MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah. Hal inisangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pend

MAKALAH BANGSA ARAB PRA ISLAM, MAKKAH, KA'BAH DAN KAUM QURAISY

MAKALAH BANGSA ARAB PRA ISLAM, MAKKAH, KA'BAH DAN KAUM QURAISY

By: Putri, dkk.

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang            

          Letak geografis daerah Yastrib dan Mekkah terletak di daerah Hejaz yaitu di bagian utara Pegunungan Sarah yang terbentang dari teluk Aqabah dan berakhir di Negara Yaman. Kota yastrib yang relatif subur dengan alamnya yang berupa gunung dan lembah yang cocok untuk pertanian. Hijaz adalah sebagai pembatas yang memisahkan daerah Najed dengan daerah Tihamah yang biasa disebut daerah pantai. Kota Yastrib dan Mekkah ini adalah dua kota terbesar di seluruh Hejaz dan merupakan pemerintahan-pemerintahan yang berkuasa pada masa jahiliah.

            Kota Yastrib dihuni oleh berbagai macam suku, salah satunya adalah suku Amalek. Suku Amalek adalah suku suku yang berpindah dari Mesopotamia Selatan ke Timur Tengah. Dalam perpindahannya itu sebagian dari mereka menetap, dan sebagian menguasai Hejaz dan kemudian memperluas wiayahnya hingga kota Yastrib dan Mekkah. Dari situlah suku Amalek ini dikenal dengan “Amalek Hejaz”. Nama Yastrib sendiri berasal dari nama seorang dari kaum Amalek. Kaum Amalek yang berkuasa di Hejaz terkenal sebagai suku yang amat kejam dalam pemerintahannya.

            Masuknya islam ke Yastrib ini terkait dengan adanya Nabi Muhammad s.a.w. Setelah paman Nabi Muhammad meninggal yaitu Abu Thalib, kaum Quraisy terus menerus menyakiti Nabi Muhammad. Akhirnya Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah dan mencoba untuk berdakwah ke Thaif, namun ternyata Nabi Muhammad justru mendapatkan perlakuan yang lebih buruk di Thaif.Karena sudah tidak diterima lagi di Makkah dan Thaif maka Nabi Muhammad berdakwa secara diam-diam.

B. Rumusan Masalah

     1. Kapan masuknya islam ke yatsrib/madinah

     2. Kapan masuknya islam ke mekkah

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.      Letak geografis

            Letak geografis daerah Yastrib dan Mekkah terletak di daerah Hejaz yaitu di bagian utara Pegunungan Sarah yang terbentang dari teluk Aqabah dan berakhir di Negara Yaman. Kota yastrib yang relatif subur dengan alamnya yang berupa gunung dan lembah yang cocok untuk pertanian.[1] Hijaz adalah sebagai pembatas yang memisahkan daerah Najed dengan daerah Tihamah yang biasa disebut daerah pantai. Kota Yastrib dan Mekkah ini adalah dua kota terbesar di seluruh Hejaz dan merupakan pemerintahan-pemerintahan yang berkuasa pada masa jahiliah.[2]

            Kota Makkah terletak di perut lembah, yang dikelilingi oleh bukit-bukit dari segala arah, dari sebelah timur membentang bukit Abu Qubais (Jabal Abu Qubais) dan dari barat dibatasi oleh dua bukit (gunung) Qa’aiqa’ dan keduanya berbentuk bulan sabit mengelilingi perkampungan Makkah. Pada bagian yang rendah dari lembah tersebut adalah Al-Bathhaa’ yang ada padanya Ka’bah dan dikelilingi oleh rumah-rumah orang Quraisy. [3]

Sedangkan bagian yang tinggi dikenal dengan Al-Mu’alaah dan pada bagian ujung-ujung kedua bukit yang berbentuk bulan sabit tersebut dibangun rumah-rumah sederhana milik orang Quraisy Dzawaahir yaitu orang-orang pedalaman (A’rob) Quraisy yang miskin dan mereka merupakan serdadu-serdadu perang, akan tetapi mereka ini dibawah kaum Quraisy Bathhaa’ (yang tinggal di bathhaa’) dalam kebudayaan, kekayaan dan martabatnya.[4]

B.       Penduduk Arab di Yastrib/Madinah

a.         Amalek Hejaz

Kota Yastrib dihuni oleh berbagai macam suku, salah satunya adalah suku Amalek. Suku Amalek adalah suku suku yang berpindah dari Mesopotamia Selatan ke Timur Tengah. Dalam perpindahannya itu sebagian dari mereka menetap,  dan sebagian menguasai Hejaz dan kemudian memperluas wiayahnya hingga kota Yastrib dan Mekkah. Dari situlah suku Amalek ini dikenal dengan “Amalek Hejaz”. Nama Yastrib sendiri berasal dari nama seorang dari kaum Amalek. Kaum Amalek yang berkuasa. Hejaz terkenal sebagai  suku yang amat kejam dalam pemerintahanny.

Nama Amalek berasal dari kata ‘Am yang diambil dari bahasa ibrani yang memiliki arti bangsa, sedangkan Amalek merupakan nama sebuah suku di Aqabah. Suku Amaliqah memiliki pusat kekuasaan di Mesir dan kekuasaan yang juga tersebar di berbagai daerah, seperti Yaman, Suriah, Makkah, dan Yastrib. Suku ini memiliki sistem pemerintahan yang otoriter dan memiliki pengaruh yang cukup besar di beberapa kawasan di Arab.[5]

Suku Amalek terbagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang dipimpin oleh Al- arqam bin abu al-Arqam dan juga kelompok yang dipimpin oleh Faleh. Pada tahun 1600 SM kelompok Faleh mengusir para pengikut Nabi Nuh A.S yang telah lebih dahulu menempati kota Yastrib. Sejak saat itu, suku Amalek berhasil menguasai dan memerintah kota Yastrib.[6]

Suku Amalek menempati kota Yastrib dalam waktu yang sangat lama. Hingga akhirnya Nabi Musa a.s yang meninggalkan Mesir dengan membawa kaum yahudi yang tertindas memerintahkan sebagian tentaranya untuk memerangi suku Amalek yang ada di Yastrib.[7] Dalam peperangannya melawan Yahudi, suku Amalek mengalami kekalahan dan kehancuran.[8] Hal inilah yang mengakibatkan perpindahan kekuasaan kota Yastrib dari suku Amalek kepada kaum Yahudi.

b.        Kaum Yahudi

Setelah Amalek menguasai kota Mekkah selanjutnya adalah suku Yahudi. Nabi Musa membawa kaum Yahudi Mesir untuk hijrah ke Palestina. Di tengah perjalanannya menuju Palestina, ketika itu Nabi Musa memerintahkan pasukan Yahudi untuk memerangi suku Amalek yang ada di Yastrib tanpa menyisakan satu pun penduduk Amaliqah. Kaum Yahudi akhirnya berangkat ke Yastrib untuk memerangi suku Amalek. [9]

Kemudian kaum Yahudi berhasil mengalahkan suku Amalek di Yastrib, namun ketika menghabisi semua penduduk suku Amalek, kaum Yahudi yang diutus Nabi Musa tersebut menyisakan satu anak lak-laki keturunan Raja Amalek  untuk hidup di Yastrib. Hal ini diketahui oleh kaum Yahudi lainnya yang menunggu mereka di Palestina yang pada saat itu telah kehilangan Nabi Musa a.s. [10]

Bala tentara Yahudi tersebut diketahui melanggar perintah Nabi Musa a.s, maka kaum Yahudi yang telah memasuki kawasan Palestina tepatnya di Syarqul Urdun tidak mengizinkan mereka untuk memasuki kawasan Palestina. Bala tentara tersebut diusir dan tidak diperkenankan untuk bergabung dan tinggal di Palestina. Karena hal ini akhirnya mereka memilih untuk kembali ke Yastrib dan menetap disana.[11]

Kaum Yahudi yang menetap di Yastrib mulai membangun pemerintahan dan memperkuat kedudukan di Yastrib. Mereka tidak mendapat hambatan yang berarti karena suku Amalek telah mereka perangi sebelumnya. Sementara mereka memperkuat kedudukannya, kaum Yahudi lainnya yang menetap di Palestina mendapat serangan dari Romawi. Orang–orang Romawi menghancurkan rumah- rumah Yahudi di Palestina, tentara Romawi juga menghancurkan tempat peribadatan kaum Yahudi di Palestina yaitu Haikal Sulaiman. Selain menghancurkan tempat peribadatan kaum Yahudi, orang-orang Romawi juga menghancurkan kerajaan Yahudi di Palestina dan mengganti nama kota Jerusalem menjadi Aelia Capitolina. Akibat dari peristiwa ini, sebagian kaum Yahudi melarikan diri dari Palestina menuju Hejaz.[12]

Kaum Yahudi yang melarikan diri dari Palestina diantaranya adalah suku Qainuqa’, Suku Quraizhah, dan suku Nadhir. Mereka berhasil sampai ke Yastrib dan bergabung dengan kaum Yahudi lainnya yang sebelumnya telah menempati Yastrib terlebih dahulu. Dengan kedatangan beberapa suku Yahudi dari Palestina, maka pemerintahan Yastrib yang sebelumnya telah dibangun oleh sebagian kaum Yahudi menjadi semakin kuat, dan sejak itulah Yastrib benar-benar telah berhasil dikuasai oleh kaum Yahudi.[13] Alasan lainnya adalah kota Yastrib yang aman dan kemampuan berpolitik yang sangat baik membuat Bangsa Yahudi dapat berkuasa di Yastrib.[14]

c.         Aus dan Khazraj

Suku Arab yang pernah mendiami Yastrib selain Bangsa Yahudi dan Suku Amalek adalah suku Aus dan Khazraj, kaum Aus dan Khazraj yang sebelumnya juga pernah mendiami Yaman. Suku Aus dan Khazraj merupakan keturunan dari Banu Qhahtan yang bertempat tinggal di Mesopotamia. Kedatangan orang-orang Arab dari kabilah Aus dan Khazraj ke Yastrib terkait dengan adanya musibah banjir besar yang terjadi di Yaman. Pada akhirnya mereka pindah ke Yastrib untuk bertahan hidup.[15]

Di Yaman, Bani Qahthan mendirikan beberapa kerajaan, salah satunya kerajaan Sabaiyah. Di Kerajaan Sabaiyah tersebut didirikanlah bendungan yang sangat terkenal yang disebut dengan “Saddu Ma’rib” (bendungan Ma’rib). Bendungan ini telah membawa keberkahan bagi kaumnya, tetapi karena kelalaian kaum tersebut bendungan tersebut akhirnya membawa kehancuran bagi kaumnya sendiri. Setelah lama tidak mendapatkan perawatan sewajarnya, bendungan Ma’rib roboh dan Kerajaan Sabaiyah pun rubuh. Penduduk kota yang selamat melakukan perpindahan ke berbagai tempat di Arab. Di dalam perpindahan tersebut terdapat suku Aus dan Khazraj. Suku Aus dan Khazraj melakukan perpindahan ke Yatsrib. Pada saat itu pemerintahan di Yatsrib dipegang oleh bangsa Yahudi. Namun, oleh orang-orang Yahudi tidak memperlakukan suku Aus dan Khazraj dengan baik.[16]

      Selain suku Aus dan Khazraj yang selamat dari bencana robohnya bendungan Ma’rib terdapat pula perpindahan Bani Jafnah ke tanah Arab yang lain. Bani Jafnah ini berpindah ke Utara ke suatu dataran di bagian selatan negeri Syam (Suriah) yang bernama Hauran, yang terletak di sebelah tenggara kota Damaskus. Di dataran Hauran inilah mereka menetap di sekitar mata air yang disebut dengan nama “Ghassan”, dan terkenalah mereka dengan sebutan “Ghasasinah” (orang-orang Ghassan). Lama-kelamaan Ghasasinah menjadi kuat dan dengan pertolongan bangsa Romawi mereka mendirikan kerajaan di daerah itu, kira-kira pada akhir abad ke-3 M. Kekuasaan mereka meluas dari Jaulan (Syarqil Urdun) sampai ke Tadmur (Palmyra).[17]

     Adapun Aus dan Khazraj di Yastrib, mereka masih berada di bawah kekuasaan dari penindasan orang-orang Yahudi. Suatu ketika pemimpin atau pembesar dari kaum Ghassan yang bernama Abu Jubailah mengetahui bahwa kaum Aus dan Khazraj menderita ketika berada di Yastrib, lalu Abu Jubailah mengambil tindakan untuk pergi ke Yastrib dengan membawa bala tentaranya tanpa sepengetahuan orang lain mereka berpura-pura menuju Yaman. Agar bangsa Yahudi tidak mengetahui dan bersembunyi di benteng-benteng mereka maka Abu Jubailah mengadakan tipu muslihat yang licik. Hingga akhirnya seluruh bangsa Yahudi mulai dari para pembesar-pembesar serta pengawal masuk satu persatu lalu dibunuhnya semuanya secara bergiliran. Bangsa Yahudi telah kehilangan pemimpin tak ada yang bisa diperbuat hanyalah menggambarkan Malik Bin ‘Ajalan (seorang pemimpin kaum Aus dan Khazraj) di dinding-dinding biara mereka.[18]

C.      Masuknya Islam ke Yastrib/Madinah

              Masuknya islam ke Yastrib ini terkait dengan adanya Nabi Muhammad s.a.w. Setelah paman Nabi Muhammad meninggal yaitu Abu Thalib, kaum Quraisy terus menerus menyakiti Nabi Muhammad. Akhirnya Nabi Muhammad meninggalkan kota Makkah dan mencoba untuk berdakwah ke Thaif, namun ternyata Nabi Muhammad justru mendapatkan perlakuan yang lebih buruk di Thaif.[19] Karena sudah tidak diterima lagi di Makkah dan Thaif maka Nabi Muhammad berdakwa secara diam-diam kepada para jamaah haji yang menunaikan ibadah haji ke Makkah. Disana ada para jamaah haji yang berasal dari suku Aus di Yastrib. Mendengar dakwah Nabi Muhammad, ia merasa tersentuh dan yakin bahwa Nabi Muhammad merupakan nabi yang sering disebut-sebut oleh kaum Yahudi.  Para jemaah haji itu sangat mengharapkan kehadiran Nabi Muhammad di tengah-tengah peperangan yang terjadi di Yastrib antara Aus dan Khazraj, mereka menginginkan adanya pemimpin yang dapat mendamaikan Aus dan Khazraj. Para jamaah haji yang mendengar tentang dakwah Nabi Muhammad pulang ke Yastrib dan mengabarkan kepada penduduk Yastrib mengenai Nabi Muhammad dan Islam. Para penduduk Yastrib sangat antusias mendengar berita Nabi Muhammad, maka mereka mengirim utusan yang diwakilkan oleh beberapa lelaki dari suku Aus dan Khazraj untuk menemui Nabi Muhammad. Setelah bertemu dengan Nabi Muhammad mereka yakin untuk memeluk islam dan mengajak Nabi Muhammad hijrah ke Yastrib.[20]

Untuk menjaga kehidupan dan kelestarian Masyarakat Islam yang baru tumbuh ini, tugas pertama Nabi adalah mendirikan masjid yang akan menjadi pusat bagi seluruh kegiatan Islam. Kemudian perselisihan dan perpecahan antara Aus dan Khazraj diselesaikan sampai selesai. Oleh Nabi, sebutan lama yaitu Aus dan Khazraj diganti menjadi Al Anshor (penolong-penolong), maksudnya mereka adalah penolong-penolong dan pendukung-pendukung Nabi s.a.w. Sedangkan kaum Muslimin Makkah yang berhijrah ke Yatsrib oleh Nabi mereka disebut Al Muhajirin (orang-orang yang berhijrah). Rasulullah membina persatuan dengan cara mempersaudarakan antara Kaum Anshor dan Kaum Muhajirin. [21]

D.      Penduduk  Arab di Mekkah

a.    Bani Ismail

Ismail merupakan anak dari Nabi Ibrahim dan istrinya bernama Siti Hajar. Siti Hajar ini adalah istri kedua dari Nabi Ibrahim, karena istri pertama Nabi Ibrahim tidak suka dengan Siti Hajar maka ia pun meminta untuk memindahkan Siti Hajar dan anaknya yaitu Ismail. Dibawalah Siti Hajar dan Ismail ke suatu lembah di dekat makkah lalu Nabi Ibrahim meninggalkannya.[22]

Siti Hajar dan Ismail tinggal di Makkah bersama dengan kaum Jurhum yang telah terlebih dahulu menguasai dan memerintah kota Makkah. Setelah Ismail dewasa ia menikahi seorang wanita dari kaum Jurhum, dari sinilah muncul anak-anak ismail yang kemudian dilanjutkan menjadi Bani Ismail. Dalam kehidupan sehari-hari Ismail dan keturunannya hidup berdampingan dengan Jurhum, dan mereka membuat pembagian tugas dalam urusan pemerintahan kota Makkah. Untuk urusan peperangan, kenegaraan dipegang oleh Jurhum, sedangkan untuk urusan keagamaan dan Ka’bah dipegang oleh Ismail.[23]

b.   Kabilah Jurhum

     Pasca Ibrahim, kabilah Jurhum adalah kabilah yang datang dari Yaman, mereka terlibat persengketaan diantara kabilah-kabilah yang lain dan akhirnya diantara mereka mencari tempat perlindungan selain di Yaman hingga akhirnya mereka tiba di suatu kota yaitu kota Mekkah. Lalu, kabilah Jurhum menguasai kota mekkah secara total mereka memiliki kekayaan yang amat melimpah. Ada sebuah kisah bahwa di Mekkah ada tempat perkampungan yang bernama Amalek, warga yang didalamnya itu sangat hidup makmur. Mereka (kabilah Jurhum) mempunyai unta yang digembalakan hampir setiap sudut di Mekkah. Tetapi, mereka tidak pandai bersyukur kepada Tuhan, sehingga datanglah azab kepada mereka, yaitu tidak diturunkannya hujan. Mereka menghadapi kekeringan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Untuk mengatasi hal tersebut mereka menjual air Zam-zam yang merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki Mekkah. [24]

Berita tentang memancarnya air seketika menjadi terkenal di seluruh penjuru tanah Arab. Maka berdatanganlah manusia dari segala penjuru Jazirah Arab itu. Tempat air yang memancar itu terletak tidak jauh dari kota yang didiami manusia yaitu Makkah. Semakin banyaklah orang berdatangan hanya untuk sekedar beristirahat dari perjalanan jauh. Dan karena dekat dengan Makkah, Ismail menetap di Makkah bersama suku Jurhum. Pada waktu itu pemerintahan di tangan Jurhumuts Tsaniah atau Jurhum Kedua. Sedangkan Nabi Ibrahim sering mengunjungi Ismail dan ibunya ke Makkah. Sampai turunlah perintah dari Allah SWT untuk menyembelih Ismail sebagai kurban kepada Allah. Ismail pun bersedia dan ketika sedang menyembelih terdengar suara untuk berhenti dan seketika itu terlihatlah seekor anak biri-biri, maka jadilah biri-biri itu yang disembelihnya. Peristiwa ini diperingati umat Muslim untuk menyembelih binatang kurban di hari Raya Haji.[25]

Salah satu hal yang paling menonjol dari hilangnya tanggung jawab kabilah Jurhum yaitu mereka lalai dalam mengelola kota Mekkah. Mereka melakukan korupsi terhadap kekayaan yang dhasilkan dari ziarah Ka’bah bahkan mereka mencuri perhiasan yang ada di ka’bah lalu menyimpannya di dalam sumber air Zam-zam hingga saluran airnya tersumbat. Hal tersebut menimbulkan dampak negatif yang pada akhirnya kota Mekkah mengalami kekeringan yang berkepanjangan. Dengan situasi seperti itu kabilah Khuza’ah mengambil alih kota Mekkah.[26]

c.    Kabilah Khuza’ah

Setelah meninggalnya Nabi Ismail, kaum Jurhum mulai terlena akan hal duniawi. Tidak ada lagi yang mengingatkan tentang agama, pada masa inilah muncul suku Khuza’ah yang merupakan kafilah di Yaman untuk mencari tempat kehidupan baru. Pada saat itu suku Khuza’ah sedang mencari tempat peristirahatan setelah melakukan perjalanan dari Yaman, mereka meminta ijin kepada suku Jurhum untuk beristirahat sebentar di makkah, namun suku Jurhum menolak permintaan yang kemudian menimbulkan rasa sakit hati dan berujung pada peperangan.[27] Dalam peperangan ini, Jurhum mendapatkan kekalahan yang menjadikan Makkah jatuh ke tangan Khuza’ah.[28]

     Khuza’a mengambil banyak pelajaran dari para pendahulunya ia melanjutkan kebiasaan baik yang pernah dilakukan oleh kabilah Jurhum. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang berkenaan dengan penyalahgunaan tanggung jawab mereka tinggalkan. Mereka dikenal dengan kabiah yang tidak suka menipu, salah satu hal yang paling menonjol yang dilakukan oleh kabilah Khuza’ah yaitu mereka menggali sumber air Zam-zam lebih dalam agar tidak terjadi kekeringan dan menjaga keselamatan diri dari krisis air.[29]

Suku Quraisy

Setelah kaum khaza’ah berkuasa di Mekkah lalu berkuasalah suku Quraisy. Telah diterangkan sebelumnya bahwa Adnan merupakan keturunan Nabi Ismail. Kemudian Adnan turun temurun menurunkan Fihr bin Malik, dan Fihr inilah yang disebut Quraisy. Diantara suku Quraisy inilah lahir seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan berwibawa yang bernama Qushai Bin Kilab. Qushai sendiri berdiam di utara kota Makkah, setelah berpindah ke pusat kota Makkah  dan menetap sehingga menghasilkan keturunan yang banyak.

 Beberapa waktu setelahnya terjadilah perang antara suku Quraisy dengan suku Khuza’ah. Karena tidak ada perdamaian diantara keduanya dan sudah banyak jatuh korban maka didatangilah seorang penengah dari bangsa Arab bernama Ya’mur Bin ‘Auf. Ya’mur memutuskan bahwa yang lebih berhak memegang urusan Baitullah dan Makkah adalah Qushai. Maka dijalankanlah keputusan Penengah itu. Dengan demikian resmilah sudah bahwa kekuasaan pemerintahan di Makkah berpindah tangan ke suku Quraisy dari tangan suku Khuza’ah.[30]

     Setelah Qushai mulai dewasa, ia mulai mengetahui bahwa ia merupakan seorang keturunan Bani Adnan yang mendiami Makkah, maka ia pergi ke Makkah dan tinggal disana. Ia ingin merebut kekuasaan Makkah dari tangan suku Khuza’ah, maka ia bersatu dengan Banu ‘Udzrah dan kaum Quraisy Makkah berperang melawan Khuza’ah. Hasil dari peperangan itu yaitu Quraisy berhasil menguasai urusan Ka’bah dan Makkah. Kemudian Khuza’ah diusir keluar dari Makkah. Sejak itulah Makkah dikuasai oleh suku Quraisy. [31]

Qushai sendiri berdiam di utara kota Makkah, setelah berpindah ke pusat kota Makkah  dan menetap sehingga menghasilkan keturunan yang banyak. Beberapa waktu setelahnya terjadilah perang antara suku Quraisy dengan suku Khuza’ah. Karena tidak ada perdamaian diantara keduanya dan sudah banyak jatuh korban maka didatangilah seorang penengah dari bangsa Arab bernama Ya’mur Bin ‘Auf. Ya’mur memutuskan bahwa yang lebih berhak memegang urusan Baitullah dan Makkah adalah Qushai. Maka dijalankanlah keputusan Penengah itu. Dengan demikian resmilah sudah bahwa kekuasaan pemerintahan di Makkah berpindah tangan ke suku Quraisy dari tangan suku Khuza’ah.[32]

E.       Masuknya Islam ke Makkah

            masuknya Islam ke Makkah terkait adanya kekuasaan Nabi Muhammad. Setelah hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah, kaum Quraisy masih tetap memusuhi Islam. Atas izin Allah SWT, kaum Muslimin akhirnya memerangi kaum Quraisy. Peperangan ini terjadi kira-kira selama lima tahun. Pada bulan Dzulhijah tahun 6 H atau bulan Februari tahun 628 M, terjadilah “Perdamaian Hudaibiyah” bahwa Nabi Muhammad bukanlah musuh, beliau adalah manusia berbudi pekerti luhur yang tidak melupakan silaturahim sesama saudara. Perjanjian hudaibiyah ini merupakan awal mulanya penduduk Musyrikin Quraisy sadar karena tahun berikutnya Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin melakukan umrah dan haji. Sehingga pada tahun 8 H (629 M) beberapa orang pemimpin kaum Musyrikin masuk Islam, yaitu Khalid bin Walid, Amr bin ‘Ash, dan Usman bin Thalhah.[33]

            Pada tahun 8 H (629 M) kaum Musyrikin Quraisy melanggar perjanjian hudaibiyah sehingga tidak ada alasan bagi Nabi Muhammad untuk tidak menaklukan Makkah. Maka pada bulan Ramadhan tahun 8 H (Januari 630 M), Nabi Muhammad dengan pasukan terdiri sepuluh ribu kaum Muslimin berangkat dari Madinah menuju Makkah. Akhirnya kota Makkah dapat ditaklukkan tanpa perlawanan yang berarti dari kaum Musyrikin Quraisy. Setelah mengetahui luhurnya budi pekerti yang dimiliki Nabi Muhammad, dan meyakini bahwa Islam lah agama yang benar maka dengan berbondong-bondong mereka menganut agama Islam. Dengan Islamnya seluruh penduduk Makkah, maka berpindahlah kekuasaan atas kota Makkah dari tangan kaum Quraisy ke tangan Nabi Muhammad SAW.[34]

            Selain itu, penyembahan terhadap berhala lenyaplah sudah di penjuru tanah Arab setelah penaklukkan Makkah dan Islamnya Quraisy. Nabi Muhammad memerintahkan untuk menghancurkan 360 berhala yang berada di dalam dan di sekitar Ka’bah.[35]

 

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

            masuknya Islam ke Makkah terkait adanya kekuasaan Nabi Muhammad. Setelah hijrahnya Nabi Muhammad ke Madinah, kaum Quraisy masih tetap memusuhi Islam. Atas izin Allah SWT, kaum Muslimin akhirnya memerangi kaum Quraisy. Peperangan ini terjadi kira-kira selama lima tahun. Pada bulan Dzulhijah tahun 6 H atau bulan Februari tahun 628 M, terjadilah “Perdamaian Hudaibiyah” bahwa Nabi Muhammad bukanlah musuh, beliau adalah manusia berbudi pekerti luhur yang tidak melupakan silaturahim sesama saudara. Perjanjian hudaibiyah ini merupakan awal mulanya penduduk Musyrikin Quraisy sadar karena tahun berikutnya Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin melakukan umrah dan haji. Sehingga pada tahun 8 H (629 M) beberapa orang pemimpin kaum Musyrikin masuk Islam, yaitu Khalid bin Walid, Amr bin ‘Ash, dan Usman bin Thalhah.

            Untuk menjaga kehidupan dan kelestarian Masyarakat Islam yang baru tumbuh ini, tugas pertama Nabi adalah mendirikan masjid yang akan menjadi pusat bagi seluruh kegiatan Islam. Kemudian perselisihan dan perpecahan antara Aus dan Khazraj diselesaikan sampai selesai. Oleh Nabi, sebutan lama yaitu Aus dan Khazraj diganti menjadi Al Anshor (penolong-penolong), maksudnya mereka adalah penolong-penolong dan pendukung-pendukung Nabi s.a.w. Sedangkan kaum Muslimin Makkah yang berhijrah ke Yatsrib oleh Nabi mereka disebut Al Muhajirin (orang-orang yang berhijrah). Rasulullah membina persatuan dengan cara mempersaudarakan antara Kaum Anshor dan Kaum Muhajirin.

B. Saran

            Demikianlah makalah yang dapat kami sajikan yang sudah tentu banyaknya kekeliruan baik dari segi materi maupun penyampaian kami. Kami sadar bahwa kami adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Maka kami mohon akan kritik dan saran anda semua serta masukan-masukan yang bersifat membangun demi masa depannya. Semoga makalah kami yang berikan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Daftar Pustaka

Zuhairi Misrawi, Madinah, Kota suci, Piagam Madinah, Teladan Muhammad SAW, Jakarta:Kompas, 2009, hlm. 187.

Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 191

Kholid Syamhudi, http://ustadzkholid.com/sejarah-islam/kota-makkah/, 24 februari 2009.

Zuhairi Misrawi, Mekkah: Kota Suci ,Kekuasaan dan Teladan Nabi Ibrahim, Jakarta:Kompas, 2009, hlm 95.

Philip,K, Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi. 2008.

 



[1] Zuhairi Misrawi, Madinah, Kota suci, Piagam Madinah, Teladan Muhammad SAW, Jakarta:Kompas, 2009, hlm. 187.

[2] Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 191

[3] Kholid Syamhudi, http://ustadzkholid.com/sejarah-islam/kota-makkah/, 24 februari 2009.

[4] Kholid Syamhudi, http://ustadzkholid.com/sejarah-islam/kota-makkah/, 24 februari 2009.

[5] Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Buku Kompas, 2009, hlm.159

[6] Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Buku Kompas, 2009, hlm.158.

[7] Zuhairi Misrawi, Madinah Kota Suci Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, Jakarta: Buku Kompas, 2009, hlm.160.

[8] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 192.

[9]Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 192.

[10] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 192.               

[11] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 192.

[12] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 193.

[13] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 193.

[14] Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 341.

[15]Zuhairi Misrawi, Madinah, Kota suci, Piagam Madinah, Teladan Muhammad SAW, Jakarta:Kompas, 2009, hlm. 182.

[16] Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 345

[17] Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 345

[18] Mukhtar Yahya, Perpindahan-Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah Sebelum Lahir Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm, 345

[19] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 204.

[20] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm.207.

[21] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm.206.

[22]Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 228

[23]Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 231

[24] Zuhairi Misrawi, Mekkah: Kota Suci ,Kekuasaan dan Teladan Nabi Ibrahim, Jakarta:Kompas, 2009, hlm 94.

[25] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 231

[26] Zuhairi Misrawi, Mekkah: Kota Suci ,Kekuasaan dan Teladan Nabi Ibrahim, Jakarta:Kompas, 2009, hlm 95.

[27] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 231

[28] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 233

[29] Zuhairi Misrawi, Mekkah: Kota Suci ,Kekuasaan dan Teladan Nabi Ibrahim, Jakarta:Kompas, 2009, hlm 96.

[30] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm. 236

[31]Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm.  237

[32] Prof. DR. H. Mukhtar Yahya, Perpindahan – Perpindahan Kekuasaan di Timur Tengah, Jakarta: Bulan Bintang, 1985, hlm.  237

[33] Philip, K, Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi, 2008, hlm 15

[34] Philip, K, Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi, 2008, hlm 16

[35] Philip, K, Hitti, History of the Arab. Jakarta: Serambi, 2008, hlm 16

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH LANDASAN PENDIDIKAN

MAKALAH STRATEGI KEWIRAUSAHAAN