MAKALAH RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM

RUANG LINGKUP BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM By. Retno, dkk. A.       PENDAHULUA N   a.         Latar Belakang Bimbingan dan konseling merupakan kegiatan yang bersumber pada kehidupanmanusia. Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya selalu menghadapi persoalan-persoalan yang silih berganti. Persoalan yang satu dapat diatasi, persoalan yanglain muncul, demikian seterusnya. Manusia tidak sama satu dengan yang lain, baik dalamsifat maupun kemampuannya. Ada manusia yang danggup mampu mengatasi persoalan tanpa bantuan dari pihak lain, tetapi tidak sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi persoalan bila tidak dibanntu orang lain, maka dari inilah bimbingan konseling dibutuhkan. Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dari pendidikan.Mengingat bahwa bimbingan dan konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yangdiberikan kepada individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekol...

MAKALAH USIA PERNIKAHAN

MAKALAH USIA PERNIKAHAN

 By: Faisah, dkk.


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Perkawinan merupakan cara yang dipilih oleh Allah SWT. Sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranan yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah SWT.tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Allah SWT mengadakanhukum terhadap manusia sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat, dengan acara ijab qabul sebagai lambang dari seorang suami dan istri saling meridai dan di saksikan oleh para saksi dan wali.[1]

Menurut hukum islam, perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan bati antara dua orang yang mana seorang orang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang di laksanakan menurut ketentuan-ketentuan hukum dan Sayriat Islam.[2]

Ayat-ayat dalam al-Qur’an tentang pernikahan akan ada atau akan dapat ditemui, tetapi tidak halnya dengan usia atau batasan usia untuk usia pernikahan. Namun bisa diteliti atau dilihat dari pernjelasan ayat mengenai dengan kelayakain seseorang untuk menikah yanga terdapat dalam al-Qur’an.

Adapun pembahsan yang ingin kami angkat sebagai judul pada makalah yang kami susun adalah: “ usia pernikahan” dalam hukum islam dan perundang-undangan.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah Pengertian Perkawinan?
2.      Apa-apa Rukun Perkawinan?
3.      Apakah Syarat Sahnya Perkawinan?
4.      Brapakah usia Perkawinan?

C.    Tujuan Makalah

1.      Untuk mengetahui pengertian perkawinan.
2.      Untuk mengetahui rukun perkawinan.
3.      Untuk mengetahui syarat sahnya perkawinan.
4.      Untuk mengetahui usia perkawinan.

  

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Perkawinan

Perkawinan berasal dari kata “kawin” yang artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri. Perkawinan disebut juga dengan pernikahan yang berasal dari nikah. Sedangkan menurut bahasa nikah berarti penyatuan, dan dapat diartikan juga sebagai akad atau berhubungan badan. Selainitu ada juga yang mengartikan sebagai berhubungan badan.Al-fara mengatakan;“aN-Nukh” adalah sebutan untuk kelaminan. Disebut sebagai akad karena ia merupakan penyebab terjadinya kesepakatan itu sendiri. Sedangkan Al-Azhari mengatakan; akar kata nikah dalam ungkapan bahasa arab yang berarti hubungan badan. Dikatakan pula bahwa, berpasangan juga merupakan salah satu maknanikah. Karena ia penyebab terjadinya hubungan badan. Sementara itu, al-Farisi mengatakan; jika mereka mengatakan si fulan atau anaknya fulan menikah, makayang di maksud adalah mengadakan akad. Akan tetapi, jika dikatakan bahwa ia menikahi isterinya, maka yang dimaksud adalah hubungan badan.[3]

Perkawinan atau pernikahan dalam literatul fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qur’an dengan arti kawin.

Perkawinan adalah al-mitsaq al- ghalizh (ikatan yang kokoh) yang mempersatukan dua insan, laki-laki dan perempuan dalam sebuah komitmen membangun rumah tangga. Perkawinan menciptakan adanya hubungan antara dua keluarga besar dan menjadikan kehidupan manusia berkelanjutan dengan menjaga keturunan. Oleh karena itu pernikahan merupakan salah satu persoalan muamalah.

Perkawinan merupakan perjanjian sakral antara calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai wanita yang hendak membangun rumah tangga dengan tujuan keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Dalam hal tersebut ajaran Islam menganjurkan kesederhanaan dan niat yang ikhlas dalam menerima hakikat perkawinan. Islam mengajarkan agar keluarga perempuan tidak menolak laki-laki yang datang untuk melamar dengan alasan kemiskinan. Dengan demikian para pemuda tidak boleh menunda perkawinan jika telah memiliki kemampuan secara material dan biologisnya sebab perkawinan hukumnya menjadi wajib jika sacara syahwat tidak ada kekuatan untuk menahan nafsu seksualnya.[4]

Perkawinan merupakan salah satu kajian yang dibahas dalam hukum keluarga islam, mulai dari persiapan perkawinan, syarat dan rukun, hak dan kewajiban suami istri, harta bersama suami istri, hadhanah, poligami, perceraian, dan sebagainya. Termasuk juga diantaranya permasalahan tentang usua nikah yang tentu kaitannya sangat erat dengan permasalahan perkawinan usia dini.

Penkawinan merupakan cara yang dipilih Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranan yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah SWT tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarki tanpa aturan. Allah SWT mengadakan hukum terhadap manusia dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dengan ijab qabul sebagai lambang saling meridhoi dan disaksikan oleh para saksi.

Perkawinan adalah perbuatan hukum yang membawa pengaruh sanga besar dan mendalam bagi orang yang melakukan perkawinan sendiri maupun bagi masyarakat dan Negara.[5] Keluarga yang di bentuk melalui perkawinan adalah unit terkecil dan fundamental bagi pembinaan masyarakat. Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin dan tanggungjawab yang berlanjut, bukan hanya sekedar hubungan perdata antara semata manusia sewaktu hidup di dunia tetapi akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak nantinya.[6] Pengertian perkawinan menurut Sajuti Thalib, perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan kokoh dengan tujuan untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang membetuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni, kasih-mengasih, tenteram dan bahagia.[7]

B.     Rukun Perkawinan

Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan yang mungkin dilaksanakan. Misalnya : mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, keduanya adalah termasuk pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawina, wali, dua orang saksi, aqad nikah atau ijab qabul serta mahar.

 Perkawinan dianggap sah apabila terpenuhi rukunnya. Adapun menurut Mazhab Syafi’i, rukun – rukun perkawinan antara lain:7

1)   Adanya calon suami,

2)   Adanya calon istri,

3)   Adanya wali calon istri,

4)   Adanya minimal dua orang saksi, dan

5)   Terjadinya akad

a.    Menurut ulama hanafiah, rukun perkawinan itu hanya terdiri dari ijab dan qabul saja.

b.    Sedangkan menurut hambali rukun  perkawinan itu terdiri dari tiga bagian, yakni antara lain:

1)   Sighat ( ijab dan qabul),

2)   Adanya calon pengantin laki-laki,

3)   Adanya Wali dari pihak calon pengantin perempuan.

c.    Pendapat secara umum mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, dengan alasan calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan digabung menjadi satu rukun, yakni sebagai berikut :

1)   Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.

2)   Adanya wali,

3)   Adanya dua orang saksi,

4)   Dilakukan dengan sighat tertentu.

  C. Syarat Sahnya Perkawinan 

        Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya suatu perkawinan, apabilah syarat-syaratnya telah terpenuhi, maka perkawinan tersebut dikatakan sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban antara suami dan istri.
Pada garis besarnya syarat-syarat perkawinan itu ada dua :
1.    Calon mempelai perempuan halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri. Jadi, calon pengantin perempuan tersebut bukan perempuan yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk sementara maupun untuk selamanya.
2.    Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut :
a.        Syarat-syarat pengantin pria
1)   Calon suami beragama islam.
2)   Jelas bahwa suami itu betul-betul berjenis kelamin laki-laki.
3)   Orangnya diketahui dan tertentu.
4)   Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.
5)   Calon mempelai laki-laki kenal dengan calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya.
6)   Calon suami rela untuk melakukan perkawinan tersebut.
7)   Tidak sedang melakukan ihram.
8)   Tidak mempunyai yang haram dimadu dengan calon istri.
9)   Tidak mempunyai istri empat.
b.        Syarat-syarat calon pengantin perempuan
1)   Beragama islam atau ahli kitab.
2)   Jelas bahwa suami itu betul-betul berjenis kelamin perempuan..
3)   Orangnya diketahui dan tertentu.
4)   Halal bagi calon suaminya.
5)   Mempelai perempuan tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam masa iddah.
6)   Tidak dipaksa ikhtiar.
7)   Tidak dalam keadaan haji dan umrah.
c.         Syarat-syarat ijab qabul
Perkawinan wajib dilakukan dengan ijab dan qabul dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu yang menlangsungkan perkawinan maka ijab kabulnya dapat dilakukan dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa dipahami. Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya, sedangkan qabul oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
d.        Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan dan wakilnya dengan calon suami atau wakilnya. Wali hendaknya seorang laki-laki muslim, baligh, sehat dan adil.
e.         Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, balig, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akadnikah. Tetapi menurut imam hanafi dan imam hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan.
Adapun pendapat lain mengenai syarat-syarat saksi itu sebagai berikut :
1)   Berakal, bukan orang gila.
2)   Sudah baligh, bukan dari golongan anak-anak.
3)   Merdeka, bukan budak.
4)   Beragama islam.
5)   Kedua orang saksi itu mendengar dan melihat ijab dan Kabul berlangsung.

D.    Usia perkawinan

Pada prinsipnya islam tidak memberikan batasan pasti pada usia pernikahan, berapa umur umur yang pantas atau umur ideal bagi seseorang untuk melakukan pernikahan. Begitu juga halnya dengan pendapat para ulama yang tidak membahas secara detail terkait umur ideal untuk seseorang melaksanakan suatu pernikahan. Utamanya telah memenuhi syarat dan rukun nikah itu sediri, maka siapapun boleh dinikahkan.

Meskipun dalam al-Qur’an dan sunnah maupun pendapat para fuqaha tidak menjelaskan secara langsung tentang batasan usia pernikahan, namun dapat disimpulkan bahwa seseorang yang hendak menikah adalah yang telah mencapai masa baliqh dan memiliki kedewasaan. Tetapi tidak dapat dipungkiri sampai saat ini pernikahan dibawah batas usia menikah atau belum baliqh masih dilakukan oleh masyarakat di dunia. Hal tersebut bukan terjadi hanya semata-mata karena adanya keinginan menikah dari kedua belah pihak semata, tetapi bisa disebabkan oleh beberapa faktor.

Faktor-faktor yang dimaksud bisa terjadinya pernikahan anak atau pernikahan dibawah umur, di antaranya adalah karena faktor ekonomi atau kemiskinan, tingkat kemiskinan yang tinggi, ketidakstabilan sosial dan politik, serta pengaruh budaya yang kuat.

1.        Usia Perkawinan menurut Hukum Islam

Dalam al-Qur’an tidak ditemukan ayat yang berkaitan dengan batas usia perkawinan, tetapi jika lihat lagi ada dua ayat dalam al-Qur’an, yaitu surat QS. An-Nur/24:32 dan QS. An-Nisa/4:6 yang berkaitan dengan usia baliqh terutama pada kata-kata shalihin dan rusydan. Sebagaimana dalam QS. Al-Nur/24:32 Allah SWT berfirman:


وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ

 يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

Artinya: "Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui."

Dapat dipahami bahwa kesehatan mental seseorang itu sangatlah berkaitan dengan usianya seseorang. Secara logika, orang yang sehat mentalnya dan dewasa adalah orang yang usianya lebih dari anak-anak atau dapat dikatakan dengan matang secara kejiwaaan dan pemikiran. Kata shalihin memberikan petunjuk bahwa pernikahan dalam islam memiliki syarat meskipun masih bersifat umum. Kedewasaan dan kematanagn diidentik dengan usia seseorang. Kata shalihin sebagai cikal bakal dalam proses penetapan usia baliqh sebuah pernikahan.[8]

Menurut pendangan hanafiyah dalam hal usia baliqh adalah batas maksimal, sedangkan usia minimalnya adalah 12 tahun utuk anak laki-laki dan 9 tahun untuk anak perempuan. Karena pada usia itu, seorang anak laki-laki dapat mimpi bahas (bermimpi mengeluarkan sperma) sedangkan pada anak perempuan dapat mimpi hamil atau haid. Pendapat ini tampaknya berdasar pada logika semata bahwa secara tertulis menyatakan usia sampai 15 tahun, baik usia anak-laki-laki dan usia anak perempuan.  Adapun batas minimalnya adalah 12 tahun usia bagi anak laki-laki dan 9 tahun usia bagi anak perempuan. Dengan demikian, usia maksimum adalah 15 tahun bagi keduanya apabila ingin melangsungkan pernikahan.[9]

Kajian usia baliqh dilihat kembali pada kata rusydan dalam QS. Al-Nisa/4:6 Allah SWT. Penentuan batas usia bagi para pihak yang akan melangsungakan perkawinan didalam AL-Qur’an tidak ditentukan secara detail. Batasan hanya diberikan berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka. Sebagaimana dalam QS. Al-Nisa/4:6 Allah SWT berfirman :

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبً 

Artinya: Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.

Cukup umur untuk menikah dalam ayat di atas adalah setelah timbul keinginan untuk berumah tangga, dan siap menjadi suami dan memimpin keluarga. Hal ini tidak akan bisa berjalan sempurna, jika dia belum mampu mengurus harta kekayaan. Berdasarkan ketentuan umum tersebut, para fuqoha dan ahli undang-undang sepakat menetapkan, seseorang diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya dan mempunyai kebebasan menenyukan hidupnya setelah cukup umur (baliqh). Baliqh berarti sampai atau jelas, yakni anak-anak yang sudah sampai pada usia tertentu yang menjadi jelas baginya segala urusan atau persoalan yang dihadapi. Pikirannya telah manpu mempertimbangkan atau memperjelas mana yang baik dan mana yang buruk.[10]

Penentuan batas usia sangatlah penting hal ini menjadi tolak ukur bagi masing-masing pihak untuk memiliki kematangan secera biologis dan fisikologis. Konsep batas usia minimal perkawinan dalam kajian hukum isla bervariasi. Sebagian ulam menyatakan bahwa batas usia minimal perkawinan adalah baliq dengan ciri, bagi anak laki-laki bila bermimpi basah dan sebai anak perempuan telah menstruasi. Sebagian ulama lain yang lain menetapkan batasan umur minimal menikah tidak hanya dilihat dari ciri-ciri fisik semata, tetapi lebih menekankan pada kesempurnaan akal dan jiwa. Jadi pada dasarnya para ulam tidak memberikan batasan baku usia minimal pernikahan, artinya berapapun usia calon pengantin tidak menghalangi sahnya pernikahan, bahkan usia baliq sekali pun.[11]

2.      Usia Perkawinan menurut Undang-Undang

Penetapan untuk  usia perkawinan adalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berhasil di tetapkan pada masa orde baru yang dianggap berhasil menuangkan Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan.[12] Tetapi Undang-Undang tersebut kemudian di revisi pada tahun 2019. Pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 7 (1), perkawinan hanya diizinkan apabila calom mempelai laki-lakinya mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan telah mencapai 16 tahun.[13]  Apabila calon mempelainya belum cukup umur untuk melaksanakan perkawinan, maka dapat mengajukan dispensasi nikah ke pengadilan sesuai dengan pasal 7 (2). Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak laki-laki dan perempuan.

Namun pada tahun 2019 pemerintah melakukan revisi terhadap undang-undang perkawinan tersebut dengan menetapkan undang-undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahsn atas undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam undang-undang revisi tersebut dinyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita mencapai 19 (sembilan belas) tahun. Peraturan perubahan tersebut resmi berlaku setelah diundangkan oleh pemerintah pada tanggal 15 Oktober 2019.

Batas usia perkawinan dijelaskan pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Juncto Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 pasal 1 ayat (1) Tentang Perkawinan dijelaskan nahwa umur minimal boleh menikah dan layak menikah adalah 19 tahun bagi anak laki-laki dan perempuan yang sebelumnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk perempuan, sebagai beriku:

1)      Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.

2)      Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

3)      Pemberian dispensasi ileh pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

4)      Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan-ketentuan mengenai perintah dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi ketemtuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).[14]

Dalam hal kasus, masih dalam undang-undang yang sama pasal 7 ayat (2) bila terjadi penyimpangan ayat (1) yang berkaitan dengan usia minimal dibolehkan nikah, adanya dispensasi dari pengajilan atau pejabat-pejabat lainnya.

Adapun dispensasi yang di maksud yang diminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat terkait dalam artian kondisi tertentu berdasarkan pertimbangan majelis hakim atas permintaan kedua orang tua anak yang melangsungkan pernikahan dibawah usia 19 dan 16 tahun dapat dibenarkan oleh negara. karena dalam kondisi yang mendesak dan sangat dibutuhkan nikah diusia dini dapat mendatangkan manfaat dan akan mendatangkan dampak buruk yang lebih besar seandainya tidak diizinkan.

Komplikasi Hukum Islam pada Pasal 15 mempertegas persyaratan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa:

1)      Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun  dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

2)      Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.[15]

Dalam komplikasi hukum islam (HKI) pasal 15 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun, tidak jauh beda dengan undang-undang perkawinan 1974. Hal ini didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Oleh karena itu, calon suami dan istri harus sudah siap jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur atau pernikahan dini.

Sedangkan dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada BAB IV bagian I pasal 29 menegaskan bahwa : “ Laki-laki yang belum mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur lima belas tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan. Namun jika ada alasan-alasan penting, dapat menghapuskan larangan ini dengan memberikan dispensasi.[16]

3.        Batsan Usia Pernikahan di Beberapa Negara Islam

a.      Pakistan

Ketentuan batasan usia minimum boleh nikah, Pakistan memiliki Undang-Undang sendiri, yaitu UU No. 29 Tahun 1929 tentang larangan pernikahan anak (Child Marriage Reatraint Act) sebagai amandemen oleh Ordenasi No. 8 Tahun 1961. Dalam UU tersebut didefinisikan bahwa anak (Child) adalah seseorang yang berumur dibawah 18 tahun bagi anak laki-laki dan dibawah 16 tahun bagi anak perempuan. Perkawinan anak adalah perkawinan yang salah satu dari pengantin laki-laki dan pengantin perempuan berusia anak-anak.

Pakistan melarang pernikahan dibawah umur dengan mendasar pada al-Qur’an, dimana larangan pernikahan dibawah umur  oleh salah satu pandangan mufassir terhadap ayat al-Qur’an yaitu surat an-Nisa’ ayat 6. Meskipun ayat ini dasarnya berbicara tentang masa masa pemeliharaan harta naak yatim, dimana harta mereka diberikan secara penuh kalau sudah rusyd, tetapi ada juga kaitan ayat ini dengan umur kedewasaan untuk menikah (umur minimal boleh nikah). Maka ini yang dijadikan dasar penetapan umur minimal boleh menikah. Dalam menentukan batasan usia perkawinan ini tidak jauh beda dengan pendapat yang di kemukakan oleh mazhab hanafi terkait masa baliqh bagi anak laki-laki dan anak perempuan, yaitu dalam batasan maksimal masa baliqh untuk umur 18 tahun untuk anak laki-laki dan umur 17 tahun untuk anak perempuan sedangakan batasan minimal umur baliqh adalah umur 12 tahun untuk anak laki-laki dan umur 9 tahun untuk anak perempuan.

b.      Turki

Batasan tentang usia minimal boleh nikah dalam Undang-Undang Turki (The Ottoman Law Of Family Right 1917 “capacity to marry” act 4-8) mengatur, bahwa umur minimal seseorang yang hendak melaksanakan perkawinan adalah umur 18 tahun bagi anak laki-laki dan umur 17 tahun untuk anak perempuan. Pengadilan juga dapat mengizinkan pernikahan pada anak usia 15 tahun bagi anak laki-laki dan usia 14 tahun untuk anak perempuan setelah mendapat izin dari orang tua dari kedua  belah pihak atau wali kedua be;ah pihak.

Dalam perkembangan zaman, pada akhirnya Turki mengadopsi peraturan perundang-undangan  Swiss (The Swiss Civil Code tahun 1926) sehingga peraturan tentang batasan minimum dalam usia pernikahan boleh menikah juga berubah, yang pada awalnya batasan usia laki-laki 18 tahun menjadi 17 tahun begitu juga dengan usia perempuan yang semula 15 tahun menjadi 17 tahun sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Turki 1926 adalah “seorang lakil-laki dan perempuan tidak dapat menikah sebelum berumur 17 tahun. Kecuali dalam kasus-kasus tertentu, pengadilan mangizinkan terjadinya pernikahan umur 16 tahun bagi laki-laki dan perempuan, setelah adanya konsultasi/izin dari wali atau orang tuanya.”

c.       Maroko

Terjadinya amandemen Undang-Undang Perkawinan yang dilakukan Maroko pada tahun 2004, sebagai berikut:

a)             pertama, menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan dalam keluarga, yang mana suami istri memiliki tanggung jawab yang sama untuk menbina rumah tangga.

b)             Kedua, hak-hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum sesuai dengan kehendaknya selama perkawinan dilindungi undang-undang.

c)             Ketiga, usia minimum untuk dapat menikah antara laki-laki dan perempuan ditetapkan sama, yaitu minimal 18 tahun. Meskipun demikian, dispensasi usia perkawinan dapat diberikan oleh hakim kepada calon suami dan istri yang telah berusia 16 tahun. Izin pengadilan tersebut harus dimintakan oleh kedua orang tua atau walinya.

d)             Keempat, pembatasan poligami.

e)             Kelima, hak perempuan untuk mengajukan cerai dan hak-hak yang harus diterimanya.

f)              Keenam, dapat dilakukan pemisahan harta antara suami dan istri berdasarkan kesepakatan bersama.

Dalam Mudawwanah al-Ahwal al-Syakhshiyyah yang mana sebelumnya mengatur usia pernikahan atau batasan usia boleh menikah adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan. Namun dengan adanya reformasi di tahun 2004, maka penetapan usia boleh menikah menjadi 18 tahun bagi calon laki-laki dan perwmpuan sebagaimana tuntutan perempuan dinegara tersebut.

d.      Indonesia

Penetapan untuk  usia perkawinan adalah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berhasil di tetapkan pada masa orde baru yang dianggap berhasil menuangkan Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan.[17] Tetapi Undang-Undang tersebut kemudian di revisi pada tahun 2019. Pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 7 (1), perkawinan hanya diizinkan apabila calom mempelai laki-lakinya mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan telah mencapai 16 tahun.

Dalam komplikasi hukum islam (HKI) pasal 15 ayat (1) menyebutkan perkawinan hanya diizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai usia 16 tahun, tidak jauh beda dengan undang-undang perkawinan 1974.

  

BAB III

PENUTUP

A.    KESIMPULAN

Perkawinan adalah al-mitsaq al- ghalizh (ikatan yang kokoh) yang mempersatukan dua insan, laki-laki dan perempuan dalam sebuah komitmen membangun rumah tangga. Perkawinan menciptakan adanya hubungan antara dua keluarga besar dan menjadikan kehidupan manusia berkelanjutan dengan menjaga keturunan. Oleh karena itu pernikahan merupakan salah satu persoalan muamalah.

Rukun nikah ada empat, yakni: Dua orang yang akan melakukan akad perkawinan (mempelai laki-laki dan mempelai perempuan), adanya wali, adanya dua orang saksi, Dan dilakukan dengan sighat tertentu.

syarat-syarat perkawinan ada dua yakni : Calon mempelai perempuan halal dikawini oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri, dan Akad nikahnya dihadiri para saksi.

Penetapan untuk usia perkawinan terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan 1974 pada Pasal 7 (1), perkawinan hanya diizinkan apabila calon mempelai laki-lakinya mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan telah mencapai 16 tahun. Dalam komplikasi hukum islam (KHI) pasa 15 ayat (1) menyebutkan perkawinan dizinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak perempuan mencapai umur 16 tahun, tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang Perkawinan.

B.     SARAN

Adapun saran yang dapat kami sampaikan menegnai makalah kami ini yang mana berjudul “ usia pernikahan” adalah supaya setiap orang yang ingin menikah atau melamgsungkan pernikahan perlunya mempertimbangakan usia malihat kematangan calon yang ingin di nikahi, supaya tidak terjadinya penyebap yang tidak dinginkan dalam perkawinan.

 

Daftar Pustaka

Abd. Racman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Ed. I, Cet. II, (Jakarta: Kencana , 2006)

Akhmad Shodikin, Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Nasional Tentang Batas usia Perkawinan, (Yogyakarta: Media, 2016

Bakri, Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Perdata/BW (Jakarta: PT hida karya agung, 1981)

Beni Ahmad Saebeni, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 2009)

Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandinagn  (dari Tekstualitas sampai Legalitas)(Cet I;Bandung: CV Pustaka Setia,2011)

Hasanain Haikal, Analisis Yuridis Normatif dan Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No 30-74/PUU-Xii/2014 tentang batas usia perkawinan anak (perempuan), jurnal pembaharuan hukum 2, No 2, 2015

Hilda, Dalam Skripsinya Berjudul, Dampak Perkawinan Endogami ditinjau dari Hukum Islam, (2015)

H. Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,(Yogyakarta: Bina Cipta,1987)

 

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,Cetakan ke sembilan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2015)

 

Kamsi, Pergulatan Hukum Islam dan Politik dalam Sorotan, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2014)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Mohd Idris Rumalyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,1996)

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Komplikasi Hukum Islam

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pustaka: Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN)

 

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan ATAS Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974



[1]Abd. Racman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Ed. I, Cet. II, (Jakarta: Kencana , 2006), hlm. 10

[2]H. Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia,(Yogyakarta: Bina Cipta,1987),hlm.1

[3]Hilda, Dalam Skripsinya Berjudul, Dampak Perkawinan Endogami ditinjau dari Hukum Islam, (2015) , h. 9.

[4] Beni Ahmad Saebeni, Fiqh Munakahat (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 286.

[5]Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia ,Cetakan ke sembilan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2015), h. 227.

[6]Bakri, Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam Undang-Undang Perkawinan Dan Hukum Perdata/BW (Jakarta: PT hida karya agung, 1981), h. 1.

[7]Mohd Idris Rumalyo, Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Bumi Aksara,1996), h. 2.

[8] Dedi Supriyadi, Fiqh Munakahat Perbandinagn  (dari Tekstualitas sampai Legalitas)(Cet I;Bandung: CV Pustaka Setia,2011), hln.59-60

[9] Ibid,hln.65

[10] Hasanain Haikal, Analisis Yuridis Normatif dan Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No 30-74/PUU-Xii/2014 tentang batas usia perkawinan anak (perempuan), jurnal pembaharuan hukum 2, No 2, 2015, h. 351.

[11] Akhmad Shodikin, Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Nasional Tentang Batas usia Perkawinan, (Yogyakarta: Media, 2016), h. 118.

[12] Kamsi, Pergulatan Hukum Islam dan Politik dalam Sorotan, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2014), hlm. 3

[13]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pustaka: Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN), hlm.3

[14] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan ATAS Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hln. 2

[15] Tim Redaksi Nuansa Aulia, Komplikasi Hukum Islam, hlm. 5

[16] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

[17] Kamsi, Pergulatan Hukum Islam dan Politik dalam Sorotan, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2014), hlm. 3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

MAKALAH ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL