bagian dari kebermaknaan wujud. Di antara tujuan tersebut adalah ibadah. Prinsip ini dipahami dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64:

ﻗﻞ ﻳٓﺎﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺗﻌﺍﻟﻮﺍ ﺍﻟﻰ ﻛﻠﻤﺔ ﺳﻮﺍۤﺀ ﺑﻴﻨﻨﺎ ﻭﺑﻴﻨﻜﻢ ﺍﻟﺎ ﻧﻌﺒﺪ ﺍﻟﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻟﺎ ﻧﺸﺮﻙ ﺑﻪ ﺷﻲـﺍ ﻭﻟﺎ

ﻳﺘﺨﺬ ﺑﻌﻀﻨﺎ ﺑﻌﻀﺎ ﺍﺭﺑﺎﺑﺎ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﻪ       ﻓﺎﻥ ﺗﻮﻟﻮﺍ ﻓﻘﻮﻟﻮﺍ ﺍﺷﻬﺪﻭﺍ ﺑﺎﻧﺎ ﻣﺴﻠﻤﻮﻥ

 

Artinya: Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka proses dan pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manifestasi rasa syukur kepada-Nya.

Dengan demikian tidak boleh terjadi penuhanan antar sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan hanya kepada-Nyalah seluruh perhambaan manusia.

b.       Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar

Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang diridhai Allah. Dalam filsafat hukum Barat dikenal sebagai fungsi social engineering atau rekayasa sosial.Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, prinsip ini juga dilihat pada peran negara dalam Islam sehingga negara tidak boleh memaksa masyarakat untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya yang semena- mena. Apa lagi yang menyalahi dengan hukum Islam. Pengkategorian Amar Makruf Nahi Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan penalaran logis yuridis terhadap kontek dimana persoalan hukum tengah terjadi.

 

c.       Prinsip Kemerdekaan atau kebebasan

Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/ hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demonstrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai aspek, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal.

Kebebasan beragama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama. Kebebasan bertindak, berekspresi dan berimajinasi merupakan kebebasan yang melekat pada tiap-tiap individu manusia, bahkan merupakan hak paling asasi. Kebebasan ini tidak boleh bertentangan dengan kemaslahatan umum, akidah dan lain-lain.

d.       Prinsip Persamaan atau Egalite.

Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan  berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.

Bukti konkrit dari prinsip egalite dalam hukum Islam adalah penghapusan perbudakan dan penindasan manusia atas manusia. Dalam konteks sesama muslim, Islam menjamin bahwa tak ada perbedaan suku Arab dengan suku-suku lainnya. Dalam pandangan hukum Islam semua manusia diperlakukan sama di mata hukum.Tidak ada yang didzholimi atau diuntungkan dengan perbedaan antara orang Arab dan orang ajam kecuali disebut equality before the law sejak empat belas abad yang lalu jauh sebelum hukum modern.[5] Garansi egalite dalam al-Quran terdapat dalam Surat al-Hujarat ayat 13, Surat al- Isra. ayat 70.

e.  Prinsip al- Ta'awun

 

Prinsip ini saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketaqwaan. Prinsip ini menghendaki agar orang muslim saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Prinsip ini merupakan suatu prinsip yang mulia dan mengandung nilai tinggi dan terabaikan oleh ummat Islam. Pengabaian ini disebabkan oleh pembekuan daya ijtihad oleh sebagian fuqaha dan bertaqlid kepada warisan lama, menghilangkan kemaslahatan masyarakat dengan aneka macam adat istiadatnya.

f.    Prinsip Toleransi.

 

Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan ummatnya, tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam. Wahbah Al-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut pada tataran penerapan ketentuan Al-Quran dan Hadits yang menghindari kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan untuk meninggalkan syariat ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan dan lain sebagainya. Tasamuh atau toleransi dalam hukum Islam lebih tinggi nilainya dari hanya sekedar rukun dan damai. Tasamuhyang dimaksudkan adalah tidak memaksakan atau tidak merugikan sesama. Peringatan Allah berkaitan dengan toleransi dinyatakan dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 dan 9.

 

 

BAB III

PENUTUP

 

A.    Kesimpulan

Hukum Islam menurut Schacht lahir pada masa pemerintahan Bani Umayah. Pandangan ini bisa dipahami karena dalam mengembangkan tesisnya, ia tidak melihat al-Qur’an sebagai unsur yang patut diperhitungkan. Ia meletakkan al-Qur’an sebagai alternatif kedua dalam konteks hukum di masyarakat Islam saat itu. Sebaliknya, Goitein berpendirian bahwa hukum Islam itu telah eksis pada abad kelima Hijriyah. Ia mendasarkan tesisnya pada ayat al-Qur’an, suatu sikap yang tidak ditemukan pada diri Schacht, dan peristiwa bersejarah pada era awal di Madinah.

Penetapan hukum dalam Islam tidak pernah meninggalkan aspek kemaslahatan bagi manusia sesuai dengan prinsip maqsyid syariah. Bukti-bukti tersebut tercermin dalam prinsip-prinsip yang dituangkan dalam perumusan hukum Islam di atas. Di antara keutamaan mendasar dalam hukum Islam terletak pada kesempurnaan segala hal yang dibutuhkan berupa kaidah-kaidah dasar yang umum dan semua itu meliputi kebutuhan manusia baik pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kesempurnaan lain terletak pada keagungan prinsip sehingga tingkat dan derajat manusiapun akan terangkat. Terakhir, nilai kesempurnaan terletak pada keabadian dan kontinuitas dimana nas-nas tidak dapat diubah ataupun diganti meskipun masa terus berganti dengan demikian hukum Islam akan terus relevan di setiap ruang dan waktu.



DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata.2005.Metodologi Studi Islam,Yogyakarta:Gama Media. Aminuddin,dkk.2005.Pendidikan Agama Islam,Bogor:Ghalia Indonesia.

Ignaz.1981.Introduction to Islamic Theology and Law, New Jersey:Princet on University Press.  

Juhaya S.Praja.1995.Filsafat Hukum Islam,Bandung:LPPM. Juynboll,G.H.A.1983.Muslim Tradition:Studies Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadith, Cambridge:Cambridge UniversityPress.




[1] Buddin Nata,Metodologi Studi Islam,(Yogyakarta:Gama Media,2005) hlm. 4

[2] Ignaz Goldziher,Introduction to Islamic Theology and Law(New Jersey:Princeton University Press,1981),hlm.8.

[3] G.H.A.Juynboll,MuslimTradition:Studies Chronology,Provenance and Authorshipof Early Hadith(Cambridge:Cambridge University Press,1983),hlm.15

[4] Juhaya S.Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung:LPPM,1995),Him 69

[5] Topo Santoso,Membumikan Hukum Pidana Islam,(Jakarta:GemaInsani,2003),hlm.1


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN