MAKALAH BANGSA ARAB PRA ISLAM, MAKKAH, KA'BAH DAN KAUM QURAISY
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
MAKALAH BANGSA ARAB PRA ISLAM, MAKKAH, KA'BAH DAN KAUM QURAISY
By: Putri, dkk.
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Letak
geografis daerah Yastrib dan Mekkah terletak di daerah Hejaz yaitu di bagian
utara Pegunungan Sarah yang terbentang dari teluk Aqabah dan berakhir di Negara
Yaman. Kota yastrib yang relatif subur dengan alamnya yang berupa gunung dan
lembah yang cocok untuk pertanian. Hijaz adalah sebagai pembatas yang
memisahkan daerah Najed dengan daerah Tihamah yang biasa disebut daerah pantai.
Kota Yastrib dan Mekkah ini adalah dua kota terbesar di seluruh Hejaz dan
merupakan pemerintahan-pemerintahan yang berkuasa pada masa jahiliah.
Kota Yastrib dihuni oleh berbagai
macam suku, salah satunya adalah suku Amalek. Suku Amalek adalah suku suku yang
berpindah dari Mesopotamia Selatan ke Timur Tengah. Dalam perpindahannya itu
sebagian dari mereka menetap, dan sebagian menguasai Hejaz dan kemudian
memperluas wiayahnya hingga kota Yastrib dan Mekkah. Dari situlah suku Amalek
ini dikenal dengan “Amalek Hejaz”. Nama Yastrib sendiri berasal dari nama
seorang dari kaum Amalek. Kaum Amalek yang berkuasa di Hejaz terkenal sebagai suku
yang amat kejam dalam pemerintahannya.
Masuknya islam ke Yastrib ini
terkait dengan adanya Nabi Muhammad s.a.w. Setelah paman Nabi Muhammad
meninggal yaitu Abu Thalib, kaum Quraisy terus menerus menyakiti Nabi Muhammad.
Akhirnya Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah dan mencoba untuk berdakwah ke
Thaif, namun ternyata Nabi Muhammad justru mendapatkan perlakuan yang lebih
buruk di Thaif.Karena sudah tidak diterima lagi di Makkah dan Thaif maka Nabi
Muhammad berdakwa secara diam-diam.
B. Rumusan
Masalah
1. Kapan masuknya islam ke yatsrib/madinah
2. Kapan masuknya islam ke mekkah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Letak geografis
Letak geografis daerah Yastrib dan
Mekkah terletak di daerah Hejaz yaitu di bagian utara Pegunungan Sarah yang
terbentang dari teluk Aqabah dan berakhir di Negara Yaman. Kota yastrib yang
relatif subur dengan alamnya yang berupa gunung dan lembah yang cocok untuk
pertanian.[1]
Hijaz adalah sebagai pembatas yang memisahkan daerah Najed dengan daerah
Tihamah yang biasa disebut daerah pantai. Kota Yastrib dan Mekkah ini adalah
dua kota terbesar di seluruh Hejaz dan merupakan pemerintahan-pemerintahan yang
berkuasa pada masa jahiliah.[2]
Kota Makkah terletak di perut
lembah, yang dikelilingi oleh bukit-bukit dari segala arah, dari sebelah timur
membentang bukit Abu Qubais (Jabal Abu Qubais) dan dari barat dibatasi oleh dua
bukit (gunung) Qa’aiqa’ dan keduanya berbentuk bulan sabit mengelilingi
perkampungan Makkah. Pada bagian yang rendah dari lembah tersebut adalah
Al-Bathhaa’ yang ada padanya Ka’bah dan dikelilingi oleh rumah-rumah orang
Quraisy. [3]
Sedangkan bagian yang tinggi dikenal dengan
Al-Mu’alaah dan pada bagian ujung-ujung kedua bukit yang berbentuk bulan sabit
tersebut dibangun rumah-rumah sederhana milik orang Quraisy Dzawaahir yaitu
orang-orang pedalaman (A’rob) Quraisy yang miskin dan mereka merupakan
serdadu-serdadu perang, akan tetapi mereka ini dibawah kaum Quraisy Bathhaa’
(yang tinggal di bathhaa’) dalam kebudayaan, kekayaan dan martabatnya.[4]
B. Penduduk Arab di Yastrib/Madinah
a.
Amalek Hejaz
Kota Yastrib dihuni oleh berbagai
macam suku, salah satunya adalah suku Amalek. Suku Amalek adalah suku suku yang
berpindah dari Mesopotamia Selatan ke Timur Tengah. Dalam perpindahannya itu
sebagian dari mereka menetap, dan
sebagian menguasai Hejaz dan kemudian memperluas wiayahnya hingga kota Yastrib
dan Mekkah. Dari situlah suku Amalek ini dikenal dengan “Amalek Hejaz”. Nama
Yastrib sendiri berasal dari nama seorang dari kaum Amalek. Kaum Amalek yang
berkuasa. Hejaz terkenal sebagai suku
yang amat kejam dalam pemerintahanny.
Nama Amalek berasal dari kata ‘Am
yang diambil dari bahasa ibrani yang memiliki arti bangsa, sedangkan Amalek
merupakan nama sebuah suku di Aqabah. Suku Amaliqah memiliki pusat kekuasaan di
Mesir dan kekuasaan yang juga tersebar di berbagai daerah, seperti Yaman,
Suriah, Makkah, dan Yastrib. Suku ini memiliki sistem pemerintahan yang
otoriter dan memiliki pengaruh yang cukup besar di beberapa kawasan di Arab.[5]
Suku Amalek terbagi dalam dua
kelompok, yaitu kelompok yang dipimpin oleh Al- arqam bin abu al-Arqam dan juga
kelompok yang dipimpin oleh Faleh. Pada tahun 1600 SM kelompok Faleh mengusir
para pengikut Nabi Nuh A.S yang telah lebih dahulu menempati kota Yastrib.
Sejak saat itu, suku Amalek berhasil menguasai dan memerintah kota Yastrib.[6]
Suku Amalek menempati kota Yastrib
dalam waktu yang sangat lama. Hingga akhirnya Nabi Musa a.s yang meninggalkan
Mesir dengan membawa kaum yahudi yang tertindas memerintahkan sebagian
tentaranya untuk memerangi suku Amalek yang ada di Yastrib.[7]
Dalam peperangannya melawan Yahudi, suku Amalek mengalami kekalahan dan
kehancuran.[8]
Hal inilah yang mengakibatkan perpindahan kekuasaan kota Yastrib dari suku
Amalek kepada kaum Yahudi.
b.
Kaum Yahudi
Setelah Amalek menguasai kota Mekkah
selanjutnya adalah suku Yahudi. Nabi Musa membawa kaum Yahudi Mesir untuk
hijrah ke Palestina. Di tengah perjalanannya menuju Palestina, ketika itu Nabi
Musa memerintahkan pasukan Yahudi untuk memerangi suku Amalek yang ada di
Yastrib tanpa menyisakan satu pun penduduk Amaliqah. Kaum Yahudi akhirnya
berangkat ke Yastrib untuk memerangi suku Amalek. [9]
Kemudian kaum Yahudi berhasil
mengalahkan suku Amalek di Yastrib, namun ketika menghabisi semua penduduk suku
Amalek, kaum Yahudi yang diutus Nabi Musa tersebut menyisakan satu anak
lak-laki keturunan Raja Amalek untuk
hidup di Yastrib. Hal ini diketahui oleh kaum Yahudi lainnya yang menunggu
mereka di Palestina yang pada saat itu telah kehilangan Nabi Musa a.s. [10]
Bala tentara Yahudi tersebut
diketahui melanggar perintah Nabi Musa a.s, maka kaum Yahudi yang telah
memasuki kawasan Palestina tepatnya di Syarqul Urdun tidak mengizinkan mereka
untuk memasuki kawasan Palestina. Bala tentara tersebut diusir dan tidak
diperkenankan untuk bergabung dan tinggal di Palestina. Karena hal ini akhirnya
mereka memilih untuk kembali ke Yastrib dan menetap disana.[11]
Kaum Yahudi yang menetap di Yastrib
mulai membangun pemerintahan dan memperkuat kedudukan di Yastrib. Mereka tidak
mendapat hambatan yang berarti karena suku Amalek telah mereka perangi
sebelumnya. Sementara mereka memperkuat kedudukannya, kaum Yahudi lainnya yang
menetap di Palestina mendapat serangan dari Romawi. Orang–orang Romawi
menghancurkan rumah- rumah Yahudi di Palestina, tentara Romawi juga
menghancurkan tempat peribadatan kaum Yahudi di Palestina yaitu Haikal
Sulaiman. Selain menghancurkan tempat peribadatan kaum Yahudi, orang-orang
Romawi juga menghancurkan kerajaan Yahudi di Palestina dan mengganti nama kota
Jerusalem menjadi Aelia Capitolina. Akibat dari peristiwa ini, sebagian kaum
Yahudi melarikan diri dari Palestina menuju Hejaz.[12]
Kaum Yahudi yang melarikan diri dari
Palestina diantaranya adalah suku Qainuqa’, Suku Quraizhah, dan suku Nadhir.
Mereka berhasil sampai ke Yastrib dan bergabung dengan kaum Yahudi lainnya yang
sebelumnya telah menempati Yastrib terlebih dahulu. Dengan kedatangan beberapa
suku Yahudi dari Palestina, maka pemerintahan Yastrib yang sebelumnya telah
dibangun oleh sebagian kaum Yahudi menjadi semakin kuat, dan sejak itulah Yastrib
benar-benar telah berhasil dikuasai oleh kaum Yahudi.[13]
Alasan lainnya adalah kota Yastrib yang aman dan kemampuan berpolitik yang
sangat baik membuat Bangsa Yahudi dapat berkuasa di Yastrib.[14]
c.
Aus dan
Khazraj
Suku Arab yang pernah mendiami Yastrib
selain Bangsa Yahudi dan Suku Amalek adalah suku Aus dan Khazraj, kaum Aus dan
Khazraj yang sebelumnya juga pernah mendiami Yaman. Suku Aus dan Khazraj
merupakan keturunan dari Banu Qhahtan yang bertempat tinggal di Mesopotamia.
Kedatangan orang-orang Arab dari kabilah Aus dan Khazraj ke Yastrib terkait
dengan adanya musibah banjir besar yang terjadi di Yaman. Pada akhirnya mereka
pindah ke Yastrib untuk bertahan hidup.[15]
Di Yaman, Bani Qahthan mendirikan
beberapa kerajaan, salah satunya kerajaan Sabaiyah. Di Kerajaan Sabaiyah
tersebut didirikanlah bendungan yang sangat terkenal yang disebut dengan “Saddu
Ma’rib” (bendungan Ma’rib). Bendungan ini telah membawa keberkahan bagi
kaumnya, tetapi karena kelalaian kaum tersebut bendungan tersebut akhirnya
membawa kehancuran bagi kaumnya sendiri. Setelah lama tidak mendapatkan
perawatan sewajarnya, bendungan Ma’rib roboh dan Kerajaan Sabaiyah pun rubuh.
Penduduk kota yang selamat melakukan perpindahan ke berbagai tempat di Arab. Di dalam
perpindahan tersebut terdapat suku Aus dan Khazraj. Suku Aus dan Khazraj
melakukan perpindahan ke Yatsrib. Pada saat itu pemerintahan di Yatsrib
dipegang oleh bangsa Yahudi. Namun, oleh orang-orang Yahudi tidak memperlakukan
suku Aus dan Khazraj dengan baik.[16]
Selain suku Aus dan Khazraj yang selamat dari
bencana robohnya bendungan Ma’rib terdapat pula perpindahan Bani Jafnah ke
tanah Arab yang lain. Bani Jafnah ini berpindah ke Utara ke suatu dataran di
bagian selatan negeri Syam (Suriah) yang bernama Hauran, yang terletak di
sebelah tenggara kota Damaskus. Di dataran Hauran inilah mereka menetap di
sekitar mata air yang disebut dengan nama “Ghassan”,
dan terkenalah mereka dengan sebutan “Ghasasinah” (orang-orang Ghassan).
Lama-kelamaan Ghasasinah menjadi kuat dan dengan pertolongan bangsa Romawi
mereka mendirikan kerajaan di daerah itu, kira-kira pada akhir abad ke-3 M.
Kekuasaan mereka meluas dari Jaulan (Syarqil Urdun) sampai ke Tadmur (Palmyra).[17]
Adapun
Aus dan Khazraj di Yastrib, mereka masih berada di bawah kekuasaan dari
penindasan orang-orang Yahudi. Suatu ketika pemimpin atau pembesar dari kaum
Ghassan yang bernama Abu Jubailah mengetahui bahwa kaum Aus dan Khazraj
menderita ketika berada di Yastrib, lalu Abu Jubailah mengambil tindakan untuk
pergi ke Yastrib dengan membawa bala tentaranya tanpa sepengetahuan orang lain
mereka berpura-pura menuju Yaman. Agar bangsa Yahudi tidak mengetahui dan
bersembunyi di benteng-benteng mereka maka Abu Jubailah mengadakan tipu
muslihat yang licik. Hingga akhirnya seluruh bangsa Yahudi mulai dari para
pembesar-pembesar serta pengawal masuk satu persatu lalu dibunuhnya semuanya
secara bergiliran. Bangsa Yahudi telah kehilangan pemimpin tak ada yang bisa
diperbuat hanyalah menggambarkan Malik Bin ‘Ajalan (seorang pemimpin kaum Aus
dan Khazraj) di dinding-dinding biara mereka.[18]
C. Masuknya Islam ke Yastrib/Madinah
Masuknya islam ke Yastrib ini terkait
dengan adanya Nabi Muhammad s.a.w. Setelah paman Nabi Muhammad meninggal yaitu
Abu Thalib, kaum Quraisy terus menerus menyakiti Nabi Muhammad. Akhirnya Nabi
Muhammad meninggalkan kota Makkah dan mencoba untuk berdakwah ke Thaif, namun
ternyata Nabi Muhammad justru mendapatkan perlakuan yang lebih buruk di Thaif.[19]
Karena sudah tidak diterima lagi di Makkah dan Thaif maka Nabi Muhammad
berdakwa secara diam-diam kepada para jamaah haji yang menunaikan ibadah haji
ke Makkah. Disana ada para jamaah haji yang berasal dari suku Aus di Yastrib.
Mendengar dakwah Nabi Muhammad, ia merasa tersentuh dan yakin bahwa Nabi
Muhammad merupakan nabi yang sering disebut-sebut oleh kaum Yahudi. Para jemaah haji itu sangat mengharapkan
kehadiran Nabi Muhammad di tengah-tengah peperangan yang terjadi di Yastrib
antara Aus dan Khazraj, mereka menginginkan adanya pemimpin yang dapat
mendamaikan Aus dan Khazraj. Para
jamaah haji yang mendengar tentang dakwah Nabi Muhammad pulang ke Yastrib dan
mengabarkan kepada penduduk Yastrib mengenai Nabi Muhammad dan Islam. Para
penduduk Yastrib sangat antusias mendengar berita Nabi Muhammad, maka mereka mengirim
utusan yang diwakilkan oleh beberapa lelaki dari suku Aus dan Khazraj untuk
menemui Nabi Muhammad. Setelah bertemu dengan Nabi Muhammad mereka yakin untuk
memeluk islam dan mengajak Nabi Muhammad hijrah ke Yastrib.[20]
Untuk menjaga kehidupan dan kelestarian Masyarakat Islam yang baru tumbuh
ini, tugas pertama Nabi adalah mendirikan masjid yang akan menjadi pusat bagi
seluruh kegiatan Islam. Kemudian perselisihan dan perpecahan antara Aus dan
Khazraj diselesaikan sampai selesai. Oleh Nabi, sebutan lama yaitu Aus dan
Khazraj diganti menjadi Al Anshor (penolong-penolong), maksudnya mereka adalah
penolong-penolong dan pendukung-pendukung Nabi s.a.w. Sedangkan kaum Muslimin
Makkah yang berhijrah ke Yatsrib oleh Nabi mereka disebut Al Muhajirin
(orang-orang yang berhijrah). Rasulullah membina persatuan dengan cara
mempersaudarakan antara Kaum Anshor dan Kaum Muhajirin. [21]
D.
Penduduk Arab di Mekkah
a.
Bani Ismail
Ismail
merupakan anak dari Nabi Ibrahim dan istrinya bernama Siti Hajar. Siti Hajar
ini adalah istri kedua dari Nabi Ibrahim, karena istri pertama Nabi Ibrahim
tidak suka dengan Siti Hajar maka ia pun meminta untuk memindahkan Siti Hajar
dan anaknya yaitu Ismail. Dibawalah Siti Hajar dan Ismail ke suatu lembah di
dekat makkah lalu Nabi Ibrahim meninggalkannya.[22]
Siti
Hajar dan Ismail tinggal di Makkah bersama dengan kaum Jurhum yang telah
terlebih dahulu menguasai dan memerintah kota Makkah. Setelah Ismail dewasa ia
menikahi seorang wanita dari kaum Jurhum, dari sinilah muncul anak-anak ismail
yang kemudian dilanjutkan menjadi Bani Ismail. Dalam kehidupan sehari-hari
Ismail dan keturunannya hidup berdampingan dengan Jurhum, dan mereka membuat
pembagian tugas dalam urusan pemerintahan kota Makkah. Untuk urusan peperangan,
kenegaraan dipegang oleh Jurhum, sedangkan untuk urusan keagamaan dan Ka’bah
dipegang oleh Ismail.[23]
b.
Kabilah Jurhum
Pasca Ibrahim, kabilah Jurhum adalah
kabilah yang datang dari Yaman, mereka terlibat persengketaan diantara
kabilah-kabilah yang lain dan akhirnya diantara mereka mencari tempat perlindungan
selain di Yaman hingga akhirnya mereka tiba di suatu kota yaitu kota Mekkah.
Lalu, kabilah Jurhum menguasai kota mekkah secara total mereka memiliki
kekayaan yang amat melimpah. Ada sebuah kisah bahwa di Mekkah ada tempat
perkampungan yang bernama Amalek, warga yang didalamnya itu sangat hidup
makmur. Mereka (kabilah Jurhum) mempunyai unta yang digembalakan hampir setiap
sudut di Mekkah. Tetapi, mereka tidak pandai bersyukur kepada Tuhan, sehingga
datanglah azab kepada mereka, yaitu tidak diturunkannya hujan. Mereka menghadapi kekeringan yang tidak
pernah terjadi sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut mereka menjual air
Zam-zam yang merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki Mekkah. [24]
Berita
tentang memancarnya air seketika menjadi terkenal di seluruh penjuru tanah
Arab. Maka berdatanganlah manusia dari segala penjuru Jazirah Arab itu. Tempat
air yang memancar itu terletak tidak jauh dari kota yang didiami manusia yaitu
Makkah. Semakin banyaklah orang berdatangan hanya untuk sekedar beristirahat
dari perjalanan jauh. Dan karena dekat dengan Makkah, Ismail menetap di Makkah
bersama suku Jurhum. Pada waktu itu pemerintahan di tangan Jurhumuts Tsaniah
atau Jurhum Kedua. Sedangkan Nabi Ibrahim sering mengunjungi Ismail dan ibunya
ke Makkah. Sampai turunlah perintah dari Allah SWT untuk menyembelih Ismail
sebagai kurban kepada Allah. Ismail pun bersedia dan ketika sedang menyembelih
terdengar suara untuk berhenti dan seketika itu terlihatlah seekor anak
biri-biri, maka jadilah biri-biri itu yang disembelihnya. Peristiwa ini
diperingati umat Muslim untuk menyembelih binatang kurban di hari Raya Haji.[25]
Salah
satu hal yang paling menonjol dari hilangnya tanggung jawab kabilah Jurhum
yaitu mereka lalai dalam mengelola kota Mekkah. Mereka melakukan korupsi
terhadap kekayaan yang dhasilkan dari ziarah Ka’bah bahkan mereka mencuri
perhiasan yang ada di ka’bah lalu menyimpannya di dalam sumber air Zam-zam
hingga saluran airnya tersumbat. Hal tersebut menimbulkan dampak negatif yang
pada akhirnya kota Mekkah mengalami kekeringan yang berkepanjangan. Dengan
situasi seperti itu kabilah Khuza’ah mengambil alih kota Mekkah.[26]
c.
Kabilah Khuza’ah
Setelah
meninggalnya Nabi Ismail, kaum Jurhum mulai terlena akan hal duniawi. Tidak ada
lagi yang mengingatkan tentang agama, pada masa inilah muncul suku Khuza’ah
yang merupakan kafilah di Yaman untuk mencari tempat kehidupan baru. Pada saat
itu suku Khuza’ah sedang mencari tempat peristirahatan setelah melakukan
perjalanan dari Yaman, mereka meminta ijin kepada suku Jurhum untuk
beristirahat sebentar di makkah, namun suku Jurhum menolak permintaan yang
kemudian menimbulkan rasa sakit hati dan berujung pada peperangan.[27]
Dalam peperangan ini, Jurhum mendapatkan kekalahan yang menjadikan Makkah jatuh
ke tangan Khuza’ah.[28]
Khuza’a mengambil banyak pelajaran dari
para pendahulunya ia melanjutkan kebiasaan baik yang pernah dilakukan oleh
kabilah Jurhum. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang berkenaan dengan
penyalahgunaan tanggung jawab mereka tinggalkan. Mereka dikenal dengan kabiah
yang tidak suka menipu, salah satu hal yang paling menonjol yang dilakukan oleh
kabilah Khuza’ah yaitu mereka menggali sumber air Zam-zam lebih dalam agar
tidak terjadi kekeringan dan menjaga keselamatan diri dari krisis air.[29]
Suku
Quraisy
Setelah
kaum khaza’ah berkuasa di Mekkah lalu berkuasalah suku Quraisy. Telah
diterangkan sebelumnya bahwa Adnan merupakan keturunan Nabi Ismail. Kemudian
Adnan turun temurun menurunkan Fihr bin Malik, dan Fihr inilah yang disebut
Quraisy. Diantara suku Quraisy inilah lahir seorang pemimpin yang kuat, cerdas,
dan berwibawa yang bernama Qushai Bin Kilab. Qushai sendiri berdiam di utara
kota Makkah, setelah berpindah ke pusat kota Makkah dan menetap sehingga menghasilkan keturunan
yang banyak.
Beberapa waktu setelahnya terjadilah perang
antara suku Quraisy dengan suku Khuza’ah. Karena tidak ada perdamaian diantara
keduanya dan sudah banyak jatuh korban maka didatangilah seorang penengah dari
bangsa Arab bernama Ya’mur Bin ‘Auf. Ya’mur memutuskan bahwa yang lebih berhak
memegang urusan Baitullah dan Makkah adalah Qushai. Maka dijalankanlah
keputusan Penengah itu. Dengan demikian resmilah sudah bahwa kekuasaan
pemerintahan di Makkah berpindah tangan ke suku Quraisy dari tangan suku
Khuza’ah.[30]
Setelah Qushai mulai dewasa, ia mulai
mengetahui bahwa ia merupakan seorang keturunan Bani Adnan yang mendiami
Makkah, maka ia pergi ke Makkah dan tinggal disana. Ia ingin merebut kekuasaan
Makkah dari tangan suku Khuza’ah, maka ia bersatu dengan Banu ‘Udzrah dan kaum
Quraisy Makkah berperang melawan Khuza’ah. Hasil dari peperangan itu yaitu
Quraisy berhasil menguasai urusan Ka’bah dan Makkah. Kemudian Khuza’ah diusir
keluar dari Makkah. Sejak itulah Makkah dikuasai oleh suku Quraisy. [31]
Qushai
sendiri berdiam di utara kota Makkah, setelah berpindah ke pusat kota
Makkah dan menetap sehingga menghasilkan
keturunan yang banyak. Beberapa waktu setelahnya terjadilah perang antara suku
Quraisy dengan suku Khuza’ah. Karena tidak ada perdamaian diantara keduanya dan
sudah banyak jatuh korban maka didatangilah seorang penengah dari bangsa Arab
bernama Ya’mur Bin ‘Auf. Ya’mur memutuskan bahwa yang lebih berhak memegang
urusan Baitullah dan Makkah adalah Qushai. Maka dijalankanlah keputusan
Penengah itu. Dengan demikian resmilah sudah bahwa kekuasaan pemerintahan di
Makkah berpindah tangan ke suku Quraisy dari tangan suku Khuza’ah.[32]
E.
Masuknya Islam ke Makkah
masuknya
Islam ke Makkah terkait adanya kekuasaan Nabi Muhammad. Setelah hijrahnya Nabi
Muhammad ke Madinah, kaum Quraisy masih tetap memusuhi Islam. Atas izin Allah
SWT, kaum Muslimin akhirnya memerangi kaum Quraisy. Peperangan ini terjadi
kira-kira selama lima tahun. Pada bulan Dzulhijah tahun 6 H atau bulan Februari
tahun 628 M, terjadilah “Perdamaian Hudaibiyah” bahwa Nabi Muhammad bukanlah
musuh, beliau adalah manusia berbudi pekerti luhur yang tidak melupakan
silaturahim sesama saudara. Perjanjian hudaibiyah ini merupakan awal mulanya
penduduk Musyrikin Quraisy sadar karena tahun berikutnya Nabi Muhammad beserta
kaum Muslimin melakukan umrah dan haji. Sehingga pada tahun 8 H (629 M)
beberapa orang pemimpin kaum Musyrikin masuk Islam, yaitu Khalid bin Walid, Amr
bin ‘Ash, dan Usman bin Thalhah.[33]
Pada
tahun 8 H (629 M) kaum Musyrikin Quraisy melanggar perjanjian hudaibiyah
sehingga tidak ada alasan bagi Nabi Muhammad untuk tidak menaklukan Makkah.
Maka pada bulan Ramadhan tahun 8 H (Januari 630 M), Nabi Muhammad dengan
pasukan terdiri sepuluh ribu kaum Muslimin berangkat dari Madinah menuju
Makkah. Akhirnya kota Makkah dapat ditaklukkan tanpa perlawanan yang berarti
dari kaum Musyrikin Quraisy. Setelah mengetahui luhurnya budi pekerti yang
dimiliki Nabi Muhammad, dan meyakini bahwa Islam lah agama yang benar maka
dengan berbondong-bondong mereka menganut agama Islam. Dengan Islamnya seluruh
penduduk Makkah, maka berpindahlah kekuasaan atas kota Makkah dari tangan kaum
Quraisy ke tangan Nabi Muhammad SAW.[34]
Selain
itu, penyembahan terhadap berhala lenyaplah sudah di penjuru tanah Arab setelah
penaklukkan Makkah dan Islamnya Quraisy. Nabi Muhammad memerintahkan untuk
menghancurkan 360 berhala yang berada di dalam dan di sekitar Ka’bah.[35]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
masuknya Islam ke Makkah terkait adanya kekuasaan
Nabi Muhammad. Setelah hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah, kaum Quraisy masih
tetap memusuhi Islam. Atas izin Allah SWT, kaum Muslimin akhirnya memerangi
kaum Quraisy. Peperangan ini terjadi kira-kira selama lima tahun. Pada bulan
Dzulhijah tahun 6 H atau bulan Februari tahun 628 M, terjadilah “Perdamaian
Hudaibiyah” bahwa Nabi Muhammad bukanlah musuh, beliau adalah manusia berbudi
pekerti luhur yang tidak melupakan silaturahim sesama saudara. Perjanjian
hudaibiyah ini merupakan awal mulanya penduduk Musyrikin Quraisy sadar karena
tahun berikutnya Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin melakukan umrah dan haji.
Sehingga pada tahun 8 H (629 M) beberapa orang pemimpin kaum Musyrikin masuk
Islam, yaitu Khalid bin Walid, Amr bin ‘Ash, dan Usman bin Thalhah.
Untuk menjaga
kehidupan dan kelestarian Masyarakat Islam yang baru tumbuh ini, tugas pertama
Nabi adalah mendirikan masjid yang akan menjadi pusat bagi seluruh kegiatan
Islam. Kemudian perselisihan dan perpecahan antara Aus dan Khazraj diselesaikan
sampai selesai. Oleh Nabi, sebutan lama yaitu Aus dan Khazraj diganti menjadi
Al Anshor (penolong-penolong), maksudnya mereka adalah penolong-penolong dan
pendukung-pendukung Nabi s.a.w. Sedangkan kaum Muslimin Makkah yang berhijrah
ke Yatsrib oleh Nabi mereka disebut Al Muhajirin (orang-orang yang berhijrah).
Rasulullah membina persatuan dengan cara mempersaudarakan antara Kaum Anshor
dan Kaum Muhajirin.
B. Saran
Demikianlah
makalah yang dapat kami sajikan yang sudah tentu banyaknya kekeliruan baik dari
segi materi maupun penyampaian kami. Kami sadar bahwa kami adalah manusia biasa
yang tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Maka kami mohon akan kritik dan
saran anda semua serta masukan-masukan yang bersifat membangun demi masa
depannya. Semoga makalah kami yang berikan ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Daftar
Pustaka
Zuhairi Misrawi, Madinah, Kota suci,
Piagam Madinah, Teladan Muhammad SAW, Jakarta:Kompas, 2009, hlm. 187.
Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan
Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1985, hlm, 191
Kholid Syamhudi, http://ustadzkholid.com/sejarah-islam/kota-makkah/, 24 februari 2009.
Zuhairi Misrawi, Mekkah: Kota Suci
,Kekuasaan dan Teladan Nabi Ibrahim, Jakarta:Kompas, 2009, hlm 95.
Philip,K, Hitti, History of the Arab.
Jakarta: Serambi. 2008.
[1] Zuhairi Misrawi, Madinah,
Kota suci, Piagam Madinah, Teladan Muhammad SAW, Jakarta:Kompas, 2009, hlm.
187.
[2] Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur
Tengah Sebelum Lahir Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 191
[3]
Kholid Syamhudi, http://ustadzkholid.com/sejarah-islam/kota-makkah/, 24
februari 2009.
[4] Kholid
Syamhudi, http://ustadzkholid.com/sejarah-islam/kota-makkah/, 24 februari 2009.
[5] Zuhairi Misrawi,
Madinah Kota Suci Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Buku
Kompas, 2009, hlm.159
[6] Zuhairi Misrawi,
Madinah Kota Suci Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Buku
Kompas, 2009, hlm.158.
[7] Zuhairi Misrawi,
Madinah Kota Suci Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Buku
Kompas, 2009, hlm.160.
[8] Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1985, hlm. 192.
[9]Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1985, hlm. 192.
[10] Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1985, hlm. 192.
[11] Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan
Bintang, 1985, hlm. 192.
[12] Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan
Bintang, 1985, hlm. 193.
[13] Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan
Bintang, 1985, hlm. 193.
[14] Mukhtar Yahya,
Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 341.
[15]Zuhairi Misrawi, Madinah,
Kota suci, Piagam Madinah, Teladan Muhammad SAW, Jakarta:Kompas, 2009, hlm.
182.
[16] Mukhtar
Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 345
[17] Mukhtar
Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 345
[18] Mukhtar Yahya,
Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 345
[19] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan
di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 204.
[20] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan
di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm.207.
[21] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan
di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm.206.
[22]Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1985, hlm. 228
[23]Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1985, hlm. 231
[24] Zuhairi Misrawi, Mekkah:
Kota Suci ,Kekuasaan dan Teladan Nabi Ibrahim, Jakarta:Kompas, 2009, hlm
94.
[25] Prof.
DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah,
Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 231
[26] Zuhairi Misrawi, Mekkah:
Kota Suci ,Kekuasaan dan Teladan Nabi Ibrahim, Jakarta:Kompas, 2009, hlm
95.
[27] Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1985, hlm. 231
[28] Prof. DR. H. Mukhtar
Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta:
Bulan Bintang, 1985, hlm. 233
[29] Zuhairi Misrawi, Mekkah:
Kota Suci ,Kekuasaan dan Teladan Nabi Ibrahim, Jakarta:Kompas, 2009, hlm
96.
[30] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan
di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 236
[31]Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan
di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 237
[32] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan
di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 237
[33] Philip,
K, Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi, 2008, hlm 15
[34]
Philip, K, Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi, 2008, hlm 16
[35]
Philip, K, Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi, 2008, hlm 16
Komentar
Posting Komentar