HUKUM SAMAWI DAN HUKUM KONFENSIONAL
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
HUKUM SAMAWI DAN HUKUM KONFENSIONAL
By: Aprianti,dkk.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Agama Samawi sebelum
Islam mempunyai kapasitas jangkauan waktu dan tempat terbatas. Sifat temporer
itu dibatasi dengan kehadiran Nabi setelahnya, seperti ajaran Musa AS. Dead
line nya adalah ketika ajaran Isa AS tiba. Berbeda dengan itu, agama Islam di
bawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama terakhir dan penutup. Islam
diyakini oleh umatnya sebagai agama yang universal, tidak terbatas oleh waktu
dan tempat tertentu. Al qur‟an menyatakan bahwa lingkup keberlakukan ajaran
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah untuk seluruh umat manusia di
manapun mereka berada (Qs. Saba/34:28; AlAnbiya/21:107).
Oleh sebab itu Islam
dapat diterima oleh setiap manusia di muka bumi ini tanpa harus ada konflik
dengan keadaan di mana ia berada.Islam akan berhadapan dengan masyarakat pada
saat apa pun, termasuk masyarakat modern, sebagaimana ia telah berhadapan
dengan masyarakat yang bersahaja sebelumnya..
Secara sosiologis,
diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan suatu
masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada
masyarakat itu. Semakin maju cara berfikir suatu masyarakat, setiap saat.
Setiap saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis
kebijaksanaan Al- Qur‟an, sehingga mereka tidak melenceng.
Hukum konvensional
bersumber dari hasil pemikiran manusia yang ditetapkan untuk memenuhi segala
kebutuhan mereka yang bersifat temporal. Hukum ini juga dibuat dengan kemampuan
akal manusia yang memiliki keterbatasan dan kekurangan untuk memahami perkara
gaib dan menghukumi perkara yang belum terjadi.Sebagai hukum hasil ciptaan
manusia, hukum konvensional merepresentasikan kekurangan, kelemahan, dan
ketidakmampuan manusia serta sedikitnya kecerdasan mereka. Hukum konvensional
tentunya sarat dengan perubahan dan pergantian atau yang dinamakan dengan
perkembangan (evolusi) seiring dengan perkembangan masyarakat, tingkatan,
kedudukan, dan situasi mereka.
B. Rumusan masalah
a. Apakah defenisi hukum samawi dan konvensional?
b. Apakah Orsanilitas Syari’at Islam?
c. Bagaiamana prinsip dasar perundang-undangan dalam Islam?
C. Tujuan pembahasan
a.
Untuk mengetahui defenisi hokum samawi dan konvensional.
b. Untuk mengetahui orsanilitas syari’at Islam
c. Untuk mengetahui prinsip dasar dalam
perundang-undangan islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
hukum samawi dan hukum konvensional
Kata “samawi” berasal
dari bahasa Arab yang artinya adalah langit, Agama Samawi disebut sebagai agama
yang paling tua karena telah diturunkan sejak zaman Nabi Adam, asal muasal
manusia, dan diteruskan kepada nabi-nabi setelahnya hingga nabi terakhir, Nabi
Muhammad SAW. Hukum Islam adalah hukum samawi, artinya hukum agama yang
menerima wahyu, yaitu kitab suci Alquran, hukum Islam mengatur hubungan
pribadi, masyarakat, negara, dan sebagainya dan akhirnya juga mengatur hubungan
manusia dengan tuhan[1]
Beberapa pendapat
menyimpulkan bahwa suatu agama disebut agama Samawi jika:
A. Mempunyai
definisi Tuhan yang jelas. Agama Samawi disebut sebagai agama yang paling tua
karena telah diturunkan sejak zaman Nabi Adam, asal muasal manusia, dan
diteruskan kepada nabi-nabi setelahnya hingga
nabi terakhir, Nabi Muhammad SAW.
B. Mempunyai
penyampai risalah (Nabi/Rasul).
C. Mempunyai kumpulan wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam Kitab Suci.
Ciri-Ciri
Agama Samawi yaitu:
A.
Agamanya tumbuh secara kelahiran dapat ditentukan
dari tidak ada menjadi ada.
B.Agama ini mempunyai
kitab suci yang otentik (ajarannya bertahan/asli dari tuhan)
C.Secara pasti dapat ditentukan
lahirnya,dan bukan tumbuh dari masyarakat,melainkan diturunkan kepada masyarakat.
D.
Disampaikan oleh manusia yang dipilih
allah sebagai utusan- nya.
E.
Ajarannya serba tetap,walaupun tafsirnya
dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan manusia.
F.
Konsep ketuhanannya monotheisme mutlak (tauhid).
G.
Kebenarannya adalah universal yaitu
berlaku bagi setiap manusia,masa dan keadaan.
Ada tiga agama yang termasuk Agama Samawi, yakni Yahudi,
Kristen, dan Islam. Ketiga Agama Samawi tersebut menyampaikan pokok ajaran yang
sama kepada umatnya, yaitu keyakinan akan ke-Esaan Tuhan :
A.
Islam
Kitab suci adalah Al- Quran, Islam sudah berumur ribuan tahun sejak Allah SWT
menurunkan Al Quran secara
bertahap pada Rasulullah SAW pada 610-632 M
B.
Kristen
Kitab suci adalah Injil, Kristen juga berusia ribuan tahun sejak kali pertama
diturunkan pada manusia. Ajaran Kristen hingga kini masih dianut banyak orang.
C.
Yahudi
Kitab suci aadalah Taurat, Sejak diturunkan pada Nabi Musa AS, agama Yahudi
atau Yudaisme telah berusia ribuan tahun.
2. Hukum konvensional
Konvensional adalah
berdasarkan konvensi (kesepakatan) umum seperti adat, kebiasaan, kelaziman.
Hukum konvensional adalah kaidah- kaidah yang terbaru untuk masyarakat pada
saat itu, tetapi terbelakang untuk masyarakat masa depan. Ini karena hukum
konvensional tidak berubah secepat perkembangan masyarakat dan tidak lain
merupakan kaidah-kaidah yang temporal yang sejalan dengan kondisi masyarakat
yang juga temporal. Jika kondisi masyaraatnya berubah, secara otomatis
hukum-hukum mereka juga turut mengalami perubahan.
Menurut Abdul Qadir Audah dalam At-Tasyri al-Jinai al-Islamy Muqaran
bil bil Qanunil Wad’iy, sejatinya hukum Islam tidak dapat dianalogikan dengan
hukum konvensional. Betapa tidak. Hukum Islam merupakan produk Sang Pencipta,
sedangkan hukum konvensional hasil pemikiran manusia.
B. Orisanilitas syariat islam
Salah satu problem yang masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum Islam adalah masalah kelahiran hukum Islam. Masalah tersebut telah memecah para ahli tersebut ke dalam dua kubu yang bertentangan. Kubu pertama berpendapat bahwa hukum Islam merupakan produksi para qadlî pada masa Bani Umayah. Argumentasi yang disuguhkan adalah bahwa Nabi Muhammad bukanlah seorang ahli hukum dan memang tidak meminati bidang ini. Sebaliknya, kubu kedua berpendapat bahwa hukum Islam sesungguhnya lahir pada masa Nabi Muhaammad dan bahkan diformulasikan sendiri olehnya. Perdebatan antara kedua kubu inilah yang hendak diperlihatkan dalam artikel ini disertai argumentasi yang mendasari kubu masing-masing dan kritik yang dilancarkan oleh keduanya.
1. Nabi Muhammad dan al-Qur’an
Tesis yang
dikembangkan oleh Schacht merupakan hasil kajian historis yang dilakukan
terhadap peranan Nabi Muhammad dan fungsi al- Qur’an pada masyarakat Muslim
pada abad I H. Menurut Schacht, Muhammad ketika ada di mekkah memproklamasikan
dirinya sebagai “pembawa pesan dari Allah” dan ia sangat keberatan ketika kaum
kafir Quraysy menuduhnya sebagai kahin. Sebab di mata mereka, Muhammad ketika
menuturkan ayat-ayat al-Qur’an tidak lebih dari para dukun yang membaca mantera
dan jampi-jampi. Begitu juga peran yang dijalankan oleh Muhammmad sebagai
penengah terhadap berbagai kasus yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,
tidak lebih sama dengan peran para kahin di masyarakat jahiliyah. Salah satu
contoh yang dikemukakan Schacht adalah peran
sebagai hakam dalam
kasus perkawinan (QS. 4: 35) yang dipraktikkan oleh Muhammad adalah
sama dengan fungsi kahin dalam masyarakat Arab
praIslam.
Penolakan Muhammad atas tuduhan sebagai kahin bukannya tanpa alasan. Muhammad, menurut Schacht, tidak ingin membatasi dirinya hanya sebagai hakam atau arbitrator dalam komunitasnya, tetapi ia mempunyai ambisi politik yang kuat yang berhasil diraihnya setelah berimigrasi ke Madinah. Di sana Muhammad membangun sebuah masyarakat baru yang merupakan batu loncatan untuk memenuhi ambisi politiknya. Karenanya, Muhammad pada dasarnya lebih tertarik pada masalah-masalah politik ketimbang pada masalah-masalah hukum. Bahkan, lanjutnya, otoritas Muhammad bukanlah pada masalah-masalah hukum, namun hanya berkaitan dengan masalah-masalah religius dan politik. Pernyataan tersebut senada dengan Ignaz Goldziher yang menggambarkan bahwa ketika di Madinah pun, Muhammad tidak menghentikan kegiatannya sebagai pemberi peringatan, namun kerasulannya mengalami bentuk baru. Muhammad tidak lagi semata-mata sebagai penyampai wahyu. Perubahan situasi menjadikannya sebagai penyerang, penakluk, dan kepala negara. Ia mengorganisasikan sebuah masyarakat baru yang sedang berkembang. Islam sebagai sebuah institusi mengambil bentuk baru di Madinah. Di sinilah untuk kali pertama bentuk masyarakat Islam, hukum, dan aturan-aturan politik mulai terlihat.[2]
2. Perkembangan Hukum Islam pada Periode Bani Umayyah
Untuk mendukung teorinya, Schacht
mengajukan argumen lain yakni deskripsi situasi yang terjadi setelah Muhammad
wafat, ketika kekuasaan dipegang oleh para khalifah yang bertindak sebagai
penetap hukum dalam masyarakat.
Ketika itu, para khalifah tidak menunjuk qadlî dan tidak pulameletakkan fondasi
yang nantinya dapat dijadikan dasar bagi sistem peradilan Islam. Yang mereka
lakukan adalah meneruskan modifikasi dan kompilasi atas sistem arbitrasi
Arab pra-Islam. Juynboll,
yang selalu mendukung
teori Schacht, menjelaskan bahwa keempat khalifah Islam menetapkan sebuah
sistem meurut standar mereka masing-masing.3
Mereka mengatur masyarakat Islam dengan semangat kerasulan, tetapi
mereka menyelesaikan masalah-masalah yang timbul menurut jalan pikiran
masing-masing, tidak mencontohkan apa yang telah Dinasti Bani Umayyah menggantikan fungsi kekhalifahan di Madinah pada pertengahan
abad I H. Oleh Schacht,
periode ini dipandang sebagai periode yang sangat
menentukan dalam perkembangan hukum Islam. Sesungguhnya, Dinasti Bani Umayyah
tidak terlalu memberikan perhatian pada agama dan perangkat hukumnya. Mereka
lebih menfokuskan diri pada administrasi bidang politik. Begitu juga, mereka bertanggung jawab atas perkembangan sejumlah upacara keagamaan
dan peribadatan yang sebelumnya masih dalam tahap pertumbuhan.
Dinasti Bani Umayyah dalam
menghadapi perang terhadap musuh- musuhnya menetapkan regulasi dan administrasi
hukum seperti hukum perang dan administrasi keuangan. Salah satu contohnya
adalah pemberlakuan terhadap sepertiga dari kepemilikan. Artinya, apabila
seseorang meninggal dunia tanpa diketahui ahli warisnya, maka sepertiga dari
hartanya diserahkan kepada bayt al-mal. Mereka juga mengambil langkah yang sangat
signifikan terhadap administrasi hukum dengan mengangkat para qadlî. Para
gubernur pada masa itu berkuasa pada tingkat provinsi. Mereka mendelegasikan
kekuasaan kehakiman kepada pra qadlî sebagai pembentuk hukum yang hanya berlaku
atas kaum Muslim saja. Dalam mengambil keputusan hukum, yang nantinya menjadi
dasar dari hukum Islam, para qadlî tersebut menggunakan daya kreasi mereka
dengan jalan mengkombinasikan hukum setempat dengan semangat al-Qur’an dan
norma-norma hukum kontemporer dalam masyarakat Muslim.[3]
C. Prinsip Dasar Perundang-undangan dalam Islam
Kata prinsip secara
etimologi, adalah dasar, permulaan, atau aturan
pokok. Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut, bahwa
prinsip adalah permulaan; tempat pemberangkatan; titik tolak; atau al-mabda.
Secara terminologi, kata prinsip adalah kebenaran universal yang inheren di
dalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya; prinsip yang membentuk
hukum dan setiap cabang-cabangnya.[4]
Prinsip hukum Islam meliputi
prinsip-prinsip umum dan prinsip- prinsip khusus. Prinsip umum ialah prinsip
keseluruhan hukum Islam yang bersifat universal. Adapun prinsip khusus ialah
prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam. Juhaya S. Praja lebih lanjut
mengatakan, ada tujuh prinsip umum hukum Islam; prinsip tauhid, prinsip
keadilan, prinsip , prinsip kebebasan, persamaan, prinsip dan prinsip
toleransi. Ketujuh prinsip tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a.
Prinsip Tauhid
Tauhid adalah salah
satu prinsip umum hukum Islam yang merupakan fondasi ajaran Islam. Prinsip ini
menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu
ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La Ilaha Illa Allah (Tidak ada
tuhan selain Allah). Segala ciptaan
Allah di muka bumi memiliki
tujuan yang merupakan bagian dari kebermaknaan wujud.
Di antara tujuan tersebut adalah
ibadah. Prinsip ini dipahami
dari firman Allah QS. Ali Imran Ayat 64:
ﻗﻞ ﻳٓﺎﻫﻞ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﺗﻌﺍﻟﻮﺍ
ﺍﻟﻰ ﻛﻠﻤﺔ ﺳﻮﺍۤﺀ ﺑﻴﻨﻨﺎ ﻭﺑﻴﻨﻜﻢ ﺍﻟﺎ ﻧﻌﺒﺪ ﺍﻟﺎ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻟﺎ ﻧﺸﺮﻙ ﺑﻪ ﺷﻲـﺍ ﻭﻟﺎ
ﻳﺘﺨﺬ ﺑﻌﻀﻨﺎ ﺑﻌﻀﺎ ﺍﺭﺑﺎﺑﺎ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﺎﻥ ﺗﻮﻟﻮﺍ ﻓﻘﻮﻟﻮﺍ ﺍﺷﻬﺪﻭﺍ ﺑﺎﻧﺎ ﻣﺴﻠﻤﻮﻥ
Artinya: Katakanlah: "Hai
ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada
perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka
berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah
orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".Berdasarkan atas prinsip
tauhid ini, maka proses dan pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam
arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manifestasi
rasa syukur kepada-Nya.
Dengan demikian tidak boleh
terjadi penuhanan antar sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya.
Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan hanya kepada-Nyalah seluruh
perhambaan manusia.
b.
Prinsip
Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan
untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang
diridhai Allah. Dalam filsafat hukum Barat dikenal sebagai fungsi social
engineering atau rekayasa sosial.Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, prinsip ini juga
dilihat pada peran negara dalam Islam sehingga negara tidak boleh memaksa
masyarakat untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya yang semena- mena.
Apa lagi yang menyalahi dengan hukum Islam. Pengkategorian Amar Makruf Nahi
Mungkar dinyatakan berdasarkan wahyu dan penalaran logis yuridis terhadap
kontek dimana persoalan hukum tengah terjadi.
c.
Prinsip
Kemerdekaan atau kebebasan
Prinsip kebebasan
dalam hukum Islam menghendaki agar agama/ hukum Islam disiarkan tidak
berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demonstrasi, argumentasi.
Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dalam arti luas
yang mencakup berbagai aspek, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal.
Kebebasan beragama
dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
Kebebasan bertindak, berekspresi dan berimajinasi merupakan kebebasan yang
melekat pada tiap-tiap individu manusia, bahkan merupakan hak paling asasi.
Kebebasan ini tidak boleh bertentangan dengan kemaslahatan umum, akidah dan lain-lain.
d.
Prinsip
Persamaan atau Egalite.
Prinsip persamaan yang
paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip
Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip
persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam
dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi
sosial seperti komunis.
Bukti konkrit dari
prinsip egalite dalam hukum Islam adalah penghapusan perbudakan dan penindasan
manusia atas manusia. Dalam konteks sesama muslim, Islam menjamin bahwa tak ada
perbedaan suku Arab dengan suku-suku lainnya. Dalam pandangan hukum Islam semua
manusia diperlakukan sama di mata hukum.Tidak ada yang didzholimi atau
diuntungkan dengan perbedaan antara orang Arab dan orang ajam kecuali disebut
equality before the law sejak empat belas abad yang lalu jauh sebelum hukum
modern.[5]
Garansi egalite dalam al-Quran terdapat dalam Surat al-Hujarat ayat 13,
Surat al- Isra. ayat 70.
e. Prinsip al- Ta'awun
Prinsip ini saling membantu
antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam
peningkatan kebaikan dan ketaqwaan. Prinsip ini menghendaki agar orang muslim
saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan. Prinsip ini merupakan
suatu prinsip yang mulia dan mengandung nilai tinggi dan terabaikan oleh ummat
Islam. Pengabaian ini disebabkan oleh pembekuan daya ijtihad oleh sebagian
fuqaha dan bertaqlid kepada warisan lama, menghilangkan kemaslahatan masyarakat
dengan aneka macam adat istiadatnya.
f.
Prinsip Toleransi.
Prinsip toleransi yang
dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak
Islam dan ummatnya, tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak
merugikan agama Islam. Wahbah Al-Zuhaili, memaknai prinsip toleransi tersebut
pada tataran penerapan ketentuan Al-Quran dan Hadits yang menghindari
kesempitan dan kesulitan, sehingga seseorang tidak mempunyai alasan dan jalan
untuk meninggalkan syariat ketentuan hukum Islam. Dan lingkup toleransi
tersebut tidak hanya pada persoalan ibadah saja tetapi mencakup seluruh
ketentuan hukum Islam, baik muamalah sipil, hukum pidana, ketetapan peradilan
dan lain sebagainya. Tasamuh atau toleransi dalam hukum Islam lebih tinggi
nilainya dari hanya sekedar rukun dan damai. Tasamuhyang dimaksudkan adalah
tidak memaksakan atau tidak merugikan sesama. Peringatan Allah berkaitan dengan
toleransi dinyatakan dalam Surat al-Mumtahanah ayat 8 dan 9.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hukum Islam menurut Schacht lahir pada masa
pemerintahan Bani Umayah. Pandangan ini bisa dipahami karena dalam
mengembangkan tesisnya, ia tidak melihat
al-Qur’an sebagai unsur yang patut diperhitungkan. Ia meletakkan
al-Qur’an sebagai alternatif kedua dalam konteks hukum di masyarakat Islam saat itu. Sebaliknya, Goitein
berpendirian bahwa hukum Islam itu telah eksis
pada abad kelima Hijriyah. Ia mendasarkan tesisnya pada ayat al-Qur’an,
suatu sikap yang tidak ditemukan pada diri Schacht, dan peristiwa bersejarah
pada era awal di Madinah.
Penetapan hukum dalam Islam tidak pernah
meninggalkan aspek kemaslahatan bagi manusia sesuai dengan prinsip maqsyid
syariah. Bukti-bukti tersebut tercermin dalam prinsip-prinsip yang dituangkan
dalam perumusan hukum Islam di atas. Di antara keutamaan mendasar dalam hukum
Islam terletak pada kesempurnaan segala hal yang dibutuhkan berupa
kaidah-kaidah dasar yang umum dan semua itu meliputi kebutuhan manusia baik
pada masa sekarang maupun masa yang akan datang. Kesempurnaan lain terletak
pada keagungan prinsip sehingga tingkat dan derajat manusiapun akan terangkat.
Terakhir, nilai kesempurnaan terletak pada keabadian dan kontinuitas dimana
nas-nas tidak dapat diubah ataupun diganti meskipun masa terus berganti dengan demikian
hukum Islam akan terus relevan
di setiap ruang
dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata.2005.Metodologi
Studi Islam,Yogyakarta:Gama
Media. Aminuddin,dkk.2005.Pendidikan Agama Islam,Bogor:Ghalia
Indonesia.
Ignaz.1981.Introduction to
Islamic Theology and Law, New Jersey:Princet on
University Press.
Juhaya S.Praja.1995.Filsafat Hukum
Islam,Bandung:LPPM.
Juynboll,G.H.A.1983.Muslim Tradition:Studies Chronology, Provenance and Authorship of Early
Hadith, Cambridge:Cambridge
UniversityPress.
[1] Buddin Nata,Metodologi Studi Islam,(Yogyakarta:Gama
Media,2005) hlm. 4
[2] Ignaz Goldziher,Introduction to Islamic Theology and Law(New
Jersey:Princeton University Press,1981),hlm.8.
[3] G.H.A.Juynboll,MuslimTradition:Studies Chronology,Provenance and
Authorshipof Early Hadith(Cambridge:Cambridge University Press,1983),hlm.15
[4] Juhaya S.Praja,Filsafat Hukum Islam,(Bandung:LPPM,1995),Him
69
[5] Topo Santoso,Membumikan Hukum Pidana Islam,(Jakarta:GemaInsani,2003),hlm.1
Komentar
Posting Komentar