MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH PENGARUH MUQASHID SYARIAH TERHADAP FIQIH MUAMALAH DAN MASLAHAT DALAM FIQIH MUAMALAH

  

MAKALAH PENGARUH MUQASHID SYARIAH

 TERHADAP FIQIH MUAMALAH DAN MASLAHAT

DALAM FIQIH MUAMALAH

By:  Ahmad, Muhammad.

 

Abstrak

Ilmu Maqashid Syari’ah secara umum dapat diartikan dengan pengetahuan yang  komprehensif tentang tujuan-tujuan atau maksud dari pembuat Syari’ah yang diturunkan kepada manusia, dimana semua ajaran syariah adalah maslahat seluruhnya dan hikmah seluruhnya bagi manusia. Maksud dan tujuan syari’ah tersebut dapat diidentifikasi secara langsung ataupun melalui studi yang mendalam terhadap teks-teks syari’ah.

 

Penelitian ini bertujuan mengungkap dan mengeksplor nilai-nilai Maqashid Syari’ah dan pengaruhnya terhadap Fiqih Muamalah dan maslahat terhadap Fiqih muamalah, sehingga semua warna muamalah dan maslahat terhadap Fiqih muamalah menghadirkan Moderasi Islam. Metode penelitian ini menggunakan kajian kepustakaan (Library Risearch) dengan memberikan analisis dan kesimpulan terhadap konsep dan data-data yang terkait variable penelitian ini.

 

Hasil Penelitian ini adalah memberikan informasi dan pengetahuan bahwa Maqashid Syari’ah akan menghindarkan umat Islam dari paham dan sikap ekstrem dalam memahami nash-nash agama. Penelitian ini juga memberikan konsep yang valid dan utuh tentang fiqh nushus atau (metode memahami Nash Syariah) yang dapat membuktikan bahwa Syari’at Islam itu adalah moderat (wasathiy).

Kata kunci: Maqosid, Syariah , Maslahat Dan Fiqih Muamalah

 

A.    Pendahuluan

Maqashid syar’iyah secara umum adalah makna-makna, atau nilai-nilai dan hikmah-hikmah yang dapat ditangkap dan diperhatikan dan diketahui dari pembuat syariah (Allah) dalam setiap kondisi syariah atau hukum, dimana perhatian atau pengetahuan tersebut tidak spesifik hanya pada faktor tertentu dari sebuah keadaan dari hukum-hukum syariah, akan tetapi juga termasuk pada karakteristik syariah dan tujuannya yang umum, serta nilai-nilai syariah yang harus mendapat perhatian. Bahkan termasuk pada makna-makna yang mengandung hikmah yang tidak dapat diperhatikan dan diketahui dalam semua hukum syariah, namun dapat diperhatikan dan dilihat dari factor yang lain.

Salah satu metode yang dikembangkan oleh ulama usul dalam istinbat hukum dari nas adalah dengan pendekatan maslahat yang bertujuan mendatangkan manfaat yang mencakup segala daya upaya dalam mencapai sesuatu yang dipandang positif atau menolak dan menghindari sesuatu yang dipandang negatif.Penggunaan kata maslahat pada periode awal dan dalam Alquran berarti kebaikan dan kemanfaatan, tetapi kata maslahat belum menjadi istilah tekhnis sampai kata ini dikaitkan dengan para juris Islam dari aliran hukum klasik pada masa awal atau bahkan dikaitkan dengan para Sahabat Nabi. Di kalangan para pendiri aliran-aliran hukum, penggunaan kata maslahatdikaitkan dengan Imam Mālik bin Ānas sekalipun dalam pengertian yang umum seperti kata al-ra’yu.Penelitian ini juga memberikan konsep yang konsep yang valid dan utuh tentang fiqh nushus atau (metode memahami Nash Syariah) yang dapat membuktikan bahwa Syari’at Islam itu adalah moderat (wasathiy).

 

B.     Tinjauan Pustaka

Term Muqasid Syariah sudah mencapai masa keemasannya pada era Abu Ishaq Asy Syatibi dalam karnyanya Al Muwafaqot Fi Ushul Asy Syariah. Walaupun genelogi Maqasid Syariah sudah muncul sejak dahulu dalam kajian ushul fiqih seperti Al Ghazali dan Imam Al Haromain yang berbicara tentang maslahah secara umum dalam Bab Qiyas.

Sampai akhirnya para sarjana muslim kontemporer mulai perhatian dengan kajian ini, seperti Ibnu Asyur, Ar Raisyuni, Jaber Alwaniy dan Jasser Audah.

Akan tetapi mereka masih membericarakan tentang Maqasid Syariah secara menyeluruh. Riset Maqasid Syariah yang berfokus pada hukum ekonomi islam atau fiqihmuamalah baru penulis temukan dalam karya Abdullah bin Bayyah dalam kitab Maqasid al Muamalah Wa Marashid al Waqiat.Selain itu, kajian Maqasid Syariah secara umum dalam disiplin ilmu baik skripsi atau tesis sangatlah banyak, akan tetapi penulis belum menemukan hasil riset

Maqasid Syariah fiqih muamalah pemikiran Abdullah bin Bayyah kecuali dari beberapa karya tulis baik yang dimuat di jurnal-jurnal ataupun makalah dan artikel yang dipresentasikan dalam seminar-seminar seperti :

1.      Syufa’at, (2013) jurnal Al Ahkam IAIN Purwokerto yang berjudul ”Implementasi Maqasid Syariah dalam Hukum Ekonomi Islam”. Artikel padajurnal ini memberikan solusi dan wacana dari maqasid syariah untuk bisa diimplementasikan kedalam hukum ekonomi islam, tapi bersifat deskriptif tidak aplikatif dalam hukum ekonomi islam.

2.      Nurnazli, (2014) jurnal Ijtimaiyya UIN Raden Intan Lampung yang berjudul “Penerapan Kaidah Maqasid Syariah dalam Produk Perbankan Syariah”. Tidak jauh berbeda dengan yang sebelumnya, penulis dalam jurnal ini berusaha mengimplementasikan Maqasid Syariah dalam produk perbankan syariah. Ada hal yang kurang dalam artikel ini yaitu, bentuk implementasi berfokus pada Fatwa DSN MUI, tidak pada produk perbankan yang sudah berkembang di Lembaga Keuangan Syariah. Padahal fatwa itu sifanya anjuran dan tidak mengikat.

3.       Sulaeman, (2018) jurnal Diktum STAIN Pare Pare yang berjudul “Signifikansi Maqasid Asy-Syariah Dalam Hukum Ekonomi Islam”. Dalam jurnal ini, penulis mencoba menghidupkan kembali hukum ekonomi islam yang ia anggap terkubur dan menjadi fosil dengan konsep maqasid syariah. Akan tetapi pendapat penulis tersebut belum menyentuh sama sekali ranah produk dari hukum ekonomi syariah itu sendiri.

 

C.    Metodologi Penelitian

Penelitian memerlukan metode untuk memcahkan permasalahan, metode penelitian diharapkan dapat mencapai hasil penelitian yang relavan.Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan empiris, yaitu penelusuran berdasarkan penemuan yang telah ada.Dalam konteks ini kajian-kajian konsep tijarah dalam ilmu fiqih muamalah yang bersumber dari Alquran dan hadis.Tekhnik pengumpulan data menggunakan tinjauan pustaka berupa pengumpulan buku-buku, bahan-bahan tertulis serta referensi-referensi yang relevan dengan tema muqasid syariah dan maslahat dalam fiqih muamalah. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap teori Maqasid menurut kajian konsep syariah, yang diharapkan pada akhirnya akan terbangun konsep Maqasid yang sesuai dengan pandangan Alquran dan Hadis.

D.    Pembahasan/Hasil Pembahasan

1.       Pengertian Maqosyid Syariah

Secara bahasa maqashid adalah kata jamak dari maqshad yang berarti “tujuan yang diarahkan semua sarana untuk mencapainya”.[1]Adapun secara Istilah, para Ulama terdahulu seperti Imam Syatibiy yang sering disebut sebagai Syekhnya para Ulama Maqashid, tidak memberikan definisi yang final tentang pengertian maqashid syariah. Namun Syekh At-Thahir bin Asyur memberikan pengertian maqashid syariah sebagai berikut:

Maqashid syar’iyah secara umum adalah makna-makna, atau nilai-nilai dan hikmah-hikmah yang dapat ditangkap dan diperhatikan dan diketahui dari pembuat syariah (Allah) dalam setiap kondisi syariah atau hukum, dimana perhatian atau pengetahuan tersebut tidak spesifik hanya pada faktor tertentu dari sebuah keadaan dari hukum-hukum syariah, akan tetapi juga termasuk pada karakteristik syariah dan tujuannya yang umum, serta nilai-nilai syariah yang harus mendapat perhatian. Bahkan termasuk pada makna-makna yang mengandung hikmah yang tidak dapat diperhatikan dan diketahui dalam semua hukum syariah, namun dapat diperhatikan dan dilihat dari factor yang lain.[2]

Ilal Al-Fasi juga seorang Ulama maqashid yang terkenal, beliau mendefinisikan maqashid syariah adalah “Tujuan dari syariah dan rahasianya yang ditetapkan oleh pembuat syariah dari setiap hukum dalam semua hukum-hukumnya”[3] Ahmad Ar-Raisuni dalam bukunya yang sangat menojol dalam ilmu maqashid bejudul “Nadzariyatul Maqashid indal Imam As-Syatibi”, mendefinisikan “Maqashid As-syariah adalah tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh syariat, agar dapat dicapai dan direalisasikan dalam rangka mewujudkan maslahat hamba.[4]

Menurut Satria Efendi (1998:14), maqashid al-syari'ah mengandung pengertian umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di dalamnya. Pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah maqashid al-syari' (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau maksud Rasulullah dalam mengeluarkan hadits hukum).Sedangkan pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak dicapai oleh suatu rumusan hukum.

Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1986:1017) Mendefinisikan maqashid syari'ah dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya.Kajian teori maqashid al-syari'ah dalam hukum Islam adalah sangat penting.Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu berhadapan dengan perubahan sosial.

Dari semua definisi maqashid syariah di atas dapat disimpulkan bahwa “Maqashid Syariah adalah Tujuan, Hikmah atau maksud yang terkandung dari Nash-nash syariah (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dimana tujuan, maksud dan hikmah tersebut mengandung maslahat bagi para mukallaf yang dapat diwujudkan dalam kehidupan baik secara invidu, keluarga, masyarakat dan umat di dunia dan akhirat”. Jadi maqashid syariah adalah ilmu yang membahas tentang tujuan syariah Islamiyah yang ada dalam teks-teks Al-Qur’an dan Hadits, tujuan dan hikmah yang dapat dilihat dan diketahui oleh manusia, sementara menurut At-Thahir bin Asyur juga temasuk pada tujuan dan hikmah syariah yang tidak dapat diperhatikan, dilihat dan diketahui. Para Ulama maqashid sepakat bahwa semua tujuan dan hikmah dari syariah pasti mengandung maslahat bagi hamba di dunia dan akhirat.

Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah teori maqashid al-syari'ah.Kedua, dilihat dari aspek historis, sesungguhnya perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya.Ketiga, pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar sesama manusia dapatdikembalikan.

 Abdul Wahhab Khallaf (1968:198), seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash syari'ah itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid al-syari'ah (tujuan hukum). Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-Zuhaili (1986:1017), yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan membuat istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui rahasia-rahasia syari'ah.

Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam Al-Qur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat Al-Anbiya' :107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus : "Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam" (QS. Al-Anbiya':107) Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.

 Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat dijelaskan sendiri oleh Allah, sebagaimana yang termaktub dalam ayat berikut: "Ketahuilah bahwa dengan berzikir itu hati akan tenteram". (QS. Al-Ra'd:28) "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar".( QS Al-'Ankabut:45) Memang ada beberapa aturan hukum yang tidak dijelaskan secara langsung oleh syari' (pembuat syari'at) dan akalpun sulit untuk membuat rasionalisasinya, seperti  penetapan waktu shalat zhuhur yang dimulai setelah tergelincirnya matahari. Meskipun begitu tidaklah berarti penetapan hukum tersebut tanpa tujuan, hanya saja barangkali rasionalisasinya belum dapat dijangkau oleh akal manusia. Kandungan maqashid al-syari'ah dapat diketahui dengan merujuk ungkapan al-Syathibi (tanpa tahun:6), seorang tokoh pembaru ushul fiqh yang hidup pada abad ke-8 Hijriah, dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Di situ beliau mengatakan bahwa sesungguhnya syari'at itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.

 Jadi, pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan segenap sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjang-jenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua manusia.

Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-syari'ah adalah hikmah dan illat ditetapkan suatu hukum.Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara objektif(zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi manusia. Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua cara :

a.       Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut dengan istilah jalb al-manafi'. Manfaat ini bisa dirasakan secara langsung saat itu juga atau tidak langsung pada waktu yang akan datang.

b.    Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang sering diistilahkan dengan dar' al-mafasid. Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.[5]

 

2.      Pengertian syariah

Secara Bahasa Syariah dalam Kamus bahasa adalah “Tempat mengalirnya air untuk diminum”. Kata ini biasanya dipakai oleh orang Arab menunjukkan “jalan yang lurus” Menurut Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah “menapaki atau berjalan pada jalan yang jelas. Seperti anda berkata: “Aku jalankan dia pada jalan itu”, sesuai firman Allah: “Kami jadikan baginya syariah dan manhaj” (QS. Al-Maidah: 46). Juga bermakna apa yang diikatkan pada manusia dari ajaran agama untuk ditaatinya, sesuai firman Allah: “Kemudian Kami jadikan engkau berada dalam syariah dan perintah, maka ikutilah” (QS. Al-Jatsiyah: 18) dan firman Allah: “Telah disyariahkan bagimu agama..”(QS. As-Syura: 13). Jadi syariah dalam tinjauan bahasa atau etimologi adalah “jalan yang jelas, agama dan sistem hidup manusia dari Allah swt”.Menurut pengertian istilah atau terminolgi, Mahmud Syalthut dalam bukunya yang sangat terkenal “al-Islam Akidah wa Syariah”, bahwa syariah adalah nama dari sebuah sistem dan hukum yang diberikan oleh Allah swt, atau ditetapkan oleh Allah dasar-dasarnya dan mewajibkan setiap muslim melaksanakannya, untuk menata diri mereka dengannya, terkait hubungan mereka dengan Allah swt dan hubungan mereka dengan manusia. Dimana hubungan ini terdiri dua factor: Pertama, terkait dengan masalah pendekatan diri manusia dengan Tuhannya, mengagungkan-Nya serta sebagai bukti kebenaran imannya pada-Nya dan keyakinan atas pengawasan Allah padanya. Faktor inilah yang disebut dengan Ibadah. Kedua, faktor yang terkait dengan maslahat hidup manusia, dan mencegah mudharat atau bahaya dalam hidupnya baik pada dirinya dan orang lain, dengan cara mencegah kezaliman yang dengannya kehidupan manusia menjadi aman dan tenteram, maka inilah disebut dengan muamalah”. Adapun Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan makna syariah seperti yang dikenal saat ini, dapa dibagi menjadi dua pengertian: Pertama: Syariah dalam pegertian luas adalah agama seluruhnya, terkait dengan akidahnya, syariahnya, akhlak, hukum dan muamalahnya. Dalam arti bahwa Syariah meliputi pokok dan cabang agama Islam, baik keyakinan maupun amaliyahnya, teori dan prakteknya, yang meliputi iman dan akidah dalam semua dimensinya, yang bersifat ilahiyah, kenabian dan hal-hal ghaib lainnya sebagaimanan syariah meliputi semua masalah Ibadah, seluruh masalah muamalah dan akhlak budi pekerti yang dibawa oleh risalah Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dijelaskan oleh para Ulama akidah, fiqh dan akhlak. Kedua: Syariah dalam pengertian sempit, adalah semua hal yang terkait dengan sisi perundang-undangan atau hukum-hukum syariah yang bersifat praktis dalam agama, seperti ibadah dan muamalah yang meliputi hubungan dengan Allah dan penghambaan pada-Nya, masalah keluarga atau ahwal syakhsiyah, masalah sosial dan umat Islam, masalah Negara dan pemerintahan serta masalah hubungan internasional. Inilah sisi syariah yang dibahas dalam ilmu Fiqh dan mazhabnya”.Manna’ Al-Qathan mendefiniskan Syariah dengan “Apa saja yang diasyariahkan oleh Allah swt kepada hamba-Nya berupa akidah, Ibadah, Akhlak, muamalah dan system kehidupan dengan cabang-cabangnya yang bermacam-macam dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat.

a.      Karakteristik syariah dalam pandangan washatiah

Salah satu kelebihan pemikiran moderasi Islam adalah mampu memahami dan mengimplementasikan karakteristik Islam dalam kehidupan umat, bahwa Islam dengan karakteristiknya yang mulia, tinggi dan unik, telah memberikan banyak hikmah keunggulan dan keutamaan yang luar biasa dalam kehidupan umat Islam dan dunia. Diantara karakteristik Islam secara umum menurut para Ulama adalah:

1)      Berorientasi tuhan (ar-rabbaniyah)

Salah satu karakteristik utama Islam dan syariahnya adalah berketuhanan atau berorientasi rabb Allah SWT (rabbaniyah) dan tidak mengenal tuhan lain selain-Nya. Maksud dari karakteristik ini adalah bahwa syariah Islam dalam bentuk ibadah, muamalah, hukum dan perundangannya, seluruhnya dalam rangka mengenalkan dan membimbing manusia bahwa Allah adalah Rabb seluruh alam.Semua konsep dan implementasinya dalam rangka mengajak manusia menuju Allah SWT.Tidak ada syariah yang bertentangan dengan maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia dan tidak ada ajaran syariah yang menjauhakn manusia dari Allah.

 Syariah Islam berbeda dengan agama dan ideology lain yang bersumber dari manusia, maka syariah Islam seluruhnya bersumber dari Allah SWT yang Maha Pencipta. Tidak ada syariah Islam yang dibentuk dan didominasi oleh akal dan logika manusia kecuali sebagai alat untuk memahami ajaran-ajarannya.Demikian pula tujuan syariah Islam, seluruhnya mengarah dan bertujuan mencapai keridha’an Allah SWT.Seluruh ajarannya, konsepnya, metode dan manhajnya bersumber dari Allah SWT.

Rabbaniyah syariah Islam tidak mengenal sekularisasi, memisahkan antara syariah dengan Negara dan kehidupan dunia, politik, ekonomi, hukum dan sebagainya.Syariah menyatukan dan mengharmoniskan manusia dengan Tuhannya dan mengenalkan mereka hak-hak Allah pada mereka dan kewajiban mereka pada Allah SWT.Syariah mengajarkan Allah SWT adalah pencipta, pengatur, pembimbing, pemberi dan penerima taubat dan do’a, sehingga seluruh kehidupan manusia untuk mengabdi, tunduk dan menyembah kepada Allah Allah SWT.

 “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).”(QS. Al-An’am: 162-163).

Rabbaniyah syariah Islam adalah ajaran, hidayah, hukum dan pedoman hidup manusia yang telah ada ketika manusia ada, untuk membimbing seluruh manusia. Syariah ini diajarkan dan disosialisasikan para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah setiap zaman dari Nabi Adam, Idris, Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Isa Alaihim As-salam sampai pada Nabi terakhir Muhammad SAW.

“Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya.Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka.Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. As-Syura: 13).

 

2)      Berkemanusiaan (Al-Insaniyah)

Kemanusiaan atau Insaniyah maksudnya adalah, bahwa syariah Islam sesuai dan selalu mengakomodir semua kebutuhan dan karakter manusia.Pembebanan ibadah, hukum, perintah dan larangan dalam syariah Islam pasti sesuai dan selaras dengan kemampuan dan kebutuhan manusia.Tidak ada syariah yang bertentangan dengan kemanusiaan dan tidak ada syariah yang tidak mengandung maslahat manusia, karena syariah Islam tidak diciptakan oleh Allah dengan sia-sia, hampa dan tanpa manfaat dan tujuan.Allah berfirman “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia.Itu anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang yang kafir itu karena mereka akan masuk neraka”. (QS. Shad: 27).

Insaniyah syariah Islam berakna bahwa tidak ada ajaran di dunia ini yang lebih lengkap, sempurna dan komprehensif menjelaskan tentang hakikat kehidupan manusia selain syariah Islam. Tidak ada kitab suci dan ideologi di dunia ini yang lebih unggul dan futuristic menjelaskan kehidupan manusia, baik sumber materi penciptaannya, proses terjadinya, karakteristiknya, kewajiban-kewajibannya dan kemana akan dikembalikan selanjutnya, selain Al-Qur’an yang menjadi sumber utama syariah, dan dijelaskan dalam surat yang bernama Al-Insan (manusia). Allah berfirman:

 “Bukankah pernah datang kepada manusia waktu dari masa, yang ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur”. (QS. Al-Insan:

Insaniyah syariah Islam juga bermakna bahwa ajaran, pedoman dan panduan hidup manusia, yang diturunkan oleh Allah untuk manusia dan lingkungannya, disesuaikan dengan akal, hati, emosional, fitrah dan fisiknya.Sehingga tidak ada ajaran syariah baik konsep maupun implementasinya yang tidak dapat dimengerti, dirasakan dan diamalkan oleh manusia.Seluruh perintah dan larangannya telah dimudahkan dicocokkan dan dikoneksikan oleh Allah SWT dengan kemampuan manusia dan kemanusiaannya. Allah berfirman:

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir.”(QS. Al-Baqarah: 286)

Insaniyah syariah Islam juga bermakna bahwa semua tujuan (maqashid), manfaat dan hikmah syariah dalam rangka mewujudkan kebaikan, rahmat dan kemaslahatan (mashlahah) bagi manusia seluruhnya dan menghindarkan manusia dan lingkungannya dari kejahatan, kezaliman dan kerusakan (mafsadat) di dunia dan akhirat.Tidak ada ajaran dan nilai-nilai syariah sedikitpun yang bertentangan dengan maslahat manusia dan lingkungannya. Allah berfirman: “Dan dalam syariah qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa”. (QS. Al-Baqarah: 179).“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.(QS. Al-Anbiya: 108).

Dalam riwayat Abu Shaleh, Nabi Saw bersabda: “Wahai manusia, sesuangguhnya aku adalah rahmat yang memberi petunjuk” (HR. At-Thabrani, Ad-Darimi dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh At-thabrani dan Al-Hakim). Dalam hadits lain riwayat Abu Hurairah RA, Nabi SAW besabda: “Sesungguhnya aku tidak diutus menjadi tukang laknat, melainkan aku diutus untuk menjadi rahmat” (HR. Muslim dan Ahmad).

3)      Mendunia (al-alamiyah)

Yang dimaksud dengan mendunia atau global (al-alamiyah) adalah, bahwa syariah Islam bersifat mendunia, tidak dibatasi oleh geografi wilayah tertentu, suku, ras dan bangsa tertentu atau iklim serta geopolitik tertentu.Syariah Islam berlaku untuk seluruh alam dan seluruh manusia yang mau menerimanya. Tidak ada perbedaan antara tujuan dan ajaran syariah di Arab dengan diluar Arab atau sebaliknya, tidak ada perbedaan keyakinan umat Islamterhadap syariah bahwa dia bersumber dari Allah dan untuk maslahat seluruh alam dimanapun mereka berada.

Tidak ada perbedaan pengamalan pokok-pokok syariah (ushul) kecuali dalam masalah cabang dan rantinya (furuiyah) dimanapun umat Islam berada di kolong dunia ini.Tidak ada perbedaan diantara umat Islam dunia dalam pelaksanaan ibadah, muamalah, hukum dan moralitasnya.

Globalisasi (alamiyah) syariah Islam mengajarkan persaudaraan dunia antara manusia lintas golongan-golongan, suku bangsa dan bahasanya.Syariah Islam mengajarkan tolong menolong global antara manusia dan memelihara lingkungannya.Sebaliknya syariah Islam mengharamkan permusuhan antara manusia dimanapun mereka berada didunia ini tanpa memandang suku, ras, agama, warna kulit dan bangsanya selama tolong menolong itu untuk kebaikan dan maslahat manusia. Allah berfirman:

“Wahai manusia!Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti. (QS. Al-Hujurat: 13).

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya”. (QS. Al-Maidah: 2).

Globalisasi syariah Islam bermakna bahwa syariah Islam untuk diperuntukkan untuk seluruh manusia dan seluruh alam semesta, rahmat globalisasi Islam adalah rahmat seluruh alam dan seluruh lingkungan manusia. Negeri Islam adalah semua negeri yang telah dan akan dikumandangkan Laa Ilaaha Illallah (tidak ada Tuhan selain Allah). Karena syariah ini berasal dari Tuhan semesta Alam, Allah Subhanahu wata’ala.Oleh karenanya Nabi umat Islam adalah Nabi dan Rasul untuk semua manusia dan seluruh alam semesta.

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS. Al-Anbiya: 108). “Dan Kami tidak mengutusmu wahai Muhammad kecuali untuk seluruh manusia” (QS. )

4)      Toleransi dan Memudahkan (as-samhah dan attaisir)

As-Samhah adalah memudahkan atau toleransi kepada orang lain12.Adapun at-taisiradalah kemudahan dan keringanan13.Ibnu Manzur hampir menyamakan makna as-samhahdan at-taisir yaitu kemudahan.Ibnu Asyur memaknai as-samahah adalah kemampuan berinteraksi dengan mudah dan proporsional, atau sikap pertengahan antara memudah-mudahkan dan mempersulit.[6]

Syariah Islam adalah syariah yang sangat menghindari kesulitan bagi umat manusia dalam memahami dan mengimplementasikannya.Sehingga tidak ada ranah syariah Islam yang sulit kecuali dimudahkan oleh Allah SWT.Ini bukan berarti semua ajaran syariah Islam seluruhnya mudah, karena itu tidak sesuai logika manusia, sebab sulit dan mudah dua hal yang ditakdirkan Allah SWT kepada makhluk-Nya, juga kepada syariatnya.Sebagaimana Allah mentakdirkan ada yang kaya dan ada yang miskin, siang dan malam dan sebagainya.Toleransi dan kemudahan yang dimaksud di sini adalah bahwa Allah SWT menjadikan ajaran syariat-Nya selalu membolehkan memilih yang termudah dan terbaik baik hamba-Nya bukan yang sulit dan buruk, Allah selalu membolehkan pilihan yang toleran dan tidak memberatkan bagi seluruh mukallaf.Allah SWT selalu menyertakan kemudahan kepada hamba-Nya ketika mereka menghadapi kesulitan dalam melaksanakan perintah-Nya dan dalam menghadapi kehidupan mereka sehari.

 

5)      Antara konstanitas dan fleksibilitas (as-tswabit dan al-mutaghyirat)

Karakter terakhir dari syariah ini adalah as-tsawabit dan al-mutaghayirat, yaitu karakter syariah Islam yang terklasifikasi dengan indah dan penuh hikmah dan rahasia tinggi dari Allah, syariah yang tergolong konstan ajeng dan abadi tidak akan pernah berubah, seperti seluruh jenis rukun iman dan rukun Islam. Juga ajaran-ajaran pokok akhlak serta hal-hal yangtelah diharamkan oleh Allah secara pasti (qath’iy) adalah tsawabit yang tidak menerima ijtihad dan pembaruan. Syariah Islam ada juga yang tergolong mutaghayirat adalah semua hal yang terkait dengan sarana dan prasarana, motode dan srategi, media dan alat, cara dan teknik selain pokok agama (ushul ad-din), semuanya adalah mutaghayirat yang dapat meyesuaikan tempat dan waktu, fleksibel sesuai dengan kondisi manusia dan lingkungannya. Sehingga dengan karakter ini Islam tetap menjadi syariah yang orisinil dan autentik dalam waktu yang sama syariah Islam juga relevan dan sesuai untuk setiap zaman dan tempat.[7]

                       

3.      Maslahat dalam fiqih Muamalah

a.      Pengertian Maslahat

Imam al-Ghazali dianggap ulama pertama membicarakan maslahat secara detail dan panjang lebar dengan meletakkan asas dan metode tersendiri.[8]Dalam kitabnya Syifâ’ al-Ghalîl, tepatnya dalam pembahasan qiyâs, beliau telah memberikan pengertian maslahat secara tidak langsung.Beliau memulai ide maslahat yang dinyatakannya di dalam konsep al-munâsabat.Beliau melontarkan pertanyaan yang berkaitan dengan al-munâsabat, seperti; apakah ukuran yang pasti yang perlu diketahui seseorang untuk mengenal makna sesuatu itu bersesuaian? Kemudian beliau menjawab bahwa makna-makna yang bersesuaian itu ialah apa saja yang menunjukkan kepada maslahat dan tanda-tandanya.

Lafal maslahat merupakan bentuk umum (ijmâl) dan ditujukan guna pengambilan manfaat dan menolak mudarat. Konsep al-munâsabat adalah kembali pada al-maqs}ad (tujuan) tertentu.[9] Al-Ghazali membagi al-maqs}ad (tujuan) dari munâsabat kepada dua hal: terkait agama (al-dînî) dan terkait dunia (al-dunyawi). Baik tujuan agama dan dunia, masing-masing memiliki “tahs} îl} ” dan “ibqâ’”. Yang dimaksud “tah}s}îl” adalah meraih manfaat, dan yang dimaksud

ibqa adalah senantiasa menolak mudarat. Artinya, tujuan dari munâsabat adalah senantiasa meraih manfaat dan menolak mudarat. Dalam kitab al-Mustas}fâ min ‘Ilm al-Us}ûl, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa maslahat ialah suatu pernyataan terhadap pencapaian manfaat dan menolak mudarat. Artinya, munâsabat dan maslahat terkait erat, yaitu sama-sama untuk mencapai manfaat dan menolak mudarat.Untuk mengetahui maslahat dari sesuatu, tidak dapat diketahui hanya oleh akal manusia, melainkan juga harus dengan bantuan dalil syarak.Pandangan beliau ini diikuti oleh Imam al-Syatibi dan ulama-ulama setelahnya.[10]Untuk itu, ukuran diterimanya maslahat ialah syarak dan bukan akal manusia.

Maslahat sendiri hakikatnya adalah memelihara tujuan syariat yang terbagi atas 5 hal: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, serta harta.[11]Sebaliknya, tujuannya bukan untuk atau atas dasar kehendak manusia.Penekanan ini bukan bermakna bahwa beliau menafikan manusia, namun karena manusia mempunyai perbedaan dalam menilai maslahat, maka syarak mesti menjadi ukurannya.Menurut beliau, tujuan manusia hendaklah tidak bertentangan dengan tujuan syarak.Dari sini dapat dipahami bahwa walaupun maslahat berdasarkan kehendak syarak, namun pada hakikatnya selaras dengan kehendak manusia.Imam al-Ghazali berpandangan bahwa maslahat hanya sebagai metode dalam pengambilan hukum, dan bukannya sebagai dalil atau sumber hukum.

Oleh sebab itu beliau menjadikan maslahat sebagai dalil yang masih bergantung kepada dalil lain yang lebih utama, seperti al-Qur’an, al-Sunnah, dan ijmak. Jika maslahat bertentangan dengan nas, maka ia tertolak sama sekali. Dalam hal ini beliau sangat berhati-hati dalam membuka pintu maslahat agar tidak disalahgunakan oleh kepentingan hawa nafsu manusia.Bahkan di akhir dari pembahasan tentang maslahat dalam karyanya al-Mustas fâ, Imam al-Ghazali menegaskan bahwa maslahat bukan sumber hukum kelima setelah al-Qur’an, al-Sunnah, ijmak, dan qiyâs. Jika ada yang menganggap demikian, maka ia telah melakukan kesalahan, karena dalam pandangan Imam al-Ghazali maslahat kembali kepada penjagaan maqâsid al-syarî‘ah dan merupakan hujah baginya.19 Para ulama sepakat akan hal ini, kecuali Imam al-Syatibi yang berpandangan bahwa maslahat sebagai sumber hukum karena ia bersifat kulliy (universal).

 Imam al-Syatibi menyatakan bahwa berhukum dengan sesuatuyang bersifat al-kulliy merupakan hukum qatiy} (pasti) dan para ulama sepakat akan hal ini. Adapun mafsadah berarti sesuatu yang rusak atau suatu kemudaratan.Antonimnya adalah maslahat atau juga kebaikan.Artinya, mafsadah adalah kemudaratan yang membawa kepada kerusakan.Mafsadah dan maslahat memiliki kaitan yang erat.Ketika ulama menggunakan konsep maslahat dalam penentuan suatu hukum, maka konsep mafsadah juga terikut.

 Menurut Imam al-Ghazali, mafsadah merupakan sesuatu yang membawa terhapusnya (sebagian atau keseluruhan) maqâs}id al-syarî‘ah yang lima.24 Dalam pandangan Imam al-Ghazali ini dikenal dengan mafsadah h}aqîqiyyah. Mafsadah h}aqîqiyyah tidak hanya merusak sebagian atau keseluruhan maqâsid al-syarî‘ah } yang lima itu, namun juga menghapus atau merusak hal-hal yang terkait dengannya (wasilah), atau dikenal dengan istilah mafsadah majâziyyah. ‘Izzuddin Abdussalam mengatakan bahwa mafsadah majâziyyah merupakan sebab timbulnya mafsadah h}aqîqiyyah.25 Sebagai contoh, zina adalah mafsadah h}aqîqiyyah, adapun melihat wanita yang bukan mahram merupakan mafsadah majâziyyah, karena merupakan perantara terjadinya zina. Jika perantara itu kuat, maka mafsadahnya semakin kuat dan sebaliknya.Syarat Beramal dengan Maslahat dan MafsadahSecara umum syarat beramal dengan maslahat menurut Imam al-Ghazali adalah seperti berikut:

a)      Maslahat itu hendaklah mulâim (sesuai) dengan maksud dan tujuan syarak.26 Inilah yang dijadikan standar penerimaan sesuatu maslahat atau penolakan sesuatu mafsadah. Jika ia sesuai dengan maksud dan tujuan syarak, maka ia diterima dan jika ia tidak sesuai dengan tujuan dan kehendak syarak, maka ia tertolak.

b)      Maslahat tidak bertentangan dengan nas syarak.27 Jika betentangan, maka ia tertolak.

c)       Maslahat tidak bertentangan dengan maslahat atau dengan dalil yang lebih kuat. Jika terjadi kontradiksi di antara maslahat dan maslahat, atau maslahat dengan mafsadah, maka Imam al-Ghazali menggunakan mana prediksi yang lebih benar (ghalabat al-z}ann) terhadap sesuatu maslahat.28

d)      Maslahat dapat diterima jika bersifat d}arûriyyah, kulliyyah, dan qat}’iyyah29, atau berstatus z}ann yang mendekati qat}’iy.30

 Secara umum, syarat-syarat di atas diterima oleh para ulama.31 Namun perlu ditekankan bahwa maslahat yang bersifat d}arûriyyah, kulliyyah, dan qat’iyyah } yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali di atas hanya berlaku ketika orang-orang kafir menjadikan tawanan Muslim sebagai perisai perang dan bukan dalam semua keadaan.

 

b.      Pengertian fiqih Muamalah

Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan hukum pemerintahan. Semua bentuk persoalan yang dicantumkan dalam kitab fiqih adalah pertanyaan yang dipertanyakan masyarakat atau persoalan yang muncul di tengah-tengah masyarakat.

 Kemudian para ulama memberikan pendapatnya yang sesuai kaidah-kaidah yang berlaku dan kemudian pendapat tersebut dibukukan berdasarkan hasil fatwa-fatwanya.1 Secara bahasa (etimologi) Fiqih (فقه (berasal dari kata faqiha (فقه (yang berarti Paham dan muamalah berasal dari kata ’Amila yang berarti berbuat atau bertindak atau Al ‘amaliyyah maksudnya yang berhubungan dengan amaliyah (aktifitas), baik aktifitas hati seperti niat, atau aktifitas lainnya, seperti membaca al Qur’an, shalat, jual beli dan lainnya. Muamalah adalah hubungan kepentingan antar sesama manusia.

Maqashid al-syari'ah merupakan aspek penting dalam pengembangan hukum Islam.Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-landasan yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang bersifat universal.Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat.tengah masyarakat demi terpeliharanya hak dan kewajiban di antara manusia. Dengan demikian ruang lingkup fiqh muamalah dipandang dari tunjukan hukumnya dapat dibagi kepada dua bidang, yaitu :

a.       Muamalah yang ketentuan hukumnya langsung dari Alqur’an dan hadis. Adapun bentuk muamalah ini adalah dalam hal perkawinan dan akibatnya, seperti: talak, iddah, rujuk, warisan. Demikian juga dalam hal pengharaman khamar, babi, anjing dan riba, sehingga tidak dibolehkan transaksi pada bentuk ini. Demikian juga dalam tindak criminal

b.      Muamalah yang ketentuan hukumnya tidak langsung dari Alqur’an dan Hadis, tetapi berdasarkan hukum yang diperoleh dari hasil ijtihad para fuqaha yang mengacu kepada kaedah-kaedah dan prinsip-prinsip umum yang sesuai dengan ketentuan syara’. Fiqh Muamalah Kontemporer Bentuk muamalah ini akan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi sosial. Hal ini bisa kita lihat pada praktek jual beli di swalayan, dimana sipembeli diberi kebebasan untuk memilih barang yang diinginkan dan membawanya ke kasir untuk menyerahkan harga barang tersebut, jual beli seperti ini terjadi dengan saling menyerahkan uang dan barang tanpa adanya ucapan yang jelas (ijab dan qabul).[12]

E.     Kesimpulan

            Maqashid syariah adalah alat dan manhaj utama para fuqaha dalam memahami dan mengeluarkan hukum-hukum fiqih yang dikandung oleh Nsh-nash Syari’ah (Al-Qur’an dan As-sunah). Tanpa mengetahui muqashid syariah seorang ulama akan keliru dan salah dalam mennetukan hukum sebuah masalah dalam islam.

Maqashid al-syari'ah merupakan aspek penting dalam pengembangan hukum Islam.Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-landasan yang kuat dan kokserta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang bersifat universal.Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat.

Maqashid al-syari'ah merupakan aspek penting dalam pengembangan hukum Islam.Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-landasan yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang bersifat universal.Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk setiap zaman dan pada setiap tempat.tengah masyarakat demi terpeliharanya hak dan kewajiban di antara manusia.

Daftar Pustaka

Muhammad Abdul Athi Muhammad Ali, Al-Maqashid As-Syar’iyah watsaruha fil fiqhil Islami, (Kairo: Darul Hadits, 2007), hal 13

Muhammad At-Thahir bin Asyur, Maqashid As-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo: Daar As-Salam, 2006),hal 49

Muhammad Abdul Athi Muhammad Ali, Al-Maqashid As-Syar’iyah watsaruha fil fiqhil Islami, (Kairo: Darul Hadits, 2007), hal 14

Teori Maqosyid Syariah  Al-Sayariah dalam Hukum Islam.

Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Kairo: Daarul Hadits, 2003, vol 4, hal 673

Ali bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, vol 3, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, Cet. Ke 2, 1402H), hal 252

Hayatullah Laluddin, et al, “Al-Mas}lahah (Public Interest) with Special Reference to al-Imam al-Ghazali”, Jurnal Syariah, Vol. 14, No. 2, 2006, 103-120

Abu Hamid al-Ghazali, Syifâ’ al-Ghalîl fî Bayân al-Syabh wa al-Mukhîl wa Masâlik al-Ta‘s}îl, Tahkik oleh Zakariyya Amayrat, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H), 79.

Fakhruddin al-Razi, al-Mah}sûl fî ‘Ilm Us}ûl al-Fiqh, Tahkik oleh Taha Jabir Fayyadh al-‘Alwani, Juz 5, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, Cet 2, 1416 H/1992 M), 166-174.

Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Tahkik oleh ‘Abdullah Mahmud

Muhammad ‘Umar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 275.

Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer. ( Yogyakarta: FEBI UIN Sunan Kalijaga Press, 2018), hlm. 6

 

 

 

 



[1] Muhammad Abdul Athi Muhammad Ali, Al-Maqashid As-Syar’iyah watsaruha fil fiqhil Islami, (Kairo:

Darul Hadits, 2007), hal 13

[2]Muhammad At-Thahir bin Asyur, Maqashid As-Syari’ah Al-Islamiyah, (Kairo: Daar As-Salam, 2006),hal 49

[3] uhammad Abdul Athi Muhammad Ali, Al-Maqashid As-Syar’iyah watsaruha fil fiqhil Islami, (Kairo:

Darul Hadits, 2007), hal 14

[4] Ibid hal, 14

[5] Teori Maqosyid Syariah  Al-Sayariah dalam Hukum Islam.

[6]Ibnu Manzur, Lisanul Arab, Kairo: Daarul Hadits, 2003, vol 4, hal 673

[7]li bin Muhammad Al-Amidi, Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, vol 3, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, Cet. Ke

2, 1402H), hal 252

[8] Hayatullah Laluddin, et al, “Al-Mas}lahah (Public Interest) with Special Reference to al-Imam al-Ghazali”, Jurnal Syariah, Vol. 14, No. 2, 2006, 103-120

[9] Abu Hamid al-Ghazali, Syifâ’ al-Ghalîl fî Bayân al-Syabh wa al-Mukhîl wa Masâlik al-Ta‘s}îl, Tahkik oleh Zakariyya ‘Amayrat, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1999 M/1420 H), 79.

[10] Fakhruddin al-Razi, al-Mah}sûl fî ‘Ilm Us}ûl al-Fiqh, Tahkik oleh Taha Jabir Fayyadh al-‘Alwani, Juz 5, (Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, Cet 2, 1416 H/1992 M), 166-174.

[11] Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Tahkik oleh ‘Abdullah Mahmud

Muhammad ‘Umar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008), 275.

[12]Sri Sudiarti, Fiqh Muamalah Kontemporer. ( Yogyakarta: FEBI UIN Sunan Kalijaga Press, 2018), hlm. 6

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL